"Hah! Tidak, aku tidak mau memandikanmu. Kamu bukan bayi, untuk apa aku memandikanmu? Kamu juga bukan mayat!" seru Fiona sambil langsung membekap mulutnya, memandang ke arah William yang memperlihatkan wajah tidak senang.
"Ups!" 'Astaga, Fiona, kenapa kamu menyebutnya mayat? Lihatlah tatapannya seperti ingin menerkammu,' pikir Fiona dalam hatinya. "Kamu bicara apa tadi? Kemari!" ujar William sambil menggerakkan tangannya, menyuruh Fiona mendekat. "Euh… tidak ada, aku tidak bicara apapun! Jika kamu ingin mandi, aku akan memanggil salah satu pembantumu," Fiona hendak berjalan untuk memanggil pembantunya, tetapi William menghentikan langkah kakinya. "Cepat kemari!" Suara William mulai terdengar marah. "I'm sorry, baby! Perutku tidak dapat dikondisikan untuk saat ini, aku lapar dan harus segera pergi untuk makan," ucap Fiona berbohong, demi menghindari William, karena bagaimana mungkin dia memandikan pria itu. Fiona dibuat gelisah, dia sama sekali tidak menginginkan semua itu terjadi, akan sangat menggelikan jika dia melakukannya. Fiona memilih untuk pergi dari kamar William, namun suara yang begitu keras membuatnya terperanjat kaget. "Fiona!" Panggil William dengan begitu keras, saat melihat Fiona hendak pergi keluar. Fiona tidak menyangka, William akan secepat itu mengetahui namanya. Fiona yang sudah membelakangi William, meremas tangannya dengan begitu erat sambil menghela nafasnya, lalu membalikkan badan dengan senyum yang terpaksa di bibirnya sampai terlihat gigi putihnya itu. "Ya, ada apa? Rupanya kamu sudah tahu namaku," ucap Fiona mencoba berjalan satu langkah maju ke depan William. “Cepat kemari, atau dalam hitungan menit perusahaan ayahmu akan mengalami kerugian!” ancam William. Fiona merengutkan wajah cemberut dengan ancaman William. “Oh, baby, kenapa kamu sangat kejam sekali dengan ayah mertua sendiri! Kamu tidak perlu melakukannya, aku akan segera menghampirimu.” Fiona kembali menambah beberapa langkah untuk mendekati William, sampai jarak Fiona hanya tersisa beberapa langkah lagi dengan William yang ada di hadapannya. William berdecak kesal, dengan gerakan cepat pria itu telah berhasil menarik Fiona ke dalam pangkuannya, walaupun dia menggunakan kursi roda. Tangan William yang panjang, cukup mudah menarik Fiona yang hanya terhalang beberapa langkah darinya. “Hei… Apa yang kamu lakukan?” Fiona mencoba berontak, apalagi posisi mereka begitu dekat. “Melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh para pengantin baru,” bisik William membuat tubuh Fiona menegang seketika. “Tidak-tidak! Aku-, aku belum siap melakukannya sekarang! Bagaimana jika lain kali saja,” Fiona mendadak gelagapan karena perkataan William. “Bukannya sejak tadi kamu menggodaku? Aku pikir kamu memang telah menginginkannya, jadi aku akan melakukannya padamu sebelum aku mandi. Sedikit olahraga sebelum mandi akan lebih baik untuk menambah kesehatan kakiku,” perkataan William membuat mata Fiona membulat. Fiona berpikir sangat keras untuk mencoba menolak permintaan William secara halus. Dia tetap bersikap tenang, tanpa memperlihatkan bahwa dirinya sedang ketakutan. ‘Pria itu lumpuh, Fiona, jadi tenanglah, dia tidak akan mungkin melakukannya padamu,’ Fiona berbicara pada dirinya sendiri. “Aku menggodamu bukan berarti aku menginginkannya. Lagi pula, saat ini aku sedang datang bulan, memangnya aku tidak boleh menggoda suamiku sendiri? Kalau memang tidak boleh, aku akan