Share

Bab 6 Menggoda

Fiona berdiri tepat di hadapan William yang melihatnya dengan tatapan datar. Fiona menundukkan setengah badannya agar sejajar dengan William yang duduk di kursi roda, sambil memainkan dasi merah yang dipakainya.

"Apakah kamu marah padaku?" tanyanya dengan suara lembut.

Hening, tak ada jawaban yang keluar dari mulut William. Dia hanya diam memperhatikan gerak gerik Fiona.

Dengan sentuhan lembut, Fiona meraba jas hitam William lalu merubah tangannya menjadi menunjuk tepat di arah detak jantung William.

“William, apa kamu masih ingat perkataanku kemarin? Jika lupa, aku akan ingatkan sekali lagi, bahwa kau tidak punya hak untuk melarang apapun yang aku lakukan karena aku tidak suka dilarang, termasuk oleh suamiku sendiri. Apalagi pernikahan kita-" Fiona belum menyelesaikan ucapannya, William telah memotong pembicaraannya.

"Kau tidak perlu membahasnya lagi! Aku sama sekali tidak tertarik dengan urusanmu," potong William dengan suara dingin, matanya menatap kosong ke arah lain.

Fiona terdiam sejenak, menelan ludah dengan perlahan. "Oh, baiklah! Apa kamu sudah makan malam? Bagaimana jika kita makan malam bersama? Aku akan memasak beberapa menu makanan untukmu," bisiknya, dengan nada suara menggoda.

William tetap tidak merespons, tatapannya sama sekali tidak melihat ke arah Fiona.

Merasa diabaikan dengan sia-sia, Fiona berdiri tegak dan mulai merapikan rambutnya dengan gerakan yang terlalu dibuat-buat, memperlihatkan leher jenjangnya.

"Kau tahu, di luar sana masih banyak pria yang akan melakukan apa saja untuk mendapatkan perhatian dariku, dan juga masakan terenak yang aku buat," katanya dengan nada genit, berharap bisa memancing reaksi dari William.

Fiona mendekatkan dirinya lagi, kali ini tangannya bermain di kerah jas William, jemarinya yang lentik seakan menari di sepanjang kain. "Kau begitu kaku, William. Tidak bisakah kita makan malam bersama? Seperti sepasang suami istri atau pengantin baru."

William hanya menarik napas dalam-dalam tanpa menjawab perkataan Fiona.

Fiona tersenyum lebar, matanya berkilat nakal. "Oh, ayolah, kau pasti menginginkannya kan?" godanya. Namun, William sama sekali tidak peduli dengan apa yang Fiona katakan.

Dengan wajah cemberut, Fiona merasa kesal karena terus diabaikan.

Saat Fiona hendak berbalik untuk pergi, William dengan cepat menarik pinggangnya, membuatnya kehilangan keseimbangan. Fiona terjatuh ke pangkuan William, terduduk di atas kursi roda bersamanya.

"Apa yang kau lakukan?!" seru Fiona, mencoba mengendalikan emosi dan keterkejutan dalam suaranya.

William mendekatkan wajahnya ke telinga Fiona dan berbisik dengan nada dingin, “Fiona, kau berhasil membuatku ingin mencoba masakanmu! Tapi kau gagal membuatku terkesan,”

Fiona terdiam, wajahnya memucat sejenak sebelum mengganti ekspresinya dengan senyuman penuh tipu daya. "Baiklah, William. Mungkin aku akan mencoba cara lain untuk membuatmu terkesan," katanya, mencoba mempertahankan senyum di bibirnya.

"Cobalah sepuasmu, Fiona. Aku tidak akan pernah tertarik pada permainanmu,” bisik William, tepat di telinganya.

William melepaskan genggamannya yang melingkar di pinggang Fiona dengan kasar.

Fiona segera berdiri, merapikan pakaiannya, mengabaikan perkataan William.

“William, aku akan mengganti pakaianku terlebih dahulu, sebelum melayanimu,” ujar Fiona, tanpa menunggu jawaban dari suaminya itu, dia segera pergi menuju kamarnya, berjalan meninggalkan William dengan langkah-langkah yang lambat, memastikan setiap gerakannya terkesan provokatif. Dia sengaja membuat William semakin muak dengan bersikap seperti itu.

Setelah mengganti pakaiannya, Fiona berjalan menuju dapur dengan rambut yang digulung cepol asal-asalan, membiarkan anak rambutnya menjuntai begitu saja. Fiona benar-benar memasak untuk makan malam mereka berdua, tanpa bantuan siapa pun. Dia memasaknya sendirian dengan penuh semangat, memotong sayuran dengan lihainya.

