Fiona berdiri tepat di hadapan William yang melihatnya dengan tatapan datar. Fiona menundukkan setengah badannya agar sejajar dengan William yang duduk di kursi roda, sambil memainkan dasi merah yang dipakainya.
"Apakah kamu marah padaku?" tanyanya dengan suara lembut. Hening, tak ada jawaban yang keluar dari mulut William. Dia hanya diam memperhatikan gerak gerik Fiona. Dengan sentuhan lembut, Fiona meraba jas hitam William lalu merubah tangannya menjadi menunjuk tepat di arah detak jantung William. “William, apa kamu masih ingat perkataanku kemarin? Jika lupa, aku akan ingatkan sekali lagi, bahwa kau tidak punya hak untuk melarang apapun yang aku lakukan karena aku tidak suka dilarang, termasuk oleh suamiku sendiri. Apalagi pernikahan kita-" Fiona belum menyelesaikan ucapannya, William telah memotong pembicaraannya. "Kau tidak perlu membahasnya lagi! Aku sama sekali tidak tertarik dengan urusanmu," potong William dengan suara dingin, matanya menatap kosong ke arah lain. Fiona terdiam sejenak, menelan ludah dengan perlahan. "Oh, baiklah! Apa kamu sudah makan malam? Bagaimana jika kita makan malam bersama? Aku akan memasak beberapa menu makanan untukmu," bisiknya, dengan nada suara menggoda. William tetap tidak merespons, tatapannya sama sekali tidak melihat ke arah Fiona. Merasa diabaikan dengan sia-sia, Fiona berdiri tegak dan mulai merapikan rambutnya dengan gerakan yang terlalu dibuat-buat, memperlihatkan leher jenjangnya. "Kau tahu, di luar sana masih banyak pria yang akan melakukan apa saja untuk mendapatkan perhatian dariku, dan juga masakan terenak yang aku buat," katanya dengan nada genit, berharap bisa memancing reaksi dari William. Fiona mendekatkan dirinya lagi, kali ini tangannya bermain di kerah jas William, jemarinya yang lentik seakan menari di sepanjang kain. "Kau begitu kaku, William. Tidak bisakah kita makan malam bersama? Seperti sepasang suami istri atau pengantin baru." William hanya menarik napas dalam-dalam tanpa menjawab perkataan Fiona. Fiona tersenyum lebar, matanya berkilat nakal. "Oh, ayolah, kau pasti menginginkannya kan?" godanya. Namun, William sama sekali tidak peduli dengan apa yang Fiona katakan. Dengan wajah cemberut, Fiona merasa kesal karena terus diabaikan. Saat Fiona hendak berbalik untuk pergi, William dengan cepat menarik pinggangnya, membuatnya kehilangan keseimbangan. Fiona terjatuh ke pangkuan William, terduduk di atas kursi roda bersamanya. "Apa yang kau lakukan?!" seru Fiona, mencoba mengendalikan emosi dan keterkejutan dalam suaranya. William mendekatkan wajahnya ke telinga Fiona dan berbisik dengan nada dingin, “Fiona, kau berhasil membuatku ingin mencoba masakanmu! Tapi kau gagal membuatku terkesan,” Fiona terdiam, wajahnya memucat sejenak sebelum mengganti ekspresinya dengan senyuman penuh tipu daya. "Baiklah, William. Mungkin aku akan mencoba cara lain untuk membuatmu terkesan," katanya, mencoba mempertahankan senyum di bibirnya. "Cobalah sepuasmu, Fiona. Aku tidak akan pernah tertarik pada permainanmu,” bisik William, tepat di telinganya. William melepaskan genggamannya yang melingkar di pinggang Fiona dengan kasar. Fiona segera berdiri, merapikan pakaiannya, mengabaikan perkataan William. “William, aku akan mengganti