Share

Tak Peduli

"Rasti!" Langkah Rasti yang baru saja hendak berangkat ke warung, terhenti saat tetangganya datang memanggil. Dialah Mak Saroh, neneknya Zafran.

"Eh iya, Mak?"

"Si Faiz, jadi nggak masuk Paud bareng Zafran? Tuh dia udah didaftarin sama si Santi. Kalau dapet bangku sekarang, lumayan Ras, ada subsidi setengah harga."

Faiz yang berada di samping Rasti, tersenyum mendengarnya. Dia memang sudah minta sekolah.

"Waduh, Rasti nggak tahu, Mak. Nanti tanya bapaknya dulu."

"Ya udah. Sekarang kamu mau ke mana?"

"Ke warung sembako yang di depan itu, Mak. Rasti sekarang kerja di sana."

"Kerja? Kerja apa?" Dahi Mak Saroh mengkerut tak percaya.

"Bungkus-bungkusin gula sama terigu, Mak. Apa aja bantu-bantu di sana."

"Kurang apa emang, pakai kerja segala? Si Wandi kerja di tempat yang enak. Kalau si Santi sih ketauan nggak punya laki!"

Rasti dan Santi memang dekat, karena anak mereka seumuran. Makanya Mak Saroh juga sudah menganggap Rasti seperti anaknya sendiri.

"Rasti cuma bosen di rumah, Mak. Lagian kalau punya uang sendiri, kan, enak. Mau beli apa-apa nggak harus minta izin."

"Kan, uang bapaknya si Faiz uang kamu juga, Ras. Pakai nggak enakan!"

Rasti tersenyum. Begitu yang orang lain tahu di luar. Kehidupannya seperti terlihat enak dan serba tercukupi.

Tidak ingin terpancing untuk menceritakan masalah rumah tangganya, Rasti memilih pamit pada Mak Saroh dengan alasan mau ke toko.

"Rasti berangkat dulu ya Mak, takut kesiangan. Assalamualaikum!"

"Waalaikumusalam."

Sesampainya di toko, sekarung gula sudah disediakan Ahmad untuk ditimbang menjadi beberapa takaran.

Sementara Arfan, dia langsung keluar setelah mendengar Rasti sudah datang.

"Faiz, mau jajan?"

"Mau."

"Sini ikut, Om!" Daripada grogi di dekat Rasti, Arfan memilih melipir membawa Faiz ke dalam warung. Mendekati Ahmad yang sedang melayani pembeli.

"Kayanya Faiz lemes banget. Sudah sarapan, Mbak?" tanya Arfan.

"Sudah."

"Sarapan apa?" sambung Ahmad.

Arfan langsung menyenggol lengan temannya.m. Dia tidak ingin mendengar pengakuan Rasti seperti kemarin, yang mengatakan hanya makan dengan nasi kepal bertabur garam saja.

"Tadi Ibu bikin nasi goreng," jawab Faiz pelan.

"Ooo ...."

"Ya sudah, ini minum susu kotak aja, ya. Biar Faiz nggak lemas."

Dari dalam, sesekali Arfan melirik Rasti. Sejak memerhatikannya dua bulan lalu, Arfan sampai hapal betul baju daster terusan dan jilbab instan yang dipakai Rasti. Kalau tidak warna cokelat, warna hitam. Pun dengan daster yang warnanya sudah memudar. Seingatnya, Rasti hanya punya tiga corak berbeda yang selalu dikenakannya setiap kali ke warung.

"Mbak, boleh minta nomor handphone? Takut sewaktu-waktu mau menghubungi," tanya Ahmad.

"Saya nggak punya handphone., Bang"

"Ah, jangan bercanda, Mbak. Tahun 2024 bocah pun sudah banyak yang pakai hape."

"Memang kenyataannya begitu, Bang Saya nggak punya handphone."

"Terus kalau saudara menghubungi, bagaimana?" Ahmad masih tak percaya.

"Kan, ada telepon suami."

"Kali suami Mbak mau menghubungi?"

"Ada adik bungsu suami yang nge-kost deket rumah."

"Itu nggak dibolehin pegang hape atau bagaimana?"

