Share

Anak Yatim

"Kerja di sini? Beneran, Bang?" Rasti kembali memastikan. Sudah lama dia menginginkan pekerjaan yang bisa membawa putranya ikut serta.

Sayangnya, tidak semua orang berpikiran sama. Beberapa kali Rasti menawarkan jasa cuci gosok, tapi ditolak begitu mengetahui kalau dia membawa anak.

"Iya, Mbak bisa bantuin kita nimbang terigu atau gula ke dalam plastik sesuai timbangan." Ahmad yang mulai paham, kini aktif kembali.

"Tapi ... saya minta izin suami dulu. Kalau boleh tahu, saya dapat bayaran berapa? Maaf soalnya takut suami tanya."

"Dua puluh lima ribu sehari, bagaimana?" tanya Arfan.

Mendengarnya, Ahmad sibuk menyenggol lengan Arfan yang pura-pura tidak menyadarinya. Bagi Ahmad, uang segitu terlalu kecil.

Akan tetapi, tidak demikian dengan Rasti. Matanya terlihat berbinar dengan nominal yang disebutkan Arfan.

"Benar, Mas?"

"Iya. Mungkin segitu gaji pertama." Arfan menjawab dengan perasaan campur aduk.

"Tapi Mbak, biar silaturahmi kita nggak terputus—"

"Saya nggak punya, Mas!" potong Rasti cepat.

"Bercanda. Yang mau aku tanyain nama Mbaknya, siapa?"

"Rasti, Bang."

Arfan yang awalnya menunduk, langsung mendongak mendengar Rasti . Orang yang selama ini dia perhatikan ternyata bernama Rasti. Sebuah nama yang menurutnya indah dan sederhana, sesederhana orangnya.

Rasti pulang dengan secercah harapan. Berharap suaminya memberi izin agar memiliki penghasilan. Untuk sekadar bisa mencicipi bakso atau mie ayam yang sering lewat di depan rumah, tapi tak pernah bisa membelinya.

"Kamu yakin mau kasih dia segitu, Fan?" cecar Ahmad begitu Rasti hilang dari pandangan keduanya.

"Jadi gini, Mat! Mbak itu ... siapa namanya tadi?"

"Segala pura-pura lupa kamu, Fan. Padahal udah ke-save di dalem hati!"

"Ya itu Mbak Rasti."

"Nah, kan, inget."

"Kamu lihat sendiri, kan, dia itu mau minta izin sama suaminya dulu. Kamu yakin, suaminya itu nantinya nggak akan minta jatah?"

Ahmad tampak berpikir sambil manggut-manggut.

"Masa masih diminta juga, sih?"

"Makanya saya nggak mau kasih tahu dia dulu kalau gajinya lebih dari itu. Biar nanti dikumpulin sampai akhir bulan, dan dia bisa membeli apa yang dia mau." Arfan berucap dengan mata menerawang dan senyum kecil menghiasi wajahnya.

Sementara itu di rumah Rasti, dia langsung menyampaikan niatnya untuk bekerja setelah Wandi pulang.

"Nanti kalau kamu kerja, apa kata orang? Dipikir aku nggak cukup menafkahi kamu." Rasti ingin marah dan berkata bahwa selama ini Wandi menafkahinya asal-asalan. Gemas, tapi tak boleh gegabah. Apapun yang terjadi dia harus bekerja. Dan ini adalah satu-satunya kesempatan.

"Banyak kok, istri lain yang bekerja bantu suaminya. Di pabrik juga ada perempuannya, kan? Bedanya aku bukan kerja di kantor atau di pabrik, tapi di toko."

"Kalau begitu, aku nggak perlu kasih kamu uang belanja lagi? Katanya mau membantu?" Liciknya Wandi mulai keluar.

"Tapi itu kan, kewajiban kamu, Mas! Dosa nggak menafkahi istri!"

"Ya sudah, begini saja. Aku tetap kasih kamu sepuluh ribu sehari, dan sebagai gantinya, kamu yang beli token, bagaimana?"

Pengeluaran mereka setiap bulan untuk membeli token listrik sebesar seratus lima puluh ribu. Biasanya, Wandi langsung mengisinya setiap habis gajian. Kalau dihitung-hitung, Rasti hanya harus mengumpulkan lima ribu rupiah setiap harinya dari gaji yang diberikan toko Arfan. Masih ada sisa dua puluh ribu.

"Aku setuju."

"Ya sudah, tapi Faiz diajak, kan?"

"Iya, Mas."

***

Sorenya saat membeli rokok, Wandi memastikan sendiri pada Ahmad dan Arfan perihal istrinya yang minta izin bekerja. Dia masih belum percaya Rasti mendapat bayaran segitu.

"Jadi gimana, Pak? Istrinya dibolehin kan, kerja di sini?" tanya Ahmad sambil menyerahkan rokok yang dibeli Wandi.

"Apa nggak bisa naik bayarannya itu?"

"Bisanya segitu, Pak. Kan kerjanya juga ringan. Cuma nimbang-nimbang sekalian bersih-bersih toko!" sahut Arfan.

"Kalau kalian tambahin, mau juga dia cuci gosok."

"Kami belum perlu, Pak."

"Masak pun enak sebenarnya." Wandi mengambil satu puntung rokok dan menyalakannya.

"Kami hanya perlu untuk bantu-bantu di toko, Pak!"

"Ah ya sudahlah!" Wandi menyerah saat dia tak berhasil membujuk Arfan dan Ahmad.

Sementara itu di rumahnya, Faiz berlari-lari menghampiri Rasti yang sedang memasak.

"Ibu?"

"Hmm."

"Zafran dapat uang lagi, Bu. Ada kaos sama kotak makan juga."

"Iya, Iz. Itu rezekinya Zafran."

"Kenapa Faiz nggak dapat juga?" sesal Faiz.

Senyum Rasti melebar melihat ekspresi anaknya.

"Zafran itu anak yatim, Iz!"

"Anak yatim itu apa, Bu?" Faiz bertanya dengan wajah polosnya.

"Nanti Ibu jelasin," kata Rasti sambil mengangkat wajan panas bekas menggoreng telur dan meletakkannya ke tempat cuci piring.

Rasti berpikir, dia tidak boleh setengah-setengah memberi tahu Faiz. Khawatir putra semata wayangnya itu akan menyakiti perasaan temannya.

"Bapak ke mana, Bu?"

"Beli rokok."

"Oh."

Rasti melanjutkan mencuci perabot kotor. Dia mengira, Faiz akan kembali bermain dengan teman-temannya. Tapi ternyata, dugaan Rasti salah. Faiz malah menyusul bapaknya ke warung untuk membeli jajanan yang dia inginkan.

"Ngapain ke sini? Udah dibilangin nggak boleh nyusul Bapak kalau lagi di warung!" omel Wandi ketika melihat Faiz datang menyusul.

"Mau itu!" Faiz menunjuk freezer tempat es krim. Dia sangat penasaran dengan rasa es yang dibeli Zafran tadi.

"Nggak cukup uang Bapak," bohong Wandi.

Tentu saja Arfan dan Ahmad kesal mendengarnya. Jelas-jelas tadi membeli rokok dengan uang seratus ribuan. Tapi saat anaknya minta jajan, malah bilang begitu.

Faiz kecewa. Dia tahu bapaknya tidak akan memberikan jajanan yang dia inginkan. Padahal, sudah lama Faiz ingin mencicipi.

"Ayo pulang!" ajak Wandi sambil menyalakan rokok.

"Pak!"

"Hmm ...?"

"Faiz mau jadi anak yatim aja, Pak. Kaya Zafran."

"Uhuk!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status