pakaianku terlebih dahulu, sebelum melayanimu,” ujar Fiona, tanpa menunggu jawaban dari suaminya itu, dia segera pergi menuju kamarnya, berjalan meninggalkan William dengan langkah-langkah yang lambat, memastikan setiap gerakannya terkesan provokatif. Dia sengaja membuat William semakin muak dengan bersikap seperti itu. Setelah mengganti pakaiannya, Fiona berjalan menuju dapur dengan rambut yang digulung cepol asal-asalan, membiarkan anak rambutnya menjuntai begitu saja. Fiona benar-benar memasak untuk makan malam mereka berdua, tanpa bantuan siapa pun. Dia memasaknya sendirian dengan penuh semangat, memotong sayuran dengan lihainya. Bagi Fiona, memasak bukanlah hal yang asing. Dia sudah terbiasa melakukannya ketika bersama ibunya. Dari kejauhan, William melihat pemandangan yang tak pernah dilihatnya. Ada perasaan tak biasa dalam diri William saat melihat Fiona memasak. Wajah Fiona tampak semakin cantik, dan keseriusannya dalam memasak benar-benar berbeda dengan sikap Fiona yang William kenal. “Selesai!” gumam Fiona sambil berjalan mendekati meja makan. William sudah menunggunya sejak beberapa menit yang lalu. Dia menatap menu makanan yang terlihat menggiurkan. “Makanlah ini,” kata Fiona, memberikan semangkuk kecil sup buatannya yang telah dicampuri garam dengan begitu banyak. Fiona sengaja melakukannya untuk mengerjai William. Namun, Fiona malah dikejutkan dengan William yang terus meminum sup tersebut tanpa berkomentar apa pun. Wajahnya tidak memperlihatkan ekspresi sedikit pun. Hal itu membuat Fiona merasa sedikit cemas. “William, hentikan!” pinta Fiona dengan nada panik. Namun, William tetap melakukannya. Fiona semakin panik dan mengambil mangkuk sup tersebut dari tangan William. “Apa kau sudah gila? Ini terlalu banyak garam, tidak baik untuk kesehatanmu,” seru Fiona dengan nada tegas. William tersenyum tipis, sampai-sampai senyumnya itu tidak akan terlihat di wajahnya, menatap Fiona tanpa berkata apapun. Fiona terdiam sejenak, lalu meletakkan mangkuk tersebut di meja. Dia berniat mengerjai William, tetapi dia sendiri yang merasa cemas. "Jangan pernah melakukan hal bodoh seperti itu lagi," ujarnya, mencoba menyembunyikan kekhawatiran di balik nada suaranya yang tegas. Wajahnya berubah cemberut karena merasa gagal mengerjai William yang sama sekali tidak peduli dengan apa yang dilakukannya. “Bukan aku yang melakukan hal bodoh itu, tapi–” Belum selesai William berucap, Fiona telah memotong perkataannya. “Ya, aku tahu itu salahku. Maaf!” ucap Fiona dengan nada pelan. William hanya menganggukkan kepalanya. Fiona menghela napas, lalu duduk di sebelah William. "Sekarang kita makan dengan benar," ucapnya sambil menyodorkan piring dengan makanan yang sudah disiapkannya. Mereka berdua pun mulai makan malam dengan suasana yang lebih tenang. **** Satu jam setelah selesai makan malam, Fiona berjalan penuh percaya diri melewati William yang sedang membicarakan pekerjaan dengan asistennya yang bernama, Max. Baru beberapa langkah melewati William, dia berbalik dan melayangkan senyum penuh tipu daya ke arah William yang tanpa sengaja melihat ke arah Fiona. "Aku akan keluar malam ini. Jangan tunggu aku pulang," katanya dengan nada santai. William menghela napas panjang, menatap Fiona dengan