Share

Bab 7 Balapan Liar

"Satu ... dua ... tiga!"

Teriakan itu menggema di malam yang tenang, disambut dengan deru mesin yang meraung keras. Mobil-mobil melaju dengan cepat, meninggalkan jejak debu dan asap di jalanan aspal yang gelap.

Seorang pria tampan berada di depan kemudi, memacu mobilnya dengan penuh percaya diri, matanya fokus pada jalan di depan.

Cahaya lampu jalanan dan sorot lampu mobil-mobil lainnya memantulkan bayangan wajahnya yang tegang namun penuh determinasi.

Di pinggir lintasan, Fiona baru saja tiba di lokasi. Dia memandang pemandangan di depannya dengan tenang, matanya menyapu kerumunan orang yang bersorak-sorai menyemangati para pembalap. Di sampingnya, Maya dan Adel berdiri dengan antusias, mengikuti setiap gerakan mobil-mobil yang berpacu di lintasan.

"Wow, lihat dia! Mobilnya benar-benar melaju kencang," seru Maya, matanya berbinar penuh semangat.

"Siapa orang yang di dalamnya itu? Dia begitu lihai," tanya Adel dengan nada penasaran, sambil menunjuk ke arah mobil yang memimpin balapan.

Fiona tersenyum tipis, menikmati momen tersebut. "Aku tidak tahu, tapi dia memang terlihat sangat profesional," jawabnya pelan.

Mobil-mobil terus berpacu, saling mendahului dengan kecepatan dan ketegangan yang memukau. Suara derit ban mobil yang bergesekan dengan aspal terdengar jelas, menambahkan keseruan suasana balapan.

Fiona menatap intens mobil hitam paling depan yang memimpin balapan dengan tatapan penuh arti. "Siapapun dia, dia sangat berbakat," gumamnya dalam hati.

Di dalam mobil, pria itu semakin mempercepat laju mobilnya, meninggalkan lawan-lawannya jauh di belakang. Sorakan penonton semakin keras, memberikan semangat tambahan bagi para pembalap.

Di saat yang bersamaan, Maya dan Adel terus memperhatikan setiap gerakan dengan penuh konsentrasi, ekspresi wajah mereka dipenuhi dengan ketertarikan. Suasana ceria terpancar jelas dari wajah mereka, membuat malam terasa begitu menyenangkan.

Bagi Adel dan Maya, ini adalah pengalaman pertama mereka menyaksikan balapan liar karena Fiona yang mengajak mereka.

Beberapa saat kemudian, mobil pria itu melintasi garis finish dengan kecepatan penuh, disambut dengan sorakan meriah dari penonton.

Ketika pria itu keluar dari mobilnya, Fiona terlihat terkejut, begitu pula Adel dan Maya.

"Itu ... itu Alvaro!" seru Maya dengan mata terbelalak.

Adel menutupi mulut dengan tangannya, seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Alvaro? Ketua OSIS kita?" ucapnya cukup terkejut.

Fiona mengangguk, sama terkejutnya. "Siapa sangka dia bisa balapan seperti ini? Sangat menarik."

Alvaro melihat sekeliling, dia juga sedikit terkejut melihat Fiona dan kedua temannya berdiri tak jauh darinya. Alvaro hanya tersenyum tipis tanpa berniat menyapa Fiona, memilih berjalan mendekati beberapa teman laki-laki dan beberapa teman perempuannya yang sama sekali tidak dikenal oleh mereka bertiga.

"Siapa orang-orang yang bersama Alvaro? Sepertinya, mereka tidak satu sekolah dengan kita," ujar Maya.

"Mana aku tahu! Aku baru masuk sekolah tadi siang," ucap Fiona.

"Ya, sepertinya mereka memang tidak satu sekolah dengan kita," sahut Adel.

Mereka bertiga terlihat penasaran dengan teman-teman Alvaro yang tidak ada satupun di antara mereka yang satu sekolah dengannya.

Fiona tiba-tiba menyunggingkan bibirnya, seakan dia baru saja mendapatkan ide yang sangat bagus di dalam kepalanya.

"Ayo kita pergi!" ajak Fiona, mengajak kedua temannya menuju mobilnya untuk segera pulang.

Tak butuh waktu lama, Fiona telah tiba di kediaman Stefanus Thene setelah mengantar pulang kedua temannya.

