Share

Tak Peduli

Author: Mommy Alkai
last update Last Updated: 2024-10-24 06:33:57

"Rasti!" Langkah Rasti yang baru saja hendak berangkat ke warung, terhenti saat tetangganya datang memanggil. Dialah Mak Saroh, neneknya Zafran.

"Eh iya, Mak?"

"Si Faiz, jadi nggak masuk Paud bareng Zafran? Tuh dia udah didaftarin sama si Santi. Kalau dapet bangku sekarang, lumayan Ras, ada subsidi setengah harga."

Faiz yang berada di samping Rasti, tersenyum mendengarnya. Dia memang sudah minta sekolah.

"Waduh, Rasti nggak tahu, Mak. Nanti tanya bapaknya dulu."

"Ya udah. Sekarang kamu mau ke mana?"

"Ke warung sembako yang di depan itu, Mak. Rasti sekarang kerja di sana."

"Kerja? Kerja apa?" Dahi Mak Saroh mengkerut tak percaya.

"Bungkus-bungkusin gula sama terigu, Mak. Apa aja bantu-bantu di sana."

"Kurang apa emang, pakai kerja segala? Si Wandi kerja di tempat yang enak. Kalau si Santi sih ketauan nggak punya laki!"

Rasti dan Santi memang dekat, karena anak mereka seumuran. Makanya Mak Saroh juga sudah menganggap Rasti seperti anaknya sendiri.

"Rasti cuma bosen di rumah, Mak. Lagian kalau punya uang sendiri, kan, enak. Mau beli apa-apa nggak harus minta izin."

"Kan, uang bapaknya si Faiz uang kamu juga, Ras. Pakai nggak enakan!"

Rasti tersenyum. Begitu yang orang lain tahu di luar. Kehidupannya seperti terlihat enak dan serba tercukupi.

Tidak ingin terpancing untuk menceritakan masalah rumah tangganya, Rasti memilih pamit pada Mak Saroh dengan alasan mau ke toko.

"Rasti berangkat dulu ya Mak, takut kesiangan. Assalamualaikum!"

"Waalaikumusalam."

Sesampainya di toko, sekarung gula sudah disediakan Ahmad untuk ditimbang menjadi beberapa takaran.

Sementara Arfan, dia langsung keluar setelah mendengar Rasti sudah datang.

"Faiz, mau jajan?"

"Mau."

"Sini ikut, Om!" Daripada grogi di dekat Rasti, Arfan memilih melipir membawa Faiz ke dalam warung. Mendekati Ahmad yang sedang melayani pembeli.

"Kayanya Faiz lemes banget. Sudah sarapan, Mbak?" tanya Arfan.

"Sudah."

"Sarapan apa?" sambung Ahmad.

Arfan langsung menyenggol lengan temannya.m. Dia tidak ingin mendengar pengakuan Rasti seperti kemarin, yang mengatakan hanya makan dengan nasi kepal bertabur garam saja.

"Tadi Ibu bikin nasi goreng," jawab Faiz pelan.

"Ooo ...."

"Ya sudah, ini minum susu kotak aja, ya. Biar Faiz nggak lemas."

Dari dalam, sesekali Arfan melirik Rasti. Sejak memerhatikannya dua bulan lalu, Arfan sampai hapal betul baju daster terusan dan jilbab instan yang dipakai Rasti. Kalau tidak warna cokelat, warna hitam. Pun dengan daster yang warnanya sudah memudar. Seingatnya, Rasti hanya punya tiga corak berbeda yang selalu dikenakannya setiap kali ke warung.

"Mbak, boleh minta nomor handphone? Takut sewaktu-waktu mau menghubungi," tanya Ahmad.

"Saya nggak punya handphone., Bang"

"Ah, jangan bercanda, Mbak. Tahun 2024 bocah pun sudah banyak yang pakai hape."

"Memang kenyataannya begitu, Bang Saya nggak punya handphone."

"Terus kalau saudara menghubungi, bagaimana?" Ahmad masih tak percaya.

"Kan, ada telepon suami."

"Kali suami Mbak mau menghubungi?"

"Ada adik bungsu suami yang nge-kost deket rumah."

"Itu nggak dibolehin pegang hape atau bagaimana?"

"Dulu pernah pakai, tapi rusak terus belum dibeliin lagi."

Ahmad langsung melirik Arfan. Keduanya saling berbicara lewat tatapan mata.