mencari pria lain. Lagi pula, pernikahan ini bukan keinginanku, aku masih kecil dan tidak seharusnya berbicara seperti itu padaku. Sekarang lepaskan tanganmu.” kata-kata yang diucapkan Fiona sungguh berani. Dia tidak peduli dengan perubahan mimik wajah William. Fiona segera berdiri dari atas pangkuannya. William terdiam mendengar perkataan Fiona dan melepaskan tubuhnya begitu saja. Fiona menoleh ke belakang sebelum beranjak pergi, “Kamu harus ingat baik-baik! Pernikahan ini bukan keinginanku, aku harap kamu mengerti, dan mulai besok aku ingin pergi ke sekolah. Kamu harus mengurus semua keperluanku, dan satu hal lagi, kamu tidak boleh banyak melarangku untuk apapun. Aku tidak suka banyak dilarang oleh siapapun, termasuk kamu, suamiku. Jika kamu tidak suka, maka ceraikan aku saja! Lagipula aku bukan wanita yang kamu inginkan,” ucap Fiona segera pergi. **** Fiona baru saja turun dari lantai atas dengan pakaian lengkap, memakai seragam SMA. William benar-benar menuruti apa yang Fiona katakan kemarin. Dia telah mengurus perpindahan sekolah Fiona ke sekolah barunya. Fiona melihat sekeliling ruang makan, tak ada sosok William di sana. “Pagi, Nyonya,” sapa beberapa pembantu dengan kepala menunduk. Fiona hanya diam tanpa menjawab sapaan pembantu tersebut, dan melewatinya begitu saja. Hingga mereka berbisik diam-diam di belakang Fiona. “Kalian, hobby sekali membicarakan orang lain!” Perkataan Fiona membuat para pembantu itu segera meminta maaf padanya. **** Di sekolah, saat Fiona baru keluar dari mobilnya, beberapa pasang mata terus tertuju pada Fiona yang membawa mobil keluaran terbaru. Sebelumnya, William telah menyiapkan mobil beserta sopir pribadi untuk Fiona, namun Fiona memilih membawa mobil itu sendirian. Gadis itu berjalan dengan percaya diri di koridor sekolah. Ada banyak pasang mata yang menatap kecantikannya. Fiona memakai pakaian cukup pas di badannya. Belum lagi rok sekolah yang terlihat sangat pendek dipakai, padahal sebelumnya William telah memerintahkan asistennya untuk membelikan baju yang sedikit kebesaran untuk istrinya itu. Namun, Fiona menyuruh pembantu untuk membelikan yang baru. Brugh! Seseorang yang sedang berlari dikejar salah satu temannya tidak sengaja menyenggol pundak Fiona, hingga gadis itu terduduk di lantai. “Maaf! Tidak sengaja,” ucapnya. Fiona menatap uluran tangan dari suara yang telah meminta maaf padanya. Namun, Fiona memilih berdiri sendiri dan pergi begitu saja melewatinya. Setelah insiden tidak sengaja di koridor, Fiona merapikan pakaiannya dan melangkah dengan percaya diri menuju kelas barunya. Saat dia memasuki ruang kelas, semua mata tertuju padanya. Dengan percaya diri dan penuh keberanian, Fiona berdiri di depan kelas. “Silakan perkenalkan dirimu pada teman-teman baru,” kata Pak Guru, meminta Fiona untuk memperkenalkan dirinya sebagai murid baru di depan kelas. “Namaku Fiona Isabella Fawzi, panggil saja Fiona,” ucapnya dengan suara yang terdengar angkuh. Beberapa siswa merespon sambutannya dengan anggukan, sementara yang lain terlihat penasaran dan berbisik-bisik dengan sinis memperhatikan penampilan Fiona yang memakai perlengkapan sekolah yang bermerek mahal, dari mulai jam tangan, tas, hingga sepatu yang dipakainya bukanlah barang biasa, melainkan barang limited edition. Fiona, silakan duduk di sebelah Adelia!” Pak Guru menunjuk ke bangku kosong di samping seorang gadis yang terlihat senang dengan kehadiran