tatapan dingin. "Lakukan apa yang kau mau. Aku tidak peduli," balasnya dengan suara datar, menunjukkan ketidaktertarikannya pada Fiona. Fiona tersenyum senang, merasa puas dengan reaksi William. Dia lalu berjalan keluar, memastikan pintu tertutup dengan suara yang sengaja dibuat cukup keras untuk menegaskan kepergiannya. Setelah Fiona pergi, William meremas lengan kursi rodanya, berusaha meredam kemarahan yang membara dalam dirinya. Max yang melihat reaksi William mencoba bertanya, “Apa kita perlu mengikutinya?” “Tidak perlu!” William dengan cepat menjawab. Di luar ruangan, Fiona berhenti sejenak, menatap bayangan dirinya di cermin besar di lorong, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Sebuah senyum tipis tercetak jelas di bibirnya. Dengan cara seperti ini, dia bisa mempertahankan kendali atas dirinya sendiri tanpa terjebak dalam permainan perasaan dan akan membuatnya semakin dekat dengan tujuannya. Fiona menghela napas, mengangkat dagunya, dan melanjutkan langkahnya keluar rumah. Malam ini, dia akan pergi bersenang-senang menikmati hiburan dengan menonton balap mobil liar yang biasanya diselenggarakan setelah jalanan sepi. Bagi Fiona, menonton balapan dan bermain di malam hari sudah menjadi kebiasaan saat tinggal di Italia."Satu ... dua ... tiga!" Teriakan itu menggema di malam yang tenang, disambut dengan deru mesin yang meraung keras. Mobil-mobil melaju dengan cepat, meninggalkan jejak debu dan asap di jalanan aspal yang gelap. Seorang pria tampan berada di depan kemudi, memacu mobilnya dengan penuh percaya diri, matanya fokus pada jalan di depan. Cahaya lampu jalanan dan sorot lampu mobil-mobil lainnya memantulkan bayangan wajahnya yang tegang namun penuh determinasi. Di pinggir lintasan, Fiona baru saja tiba di lokasi. Dia memandang pemandangan di depannya dengan tenang, matanya menyapu kerumunan orang yang bersorak-sorai menyemangati para pembalap. Di sampingnya, Maya dan Adel berdiri dengan antusias, mengikuti setiap gerakan mobil-mobil yang berpacu di lintasan. "Wow, lihat dia! Mobilnya benar-benar melaju kencang," seru Maya, matanya berbinar penuh semangat. "Siapa orang yang di dalamnya itu? Dia begitu lihai," tanya Adel dengan nada penasaran, sambil menunjuk ke arah mobil yang mem
William hanya bisa melihat istrinya yang sedang berjongkok seperti anak kecil yang kehilangan induknya melalui CCTV yang terpasang di dalam lift dan terhubung dengan ponselnya. Sebelumnya, saat William baru selesai mengerjakan beberapa dokumen pekerjaannya. Dia mendapati banyak panggilan yang tak terjawab dari nomor dengan nama F, hanya satu huruf singkat dan itu adalah nomor ponsel Fiona. William mengabaikan teleponnya, baru saja dia menyimpan ponselnya kembali ke atas meja, seorang pembantu memberitahu bahwa Fiona terjebak di dalam lift. Sampai beberapa saat pintu lift berhasil dibuka, tetapi Fiona masih berjongkok dengan pikirannya. William mencoba mendekati Fiona dengan kursi rodanya. “Apa kau akan terus berjongkok disini?” ucap William, tetapi tidak ada respon darinya. “Ehmmm...” William berdehem cukup keras, Fiona masih saja tak bergeming. Dengan ragu-ragu, William menarik beberapa helai rambut Fiona cukup kencang lalu berpura-pura seolah-olah dia tidak melakukannya.