***

"Mas, kapan kasih uang buat daftar Paud Faiz? Kata Mak Saroh, kalau bukan ini dapat subsidi setengah harga," beritahu Rasti pada suaminya.

"Nanti saja. Mas belum pegang uang."

"Memangnya, Mas nggak ada simpanan? Kan, lumayan hemat kalau dapat potongan tiga ratus ribu."

"Ya memang belum ada."

"Tapi selama ini,.kan, kita cukup berhemat, Masa kamu nggak punya tabungan untuk Faiz sekolah?"

"Kebutuhanku banyak, Ras!"

"Kebutuhan apa? Rokok? Atau top up game?" tanya Rasti yang mulai kesal.

"Untuk apa uangnya, kamu nggak perlu ikut campur. Aku yang kerja, aku juga yang berhak menggunakan uang itu."

"Tapi ini untuk sekolah Faiz, Mas. Aku bisa ngalah untuk yang lainnya, tapi aku ingin Faiz bisa sekolah."

Percuma Rasti bicara sampai mulut berbusa. Wandi tetap fokus bermain game tanpa bisa diajak bicara sebagaimana mestinya.

Kesal karena sikap suaminya, Rasti memilih tidur di kamar Faiz.

Akan tetapi, betapa terkejutnya dia saat melihat Faiz seperti mengigil kedinginan. Buru-buru diambilnya obat penurun panas yang ada di kulkasnya.

Ketika hendak mengambil air minum ke dapur, Rasti sempatkan melihat suaminya yang sudah masuk ke dalam kamar. Sudah tidur, rupanya.

"Minum dulu obatnya, Iz!"

Meski dengan mata terpejam, Faiz menurut. Dia duduk dan menunggu suapan paracetamol sirup dari ibunya.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sambil menahan kantuk, Rasti tetap terjaga melihat perkembangan Faiz. Waktu kecil, dia pernah kejang dan inilah yang ditakutkan Rasti bila dia lengah.

Lima belas menit berlalu, tapi suhu tubuh Faiz belum juga turun. Buru-buru Rasti ke kamar untuk membangunkan suaminya.

"Mas, Faiz harus berobat!"

"Aku capek. Besok kerja pagi. Kamu aja sendiri!" kata Wandi tanpa membuka mata sama sekali.

"Mas aku nggak bisa sendirian!"

"Telepon Wita!"

"Dia pasti sudah tidur!" kata Rasti sambil terisak.

Wandi tetap tidak menghiraukan Rasti meski mendengar tangisannya sekalipun.

"Baik, Mas. Kamu nggak peduli sama aku, boleh. Tapi kalau kamu nggak peduli sama Faiz, aku nyerah!"

Wandi tak menghiraukan ultimatum yang diberikan Rasti. Dia cuek saja sambil menarik selimutnya.

Jarak ke klinik dari rumah memang tidak begitu jauh. Tapi untuk sampai ke sana, Rasti harus menggendong Faiz dan berjalan kaki sekitar dua ratus meter lebih.

Perasaan khawatir terhadap keadaan Faiz, bersamaan dengan amarah yang memuncak. Digendongnya sang anak menggunakan kain jarik sambil mengambil kartu BPJS dari dalam dompet.

Dalam hati dia terus mengancam Wandi yang semakin menguji kesabarannya.

Dengan langkah cepat, Rasti menggendong Faiz Tanpa terasa air matanya jatuh meratapi nasibnya.

Wandi, lelaki yang dulu menjanjikan banyak hal saat melamarnya, sekarang malah menjadi laki-laki yang menyia-nyiakan anak dan istri.

"Kuat ya, Iz. Ibu janji akan membahagiakan Faiz dengan cara apapun!" Rasti terus berbicara dengan dirinya sendiri sambil mempercepat langkahnya, seolah memberi kekuatan untuk mengatasi perasaannya. Namun, semuanya terhenti kala sebuah sepeda motor berhenti memotong jalannya.

"Naik, Mbak. Biar saya antar," kata Arfan.

