Beranda / Romansa / BENIH PRESDIR LUMPUH / Bab 7 Balapan Liar

Share

Bab 7 Balapan Liar

Penulis: Simbaradiffa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-14 08:24:50

"Satu ... dua ... tiga!"

Teriakan itu menggema di malam yang tenang, disambut dengan deru mesin yang meraung keras. Mobil-mobil melaju dengan cepat, meninggalkan jejak debu dan asap di jalanan aspal yang gelap.

Seorang pria tampan berada di depan kemudi, memacu mobilnya dengan penuh percaya diri, matanya fokus pada jalan di depan.

Cahaya lampu jalanan dan sorot lampu mobil-mobil lainnya memantulkan bayangan wajahnya yang tegang namun penuh determinasi.

Di pinggir lintasan, Fiona baru saja tiba di lokasi. Dia memandang pemandangan di depannya dengan tenang, matanya menyapu kerumunan orang yang bersorak-sorai menyemangati para pembalap. Di sampingnya, Maya dan Adel berdiri dengan antusias, mengikuti setiap gerakan mobil-mobil yang berpacu di lintasan.

"Wow, lihat dia! Mobilnya benar-benar melaju kencang," seru Maya, matanya berbinar penuh semangat.

"Siapa orang yang di dalamnya itu? Dia begitu lihai," tanya Adel dengan nada penasaran, sambil menunjuk ke arah mobil yang memimpin balapan.

Fiona tersenyum tipis, menikmati momen tersebut. "Aku tidak tahu, tapi dia memang terlihat sangat profesional," jawabnya pelan.

Mobil-mobil terus berpacu, saling mendahului dengan kecepatan dan ketegangan yang memukau. Suara derit ban mobil yang bergesekan dengan aspal terdengar jelas, menambahkan keseruan suasana balapan.

Fiona menatap intens mobil hitam paling depan yang memimpin balapan dengan tatapan penuh arti. "Siapapun dia, dia sangat berbakat," gumamnya dalam hati.

Di dalam mobil, pria itu semakin mempercepat laju mobilnya, meninggalkan lawan-lawannya jauh di belakang. Sorakan penonton semakin keras, memberikan semangat tambahan bagi para pembalap.

Di saat yang bersamaan, Maya dan Adel terus memperhatikan setiap gerakan dengan penuh konsentrasi, ekspresi wajah mereka dipenuhi dengan ketertarikan. Suasana ceria terpancar jelas dari wajah mereka, membuat malam terasa begitu menyenangkan.

Bagi Adel dan Maya, ini adalah pengalaman pertama mereka menyaksikan balapan liar karena Fiona yang mengajak mereka.

Beberapa saat kemudian, mobil pria itu melintasi garis finish dengan kecepatan penuh, disambut dengan sorakan meriah dari penonton.

Ketika pria itu keluar dari mobilnya, Fiona terlihat terkejut, begitu pula Adel dan Maya.

"Itu ... itu Alvaro!" seru Maya dengan mata terbelalak.

Adel menutupi mulut dengan tangannya, seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Alvaro? Ketua OSIS kita?" ucapnya cukup terkejut.

Fiona mengangguk, sama terkejutnya. "Siapa sangka dia bisa balapan seperti ini? Sangat menarik."

Alvaro melihat sekeliling, dia juga sedikit terkejut melihat Fiona dan kedua temannya berdiri tak jauh darinya. Alvaro hanya tersenyum tipis tanpa berniat menyapa Fiona, memilih berjalan mendekati beberapa teman laki-laki dan beberapa teman perempuannya yang sama sekali tidak dikenal oleh mereka bertiga.

"Siapa orang-orang yang bersama Alvaro? Sepertinya, mereka tidak satu sekolah dengan kita," ujar Maya.

"Mana aku tahu! Aku baru masuk sekolah tadi siang," ucap Fiona.

"Ya, sepertinya mereka memang tidak satu sekolah dengan kita," sahut Adel.

Mereka bertiga terlihat penasaran dengan teman-teman Alvaro yang tidak ada satupun di antara mereka yang satu sekolah dengannya.

Fiona tiba-tiba menyunggingkan bibirnya, seakan dia baru saja mendapatkan ide yang sangat bagus di dalam kepalanya.

"Ayo kita pergi!" ajak Fiona, mengajak kedua temannya menuju mobilnya untuk segera pulang.

Tak butuh waktu lama, Fiona telah tiba di kediaman Stefanus Thene setelah mengantar pulang kedua temannya.

Fiona dengan santainya berjalan menuju lift yang ada di rumah William. Di samping lift tersebut, terdapat lift kedua yang berdampingan. Fiona masuk ke dalam salah satunya, memilih menggunakan lift karena berjalan menuju tangga akan melelahkan. Apalagi kamarnya berada di lantai atas.

