Sebagai wanita yang kerap mengalah dengan keadaan, tadi adalah puncak luapan amarah Rasti terhadap Wandi.
Bukan karena sekarang dia sudah bekerja. Bukan. Tapi karena kalimat Wandi yang terus melukai hatinya. Mengatakan kalau dia tidak melakukan apapun di rumah. Kalimat yang sering didengar dari iparnya, kini didengarnya sendiri dari mulut Wandi. "Kalau kamu jadi berani begini, mending tidak usah kerja lagi!" ancam Wandi kesal. Rasti mencoba mengatur nafas untuk meredam amarah yang memuncak. Kali ini dia tidak boleh memakai perasaan, demi terus bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri. "Aku minta maaf, Mas," kata Rasti mengalah. "Aku hanya kesal karena Mas bilang nggak melakukan apa-apa." "Begini. Kerja di pabrik itu kejar-kejaran dengan waktu. Kalau kamu enak, capek bisa tidur." "Ya, aku minta maaf." "Belikan dulu rokok! Kalau kamu yang beli, mungkin harganya dikurangi." Wandi menyodorkan uang sebesar dua puluh lima ribu. Rasti tahu apa yang dipikirkan suaminya. Untuk kali ini, terpaksa dia harus mengalah dulu. Menyeka air mata yang tumpah, Rasti mengambil uang dari tangan suaminya. "Eh, Mbak Rasti!" sapa Ahmad dengan suara yang sengaja dikeraskan. Arfan yang berada di dalam, sempat berpikir kalau Ahmad berbohong dengan berpura-pura bicara dengan Rasti. "Tumben, Mbak Rasti?" Lagi-lagi Ahmad mengeraskan suaranya. Kali ini Arfan semakin menajamkan pendengarannya. "Beli rokok, Bang. Harganya berapa, ya?" Mendengar suara Rasti, Arfan langsung keluar dan berdiri di samping Ahmad yang senyum-senyum. "Awww!" Tiba-tiba Ahmad meringis saat kakinya sengaja diinjak oleh Arfan. "Kenapa Bang Ahmad?" "Nggak apa-apa, Mbak. Jadi Mbak Rasti nggak tahu harga rokok suaminya berapa?" Rasti menggeleng pelan. "Uangnya berapa?" tanya Arfan. "Dua puluh lima ribu, dapat berapa?" "Sebungkus!" jawab Arfan cepat. "Bener, Bang?" "Iya bener." Buru-buru Arfan mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam etalase. Sepanjang perjalanan pulang, batin Rasti rasa teriris, saat mengetahui harga rokok suaminya yang mahal. Dua kali lipat lebih dari jatahnya belanja seharian. Tiba di rumah Rasti langsung menyerahkannya kepada Wandi dengan perasaan kesal. "Jadi, kamu beli ini dengan harga dua puluh lima ribu, Ras?" tanya Wandi tak percaya. "Iya." "Nggak nambahin uang lagi?" "Nggak." "Besok-besok kamu ajalah yang beli. Benar apa kata Mas, pasti dikorting harganya karena kamu kerja di situ." "Memangnya, Mas biasa beli berapa?" Rasti bertanya kesal. Dua puluh lima ribu saja, baginya sudah cukup besar. "Tiga puluh ribu." "Ya Allah ... itu untuk sehari?" "Iyalah." Sesak kian terasa saat Rasti mengetahui harga sebenarnya. Padahal, entah sudah berapa kali dia dan Faiz menahan keinginan untuk sekadar membeli makanan yang lewat di depan rumah. Setiap kali Rasti meminta, Wandi selalu mengatakan kalau mereka harus berhemat. Kenyataannya rokok pun harus dibeli dengan harga segitu. Sementara itu di warung Ahmad terus saja menggoda Arfan. "Ternyata jatuh cinta itu modalnya besar ya, Fan? Kalau memperkerjakan Mbak Rasti, sih, aku masih nggak masalah, tapi kalau sudah mengurangi harga