"Ras! Rasti!" Wandi berteriak sambil masuk ke dalam rumah. Sementara Faiz terus meringis kesakitan karena genggaman bapaknya yang begitu kuat sejak menggiringnya dari warung.
"Kenapa, Mas?" "Kamu ajarin apa si Faiz? Masa minta jadi anak yatim?" Rasti sebenarnya ingin tertawa. Begitu mudahnya Wandi tersulut emosi karena tidak mengenal anaknya sendiri. "Mas, Faiz itu anak kecil. Umurnya juga baru lima tahun. Dia belum mengerti anak yatim itu apa. Tadi dia memang sempat tanya, tapi belum aku jawab," jelas Rasti melihat amarah yang begitu kentara di wajah suaminya. "Ya seharusnya kamu jelaskan. Aku malu gara-gara dia minta jadi anak yatim di warung sembako itu." "Kenapa tidak Mas aja yang ajarkan?" Mengingat suaminya sedang keranjingan game online, hingga kurangnya waktu untuk berinteraksi dengan Faiz. Rasti ingin Wandi lebih dekat dengan putranya. "Aku capek. Mau rebahan." Hanya bisa menggelengkan kepala, Rasti menuntun Faiz ke dapur. "Makan apa, Bu?" "Nasi sama telur. Ada kerupuk juga, mau?" "Aku kerupuk aja. Nggak mau makan telur." "Tumben?" "Sebenarnya aku mau ayam goreng tepung. Tadi Zafran dapat juga." Air mata Rasti seakan berlomba-lomba untuk turun. Dia tahu apa yang dirasakan putra semata wayangnya. Pasti bosan karena tiap hari hanya makan itu-itu saja. Sebenarnya Rasti ingin memasak sayur atau lauk lainnya. Tapi uangnya tidak akan cukup untuk sekadar membeli bumbu. Hanya telur yang praktis dan hemat minyak goreng. Selain itu tak perlu memakai bumbu lain karena sudah enak meski hanya ditaburi garam. Dulu, saat dia masih kecil dan tinggal bersama almarhum neneknya, Rasti sering mendambakan makanan enak yang tak sanggup dibeli sang nenek. Kini, dia tak menyangka kalau putranya akan merasakan kesusahan juga. Meski seharusnya tak perlu merasakan kalau saja Wandi memberinya uang belanja lebih banyak. "Nanti kita beli ya, Iz. Besok Ibu kerja di warung itu. Nanti Faiz ikut ya?" "Ibu janji?" "Janji, Nak." Kali ini Rasti tak kuasa menahan air matanya. Untuk sekadar makan enak, Faiz harus menunggu begitu lama. *** Besoknya, setelah berbenah rumah, Rasti datang ke warung untuk bekerja. Sesuai perjanjian, dia datang jam delapan dan akan kembali ke rumah sebelum Dzuhur. Arfan yang lupa kalau hari ini Rasti mulai bekerja, terlihat kikuk saat wanita itu datang. "Bang Ahmad-nya ke mana, Bang?" "Eh, i-itu ... a-anu—. Lagi nyuci." "Oh ... saya kerjain yang mana dulu?" Menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Arfan semakin bingung kala harus berdekatan dengan Rasti. "Sudah sarapan, Iz?" Sebuah pertanyaan yang mampu mengalihkan rasa gugupnya. "Sudah, Om." "Makan apa?" Rasti memejamkan mata. Berharap Faiz tidak akan mengatakannya dengan jujur. "Makan nasi kepel pakai garam." "Lho, nggak pakai telur?" "Kata Ibu buat nanti siang telurnya." Arfan menelan ludah. Bahkan di usianya yang sudah kepala tiga, dia tidak pernah makan nasi hanya dengan garam saja. "Tapi nanti Ibu janji mau beli ayam goreng." "Ssst!" Rasti menempelkan telunjuk di bibirnya. "Nggak apa-apa, Mbak. Namanya juga anak kecil." "Ini plastiknya di mana,Bang?" "Oh, ya. Bentar saya ambilin." "Ini." "Ehm, ehm." Ahmad keluar sambil berdehem melihat Arfan salah tingkah. Bahkan, dahinya sampai berkeringat. "Habis