Saat Fiona telah berada di dalam lift, pintu lift tertutup dengan suara halus. Fiona menekan tombol lantai yang diinginkannya, namun tiba-tiba lift itu berhenti bergerak setelah berguncang untuk sesaat. Fiona mencoba menekan tombol lainnya dengan wajah yang mulai panik, namun tidak ada respons.

"Kenapa liftnya berhenti?" pikirnya.

Fiona terus menekan tombol darurat berkali-kali, tetapi tetap tidak ada reaksi. Dia mulai merasa panik semakin menjadi-jadi. Fiona memukul-mukul dinding lift, berharap ada yang mendengarnya.

"Tolong! Ada orang disini! Tolong aku!" teriak Fiona, suaranya bergetar penuh kepanikan.

Fiona mencoba memencet semua tombol yang ada di dalam lift, dari tombol lantai hingga tombol darurat, namun lift tetap tidak bergerak. Keringat mulai mengalir di dahinya dan detak jantungnya semakin cepat. Rasa takut mulai merayapi pikirannya. Dia memukul-mukul pintu lift, berharap ada seseorang yang mendengarnya di luar sana.

"Tolong! Siapapun! Tolong aku!" jeritnya lagi, suaranya semakin serak.

Pikiran Fiona mulai kacau. "Bagaimana jika tidak ada yang menemukanku? Bagaimana jika aku terjebak di sini selamanya?" pikirnya. Dia merasakan ketakutan yang luar biasa, mengingat dia tidak suka berada di ruang sempit untuk waktu yang lama.

Fiona mencoba menarik napas dalam-dalam, menenangkan dirinya.

"William? Ya… Aku harus menghubunginya," ucap Fiona dengan cepat, mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya.

Fiona mencoba mencari nomor William di daftar kontaknya, tetapi dia tidak kunjung menemukan nomornya.

"Shit! Aku belum menyimpan nomornya." Lagi-lagi Fiona berbicara sendiri, dan segera membuka menu pesan untuk melihat nomor William yang tadi siang mengirimnya pesan.

Akhirnya, Fiona berhasil menemukan nomor ponselnya. Dengan cepat dia memencet tombol panggilan. Namun, sudah beberapa detik William belum juga mengangkat teleponnya.

"Apa dia sudah tidur? Tidak-tidak, dia tidak boleh tidur." Fiona segera menghubunginya lagi. Sampai beberapa kali dia terus menghubunginya, tetapi William tidak kunjung mengangkat teleponnya. Satu-satunya orang yang diharapkan Fiona saat ini adalah dia. Tanpa terasa air mata Fiona menetes ke atas ponselnya.

Fiona berjongkok dengan ponsel yang masih digenggamnya. Raut wajah sedih dan takut hanya bisa dirasakan olehnya tanpa tahu harus berbuat apa agar bisa keluar dari dalam lift.

Bayangan masa kecilnya tiba-tiba muncul kembali dalam benak Fiona. Ketika pertama kalinya dia terjebak di dalam lift sendirian karena kecerobohannya yang ingin menggunakan lift tanpa tahu akibatnya. Semua itu terjadi saat kedua orang tuanya sedang bertengkar hebat di rumah. Fiona malah pergi dari rumahnya bersama sang kakak. Dia berniat untuk menghibur dirinya dengan bermain ke sebuah timezone bersama Azalea, justru malah terjebak di dalam lift. Ada banyak permainan anak-anak di sina, dia sudah terbiasa datang ke mal yang tak jauh dari rumahnya. Apalagi kehidupan mewah sudah ada sejak Fiona lahir, tetapi baginya kehidupan mewah tidak membuatnya merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Fiona selalu saja mendengar kedua orang tuanya bertengkar karena kesalahpahaman yang sudah tak dapat mereka selesaikan, belum lagi perusahaan ayahnya mengalami penurunan yang cukup serius pada saat itu, dan membuat orang tuanya hampir setiap hari bertengkar.