Related chapters

  • BERAS LIMA RIBU   PERHATIAN

    Tanpa pikir panjang, Rasti langsung naik ke atas sepeda motor Arfan. Dia tidak lagi memikirkan bagaimana jika bertemu tetangga atau siapapun yang mengenalnya di jalan.Sementara itu, Arfan melajukan motornya dengan cepat. Tanpa bertanya tentang suami Rasti dia bisa menebak sendiri apa yang terjadi. Terlebih, ketika melihat mata perempuan yang disukainya bengkak seperti habis menangis.Tiba di klinik, Faiz langsung diperiksa oleh petugas medis di sana. Wajah panik begitu terlihat, saat Rasti mengetahui anaknya juga sesak napas."Panasnya tinggi dan sesak. Ini sudah dikasih obat?""Sudah, dok, Paracetamol. Tapi ya begitu panasnya naik turun. Anak saya sakit apa, dok? Kenapa dia kesulitan bernapas?" Kepanikan Rasti membuat Arfan yang turut mendengarkan ikut khawatir akan keadaan Faiz."Gejalanya ISPA atau infeksi saluran pernapasan. Di rumah ada yang merokok?'"Ada, dok. Bapaknya."Tanpa penjelasan lebih banyak, dokter jaga

    Last Updated : 2024-11-07
  • BERAS LIMA RIBU   PERGI DARI RUMAH

    "Jadi sampai jam dua malam suaminya juga nggak datang, Fan?" tanya Ahmad gemas.Arfan menggeleng cepat."Berapa kamu kasih dia uang?""Belum kuhitung sisa uangnya.""Kenapa nggak kamu kasih semua, Fan?"Mata Ahmad menerawang. Meski sering ceplas-ceplos, dia adalah orang yang cukup perasa."Takutnya kalau kebanyakan dia nggak mau terima. Itupun sudah nolak," alasnya sambil bersiap pergi lagi."Kamu mau ke ATM lagi?""Ya.""Jangan lupa belikan dia sarapan!"Arfan mendelik sinis mendengar perhatian yang diberikan Ahmad untuk Rasti."Hanya mengingatkan, Fan. Tidak perlu cemburu!" goda Ahmad setelah melihat perubahan pada raut wajah temannya.Arfan pergi menggunakan sepeda motornya untuk kembali mengambil uang. Karena uangnya kurang dan mereka sudah janjian dengan tukang etalase yang akan datang jam sepuluh pagi.Namun, lagi-lagi Arfan dibuat terkejut saat melihat Rasti berjala

    Last Updated : 2024-11-08
  • BERAS LIMA RIBU   PERASAAN WITA

    Meninggalkan Faiz yang masih tidur pulas karena pengaruh obat, Rasti pergi ke gang belakang rumahnya. Di sanalah, Wita, adik iparnya tinggal di kontrakan petakan."Mbak, tumben. Ada apa?" tanya Wita yang juga baru pulang dari bekerja. Dia terkejut melihat Rasti datang tergopoh-gopoh dengan mata yang sembab.Dengan sedikit menekan suaranya, Rasti mencoba menjelaskan semuanya pada Wita. Tentu saja, adik kandung Wandi itu merasa geram dengan perilaku kakaknya.Wita, sudah hampir dua tahun tinggal di sini. Dia bekerja di pabrik sabun yang sama dengan Wandi, meski beda bagian.Dulu, sewaktu ibunya meninggal dunia dan ayahnya menikah lagi, Wita sempat tinggal serumah dengan Wandi dan Rasti. Seiring berjalannya waktu, dia lebih memilih tinggal di kontrakan dan hidup mandiri."Mbak kenapa nggak cerita kalau Mas Wandi masih perhitungan begitu?" sesal Wita sambil menatap iba kakak iparnya."Walau bagaimanapun, dia tetap suami Mbak. Dan ngg

    Last Updated : 2024-11-08
  • BERAS LIMA RIBU   Adik Ipar

    Pagi ini, Wandi menyiapkan keperluannya sendiri. Dia begitu kelimpungan saat menyadari seragam kerjanya tidak ada di tempat biasa Rasti menggantungnya.Berjalan ke dapur, dia juga berencana untuk membuat kopi. Sayang, gulanya habis.Matanya lalu menangkap setumpuk cucian piring kotor di atas wastafel. Ada beberapa gelas bekas kopi, juga mangkuk bekas semalam dia membeli kwetiau rebus. Aroma yang tidak sedap menguar dari sana dan membuat indera penciumannya merasa terganggu.Tak sampai di situ, kesabaran Wandi diuji saat dia hendak menuangkan air putih dari dalam teko sebagai penggantinya minum kopi. Kosong. Tidak ada setetes air pun di sana.Karena Wandi tak pernah memberi uang untuk membeli air kemasan galon, Rasti menyiasatinya dengan memasak air sepanci besar untuk seharian. Tapi pagi ini, tak ada lagi yang tersisa.Emosi Wandi memuncak. Dia mengambil ponselnya dan menghubungi Wita untuk meminta berbi