nyuci, Bang?" "Iya, Mbak. Kirain belum datang." "Baru sampai, kok. Oya, satu ukuran bikin berapa banyak?" "Masing-masing dua puluh, Mbak. Biasanya ngepas." "Iz, sini! Mau ini nggak?" tanya Arfan sambil menyodorkan es krim yang kemarin diinginkan Faiz. "Mau Om, tapi ... Faiz tanya Ibu dulu." "Boleh, kok sama Ibu. Ini kan, gratis. Karena Ibu kerja di sini," serobot Ahmad. Faiz tidak yakin. Dia kembali berputar dan menemui Rasti. "Boleh, Bu?" "Boleh, nanti Ibu bayar." "Kata Om-nya gratis." "Di sini gratis buat Faiz. Kalau mau apa-apa, bilang saja," sela Ahmad. Faiz kembali menatap Ibunya untuk kembali memastikan. Bagi Faiz yang terbiasa jajan seribu rupiah sehari, es krim ini adalah sesuatu yang luar biasa. "Terima kasih, Om." "Makan di luar pagar, ya. Biar nggak netes ke lantai," suruh Rasti. "Di sini juga nggak apa-apa, Mbak. Di luar banyak debu. Nanti kalau netes, biar di pel sama Om Ahmad," kata Arfan. Yang disebut langsung menoleh. "Mau ke mana kamu, Fan?" tanya Ahmad melihat Arfan bersiap hendak pergi. "Mau ke depan." Arfan "Oh ...." Sebenarnya Ahmad masih bingung apa yang akan dilakukan oleh Arfan. Belanja, sudah. Tapi dia yakin, ada sesuatu hal yang akan dilakukan untuk Rasti. Satu karung terigu sudah terbagi menjadi beberapa ukuran. Rasti mengerjakannya dengan cepat dan teliti. "Setelah ini, apalagi Bang Ahmad?" "Timbang gula besok saja, masih banyak. Kalau bantu lap-lap, nggak apa-apa?" "Boleh, Bang. Jangan sungkan kalau nyuruh-nyuruh. Nanti saya malah nggak enak kerjanya." "Ya sudah, di lap saja yang berdebu, Mbak. Jangan lupa pakai masker dulu." Ahmad menyodorkan selembar masker berwarna hitam yang diambilnya dari etalase. "Terima kasih." "Ibu, Faiz suka Ibu kerja. Jadi bisa jajan." Meski ada sedikit rasa malu pada Ahmad, Rasti tersenyum mendengar celoteh putranya. "Alhamdulillah ada om-om yang baik." Bersamaan dengan itu, motor Arfan berhenti di depan toko. Sengaja tidak dimasukkan ke dalam garasi lebih dulu. "Darimana, Fan?" tanya Ahmad melihat Ahmad datang dengan beberapa kresek berlogo ayam krispi. "Ini buat Faiz sama Mbak makan di rumah nanti." Arfan menyodorkan dua bungkus, sementara dua lainnya dia letakkan di atas etalase. "Lho, Bang. Saya jadi nggak enak." "Rezeky, Mbak. Jangan ditolak." "Tapi saya jadi sungkan." Wajah Rasti berubah murung. Sepertinya langkah Arfan kali ini salah. Tindakannya malah membuat Rasti merasa tidak enak hati. Menyadari hal itu, Ahmad buru-buru mencari alasan. "Bang Arfan memang sering berbagi, Mbak!" kata Ahmad. Dia lalu beralih pada Arfan yang terlihat kebingungan. "Selain ini, kamu sudah pesan untuk yang lainnya, kan?" "Eh, iya, Mbak. Saya nggak ada maksud apa-apa." "Oh, begitu ... habis saya bingung. Memangnya dalam rangka apa, Bang?" "Jum'at berkah, Mbak!" Arfan menjawab asal. "Tapi ini, kan, hari Rabu?""Eh, iy-iya. Bu-bukannya semua hari itu baik?" Arfan terdengar salah tingkah lagi.Kali ini Ahmad sampai terkekeh meski sudah berusaha menahannya."Bang, beli beras dong!" kata seorang Ibu yang baru datang untuk berbelanja. "Lho, ada Bu Wandi, di sini?"Melirik wanita itu, Arfan merasa terganggu saat memanggil Rasti dengan menyebut nama suaminya. Cemburu lebih tepatnya. Padahal di daerah ini, memang lumrah memanggil istri dengan