Fiona. Saat Fiona duduk di bangku kosong tersebut, beberapa teman barunya mulai mendekat dan memperkenalkan diri satu per satu. “Namaku Adelia Kristiana Putri, panggil saja Adel,” kata Adelia. “Sudah tahu!” jawab Fiona, lalu membalas uluran tangan dari salah satu orang yang duduk di bangku depan. “Aku Maya Sadega, panggil aku May atau Maya juga boleh!” ucap Maya sambil kembali berbicara, “Dan ini Azka, panggil saja Zaskia, haha…” Azka menoyor kepala Maya yang sedang menertawakannya. “Aw… Sakit, tahu!” kata Maya sambil mencoba membalas perbuatan Azka. Fiona hanya menggeleng kecil melihat tingkah laku teman-teman barunya, tiba-tiba ponselnya bergetar sedikit mengejutkannya. Fiona menautkan dahinya saat melihat pesan dari nomor yang tidak dikenal. “Jam istirahat, seseorang akan menjemputmu,” pesan tersebut membuat Fiona terkejut. Namun, sebelum ia bisa merespons pesan tersebut, Adel, teman sebangkunya, menyenggol tangannya. “Jangan main ponsel di jam pelajaran, nanti ponselmu akan diambil guru,” bisik Adel, memberitahu Fiona tentang peraturan sekolah. **** Saat jam istirahat tiba, beberapa pria berpakaian serba hitam dan mengenakan kacamata hitam yang menutupi mata mereka tiba di sekolah, menimbulkan rasa penasaran di seluruh sekolah terhadap keenam orang yang berjalan di koridor menuju kelas baru Fiona. Beberapa siswa dari kelas lain diam-diam mengikuti mereka dari belakang sambil berbisik-bisik. Di dalam kelas, Fiona yang sedang mendengarkan cerita dari Maya bersama Adel, terkejut melihat kedatangan keenam pria yang berbaris rapi di sebelah bangku Fiona. Maya dan Adel terlihat ketakutan melihat para pria tersebut, terutama karena tubuh mereka terlihat besar dan gagah. “Selamat siang, Nyonya muda,” ucap salah satu dari keenam pria tersebut pada Fiona. "What?!" serentak gadis-gadis itu berseru sambil saling melempar tatapan.Fiona masih belum menyadari bahwa keenam pria itu sedang menyapanya karena dia tidak mengenal mereka.“Astaga… Siapa yang kalian sebut 'Nyonya muda'? Aku belum menikah, tidak pantas disebut seperti itu,” tanya Maya.“Aku juga belum,” ucap Adel.Mata keenam pria itu tertuju pada Fiona, yang menatap balik dengan tatapan tajam. Sekarang Fiona menyadari bahwa kedatangan mereka adalah untuk menjemputnya.“Sepertinya kalian keliru, seharusnya memanggilku 'Nona muda', paham?” Fiona ingin memastikan kedua temannya tidak salah paham, sehingga dia segera memperbaiki perkataan keenam anak buah William yang sengaja diperintahkan untuk menjemput Fiona saat jam istirahat. “Maaf, Nona muda. Tuan-” belum selesai salah satu dari mereka berbicara, Fiona segera menghentikan perkataannya.“Stop! Kalian tak perlu mengucapkan apapun lagi, pergilah! Aku akan menyusul kalian nanti,” Fiona menyuruh mereka untuk pergi.“Aku harus pergi, kita akan melanjutkan cerita nanti!” tanpa menunggu jawaban dari Maya dan
Sintia yang dipanggil Adel dengan sebutan Sitong segera menggelengkan kepalanya. Dia ingin mengelak membela dirinya tetapi tatapan Maya membuat Sintia kembali menundukkan kepalanya.Maya adalah orang yang sengaja menggunakan kakinya saat Sintia akan melewati bangku Fiona agar Sintia menumpahkan minuman tersebut ke baju Fiona."Adel, apa aku tadi tidak salah dengar, kamu menyebut namanya Sitong? Astaga, nama macam apa itu! Haha..." ejek Fiona sambil tertawa.Maya ikut tertawa puas mendengar perkataan Fiona, tanpa rasa bersalah sedikitpun."Kamu tidak salah dengar, Fiona," jawab Adel.Mereka bertiga menertawakannya, di saat Sintia memilih untuk pergi dari hadapan ketiga orang itu, Fiona memegangi tangannya."Mau kemana kamu, Sitong? Enak aja, mau pergi tanpa bertanggung jawab! Lihat ini, baju seragamku kotor dan baju ini dibuat khusus dari Italia," Fiona berbicara dengan nada suara yang terdengar bangga dan angkuh."Maaf! Aku akan membersihkan seragammu, apa kamu membawa baju seragam la