jual, sudah luar biasa ini namanya!" "Bukan begitu maksud saya, Mat. Melihat sikap dia ke istri dan anaknya, membuat saya malas lihat dia. Saya yakin, dengan mendapat harga segitu, orang itu nggak akan membeli rokok ke sini." "Kamu sebal karena sikapnya atau karena dia suaminya Mbak Rasti? Jangan-jangan, kamu bukan nggak suka dia ke sini, tapi ingin Mbak Rasti yang datang berbelanja." Arfan sebenarnya ingin mengelak, tapi rasanya sia-sia saja. Ahmad memang lebih mengenalnya ketimbang dia mengenal dirinya sendiri. Percuma. Sejak terpuruk karena ditinggal menikah oleh Saskia dua tahun yang lalu, Ahmad baru melihat lagi binar cinta di mata sahabatnya. Sayang, perasaannya jatuh kepada orang yang sudah memiliki pasangan. Kalau saja Ahmad tidak mengetahui kedzholiman Wandi terhadap anak istrinya, mungkin dia takkan. mendukung. "Mat, sudah saya bilang berkali-kali, jangan sembarangan bicara. Kalau didengar warga sini, bukan hanya warung kita yang kena imbasnya, tapi juga Mbak Rasti. Cukup ...." Arfan tidak melanjutkan kalimatnya. "Cukup apa? Cukup aku aja yang tahu kalau kamu suka sama dia? Oke!" Lagi-lagi Ahmad menggodanya. Membuat keduanya terdiam untuk beberapa saat. "Kita nggak tahu doa apa yang dilangitkan Mbak Rasti setiap malam. Mungkin, terselip keinginan supaya suaminya bisa berubah menjadi lebih baik. Untuk saat ini nikmati saja perasaan kamu, Fan. Asal jangan terlalu berharap kalau mereka berdua akan mengambil jalan perpisahan. Satu hal yang pasti, aku berdoa untuk kamu dan Mbak Rasti. Bahagia nggak harus selalu bersama, kan?" Arfan melongo memandang Ahmad yang berkata sangat bijak kali ini. Arfan tahu, perasaannya salah. Dia juga tidak mungkin mendoakan keburukan untuk wanita yang dicintainya. Meski perasaannya tak pernah terbalas sekalipun. "Ngomong-ngomong, Mbak Wita ke mana ya? sudah beberapa hari nggak lihat dia. Kamu lihat, Fan?" tanya Ahmad dengan pandangan mata ke jalan. Mengalihkan Arfan dari pembahasan tadi. "Ah, itu. Saya lupa cerita sama kamu, Mat!" Ahmad langsung menoleh. "Lupa apa?" "Saya lihat Mbak Wita sama laki-laki waktu saya lagi beli ayam tadi." Wajah Ahmad langsung berubah begitu mendengar pengakuan Arfan. Dia memang memiliki banyak harapan kepada pelanggannya itu. "Mungkin kakaknya," kata Ahmad mencoba berpikir positif. "Di-dia manggil laki-laki itu dengan sebutan 'yang'." "Mungkin namanya kuyang?" "Bahagia nggak selalu harus bersama, Mat!" nasihat Arfan. Meledek lebih tepatnya. "Tapi kalau bisa menikung, kenapa nggak?""Rasti!" Langkah Rasti yang baru saja hendak berangkat ke warung, terhenti saat tetangganya datang memanggil. Dialah Mak Saroh, neneknya Zafran."Eh iya, Mak?""Si Faiz, jadi nggak masuk Paud bareng Zafran? Tuh dia udah didaftarin sama si Santi. Kalau dapet bangku sekarang, lumayan Ras, ada subsidi setengah harga."Faiz yang berada di samping Rasti, tersenyum mendengarnya. Dia memang sudah minta sekolah."Waduh, Rasti nggak tahu, Mak. Nanti tanya bapaknya dulu.""Ya udah. Sekarang kamu mau ke mana?""Ke warung sembako yang di depan itu, Mak. Rasti sekarang kerja di sana.""Kerja? Kerja apa?" Dahi Mak Saroh mengkerut tak percaya."Bungkus-bungkusin gula sama terigu, Mak. Apa aja bantu-bantu di sana.""Kurang apa emang, pakai kerja segala? Si Wandi kerja di tempat yang enak. Kalau si Santi sih ketauan nggak punya laki!"Rasti dan Santi memang dekat, karena anak mereka seumuran. Makanya Mak Saroh juga sudah menganggap Rasti seperti anaknya sendiri."Rasti cuma bosen di rumah, Mak. Lagi
