Share

Kesempatan

Menyibukkan diri dengan menghitung nota yang terkumpul, Arfan menghindari perkataan Ahmad soal tikung menikung.

"Fan?" Ahmad masih penasaran dengan respon Arfan.

"Istri orang, Mat! Kamu mau ibumu ditikung orang?"

"Lha suaminya modelan begitu, kamu mau ibumu makan terasi tiap hari?" Ahmad tidak mau kalah.

"Membantu nggak harus menikung juga, Mat! Kamu mau saya jadi perebut istri orang?"

"Aku sih setuju-setuju aja, Fan. Masalahnya, si Mbak itu suka nggak sama kamu?" kata Ahmad terkekeh, melihat raut serius teman seperjuangannya.

"Nah, makanya nggak perlu lari ke mana-mana. Cukup bantu. Udah!" Arfan kentara sekali terlihat kikuk.

"Tapi kok ada ya, wanita sesabar itu? Bertahan hidup dengan makan seadanya, dibawah tekanan suami pelit yang tidak menghargai seorang istri." Ahmad sengaja memancing lagi. "Kamu nggak mau menyelamatkan dia dari suami dzalimnya?"

"Apa yang harus diselamatkan, Mat. Siapa tahu di rumah dia bahagia."

"Mana mungkin bahagia? Suaminya saja tidak menghargai. Dibilang istri nggak ngapa-ngapain di rumah."

"Lha terus kamu mau saya gimana? Menikung istri orang? Ya nggaklah! Kita di sini cuma merantau, Mat. Harus pintar-pintar jaga diri."

"Ya sudah, nanti aku saja yang urus Mbak itu."

Arfan melirik kesal pada Ahmad. Mereka berdua saling bertatapan. Menyadari mata Arfan setengah melotot, Ahmad berkilah.

"Tenang, Fan. Aku nggak nikung kamu!" tandas Ahmad melihat perubahan pada raut wajah temannya.

"Mas beli sarden sama telor sekilo." Buru-buru Ahmad mengambil alih begitu ada pembeli yang datang.

"Wah Mbak Wita, baru keliatan!"

Sebuah senyum terukir di wajah Arfan melihat kelakuan temannya. Baru tadi bilang mau mengurus Rasti, sekarang sudah terlihat berbinar-binar melihat pelanggan wanita lainnya datang.

***

Keesokan harinya, Arfan kembali memikirkan Rasti. Kalau diingat-ingat dia sudah mulai mengagumi wanita itu sejak sebulan yang lalu.

Melihat pembawaannya yang lembut dihadapan Faiz sang putra dan penampilannya yang sangat sederhana dengan ua ng belanja tak lebih dari sepuluh ribu rupiah.

Awalnya Arfan berfikir kalau ua ng itu hanya untuk membeli beras dan telur, tapi karena di samping warung ini kakaknya Ahmad berdagang sayuran, dia tahu Rasti tak pernah berbelanja ke sana.

Dulu, saat masih berada di kampungnya, dia pernah menjalin hubungan dengan seorang wanita bernama Saskia, yang masih tetangganya. Namun sayang, perempuan itu memilih menikah dengan anak kepala desa yang terkenal kaya di kampungnya.

Sejak saat itulah, Arfan merasa kalau cintanya terhadap Saskia tak berarti apa-apa. Dia merasa kalau semua wanita menilai materi di atas segala-galanya. Untuk itulah, dia menerima tawaran Ahmad ikut kakaknya merantau dengan tabungan yang dijadikan modal bersama.

Ketika melihat Rasti dan segala kesederhanaannya, Arfan sadar kalau masih banyak perempuan yang bisa menerima laki-laki apa adanya.

Dari mulai kagum, lama kelamaan timbul perasaan suka. Akan tetapi, Arfan masih tahu batasan. Dia sadar kalau Rasti adalah wanita bersuami yang tidak seharusnya dia sukai.

Dan sekarang, saat tahu Rasti disia-siakan oleh suaminya, perasaannya semakin dalam. Bahkan terbesit keinginan untuk membahagiakan Rasti.

"Astaghfirullah!" Arfan mengucap istighfar saat menyadari pikirannya mulai ke mana-mana.

Bagaimanapun, Rasti tetap istri orang. Dan tidak sepantasnya dia memiliki perasaan itu.

Di tengah kemelut melawan perasaannya sendiri, Rasti datang seperti biasanya.

"Bang, berasnya lima ribu sama telur dan kerupuk."

"Si kecil nggak di bawa, Mbak?" serobot Ahmad mendahului.

"Iya, main sama temannya, Bang."

"Ini ada susu kotak sama wafer buat si kecil."

"Nggak cukup ua ng saya."

"Ini bonus, Mbak."

"Kok bisa?"

"Satu kardus ada bonus dua, Mbak. Kami sudah dapat untung, makanya buat si Faiz," jawab Arfan yang melihat Ahmad kebingungan.

"Nggak apa-apa, ini?"

"Nggak apa-apa, rezeki si kecil." Jawaban Arfan menerbitkan senyum di wajah Ahmad.

"Ngomong-ngomong, suami Mbak suka beli rokok di sini ternyata." Ahmad sengaja basa-basi agar Rasti mau ngobrol.

"Oh, iya."

"Kerja di mana, Mbak?"

"Itu di pabrik sabun."

"Oh pantes nggak pernah beli sabun. Katanya sering dapat rijekan ya?"

"Iya, Bang."

"Gajinya besar, ya?" Ahmad masih penasaran.

Rasti mengangguk pelan sambil menggenggam ua ng sepuluh ribu di tangannya dengan erat. Sejak menikah dengan Wandi, dia hanya tahu besarnya gaji sang suami dari orang lain yang suaminya juga bekerja di sana.

"Sebenarnya, saya juga ingin kerja." Rasti akhirnya kembali berbicara.

"Kenapa nggak kerja, Mbak?" Lagi-lagi Ahmad menyerobot.

"Saya cuma lulusan SD, Faiz juga masih kecil."

"Faiz nggak bisa dititipkan ke orangtuanya Mbak?"

Rasti menggeleng.

"Saya sudah nggak punya orangtua, Bang. Dari kecil."

Arfan menelan ludah, begitu juga dengan Ahmad.

"Kalau saja ada pekerjaan yang bisa bawa Faiz, saya mau kerja."

Ucapan Rasti membuat Arfan langsung membuat keputusan cepat.

"Ada, Mbak, ada!" katanya penuh semangat.

Ahmad langsung menoleh.

"Kerja apa, Bang?" tanya Rasti.

"Nimbang si Mamat!"

Sontak jawaban asal Arfan membuat Rasti dan Ahmad memandanginya.

"Ma-maksud saya ... nimbang gula dan terigu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status