Setelah kejadian tadi pagi, seseorang datang ke dalam kelas Fiona dan memberitahunya untuk ke ruang guru.Dengan perasaan kesal, Fiona menuju ruang guru sesuai dengan panggilan yang diterimanya.Di ruang guru, seorang guru BK yang bernama Pak Herman sudah menunggu kedatangan Fiona."Fiona, kamu tahu mengapa kamu dipanggil ke sini?" tanya Pak Herman dengan nada tegas.Fiona mengangguk perlahan. "Iya, Pak."Pak Herman menatapnya tajam. "Jika kamu tahu, kenapa harus ada percekcokan, bahkan sampai bertengkar dan membuat tangan Juwita terluka?"Fiona terkejut mendengar apa yang baru saja dikatakan Pak Herman. “Tapi, Pak, itu bukan kesalahan saya.”“Kamu ini, masih saja membantah. Jangan mentang-mentang keluargamu orang berada sehingga bisa membantah aturan sekolah. Apalagi dengan membawa begitu banyak alat make-up seperti ini. Kamu datang ke sekolah untuk belajar atau pamer kecantikanmu? Membawa alat-alat make-up seperti itu,
Namun, pikiran Fiona seketika buyar setelah mendengar perkataan William.“Make-up yang dipakai olehmu sangat berantakan, terlihat jelek. Aku akan bantu menghapusnya,” ujar William sambil menggunakan tangan satunya lagi untuk menghapus lipstik di bibir Fiona hingga berantakan di sekitar bibirnya.“William, kenapa kamu menghapusnya?” seru Fiona, berusaha melepaskan tangannya yang digenggam erat oleh William.William tidak menghiraukan perkataan Fiona. “Dan, merah-merah di pipimu sangat buruk, seperti orang yang habis terkena pukulan. Aku akan menghapusnya lagi,” katanya sambil kembali menghapus blush on yang sengaja dipakai Fiona.“Ahh… William, jangan! Hentikan,” teriak Fiona mencoba menghentikan tangan William yang terus menghapus make-up-nya.“Selesai,” gumam William sambil melepaskan tangannya lalu menjauh dari hadapan Fiona yang setengah tubuhnya masih berada di atas meja.Fiona merengut kesal, wajahnya terlihat memerah. Matan
William segera menekan tombol di samping ranjang yang akan terhubung ke lantai bawah untuk memanggil pembantunya. Tak butuh waktu lama, seorang pembantu wanita datang dan berdiri di depan William yang baru membuka pintu. Dia sedang menunggu perintah dari tuannya setelah beberapa saat yang lalu dipanggil, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut William. Dengan wajah agak canggung, William berkata, "Bawakan roti bersayap untuknya." Pembantu itu mengernyit bingung, mencoba memikirkan permintaan tuannya yang tidak biasa itu. "Tuan, kita tidak memiliki roti bersayap. Tapi aku bisa membuatkan roti bersayap dengan potongan sayap ayam," jawabnya dengan ekspresi bingung namun berusaha membantu. William mendesah pelan, merasa kebingungan sendiri. Dia memutar otaknya, mencoba mencari cara untuk menjelaskan tanpa langsung menyebutkan kata-kata yang terasa memalukan baginya.
Dengan wajah merengut kesal, Fiona mencoba menghubungi William untuk menjemputnya pulang. Namun, pria itu sama sekali tidak mengangkat teleponnya dan bahkan ada beberapa kali panggilan yang di rijeknya.‘Punya suami terasa tidak punya. Dia tidak bisa diandalkan,’ gerutu Fiona di dalam hati tanpa sadar telah mengakui William sebagai suaminya. Dia melangkah menjauhi mobilnya untuk mencari kedua temannya.Ketika baru beberapa langkah, Fiona menghentikan langkahnya mengingat Adel dan Maya tidak membawa mobil, bahkan mereka baru saja pulang.Fiona menghela napasnya, melihat sekeliling parkiran mencoba melihat orang yang telah berani bermain-main dengannya, sampai matanya melihat Juwita dari jarak yang sedikit jauh darinya. Gadis itu sedang tertawa lepas bersama beberapa teman satu kelasnya, Fiona yang di landa kesal karena ban mobilnya yang bocor hendak berjalan menghampirinya. Namun, tak sengaja dia menabrak Alvaro yang hendak melewatinya sam