Bagi Fiona, memasak bukanlah hal yang asing. Dia sudah terbiasa melakukannya ketika bersama ibunya.

Dari kejauhan, William melihat pemandangan yang tak pernah dilihatnya. Ada perasaan tak biasa dalam diri William saat melihat Fiona memasak. Wajah Fiona tampak semakin cantik, dan keseriusannya dalam memasak benar-benar berbeda dengan sikap Fiona yang William kenal.

“Selesai!” gumam Fiona sambil berjalan mendekati meja makan.

William sudah menunggunya sejak beberapa menit yang lalu. Dia menatap menu makanan yang terlihat menggiurkan.

“Makanlah ini,” kata Fiona, memberikan semangkuk kecil sup buatannya yang telah dicampuri garam dengan begitu banyak.

Fiona sengaja melakukannya untuk mengerjai William. Namun, Fiona malah dikejutkan dengan William yang terus meminum sup tersebut tanpa berkomentar apa pun. Wajahnya tidak memperlihatkan ekspresi sedikit pun. Hal itu membuat Fiona merasa sedikit cemas.

“William, hentikan!” pinta Fiona dengan nada panik. Namun, William tetap melakukannya.

Fiona semakin panik dan mengambil mangkuk sup tersebut dari tangan William.

“Apa kau sudah gila? Ini terlalu banyak garam, tidak baik untuk kesehatanmu,” seru Fiona dengan nada tegas.

William tersenyum tipis, sampai-sampai senyumnya itu tidak akan terlihat di wajahnya, menatap Fiona tanpa berkata apapun.

Fiona terdiam sejenak, lalu meletakkan mangkuk tersebut di meja. Dia berniat mengerjai William, tetapi dia sendiri yang merasa cemas.

"Jangan pernah melakukan hal bodoh seperti itu lagi," ujarnya, mencoba menyembunyikan kekhawatiran di balik nada suaranya yang tegas. Wajahnya berubah cemberut karena merasa gagal mengerjai William yang sama sekali tidak peduli dengan apa yang dilakukannya.

“Bukan aku yang melakukan hal bodoh itu, tapi–” Belum selesai William berucap, Fiona telah memotong perkataannya.

“Ya, aku tahu itu salahku. Maaf!” ucap Fiona dengan nada pelan. William hanya menganggukkan kepalanya.

Fiona menghela napas, lalu duduk di sebelah William. "Sekarang kita makan dengan benar," ucapnya sambil menyodorkan piring dengan makanan yang sudah disiapkannya.

Mereka berdua pun mulai makan malam dengan suasana yang lebih tenang.

****

Satu jam setelah selesai makan malam, Fiona berjalan penuh percaya diri melewati William yang sedang membicarakan pekerjaan dengan asistennya yang bernama, Max.

Baru beberapa langkah melewati William, dia berbalik dan melayangkan senyum penuh tipu daya ke arah William yang tanpa sengaja melihat ke arah Fiona.

"Aku akan keluar malam ini. Jangan tunggu aku pulang," katanya dengan nada santai.

William menghela napas panjang, menatap Fiona dengan tatapan dingin.

"Lakukan apa yang kau mau. Aku tidak peduli," balasnya dengan suara datar, menunjukkan ketidaktertarikannya pada Fiona.

Fiona tersenyum senang, merasa puas dengan reaksi William. Dia lalu berjalan keluar, memastikan pintu tertutup dengan suara yang sengaja dibuat cukup keras untuk menegaskan kepergiannya.

Setelah Fiona pergi, William meremas lengan kursi rodanya, berusaha meredam kemarahan yang membara dalam dirinya.

Max yang melihat reaksi William mencoba bertanya, “Apa kita perlu mengikutinya?”

“Tidak perlu!” William dengan cepat menjawab.

Di luar ruangan, Fiona berhenti sejenak, menatap bayangan dirinya di cermin besar di lorong, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

Sebuah senyum tipis tercetak jelas di bibirnya.

Dengan cara seperti ini, dia bisa mempertahankan kendali atas dirinya sendiri tanpa terjebak dalam permainan perasaan dan akan membuatnya semakin dekat dengan tujuannya.

Fiona menghela napas, mengangkat dagunya, dan melanjutkan langkahnya keluar rumah.

Malam ini, dia akan pergi bersenang-senang menikmati hiburan dengan menonton balap mobil liar yang biasanya diselenggarakan setelah jalanan sepi.

Bagi Fiona, menonton balapan dan bermain di malam hari sudah menjadi kebiasaan saat tinggal di Italia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status