Dalam kesedihan yang terus melanda hati Fiona yang masih terjebak di dalam lift, ada banyak penjaga berada di luar yang telah diperintahkan William untuk segera mengeluarkan Fiona.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Noor Sukabumi
semoga saja setelah kejadian ini km mau nurunin sikap angkuh mu fiona
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 8 Memeluk Tubuhnya

    William hanya bisa melihat istrinya yang sedang berjongkok seperti anak kecil yang kehilangan induknya melalui CCTV yang terpasang di dalam lift dan terhubung dengan ponselnya. Sebelumnya, saat William baru selesai mengerjakan beberapa dokumen pekerjaannya. Dia mendapati banyak panggilan yang tak terjawab dari nomor dengan nama F, hanya satu huruf singkat dan itu adalah nomor ponsel Fiona. William mengabaikan teleponnya, baru saja dia menyimpan ponselnya kembali ke atas meja, seorang pembantu memberitahu bahwa Fiona terjebak di dalam lift. Sampai beberapa saat pintu lift berhasil dibuka, tetapi Fiona masih berjongkok dengan pikirannya. William mencoba mendekati Fiona dengan kursi rodanya. “Apa kau akan terus berjongkok disini?” ucap William, tetapi tidak ada respon darinya. “Ehmmm...” William berdehem cukup keras, Fiona masih saja tak bergeming. Dengan ragu-ragu, William menarik beberapa helai rambut Fiona cukup kencang lalu berpura-pura seolah-olah dia tidak melakukannya.

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-14
  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 9 Ciuman Pertamaku

    Setelah kejadian tadi pagi, seseorang datang ke dalam kelas Fiona dan memberitahunya untuk ke ruang guru.Dengan perasaan kesal, Fiona menuju ruang guru sesuai dengan panggilan yang diterimanya.Di ruang guru, seorang guru BK yang bernama Pak Herman sudah menunggu kedatangan Fiona."Fiona, kamu tahu mengapa kamu dipanggil ke sini?" tanya Pak Herman dengan nada tegas.Fiona mengangguk perlahan. "Iya, Pak."Pak Herman menatapnya tajam. "Jika kamu tahu, kenapa harus ada percekcokan, bahkan sampai bertengkar dan membuat tangan Juwita terluka?"Fiona terkejut mendengar apa yang baru saja dikatakan Pak Herman. “Tapi, Pak, itu bukan kesalahan saya.”“Kamu ini, masih saja membantah. Jangan mentang-mentang keluargamu orang berada sehingga bisa membantah aturan sekolah. Apalagi dengan membawa begitu banyak alat make-up seperti ini. Kamu datang ke sekolah untuk belajar atau pamer kecantikanmu? Membawa alat-alat make-up seperti itu,

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-16
  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 10 Sudah Tidak Perawan lagi

    Namun, pikiran Fiona seketika buyar setelah mendengar perkataan William.“Make-up yang dipakai olehmu sangat berantakan, terlihat jelek. Aku akan bantu menghapusnya,” ujar William sambil menggunakan tangan satunya lagi untuk menghapus lipstik di bibir Fiona hingga berantakan di sekitar bibirnya.“William, kenapa kamu menghapusnya?” seru Fiona, berusaha melepaskan tangannya yang digenggam erat oleh William.William tidak menghiraukan perkataan Fiona. “Dan, merah-merah di pipimu sangat buruk, seperti orang yang habis terkena pukulan. Aku akan menghapusnya lagi,” katanya sambil kembali menghapus blush on yang sengaja dipakai Fiona.“Ahh… William, jangan! Hentikan,” teriak Fiona mencoba menghentikan tangan William yang terus menghapus make-up-nya.“Selesai,” gumam William sambil melepaskan tangannya lalu menjauh dari hadapan Fiona yang setengah tubuhnya masih berada di atas meja.Fiona merengut kesal, wajahnya terlihat memerah. Matan

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-17
  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 11 Merangkul Pundaknya

    William segera menekan tombol di samping ranjang yang akan terhubung ke lantai bawah untuk memanggil pembantunya. Tak butuh waktu lama, seorang pembantu wanita datang dan berdiri di depan William yang baru membuka pintu. Dia sedang menunggu perintah dari tuannya setelah beberapa saat yang lalu dipanggil, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut William. Dengan wajah agak canggung, William berkata, "Bawakan roti bersayap untuknya." Pembantu itu mengernyit bingung, mencoba memikirkan permintaan tuannya yang tidak biasa itu. "Tuan, kita tidak memiliki roti bersayap. Tapi aku bisa membuatkan roti bersayap dengan potongan sayap ayam," jawabnya dengan ekspresi bingung namun berusaha membantu. William mendesah pelan, merasa kebingungan sendiri. Dia memutar otaknya, mencoba mencari cara untuk menjelaskan tanpa langsung menyebutkan kata-kata yang terasa memalukan baginya.