nama suaminya. "Eh, iya, Bu Angga. Saya kerja di sini.""Kerja?" Wanita itu sempat melongo, tapi buru-buru menyadarinya. "Wah, rajin banget Bu Wandi. Padahal, kan, gaji suaminya sudah besar."Saling melempar pandangan, fokus Arfan dan Ahmad kini tertuju pada wajah Rasti. Wanita itu berusaha tersenyum di balik luka yang disembunyikannya selama ini.Rasti sebenarnya bukan tipe orang yang suka menceritakan masalah rumah tangganya, termasuk pada mertua dan saudara Wandi.Sebagai orang sebatang kara dengan bekal pendidikan yang kurang, Rasti merasa tidak punya tem
Sebagai wanita yang kerap mengalah dengan keadaan, tadi adalah puncak luapan amarah Rasti terhadap Wandi.Bukan karena sekarang dia sudah bekerja. Bukan. Tapi karena kalimat Wandi yang terus melukai hatinya. Mengatakan kalau dia tidak melakukan apapun di rumah.Kalimat yang sering didengar dari iparnya, kini didengarnya sendiri dari mulut Wandi."Kalau kamu jadi berani begini, mending tidak usah kerja lagi!" ancam Wandi kesal.Rasti mencoba mengatur nafas untuk meredam amarah yang memuncak. Kali ini dia tidak boleh memakai perasaan, demi terus bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri."Aku minta maaf, Mas," kata Rasti mengalah. "Aku hanya kesal karena Mas bilang nggak melakukan apa-apa.""Begini. Kerja di pabrik itu kejar-kejaran dengan waktu. Kalau kamu enak, capek bisa tidur.""Ya, aku minta maaf.""Belikan dulu rokok! Kalau kamu yang beli, mungkin harganya dikurangi." Wandi menyodorkan uang sebesar dua puluh lima ribu.Rasti tahu apa yang dipikirkan suaminya. Untuk kali ini, terp
"Rasti!" Langkah Rasti yang baru saja hendak berangkat ke warung, terhenti saat tetangganya datang memanggil. Dialah Mak Saroh, neneknya Zafran."Eh iya, Mak?""Si Faiz, jadi nggak masuk Paud bareng Zafran? Tuh dia udah didaftarin sama si Santi. Kalau dapet bangku sekarang, lumayan Ras, ada subsidi setengah harga."Faiz yang berada di samping Rasti, tersenyum mendengarnya. Dia memang sudah minta sekolah."Waduh, Rasti nggak tahu, Mak. Nanti tanya bapaknya dulu.""Ya udah. Sekarang kamu mau ke mana?""Ke warung sembako yang di depan itu, Mak. Rasti sekarang kerja di sana.""Kerja? Kerja apa?" Dahi Mak Saroh mengkerut tak percaya."Bungkus-bungkusin gula sama terigu, Mak. Apa aja bantu-bantu di sana.""Kurang apa emang, pakai kerja segala? Si Wandi kerja di tempat yang enak. Kalau si Santi sih ketauan nggak punya laki!"Rasti dan Santi memang dekat, karena anak mereka seumuran. Makanya Mak Saroh juga sudah menganggap Rasti seperti anaknya sendiri."Rasti cuma bosen di rumah, Mak. Lagi
Tanpa pikir panjang, Rasti langsung naik ke atas sepeda motor Arfan. Dia tidak lagi memikirkan bagaimana jika bertemu tetangga atau siapapun yang mengenalnya di jalan.Sementara itu, Arfan melajukan motornya dengan cepat. Tanpa bertanya tentang suami Rasti dia bisa menebak sendiri apa yang terjadi. Terlebih, ketika melihat mata perempuan yang disukainya bengkak seperti habis menangis.Tiba di klinik, Faiz langsung diperiksa oleh petugas medis di sana. Wajah panik begitu terlihat, saat Rasti mengetahui anaknya juga sesak napas."Panasnya tinggi dan sesak. Ini sudah dikasih obat?""Sudah, dok, Paracetamol. Tapi ya begitu panasnya naik turun. Anak saya sakit apa, dok? Kenapa dia kesulitan bernapas?" Kepanikan Rasti membuat Arfan yang turut mendengarkan ikut khawatir akan keadaan Faiz."Gejalanya ISPA atau infeksi saluran pernapasan. Di rumah ada yang merokok?'"Ada, dok. Bapaknya."Tanpa penjelasan lebih banyak, dokter jaga