Tanpa pikir panjang, Rasti langsung naik ke atas sepeda motor Arfan. Dia tidak lagi memikirkan bagaimana jika bertemu tetangga atau siapapun yang mengenalnya di jalan.Sementara itu, Arfan melajukan motornya dengan cepat. Tanpa bertanya tentang suami Rasti dia bisa menebak sendiri apa yang terjadi. Terlebih, ketika melihat mata perempuan yang disukainya bengkak seperti habis menangis.Tiba di klinik, Faiz langsung diperiksa oleh petugas medis di sana. Wajah panik begitu terlihat, saat Rasti mengetahui anaknya juga sesak napas."Panasnya tinggi dan sesak. Ini sudah dikasih obat?""Sudah, dok, Paracetamol. Tapi ya begitu panasnya naik turun. Anak saya sakit apa, dok? Kenapa dia kesulitan bernapas?" Kepanikan Rasti membuat Arfan yang turut mendengarkan ikut khawatir akan keadaan Faiz."Gejalanya ISPA atau infeksi saluran pernapasan. Di rumah ada yang merokok?'"Ada, dok. Bapaknya."Tanpa penjelasan lebih banyak, dokter jaga
"Bang, biasa, ya! Berasnya lima ribu aja, telur dua butir sama terasi satu. Jadi 8.500 kan?""Aduh, Mbak. Ini telurnya lagi besar-besar. Kalau satuan dua ribu! Jadinya sembilan ribu lima ratus," jawab Ahmad. Dia sedikit kesal karena di antara pembeli lainnya tidak ada yang membeli beras dengan harga lima ribu rupiah. Paling tidak beli seliter yang harganya tak kurang dari sepuluh ribu.Untuk itu, Ahmad harus menggunakan timbangan. Tidak memakai literan.Arfan menyenggol lengan Ahmad. Berharap rekan seperjuangannya di tanah rantau ini tahu apa yang harus dilakukannya. Namun, dengan sengaja, Ahmad malah pura-pura tidak mengerti."Oh, ya udah, Bang. Nggak apa-apa! Jadi kembali lima ratus, ya." Rasti, wanita cantik berbalut jilbab instan lusuh itu memasang wajah kecewa. Namun, apa boleh buat, dua butir telur itu tetap harus dibeli untuk dinikmati anak dan suaminya. Berbeda dengannya yang cukup hanya dengan makan terasi goreng atau kerupuk seribuan.Arfan menundukkan pandangannya. Dia ta
Menyibukkan diri dengan menghitung nota yang terkumpul, Arfan menghindari perkataan Ahmad soal tikung menikung."Fan?" Ahmad masih penasaran dengan respon Arfan."Istri orang, Mat! Kamu mau ibumu ditikung orang?""Lha suaminya modelan begitu, kamu mau ibumu makan terasi tiap hari?" Ahmad tidak mau kalah."Membantu nggak harus menikung juga, Mat! Kamu mau saya jadi perebut istri orang?""Aku sih setuju-setuju aja, Fan. Masalahnya, si Mbak itu suka nggak sama kamu?" kata Ahmad terkekeh, melihat raut serius teman seperjuangannya."Nah, makanya nggak perlu lari ke mana-mana. Cukup bantu. Udah!" Arfan kentara sekali terlihat kikuk."Tapi kok ada ya, wanita sesabar itu? Bertahan hidup dengan makan seadanya, dibawah tekanan suami pelit yang tidak menghargai seorang istri." Ahmad sengaja memancing lagi. "Kamu nggak mau menyelamatkan dia dari suami dzalimnya?""Apa yang harus diselamatkan, Mat. Siapa tahu di rumah dia bahagia.""Mana mungkin bahagia? Suaminya saja tidak menghargai. Dibilang i