"Dulu pernah pakai, tapi rusak terus belum dibeliin lagi."

Ahmad langsung melirik Arfan. Keduanya saling berbicara lewat tatapan mata.

***

"Mas, kapan kasih uang buat daftar Paud Faiz? Kata Mak Saroh, kalau bukan ini dapat subsidi setengah harga," beritahu Rasti pada suaminya.

"Nanti saja. Mas belum pegang uang."

"Memangnya, Mas nggak ada simpanan? Kan, lumayan hemat kalau dapat potongan tiga ratus ribu."

"Ya memang belum ada."

"Tapi selama ini,.kan, kita cukup berhemat, Masa kamu nggak punya tabungan untuk Faiz sekolah?"

"Kebutuhanku banyak, Ras!"

"Kebutuhan apa? Rokok? Atau top up game?" tanya Rasti yang mulai kesal.

"Untuk apa uangnya, kamu nggak perlu ikut campur. Aku yang kerja, aku juga yang berhak menggunakan uang itu."

"Tapi ini untuk sekolah Faiz, Mas. Aku bisa ngalah untuk yang lainnya, tapi aku ingin Faiz bisa sekolah."

Percuma Rasti bicara sampai mulut berbusa. Wandi tetap fokus bermain game tanpa bisa diajak bicara sebagaimana mestinya.

Kesal karena sikap suaminya, Rasti memilih tidur di kamar Faiz.

Akan tetapi, betapa terkejutnya dia saat melihat Faiz seperti mengigil kedinginan. Buru-buru diambilnya obat penurun panas yang ada di kulkasnya.

Ketika hendak mengambil air minum ke dapur, Rasti sempatkan melihat suaminya yang sudah masuk ke dalam kamar. Sudah tidur, rupanya.

"Minum dulu obatnya, Iz!"

Meski dengan mata terpejam, Faiz menurut. Dia duduk dan menunggu suapan paracetamol sirup dari ibunya.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sambil menahan kantuk, Rasti tetap terjaga melihat perkembangan Faiz. Waktu kecil, dia pernah kejang dan inilah yang ditakutkan Rasti bila dia lengah.

Lima belas menit berlalu, tapi suhu tubuh Faiz belum juga turun. Buru-buru Rasti ke kamar untuk membangunkan suaminya.

"Mas, Faiz harus berobat!"

"Aku capek. Besok kerja pagi. Kamu aja sendiri!" kata Wandi tanpa membuka mata sama sekali.

"Mas aku nggak bisa sendirian!"

"Telepon Wita!"

"Dia pasti sudah tidur!" kata Rasti sambil terisak.

Wandi tetap tidak menghiraukan Rasti meski mendengar tangisannya sekalipun.

"Baik, Mas. Kamu nggak peduli sama aku, boleh. Tapi kalau kamu nggak peduli sama Faiz, aku nyerah!"

Wandi tak menghiraukan ultimatum yang diberikan Rasti. Dia cuek saja sambil menarik selimutnya.

Jarak ke klinik dari rumah memang tidak begitu jauh. Tapi untuk sampai ke sana, Rasti harus menggendong Faiz dan berjalan kaki sekitar dua ratus meter lebih.

Perasaan khawatir terhadap keadaan Faiz, bersamaan dengan amarah yang memuncak. Digendongnya sang anak menggunakan kain jarik sambil mengambil kartu BPJS dari dalam dompet.

Dalam hati dia terus mengancam Wandi yang semakin menguji kesabarannya.

Dengan langkah cepat, Rasti menggendong Faiz Tanpa terasa air matanya jatuh meratapi nasibnya.

Wandi, lelaki yang dulu menjanjikan banyak hal saat melamarnya, sekarang malah menjadi laki-laki yang menyia-nyiakan anak dan istri.

"Kuat ya, Iz. Ibu janji akan membahagiakan Faiz dengan cara apapun!" Rasti terus berbicara dengan dirinya sendiri sambil mempercepat langkahnya, seolah memberi kekuatan untuk mengatasi perasaannya. Namun, semuanya terhenti kala sebuah sepeda motor berhenti memotong jalannya.

"Naik, Mbak. Biar saya antar," kata Arfan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status