Fiona berdiri tepat di hadapan William yang melihatnya dengan tatapan datar. Fiona menundukkan setengah badannya agar sejajar dengan William yang duduk di kursi roda, sambil memainkan dasi merah yang dipakainya."Apakah kamu marah padaku?" tanyanya dengan suara lembut.Hening, tak ada jawaban yang keluar dari mulut William. Dia hanya diam memperhatikan gerak gerik Fiona.Dengan sentuhan lembut, Fiona meraba jas hitam William lalu merubah tangannya menjadi menunjuk tepat di arah detak jantung William.“William, apa kamu masih ingat perkataanku kemarin? Jika lupa, aku akan ingatkan sekali lagi, bahwa kau tidak punya hak untuk melarang apapun yang aku lakukan karena aku tidak suka dilarang, termasuk oleh suamiku sendiri. Apalagi pernikahan kita-" Fiona belum menyelesaikan ucapannya, William telah memotong pembicaraannya."Kau tidak perlu membahasnya lagi! Aku sama sekali tidak tertarik dengan urusanmu," potong William dengan suara dingin, matanya menatap kosong ke arah lain.Fiona terdia
"Satu ... dua ... tiga!" Teriakan itu menggema di malam yang tenang, disambut dengan deru mesin yang meraung keras. Mobil-mobil melaju dengan cepat, meninggalkan jejak debu dan asap di jalanan aspal yang gelap. Seorang pria tampan berada di depan kemudi, memacu mobilnya dengan penuh percaya diri, matanya fokus pada jalan di depan. Cahaya lampu jalanan dan sorot lampu mobil-mobil lainnya memantulkan bayangan wajahnya yang tegang namun penuh determinasi. Di pinggir lintasan, Fiona baru saja tiba di lokasi. Dia memandang pemandangan di depannya dengan tenang, matanya menyapu kerumunan orang yang bersorak-sorai menyemangati para pembalap. Di sampingnya, Maya dan Adel berdiri dengan antusias, mengikuti setiap gerakan mobil-mobil yang berpacu di lintasan. "Wow, lihat dia! Mobilnya benar-benar melaju kencang," seru Maya, matanya berbinar penuh semangat. "Siapa orang yang di dalamnya itu? Dia begitu lihai," tanya Adel dengan nada penasaran, sambil menunjuk ke arah mobil yang mem
William hanya bisa melihat istrinya yang sedang berjongkok seperti anak kecil yang kehilangan induknya melalui CCTV yang terpasang di dalam lift dan terhubung dengan ponselnya. Sebelumnya, saat William baru selesai mengerjakan beberapa dokumen pekerjaannya. Dia mendapati banyak panggilan yang tak terjawab dari nomor dengan nama F, hanya satu huruf singkat dan itu adalah nomor ponsel Fiona. William mengabaikan teleponnya, baru saja dia menyimpan ponselnya kembali ke atas meja, seorang pembantu memberitahu bahwa Fiona terjebak di dalam lift. Sampai beberapa saat pintu lift berhasil dibuka, tetapi Fiona masih berjongkok dengan pikirannya. William mencoba mendekati Fiona dengan kursi rodanya. “Apa kau akan terus berjongkok disini?” ucap William, tetapi tidak ada respon darinya. “Ehmmm...” William berdehem cukup keras, Fiona masih saja tak bergeming. Dengan ragu-ragu, William menarik beberapa helai rambut Fiona cukup kencang lalu berpura-pura seolah-olah dia tidak melakukannya.