    Last Updated : 2024-11-09
  • BERAS LIMA RIBU   Sosok Pengganti

    Rasti mengangguk sambil tersenyum. Begitu juga dengan Arfan."Iya, ini adik saya. Cantik, ya?'"Cantik, Mbak ...." Ahmad menjawab datar. Sementara Arfan diam saja."Sebentar lagi selesai, Wit. Kamu màu nunggu atau pulang?"Wita melirik Arfan yang menunduk sambil menyibukan diri. Sikap dingin seperti inilah yang membuat Wita canggung sekaligus penasaran."Aku pulang aja, Mbak. Sekalian mau nyiapin baju kerja," putusnya. Setelah itu dia mengucapkan salam dan meninggalkan warung."Kangkung kamu, Fan!' sungut Ahmad kesal.Sontak hal itu membuat Rasti menoleh ke arah mereka berdua."Apa itu, Bang?'"Tukang tikung!" jawab Ahmad judes.Tak ayal, Rasti tergelak. Arfan juga."Aku udah lama naksir Wita. Kenapa salamnya buat dia?" Telunjuk Ahmad menunjuk Arfan yang masih tak mampu menahan tawanya."Oh ... jadi Bang Ahmad su

    Last Updated : 2024-11-10
  • BERAS LIMA RIBU   Ternyata Benar

    "Assalamualaikum!""Waalaikumusalam ....""Lemes banget, Mbak? Sudah sarapan?""Sudah Bang Ahmad.""Iz, sini!" Arfan memanggil Faiz dan mengajaknya ke dalam. Tak lama berselang, mereka kembali datang dengan mobil mainan remote control di tangan Faiz."Ya Allah, Bang. Bagus sekali ... punya siapa itu?""Punya Faiz, sengaja saya beli biar dia nggak bosan main di sini.""Jadi ngerepotin, Bang. Itu pasti mahal?""Nggak, kok. Faiz seneng, nggak?" Arfan bertanya sambil berjongkok dihadapan Faiz.Bocah kecil itu mengangguk sambil terus memutar-mutar mainan barunya."Ini belum nyala, Iz. Kita pasang baterai dulu, ya."Faiz mengangguk lagi. Dia benar-benar kebingungan karena selama ini tidak pernah memiliki mainan sebagus itu.Arfan kemudian mengambil beberapa baterai di dalam etalase kaca dan kembali untuk memasangnya. S

    Last Updated : 2024-11-11
  • BERAS LIMA RIBU   Tanggung jawab yang tertukar

    Ada sebuah rasa yang tidak bisa Rasti ungkapkan begitu mendengar tetangganya bilang begitu. Ternyata kebersamaan mereka bukan hanya omong kosong. Wandi begitu serius menjalin hubungan dengan Santi."Oh ....""Kok biasa saja? Mbak Rasti beneran udahan sama bapaknya Faiz?"Tampaknya tak mungkin lagi Rasti menutupi semuanya, kalau Wandi sendiri sudah terang-terangan dengan pasangan barunya."Iya, Bu," jawabnya lirih."Sudah resmi?" Yang lain ikut terkejut mendengarnya."Be-belum.""Kok sudah berani bawa mamanya Zafran ke rumah? Aduh ... kalau saya jadi Mbak Rasti , udah saya labrak itu!""Maaf Bu. Mereka berhubungan setelah kami berpisah ...." Meski di dalam hatinya, Rasti meragukan hal ini."Mbak, sudah disakiti kok masih membela, sih?" pancing yang lainnya lagi.Tidak ingin terjebak semakin jauh dalam perbincangan ini, Rasti memilih mundur d