Langit mulai gelap dan suasana di sekitar kantor menjadi semakin sepi. Fiona duduk di sana, merasa seperti anak yang terbuang, tanpa ada tempat untuk pulang dan tanpa siapa pun yang peduli. Bahkan mobil taksi tidak ada satu pun yang lewat, membuat Fiona benar-benar tak berdaya. Dia terus menunggu di depan gedung kantornya. Matahari telah lama tenggelam, dan malam semakin larut. Fiona tidak tahu bahwa William telah pergi sejak siang untuk mengecek beberapa pekerjaannya di luar kantor setelah selesai rapat. Kantor mulai sepi, satu per satu lampu di dalam gedung padam, menandakan bahwa tempat itu sudah tutup. Fiona tetap berada di sana, berharap William akan keluar dan menemukannya. Namun, harapan itu ternyata tidak sesuai dengan harapannya. Tiba-tiba, satpam mendekati Fiona. Pria itu berhenti di depannya, memandang Fiona dengan ekspresi datar. “Nona, Tuan William sudah tidak ada di kantor. Dia telah pergi sejak siang tadi.”Fiona menatap satpam itu dengan kaget, matanya yang tadinya
Alvaro berdiri dari kursinya dengan kasar tanpa sepatah kata lagi, Alvaro meninggalkan meja dengan langkah cepat, membuat seluruh kantin bertanya-tanya. Fiona terdiam, dia masih terkejut dengan kemarahan Alvaro. Juwita, yang awalnya merasa kesal hanya tersenyum sinis. Dia memandangi Fiona sejenak sebelum ikut pergi dengan sikap sombong. Anggota OSIS lainnya mengikuti langkah Juwita, meninggalkan meja yang sekarang kosong.Fiona masih berdiri di tempatnya, menatap uang yang ada di atas meja. “Fiona, duduklah! Kamu telah berhasil membuat mereka pergi,” ujar Maya yang duduk terlebih dahulu di bangku tersebut.“Ngapain kalian lihat-lihat!? Mau aku keluarkan mata kalian,” teriak Fiona dengan keras, menatap ke semua siswa yang melihat ke arahnya. Fiona menghela napas lalu ikut duduk dengan kesal, mengabaikan kejadian sebelumnya. Mereka memesan makanan.Saat mereka sedang asyik makan sambil berbicara, tiba-tiba Sintia berjalan mendekati meja mereka dengan gugup tetapi memiliki keberanian
Wajah Fiona seketika menegang. Ia kini memahami mengapa suasana sekolah begitu aneh sejak kedatangannya.“Fiona, bisakah kau menjelaskan ini?” tanya kepala sekolah dengan nada serius.Fiona menatap foto-foto itu, lalu menegakkan bahunya. “Apa yang harus saya jelaskan, Pak?” tanyanya, berusaha tetap tenang.“Apakah benar kau sudah menikah?” tanya salah satu guru perempuan. “Dan pria dalam foto ini … suamimu?”Fiona menarik napas. Tak ada gunanya berbohong, karena semuanya sudah terungkap. “Ya, benar, dia suamiku. Pemilik sekolah ini,” jawabnya.Suasana ruangan seketika menjadi sunyi. Para guru saling bertukar pandang, sementara kepala sekolah menghela napas panjang.“Kami tidak melarang siswa menikah, tetapi yang menjadi masalah adalah reaksi yang ditimbulkan karena tersebarnya foto dan video ini,” jelas kepala sekolah. “Banyak siswa yang membicarakan hal ini dan tidak sedikit yang memberikan komentar yang tidak pantas. Kami khawatir hal ini akan mempengaruhi lingkungan sekolah.”Fiona
Azalea tampak terkejut melihat William. Rasa takut tiba-tiba merayapi hatinya, tetapi dengan cepat ia menegakkan punggungnya dengan percaya diri. Keberadaan Zayver di sisinya seolah memberinya kekuatan. Mereka berdua berjalan mendekati William yang berhenti tak jauh dari mereka. “Tuan, apa kita harus putar balik,” bisik Max, mencoba membujuk tuannya untuk pergi. Namun, William mengangkat tangannya, menghentikan Max. “Tidak perlu,” katanya dengan tegas.Zayver tiba di depan William, berdiri dengan sikap arogan. Senyum lebar terukir di wajahnya, senyum yang penuh dengan rasa puas dan bangga. “Kakak, apa kabar? Lama tak jumpa,” katanya dengan nada yang dibuat-buat.William hanya mendengus kasar, menahan keinginannya untuk membalas dengan lebih dari sekadar kata-kata. Ia tetap diam, tatapannya dingin begitu menusuk Zayver.Zayver yang tampaknya tidak cukup puas karena tidak ada jawab, ia kembali berbicara. “Kakak, aku dengar-dengar, kau sudah merestui hubungan ayahmu dan ibuku. Aku sa