Setelah kejadian tadi pagi, seseorang datang ke dalam kelas Fiona dan memberitahunya untuk ke ruang guru.Dengan perasaan kesal, Fiona menuju ruang guru sesuai dengan panggilan yang diterimanya.Di ruang guru, seorang guru BK yang bernama Pak Herman sudah menunggu kedatangan Fiona."Fiona, kamu tahu mengapa kamu dipanggil ke sini?" tanya Pak Herman dengan nada tegas.Fiona mengangguk perlahan. "Iya, Pak."Pak Herman menatapnya tajam. "Jika kamu tahu, kenapa harus ada percekcokan, bahkan sampai bertengkar dan membuat tangan Juwita terluka?"Fiona terkejut mendengar apa yang baru saja dikatakan Pak Herman. “Tapi, Pak, itu bukan kesalahan saya.”“Kamu ini, masih saja membantah. Jangan mentang-mentang keluargamu orang berada sehingga bisa membantah aturan sekolah. Apalagi dengan membawa begitu banyak alat make-up seperti ini. Kamu datang ke sekolah untuk belajar atau pamer kecantikanmu? Membawa alat-alat make-up seperti itu,
Namun, pikiran Fiona seketika buyar setelah mendengar perkataan William.“Make-up yang dipakai olehmu sangat berantakan, terlihat jelek. Aku akan bantu menghapusnya,” ujar William sambil menggunakan tangan satunya lagi untuk menghapus lipstik di bibir Fiona hingga berantakan di sekitar bibirnya.“William, kenapa kamu menghapusnya?” seru Fiona, berusaha melepaskan tangannya yang digenggam erat oleh William.William tidak menghiraukan perkataan Fiona. “Dan, merah-merah di pipimu sangat buruk, seperti orang yang habis terkena pukulan. Aku akan menghapusnya lagi,” katanya sambil kembali menghapus blush on yang sengaja dipakai Fiona.“Ahh… William, jangan! Hentikan,” teriak Fiona mencoba menghentikan tangan William yang terus menghapus make-up-nya.“Selesai,” gumam William sambil melepaskan tangannya lalu menjauh dari hadapan Fiona yang setengah tubuhnya masih berada di atas meja.Fiona merengut kesal, wajahnya terlihat memerah. Matan
William segera menekan tombol di samping ranjang yang akan terhubung ke lantai bawah untuk memanggil pembantunya. Tak butuh waktu lama, seorang pembantu wanita datang dan berdiri di depan William yang baru membuka pintu. Dia sedang menunggu perintah dari tuannya setelah beberapa saat yang lalu dipanggil, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut William. Dengan wajah agak canggung, William berkata, "Bawakan roti bersayap untuknya." Pembantu itu mengernyit bingung, mencoba memikirkan permintaan tuannya yang tidak biasa itu. "Tuan, kita tidak memiliki roti bersayap. Tapi aku bisa membuatkan roti bersayap dengan potongan sayap ayam," jawabnya dengan ekspresi bingung namun berusaha membantu. William mendesah pelan, merasa kebingungan sendiri. Dia memutar otaknya, mencoba mencari cara untuk menjelaskan tanpa langsung menyebutkan kata-kata yang terasa memalukan baginya.
Wajah Fiona seketika menegang. Ia kini memahami mengapa suasana sekolah begitu aneh sejak kedatangannya.“Fiona, bisakah kau menjelaskan ini?” tanya kepala sekolah dengan nada serius.Fiona menatap foto-foto itu, lalu menegakkan bahunya. “Apa yang harus saya jelaskan, Pak?” tanyanya, berusaha tetap tenang.“Apakah benar kau sudah menikah?” tanya salah satu guru perempuan. “Dan pria dalam foto ini … suamimu?”Fiona menarik napas. Tak ada gunanya berbohong, karena semuanya sudah terungkap. “Ya, benar, dia suamiku. Pemilik sekolah ini,” jawabnya.Suasana ruangan seketika menjadi sunyi. Para guru saling bertukar pandang, sementara kepala sekolah menghela napas panjang.“Kami tidak melarang siswa menikah, tetapi yang menjadi masalah adalah reaksi yang ditimbulkan karena tersebarnya foto dan video ini,” jelas kepala sekolah. “Banyak siswa yang membicarakan hal ini dan tidak sedikit yang memberikan komentar yang tidak pantas. Kami khawatir hal ini akan mempengaruhi lingkungan sekolah.”Fiona