    Last Updated : 2024-11-12
  • BERAS LIMA RIBU   Penasaran

    Berusaha menghibur diri, Rasti mencoba berpikir positif kalau Wandi mungkin saja tengah menyejahterakan Zafran karena dia anak yatim.Setelah berpamitan dengan Mak Saroh, kembali dia menggandeng tangan Faiz untuk melanjutkan perjalanannya ke warung yang berjarak sekitar tiga ratus meter dari kontrakan Wita.Walaupun hanya diam sambil terus melihat Zafran, Rasti yakin, Faiz bisa mencerna apa yang dikatakan Mak Saroh tadi.Namun sesampainya di sana, suasana warung terasa lebih ramai. Rupanya Arfan tengah mengobrol dengan seseorang di dalam. Seorang wanita."Bang Ahmad, nggak bilang kalau lagi ada tamu?" gumam Rasti sambil melongok sedikit ke arah pintu yang terbuka lebar."Itu ibunya Arfan. Ibuku juga ada, tapi lagi di tempat Bang Abdul. Baru datang, semalam dijemput di bandara.""Oh, lagi berkunjung ya?""Iya, kan sebentar lagi istrinya Bang Abdul mau melahirkan. Kemarin sudah

    Last Updated : 2024-11-13

Latest chapter

  • BERAS LIMA RIBU   RENCANA AHMAD

    "Ah itu ... Rasti cuma kepikiran siapa yang gantiin Ibu popok. Bukannya Ibu nggak nyaman kalau nggak sering-sering ganti?""Memang ... tapi kan, jadi menyita banyak waktu kamu?""Nggak masalah, selagi saya bisa. Cuma ya gitu, Rasti nggak bisa datang tepat waktu, Bu."Mata Sulastri mengembun. Segenap penyesalan menghampirinya. Bagaimana dia tidak bisa merasakan ketulusan Rasti?"Nanti kalau mau ke sini lagi, telepon Arfan saja.""Nggak perlu, Bu. Saya masih bisa sendiri. Kasihan kalau Bang Arfan harus ninggalin toko terus-terusan," kata Rasti sambil mulai membuka pakaian Sulastri. Tanpa sungkan, apalagi merasa jijik."Ibu juga nggak nyangka sama mereka berdua. Toko ini makin ramai setiap harinya. Mungkin, keduanya sudah butuh karyawan baru.""Di sini kan, nggak ada agen, Bu. Dan toko ini membedakan harga ecer dengan harga rencengan. Jadi pembeli yang mau selisih harga, pasti lebih memilih ke sini.""Ya, Ibu nggak ngerti soal begituan. Kamu juga. Katanya, laundryan kamu sekarang makin m

  • BERAS LIMA RIBU   PERHATIAN RASTI

    "Sudah jam berapa, Fan?" tanya Sulastri dengan wajah gelisah. Seperti sedang menunggu seseorang."Baru jam sepuluh, Bu. Ada apa?""Nggak apa-apa."Seingat Arfan, ini sudah ketiga kalinya Sulastri bertanya mengenai waktu Dan setiap ditanya kenapa, jawabannya juga selalu sama.Saat ini, Arfan begitu yakin kalau ibunya sedang menunggu kedatangan Rasti. Mungkin karena melihat ketulusan wanita itu saat mengurusnya tadi pikirannya berubah. Begitu dugaannya.Ada segelintir perasaan bahagia yang menghampiri Arfan. Mungkinkah ibunya akan segera merestui hubungannya dengan Rasti?"Ibu mau ke kamar mandi?" Arfan kembali bertanya untuk memastikan. Khawatir ibunya ingin buang air dan menunggu Rasti membantunya."Nggak, Fan ....""Terus, kenapa Ibu gelisah begitu?" Arfan makin penasaran dan berharap ibunya memberi jawaban sesuai harapannya."Nggak apa-apa.""Arfan sudah dapat nomor yayasan yang biasa menyalurkan ART untuk merawat lansia. Cuma masih dua hari lagi mungkin." Arfan kembali memancing p