Fiona seketika di buat panik, napasnya memburu. “William, bagaimana ini…?” tanyanya dengan suara bergetar. William segera menarik tubuh Fiona ke dalam pelukannya, mencoba menenangkan gadis itu agar tidak takut. “Tenanglah,” katanya pelan. “Bagaimana bisa tenang, apa kau tidak lihat mereka begitu banyak, sedangkan kita hanya bertiga. Kita tidak akan mampu melawan mereka,” kata Fiona dengan nada yang sedikit keras karena panik. Ia segera meraih ponselnya. “Kita harus menghubungi Max.” Dengan tangan gemetar Fiona mencoba mencari nomor telepon Max. Setelah berhasil menemukannya ia segera menghubunginya. Namun, panggilannya tidak dijawab. Fiona semakin cemas.Supir yang duduk di depan mencoba keluar untuk melawan orang-orang itu, meski ia hanya sendirian.“William, bagaimana ini… Dia tidak akan mampu melawannya,” kata Fiona dengan tangannya yang memegang erat jas yang dipakai William. “Ahhh…” Fiona berteriak, melihat supir yang dilumuri dengan darah terjatuh di depan mobil. Tidak but
Ketika sampai di lantai bawah, William mendengar suara yang berasal dari dapur dengan rasa penasaran ia menuju ke dapur. Matanya terpesona oleh pemandangan yang jarang ia lihat. Fiona berdiri di depan kompor, sibuk memasak sesuatu. Baju tidurnya yang berbahan satin memantulkan cahaya lembut dari lampu dapur, membuatnya terlihat menawan meski rambutnya terlihat berantakan tetapi wajah cantiknya, benar-benar membuat William kesulitan untuk memalingkan matanya. “Fiona,” panggil William, suaranya terdengar pelan tapi cukup membuat Fiona menoleh.Fiona tersenyum, menatap William yang mendorong kursi rodanya mendekat. “Kau bangun pagi,” katanya sambil mematikan kompor dan membawa piring ke meja makan.“Seharusnya aku yang berkata begitu. Kau biasanya bangun lebih siang.”Fiona tertawa pelan. “Aku tidak bisa tidur nyenyak semalam, jadi aku pikir, kenapa tidak bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuk kita berdua.”William mengamati wajah Fiona. “Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” ta
Di dalam mobil, suasana hening. Fiona melirik William yang terlihat dingin, pandangannya lurus ke depan.Fiona menggeser duduknya, mendekat dan bersandar pada lengannya. "William...""Aku tidak suka ada orang lain yang menyeretmu ke masalah seperti ini," potong William.Fiona tersenyum tipis, lalu menjawab dengan nada lembut, "Tidak apa-apa. Lagi pula, ini bukan masalah yang serius. Kalau saja kau mau menurunkan ego sedikit, semuanya akan selesai lebih cepat," ucapnya, sambil mengecup pipi William.William tak membalas perkataan Fiona; ia hanya diam dengan wajah tanpa ekspresi.Fiona tetap bersandar, memainkan dasi merah yang dipakai William."William, aku ingin tahu. Apa alasanmu tidak merestui hubungan mereka? Ayah membutuhkan seorang pendamping di usianya yang tak lagi muda, dan Ibu ingin memperbaiki hubungan denganmu. Mereka tulus, William. Mereka benar-benar peduli."William memalingkan wajahnya, matanya ke arah Fiona. "Peduli?" katanya dingin. "Jika mereka peduli, mereka tidak a