Azalea tampak terkejut melihat William. Rasa takut tiba-tiba merayapi hatinya, tetapi dengan cepat ia menegakkan punggungnya dengan percaya diri. Keberadaan Zayver di sisinya seolah memberinya kekuatan. Mereka berdua berjalan mendekati William yang berhenti tak jauh dari mereka. “Tuan, apa kita harus putar balik,” bisik Max, mencoba membujuk tuannya untuk pergi. Namun, William mengangkat tangannya, menghentikan Max. “Tidak perlu,” katanya dengan tegas.Zayver tiba di depan William, berdiri dengan sikap arogan. Senyum lebar terukir di wajahnya, senyum yang penuh dengan rasa puas dan bangga. “Kakak, apa kabar? Lama tak jumpa,” katanya dengan nada yang dibuat-buat.William hanya mendengus kasar, menahan keinginannya untuk membalas dengan lebih dari sekadar kata-kata. Ia tetap diam, tatapannya dingin begitu menusuk Zayver.Zayver yang tampaknya tidak cukup puas karena tidak ada jawab, ia kembali berbicara. “Kakak, aku dengar-dengar, kau sudah merestui hubungan ayahmu dan ibuku. Aku sa
Fiona seketika di buat panik, napasnya memburu. “William, bagaimana ini…?” tanyanya dengan suara bergetar. William segera menarik tubuh Fiona ke dalam pelukannya, mencoba menenangkan gadis itu agar tidak takut. “Tenanglah,” katanya pelan. “Bagaimana bisa tenang, apa kau tidak lihat mereka begitu banyak, sedangkan kita hanya bertiga. Kita tidak akan mampu melawan mereka,” kata Fiona dengan nada yang sedikit keras karena panik. Ia segera meraih ponselnya. “Kita harus menghubungi Max.” Dengan tangan gemetar Fiona mencoba mencari nomor telepon Max. Setelah berhasil menemukannya ia segera menghubunginya. Namun, panggilannya tidak dijawab. Fiona semakin cemas.Supir yang duduk di depan mencoba keluar untuk melawan orang-orang itu, meski ia hanya sendirian.“William, bagaimana ini… Dia tidak akan mampu melawannya,” kata Fiona dengan tangannya yang memegang erat jas yang dipakai William. “Ahhh…” Fiona berteriak, melihat supir yang dilumuri dengan darah terjatuh di depan mobil. Tidak but
Ketika sampai di lantai bawah, William mendengar suara yang berasal dari dapur dengan rasa penasaran ia menuju ke dapur. Matanya terpesona oleh pemandangan yang jarang ia lihat. Fiona berdiri di depan kompor, sibuk memasak sesuatu. Baju tidurnya yang berbahan satin memantulkan cahaya lembut dari lampu dapur, membuatnya terlihat menawan meski rambutnya terlihat berantakan tetapi wajah cantiknya, benar-benar membuat William kesulitan untuk memalingkan matanya. “Fiona,” panggil William, suaranya terdengar pelan tapi cukup membuat Fiona menoleh.Fiona tersenyum, menatap William yang mendorong kursi rodanya mendekat. “Kau bangun pagi,” katanya sambil mematikan kompor dan membawa piring ke meja makan.“Seharusnya aku yang berkata begitu. Kau biasanya bangun lebih siang.”Fiona tertawa pelan. “Aku tidak bisa tidur nyenyak semalam, jadi aku pikir, kenapa tidak bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuk kita berdua.”William mengamati wajah Fiona. “Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” ta
Di dalam mobil, suasana hening. Fiona melirik William yang terlihat dingin, pandangannya lurus ke depan.Fiona menggeser duduknya, mendekat dan bersandar pada lengannya. "William...""Aku tidak suka ada orang lain yang menyeretmu ke masalah seperti ini," potong William.Fiona tersenyum tipis, lalu menjawab dengan nada lembut, "Tidak apa-apa. Lagi pula, ini bukan masalah yang serius. Kalau saja kau mau menurunkan ego sedikit, semuanya akan selesai lebih cepat," ucapnya, sambil mengecup pipi William.William tak membalas perkataan Fiona; ia hanya diam dengan wajah tanpa ekspresi.Fiona tetap bersandar, memainkan dasi merah yang dipakai William."William, aku ingin tahu. Apa alasanmu tidak merestui hubungan mereka? Ayah membutuhkan seorang pendamping di usianya yang tak lagi muda, dan Ibu ingin memperbaiki hubungan denganmu. Mereka tulus, William. Mereka benar-benar peduli."William memalingkan wajahnya, matanya ke arah Fiona. "Peduli?" katanya dingin. "Jika mereka peduli, mereka tidak a