"Kerja di sini? Beneran, Bang?" Rasti kembali memastikan. Sudah lama dia menginginkan pekerjaan yang bisa membawa putranya ikut serta. Sayangnya, tidak semua orang berpikiran sama. Beberapa kali Rasti menawarkan jasa cuci gosok, tapi ditolak begitu mengetahui kalau dia membawa anak."Iya, Mbak bisa bantuin kita nimbang terigu atau gula ke dalam plastik sesuai timbangan." Ahmad yang mulai paham, kini aktif kembali."Tapi ... saya minta izin suami dulu. Kalau boleh tahu, saya dapat bayaran berapa? Maaf soalnya takut suami tanya.""Dua puluh lima ribu sehari, bagaimana?" tanya Arfan.Mendengarnya, Ahmad sibuk menyenggol lengan Arfan yang pura-pura tidak menyadarinya. Bagi Ahmad, uang segitu terlalu kecil.Akan tetapi, tidak demikian dengan Rasti. Matanya terlihat berbinar dengan nominal yang disebutkan Arfan."Benar, Mas?""Iya. Mungkin segitu gaji pertama." Arfan menjawab dengan perasaan campur aduk."Tapi Mbak, biar silaturahmi kita nggak terputus—""Saya nggak punya, Mas!" potong Ras
"Ras! Rasti!" Wandi berteriak sambil masuk ke dalam rumah. Sementara Faiz terus meringis kesakitan karena genggaman bapaknya yang begitu kuat sejak menggiringnya dari warung."Kenapa, Mas?""Kamu ajarin apa si Faiz? Masa minta jadi anak yatim?"Rasti sebenarnya ingin tertawa. Begitu mudahnya Wandi tersulut emosi karena tidak mengenal anaknya sendiri."Mas, Faiz itu anak kecil. Umurnya juga baru lima tahun. Dia belum mengerti anak yatim itu apa. Tadi dia memang sempat tanya, tapi belum aku jawab," jelas Rasti melihat amarah yang begitu kentara di wajah suaminya."Ya seharusnya kamu jelaskan. Aku malu gara-gara dia minta jadi anak yatim di warung sembako itu.""Kenapa tidak Mas aja yang ajarkan?"Mengingat suaminya sedang keranjingan game online, hingga kurangnya waktu untuk berinteraksi dengan Faiz. Rasti ingin Wandi lebih dekat dengan putranya."Aku capek. Mau rebahan."Hanya bisa menggelengkan kepala, Rasti menuntun Faiz ke dapur."Makan apa, Bu?""Nasi sama telur. Ada kerupuk juga,
"Eh, iy-iya. Bu-bukannya semua hari itu baik?" Arfan terdengar salah tingkah lagi.Kali ini Ahmad sampai terkekeh meski sudah berusaha menahannya."Bang, beli beras dong!" kata seorang Ibu yang baru datang untuk berbelanja. "Lho, ada Bu Wandi, di sini?"Melirik wanita itu, Arfan merasa terganggu saat memanggil Rasti dengan menyebut nama suaminya. Cemburu lebih tepatnya. Padahal di daerah ini, memang lumrah memanggil istri dengan nama suaminya. "Eh, iya, Bu Angga. Saya kerja di sini.""Kerja?" Wanita itu sempat melongo, tapi buru-buru menyadarinya. "Wah, rajin banget Bu Wandi. Padahal, kan, gaji suaminya sudah besar."Saling melempar pandangan, fokus Arfan dan Ahmad kini tertuju pada wajah Rasti. Wanita itu berusaha tersenyum di balik luka yang disembunyikannya selama ini.Rasti sebenarnya bukan tipe orang yang suka menceritakan masalah rumah tangganya, termasuk pada mertua dan saudara Wandi.Sebagai orang sebatang kara dengan bekal pendidikan yang kurang, Rasti merasa tidak punya tem