Di dalam ruang kantor, setelah selesai rapat. William hanya duduk dengan wajah datar. Jarinya mengetuk-ngetuk meja, tanda bahwa pikirannya sedang kacau. Beberapa menit kemudian, Max masuk ke ruangannya dengan langkah cepat. “Tuan, kami menemukan jejaknya. Salah satu tim mendeteksi mobil Nona Fiona di sebuah restoran yang ada di pinggiran kota. Kami sedang mengirim orang ke sana.”William menatap Max cukup tajam, membuat pria itu sedikit ketakutan dengan tatapannya. “Siapkan mobilku. Aku ingin pergi sekarang.”“Tuan, Anda tidak perlu turun langsung. Kami bisa mengurusnya,” balas Max dengan hati-hati.“Tutup mulutmu, Max. Aku tidak akan duduk diam di sini sementara istriku mungkin dalam bahaya,” jawab William dengan nada tajam.****Fiona turun dari mobil dengan langkah ragu. Rumah megah yang berdiri di hadapannya terlihat begitu mewah, dengan taman luas dan air mancur yang memancarkan cahaya saat terkena sinar matahari. Namun, keindahan itu tidak mampu mengusir rasa takut yang meray
Fiona memutuskan untuk mengerjai orang-orang yang ia kira anak buah William yang diperintahkan untuk mengikutinya dengan mempercepat laju mobilnya, menikung tajam di sebuah persimpangan, dan memasuki jalan yang lebih kecil.Namun, kedua mobil itu tetap menempel di belakangnya, tidak menunjukkan tanda-tanda untuk menghindar. Fiona mulai merasa kesal. Fiona sedikit memelankan laju mobilnya, ia mengirim sebuah pesan pada William untuk menarik anak buahnya. Setelah pesan itu terkirim, Fiona memutuskan untuk mengetes mereka sekali lagi. Ia menekan pedal gas lebih dalam, membuat mobilnya melesat dengan kecepatan yang lebih tinggi. Namun, kedua mobil itu ternyata mampu mengejarnya dengan mudah.Suara derit ban yang mendadak terdengar ketika Fiona harus mengerem secara tiba-tiba di sebuah persimpangan untuk menghindari sebuah truk yang melintas. Mobilnya berhenti dengan aman, tetapi kedua mobil di belakangnya juga berhenti dengan kecepatan tinggi, hampir menyerempet mobil Fiona.“Dasar tida
Setelah beberapa saat, William akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. “Fiona, apa kau tidak suka aku membawamu kemari?”Fiona menoleh ke arah William, senyum kecil terulas di wajahnya. “Aku menyukainya, William,” jawabnya pelan.William terdiam sejenak, menatap matanya dengan begitu intens. “Kalau begitu, apa kau baik-baik saja? Apa yang sedang kau pikirkan?”Fiona menghela napas, ia sudah mendungannya William akan bertanya seperti itu. Pandangan matanya jatuh ke meja di depannya. “Aku hanya … banyak berpikir,” jawabnya. Fiona merasa jawabannya sangat aneh, namun ia tidak mengulangi perkataannya. “Tentang apa?” tanya William, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.Fiona mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk mencari alasan, tetapi ia tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Ia tidak ingin William tahu tentang Azalea yang dilihatnya waktu di jalan. “Hanya … tentang sekolah, teman-teman, dan banyak hal lainnya,” jawabnya samar.William mengangguk, meskipun jelas ia tidak sepenuh
“Terima kasih,” ucap William dengan nada pelan. Ia hendak menarik pinggang Fiona untuk duduk di atas pangkuannya, namun Fiona malah menghindar. Fiona tidak menjawab atau bahkan tersenyum. Ia langsung mengambil segelas air, meneguknya, lalu duduk dengan tenang.Suasana di antara mereka terasa sunyi, seperti ada tembok tak terlihat yang memisahkan mereka.William menatap Fiona begitu dalam, mencoba mencari tahu apa yang salah. Padahal sebelumnya mereka selalu menikmati kebersamaan dengan romantis, setelah kejadian malam itu. Tetapi sejak semalam, semuanya terasa berbeda, seperti kembali ke hari-hari awal pernikahan mereka yang dingin dan terhalang jarak. William menghela napas lalu mengambil roti, mengolesinya dengan selai stroberi, salah satu kesukaan Fiona, dan meletakkannya di piring Fiona.“Ini, makanlah,” katanya sambil mendorong piring itu sedikit ke arahnya.Fiona mengangkat pandangannya sejenak, lalu berkata, “Terima kasih,” dengan nada datar. Ia mengambil roti itu dan mulai m