  • BERAS LIMA RIBU   PENGORBANAN RASTI

    "Bang, jadi saat ini kita pacaran?""Terserah Dik Wita mau menyebutnya apa. Abang masih nggak percaya semua ini bisa terjadi dengan cepat.""Ya ampun, Bang. Wita juga nggak sesempurna yang Abang bayangin. Banyak kekurangan aku yang mungkin bikin Abang kaget nanti.""Apa?""Aku nggak pinter masak!""Abang cari pendamping, Dik, bukan cari tukang masak!""Yakin?""Serius.""Eh, bentar! Kata Mbak Rasti, Abang aktifin handphonenya!""Habis baterai. Kenapa memang?""Katanya, ibunya Bang Arfan jatuh di kamar mandi. Sekarang masih di klinik.""Inalillahi wa innailaihi rojiun ... terus, Mbak Rasti bilang apalagi? Keadaannya bagaimana?""Tadi masih diperiksa, Bang. Coba telepon Bang Arfan.""Kamu punya nomornya?""Nggak. Kan bisa minta sama Mbak Rasti.""Jangan!""Kenapa?""Abang takut kamu berubah pikiran.""Abang ... !!! Sini lihat mata aku! Aku tuh udah nggak naksir lagi sama Bang Arfan. Masa mikir gitu, sih?""Abang cemburu karena merasa jauh kalau dibandingkan sama Arfan.""Masya Allah Aba

  • BERAS LIMA RIBU   SIKAP BERBEDA

    lMenggigit ujung bibirnya, Rasti kebingungan harus menjawab apa. Haruskah mengatakan kalau dia juga merasa sangat kehilangan?Hanya dengan mengambil banyak orderan, dia bisa sedikit mengalihkan perasaan itu. Meski di dalam dirinya masih merasa hampa."Biasa saja," jawabnya berbohong. Bagaimanapun juga, Sulastri belum memberi restu. Dan Rasti tidak ingin jawabannya menyisakan harapan untuk Arfan."Nggak masalah."Rasti menoleh cepat. Kenapa Arfan merespon begitu?"Nggak masalah kalau saat ini kamu merasa biasa saja. Saya akan menunggu sampai kamu merindukan saya. Entah kapan.""Ka-kalau tidak pernah?""Tidak apa-apa. Saya akan terus menikmati perasaan ini. Anggap saja kamu masih bersama dia. Tak bisa digapai!" kata Arfan melebarkan senyumnya.Rasti bergeming. Kehabisan kata-kata untuk menanggapi pengakuan Arfan barusan. Padahal, dia sudah berusaha memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan isi hatinya."Jangan anggap pengakuan saya menjadi beban buat kamu sampai harus menghindar begi

  • BERAS LIMA RIBU   KEPUTUSAN AHMAD

    Pernyataan Faiz membuat Wandi terkejut bukan main. Matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang masih menyisakan rasa di dalam hatinya."Jadi kalian mau menikah? Kapan?" Wandi masih memburu pertanyaan dengan mata melotot tajam. Seolah tak peduli ada Santi dan Mak Saroh di samping kanan dan kirinya. Juga tetamu yang mungkin saja mendengarnya.Rasti tidak menjawab. Dia membiarkan saja Wandi bergelut penuh teka-teki. Meski selintas rasa tak enak pada Arfan yang berada di sampingnya."Doakan saja!" Arfan menimpali meski tak kuasa menahan tawa melihat ekspresi Wandi."Kalau kalian sampai menikah, aku akan ambil Faiz untuk tinggal sama kami!" ancam Wandi dengan emosi yang semakin menjadi-jadi. Entah apa yang membuatnya jadi marah begitu."Apakah ini sebuah ancaman, Mas? Kamu kan, sudah hidup bahagia dengan Santi. Kenapa harus mencampuri urusanku lagi?" Rasti tak mau kalah. Wandi sendiri yang membuatnya berubah menjadi perempuan kuat dan tidak menerima begitu saja perlakuan buruk yang men

  • BERAS LIMA RIBU   PENOLAKAN WANDI

    "Di sini?" Rasti menatap ke sekeliling. Syukurlah, mereka semua paham situasi. Satu persatu beranjak pergi menuju meja prasmanan supaya Rasti dan Arfan bisa bicara."Di mana lagi selain di sini? Kamu selalu menghindar belakangan ini," ceplos Arfan tak sabar melihat wanita yang dicintai kini ada di hadapannya.Wita yang datang menghampiri untuk mengajak mereka makan, justru mendengar perkataan Arfan. Dia bisa membaca situasi dan langsung menggandeng Faiz pergi ke tempat es krim, diikuti Ahmad yang mengekor di belakangnya."Bang Ahmad mau juga?" tawar Wita yang berbalik badan ketika menyadari Ahmad mengikutinya."Bo-boleh ...," jawab Ahmad gugup setelah 'tertangkap basah'.Wita lalu berjalan lebih dulu dan meminta tiga cup es krim untuk mereka. Setelah itu, baru kembali pada Ahmad dan Faiz."Bang, sebenarnya aku mau hubungin Bang Ahmad. Tapi malu, takut ganggu!" kata Wita jujur, sambil menyerahkan satu cup es krim pada lelaki yang wajahnya terlihat sangat gugup itu."Lho kenapa harus m