Fiona dengan santainya berjalan menuju lift yang ada di rumah William. Di samping lift tersebut, terdapat lift kedua yang berdampingan. Fiona masuk ke dalam salah satunya, memilih menggunakan lift karena berjalan menuju tangga akan melelahkan. Apalagi kamarnya berada di lantai atas.

Saat Fiona telah berada di dalam lift, pintu lift tertutup dengan suara halus. Fiona menekan tombol lantai yang diinginkannya, namun tiba-tiba lift itu berhenti bergerak setelah berguncang untuk sesaat. Fiona mencoba menekan tombol lainnya dengan wajah yang mulai panik, namun tidak ada respons.

"Kenapa liftnya berhenti?" pikirnya.

Fiona terus menekan tombol darurat berkali-kali, tetapi tetap tidak ada reaksi. Dia mulai merasa panik semakin menjadi-jadi. Fiona memukul-mukul dinding lift, berharap ada yang mendengarnya.

"Tolong! Ada orang disini! Tolong aku!" teriak Fiona, suaranya bergetar penuh kepanikan.

Fiona mencoba memencet semua tombol yang ada di dalam lift, dari tombol lantai hingga tombol darurat, namun lift tetap tidak bergerak. Keringat mulai mengalir di dahinya dan detak jantungnya semakin cepat. Rasa takut mulai merayapi pikirannya. Dia memukul-mukul pintu lift, berharap ada seseorang yang mendengarnya di luar sana.

"Tolong! Siapapun! Tolong aku!" jeritnya lagi, suaranya semakin serak.

Pikiran Fiona mulai kacau. "Bagaimana jika tidak ada yang menemukanku? Bagaimana jika aku terjebak di sini selamanya?" pikirnya. Dia merasakan ketakutan yang luar biasa, mengingat dia tidak suka berada di ruang sempit untuk waktu yang lama.

Fiona mencoba menarik napas dalam-dalam, menenangkan dirinya.

"William? Ya… Aku harus menghubunginya," ucap Fiona dengan cepat, mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya.

Fiona mencoba mencari nomor William di daftar kontaknya, tetapi dia tidak kunjung menemukan nomornya.

"Shit! Aku belum menyimpan nomornya." Lagi-lagi Fiona berbicara sendiri, dan segera membuka menu pesan untuk melihat nomor William yang tadi siang mengirimnya pesan.

Akhirnya, Fiona berhasil menemukan nomor ponselnya. Dengan cepat dia memencet tombol panggilan. Namun, sudah beberapa detik William belum juga mengangkat teleponnya.

"Apa dia sudah tidur? Tidak-tidak, dia tidak boleh tidur." Fiona segera menghubunginya lagi. Sampai beberapa kali dia terus menghubunginya, tetapi William tidak kunjung mengangkat teleponnya. Satu-satunya orang yang diharapkan Fiona saat ini adalah dia. Tanpa terasa air mata Fiona menetes ke atas ponselnya.

Fiona berjongkok dengan ponsel yang masih digenggamnya. Raut wajah sedih dan takut hanya bisa dirasakan olehnya tanpa tahu harus berbuat apa agar bisa keluar dari dalam lift.

Bayangan masa kecilnya tiba-tiba muncul kembali dalam benak Fiona. Ketika pertama kalinya dia terjebak di dalam lift sendirian karena kecerobohannya yang ingin menggunakan lift tanpa tahu akibatnya. Semua itu terjadi saat kedua orang tuanya sedang bertengkar hebat di rumah. Fiona malah pergi dari rumahnya bersama sang kakak. Dia berniat untuk menghibur dirinya dengan bermain ke sebuah timezone bersama Azalea, justru malah terjebak di dalam lift. Ada banyak permainan anak-anak di sina, dia sudah terbiasa datang ke mal yang tak jauh dari rumahnya. Apalagi kehidupan mewah sudah ada sejak Fiona lahir, tetapi baginya kehidupan mewah tidak membuatnya merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Fiona selalu saja mendengar kedua orang tuanya bertengkar karena kesalahpahaman yang sudah tak dapat mereka selesaikan, belum lagi perusahaan ayahnya mengalami penurunan yang cukup serius pada saat itu, dan membuat orang tuanya hampir setiap hari bertengkar.

Dalam kesedihan yang terus melanda hati Fiona yang masih terjebak di dalam lift, ada banyak penjaga berada di luar yang telah diperintahkan William untuk segera mengeluarkan Fiona.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status