Di dalam ruang kantor, setelah selesai rapat. William hanya duduk dengan wajah datar. Jarinya mengetuk-ngetuk meja, tanda bahwa pikirannya sedang kacau. Beberapa menit kemudian, Max masuk ke ruangannya dengan langkah cepat. “Tuan, kami menemukan jejaknya. Salah satu tim mendeteksi mobil Nona Fiona di sebuah restoran yang ada di pinggiran kota. Kami sedang mengirim orang ke sana.”William menatap Max cukup tajam, membuat pria itu sedikit ketakutan dengan tatapannya. “Siapkan mobilku. Aku ingin pergi sekarang.”“Tuan, Anda tidak perlu turun langsung. Kami bisa mengurusnya,” balas Max dengan hati-hati.“Tutup mulutmu, Max. Aku tidak akan duduk diam di sini sementara istriku mungkin dalam bahaya,” jawab William dengan nada tajam.****Fiona turun dari mobil dengan langkah ragu. Rumah megah yang berdiri di hadapannya terlihat begitu mewah, dengan taman luas dan air mancur yang memancarkan cahaya saat terkena sinar matahari. Namun, keindahan itu tidak mampu mengusir rasa takut yang meray
Fiona memutuskan untuk mengerjai orang-orang yang ia kira anak buah William yang diperintahkan untuk mengikutinya dengan mempercepat laju mobilnya, menikung tajam di sebuah persimpangan, dan memasuki jalan yang lebih kecil.Namun, kedua mobil itu tetap menempel di belakangnya, tidak menunjukkan tanda-tanda untuk menghindar. Fiona mulai merasa kesal. Fiona sedikit memelankan laju mobilnya, ia mengirim sebuah pesan pada William untuk menarik anak buahnya. Setelah pesan itu terkirim, Fiona memutuskan untuk mengetes mereka sekali lagi. Ia menekan pedal gas lebih dalam, membuat mobilnya melesat dengan kecepatan yang lebih tinggi. Namun, kedua mobil itu ternyata mampu mengejarnya dengan mudah.Suara derit ban yang mendadak terdengar ketika Fiona harus mengerem secara tiba-tiba di sebuah persimpangan untuk menghindari sebuah truk yang melintas. Mobilnya berhenti dengan aman, tetapi kedua mobil di belakangnya juga berhenti dengan kecepatan tinggi, hampir menyerempet mobil Fiona.“Dasar tida
Setelah beberapa saat, William akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. “Fiona, apa kau tidak suka aku membawamu kemari?”Fiona menoleh ke arah William, senyum kecil terulas di wajahnya. “Aku menyukainya, William,” jawabnya pelan.William terdiam sejenak, menatap matanya dengan begitu intens. “Kalau begitu, apa kau baik-baik saja? Apa yang sedang kau pikirkan?”Fiona menghela napas, ia sudah mendungannya William akan bertanya seperti itu. Pandangan matanya jatuh ke meja di depannya. “Aku hanya … banyak berpikir,” jawabnya. Fiona merasa jawabannya sangat aneh, namun ia tidak mengulangi perkataannya. “Tentang apa?” tanya William, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.Fiona mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk mencari alasan, tetapi ia tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Ia tidak ingin William tahu tentang Azalea yang dilihatnya waktu di jalan. “Hanya … tentang sekolah, teman-teman, dan banyak hal lainnya,” jawabnya samar.William mengangguk, meskipun jelas ia tidak sepenuh
“Terima kasih,” ucap William dengan nada pelan. Ia hendak menarik pinggang Fiona untuk duduk di atas pangkuannya, namun Fiona malah menghindar. Fiona tidak menjawab atau bahkan tersenyum. Ia langsung mengambil segelas air, meneguknya, lalu duduk dengan tenang.Suasana di antara mereka terasa sunyi, seperti ada tembok tak terlihat yang memisahkan mereka.William menatap Fiona begitu dalam, mencoba mencari tahu apa yang salah. Padahal sebelumnya mereka selalu menikmati kebersamaan dengan romantis, setelah kejadian malam itu. Tetapi sejak semalam, semuanya terasa berbeda, seperti kembali ke hari-hari awal pernikahan mereka yang dingin dan terhalang jarak. William menghela napas lalu mengambil roti, mengolesinya dengan selai stroberi, salah satu kesukaan Fiona, dan meletakkannya di piring Fiona.“Ini, makanlah,” katanya sambil mendorong piring itu sedikit ke arahnya.Fiona mengangkat pandangannya sejenak, lalu berkata, “Terima kasih,” dengan nada datar. Ia mengambil roti itu dan mulai m