  • BERAS LIMA RIBU   BERTEMU LAGI

    "Nggak tahulah, Mbak. Aku belum ada rasa.""Lebih baik dicintai daripada mencintai. Mbak yakin, Bang Ahmad orang yang baik."Semenjak mengetahui nomor teleponnya, Ahmad memang selalu mengirim pesan untuk sekadar memberi perhatian. Namun, Wita masih mengabaikannya begitu saja. Takut menghadirkan harapan palsu."Mbak, kenapa nggak diganti motor aja sih sepedanya? Kan lebih enak. Nggak capek juga." Wita mencoba mengalihkan. Begitu setiap kali membicarakan tentang Ahmad."Kamu kaya Bu Zaenal saja. Pasti nyuruh Mbak buat ganti motor terus. Mbak kan, nggak bisa naik motor, Wit!" "Belajarlah, Mbak! Aku kasihan lihatnya kalau lagi banyak kirim barang! Lagipula, kan lebih hemat waktu, Mbak. Kalau pakai motor jauh lebih cepat.""Nantilah Mbak pikir dulu. Tabungannya juga belum cukup untuk membeli motor. Mbak ada rencana mau sewa kios kecil di ujung jalan situ.""Wah ... makin besar usahanya, Mbak!""Alhamdulillah ... ini bisa juga jadi semangat juga supaya kamu nggak terlalu terpuruk karena la

  • BERAS LIMA RIBU   TAWARAN GILA

    "Coba lihat, Fan! Ini bukannya mantan suami Mbak Rasti ya?" kata Ahmad sambil menyerahkan undangan pernikahan yang baru saja dibagikan ketua RT."Iya." Arfan menjawab datar tanpa menoleh sedikitpun dari nota-nota yang dia kerjakan."Kira-kira Mbak Rasti bakal datang nggak ya? Kangen juga aku sama si Faiz."Mendengar Ahmad menyebut nama Faiz dan Rasti, mata Arfan mengembun. Ada rindu yang tak bisa dia ungkapkan saat ini.Meski Rasti berjanji akan main ke toko, nyatanya malah selalu menghindar setiap kali Arfan datang. Selalu saja pemilik kontrakan mengatakan Rasti sedang mengantar cucian atau pergi keluar.Ketika Arfan berinisiatif menemuinya di tempat Faiz bersekolah, pun tak ditemuinya Katanya, Faiz tak lagi bersekolah di sana.Arfan mundur perlahan. Bukan ingin menyerah, dia hanya takut keberadaannya menjadi beban untuk wanita yang dia cintai. Karena sampai saat ini juga, Arfan belum mengetahui perasaan Rasti terhadapnya. Apakah Rasti merasa terganggu oleh kehadirannya?Apakah wani

  • BERAS LIMA RIBU   UNDANGAN PERNIKAHAN

    "Bang, nggak bisa seperti ini!" Rasti masih terus berusaha, hingga dia menangkap Arfan mengedipkan matanya memberi isyarat pada Faiz.Kali ini Rasti tak boleh terkecoh. Dia harus terus berusaha menguatkan hatinya agar tidak terjebak perasaan yang semakin dalam."Faiz ke kamar lagi, ya? Nanti beli makanan sama Ibu," bujuk Rasti. Meski dia sebenarnya tak sampai hati melihat kekecewaan di wajah putranya.Meskipun menyukai Arfan, Faiz lebih mencintai ibunya. Dengan patuh, dia masuk ke dalam lagi dengan wajah ditekuk."Bang, saya belum resmi diceraikan. Ada banyak hal yang harus saya persiapkan untuk menerima semua ini. Tolong, untuk saat ini biarkan saya memilih jalan sendiri," pinta Rasti dengan suara tertahan. Bukan itu saja, dia juga mati-matian, berusaha mencegah airmatanya jatuh."Tapi kamu nggak harus berhenti kerja di toko, kan? Bersikap biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa.""Sedikit banyak, Abang tahu bagaimana saya selalu direndahkan karena hanya lulusan SD. Saya punya impia

DMCA.com Protection Status