"Bang, biasa, ya! Berasnya lima ribu aja, telur dua butir sama terasi satu. Jadi 8.500 kan?""Aduh, Mbak. Ini telurnya lagi besar-besar. Kalau satuan dua ribu! Jadinya sembilan ribu lima ratus," jawab Ahmad. Dia sedikit kesal karena di antara pembeli lainnya tidak ada yang membeli beras dengan harga lima ribu rupiah. Paling tidak beli seliter yang harganya tak kurang dari sepuluh ribu.Untuk itu, Ahmad harus menggunakan timbangan. Tidak memakai literan.Arfan menyenggol lengan Ahmad. Berharap rekan seperjuangannya di tanah rantau ini tahu apa yang harus dilakukannya. Namun, dengan sengaja, Ahmad malah pura-pura tidak mengerti."Oh, ya udah, Bang. Nggak apa-apa! Jadi kembali lima ratus, ya." Rasti, wanita cantik berbalut jilbab instan lusuh itu memasang wajah kecewa. Namun, apa boleh buat, dua butir telur itu tetap harus dibeli untuk dinikmati anak dan suaminya. Berbeda dengannya yang cukup hanya dengan makan terasi goreng atau kerupuk seribuan.Arfan menundukkan pandangannya. Dia ta
Menyibukkan diri dengan menghitung nota yang terkumpul, Arfan menghindari perkataan Ahmad soal tikung menikung."Fan?" Ahmad masih penasaran dengan respon Arfan."Istri orang, Mat! Kamu mau ibumu ditikung orang?""Lha suaminya modelan begitu, kamu mau ibumu makan terasi tiap hari?" Ahmad tidak mau kalah."Membantu nggak harus menikung juga, Mat! Kamu mau saya jadi perebut istri orang?""Aku sih setuju-setuju aja, Fan. Masalahnya, si Mbak itu suka nggak sama kamu?" kata Ahmad terkekeh, melihat raut serius teman seperjuangannya."Nah, makanya nggak perlu lari ke mana-mana. Cukup bantu. Udah!" Arfan kentara sekali terlihat kikuk."Tapi kok ada ya, wanita sesabar itu? Bertahan hidup dengan makan seadanya, dibawah tekanan suami pelit yang tidak menghargai seorang istri." Ahmad sengaja memancing lagi. "Kamu nggak mau menyelamatkan dia dari suami dzalimnya?""Apa yang harus diselamatkan, Mat. Siapa tahu di rumah dia bahagia.""Mana mungkin bahagia? Suaminya saja tidak menghargai. Dibilang i
"Kerja di sini? Beneran, Bang?" Rasti kembali memastikan. Sudah lama dia menginginkan pekerjaan yang bisa membawa putranya ikut serta. Sayangnya, tidak semua orang berpikiran sama. Beberapa kali Rasti menawarkan jasa cuci gosok, tapi ditolak begitu mengetahui kalau dia membawa anak."Iya, Mbak bisa bantuin kita nimbang terigu atau gula ke dalam plastik sesuai timbangan." Ahmad yang mulai paham, kini aktif kembali."Tapi ... saya minta izin suami dulu. Kalau boleh tahu, saya dapat bayaran berapa? Maaf soalnya takut suami tanya.""Dua puluh lima ribu sehari, bagaimana?" tanya Arfan.Mendengarnya, Ahmad sibuk menyenggol lengan Arfan yang pura-pura tidak menyadarinya. Bagi Ahmad, uang segitu terlalu kecil.Akan tetapi, tidak demikian dengan Rasti. Matanya terlihat berbinar dengan nominal yang disebutkan Arfan."Benar, Mas?""Iya. Mungkin segitu gaji pertama." Arfan menjawab dengan perasaan campur aduk."Tapi Mbak, biar silaturahmi kita nggak terputus—""Saya nggak punya, Mas!" potong Ras