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-19
  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 12 Saya Istrinya

    Dengan wajah merengut kesal, Fiona mencoba menghubungi William untuk menjemputnya pulang. Namun, pria itu sama sekali tidak mengangkat teleponnya dan bahkan ada beberapa kali panggilan yang di rijeknya.‘Punya suami terasa tidak punya. Dia tidak bisa diandalkan,’ gerutu Fiona di dalam hati tanpa sadar telah mengakui William sebagai suaminya. Dia melangkah menjauhi mobilnya untuk mencari kedua temannya.Ketika baru beberapa langkah, Fiona menghentikan langkahnya mengingat Adel dan Maya tidak membawa mobil, bahkan mereka baru saja pulang.Fiona menghela napasnya, melihat sekeliling parkiran mencoba melihat orang yang telah berani bermain-main dengannya, sampai matanya melihat Juwita dari jarak yang sedikit jauh darinya. Gadis itu sedang tertawa lepas bersama beberapa teman satu kelasnya, Fiona yang di landa kesal karena ban mobilnya yang bocor hendak berjalan menghampirinya. Namun, tak sengaja dia menabrak Alvaro yang hendak melewatinya sam

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-20
  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 13 Kemarahan Fiona

    Langit mulai gelap dan suasana di sekitar kantor menjadi semakin sepi. Fiona duduk di sana, merasa seperti anak yang terbuang, tanpa ada tempat untuk pulang dan tanpa siapa pun yang peduli. Bahkan mobil taksi tidak ada satu pun yang lewat, membuat Fiona benar-benar tak berdaya. Dia terus menunggu di depan gedung kantornya. Matahari telah lama tenggelam, dan malam semakin larut. Fiona tidak tahu bahwa William telah pergi sejak siang untuk mengecek beberapa pekerjaannya di luar kantor setelah selesai rapat. Kantor mulai sepi, satu per satu lampu di dalam gedung padam, menandakan bahwa tempat itu sudah tutup. Fiona tetap berada di sana, berharap William akan keluar dan menemukannya. Namun, harapan itu ternyata tidak sesuai dengan harapannya. Tiba-tiba, satpam mendekati Fiona. Pria itu berhenti di depannya, memandang Fiona dengan ekspresi datar. “Nona, Tuan William sudah tidak ada di kantor. Dia telah pergi sejak siang tadi.”Fiona menatap satpam itu dengan kaget, matanya yang tadinya

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-08
  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 14 Lingerie Berbahan Satin

    Alvaro berdiri dari kursinya dengan kasar tanpa sepatah kata lagi, Alvaro meninggalkan meja dengan langkah cepat, membuat seluruh kantin bertanya-tanya. Fiona terdiam, dia masih terkejut dengan kemarahan Alvaro. Juwita, yang awalnya merasa kesal hanya tersenyum sinis. Dia memandangi Fiona sejenak sebelum ikut pergi dengan sikap sombong. Anggota OSIS lainnya mengikuti langkah Juwita, meninggalkan meja yang sekarang kosong.Fiona masih berdiri di tempatnya, menatap uang yang ada di atas meja. “Fiona, duduklah! Kamu telah berhasil membuat mereka pergi,” ujar Maya yang duduk terlebih dahulu di bangku tersebut.“Ngapain kalian lihat-lihat!? Mau aku keluarkan mata kalian,” teriak Fiona dengan keras, menatap ke semua siswa yang melihat ke arahnya. Fiona menghela napas lalu ikut duduk dengan kesal, mengabaikan kejadian sebelumnya. Mereka memesan makanan.Saat mereka sedang asyik makan sambil berbicara, tiba-tiba Sintia berjalan mendekati meja mereka dengan gugup tetapi memiliki keberanian

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-11
  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 15 Jangan Sentuh Aku

    Semua orang terkejut dan kagum saat melihat seorang wanita keluar dari mobil dengan rok rempel berbahan kulit berwarna hitam yang panjangnya tepat di atas lutut, dipadukan dengan jaket crop yang membuatnya begitu menarik perhatian semua orang di sana.Fiona dengan percaya diri menutup pintu mobilnya yang berwarna biru. Dia memasang wajah angkuh, berjalan ke arah Alvaro, meninggalkan Adel dan Maya yang baru keluar dari mobil dengan kaki gemetar dan rambut yang berantakan karena Fiona membawanya melakukan drift. “Gadis sialan!” teriak Maya dengan berjalan terhuyung-huyung sampai menyentuh bagian mobil Fiona sebagai pegangannya. “Fiona … bisa-bisanya dia melakukan hal gila seperti tadi, membuat kakiku gemetar,” keluh Adel. Fiona mengabaikan perkataan kedua temannya dan terus berjalan mendekati Alvaro. Alvaro duduk di bagian depan mobilnya, melipat kedua tangan di depan. Beberapa temannya mulai mendekat, membuat Fiona yang ingin mendekati Alvaro harus terhalang oleh mereka. Fiona den

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-12

Bab terbaru

  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 50 Duduk Di Atas Ranjang

    Setelah beberapa saat berdansa dengan Alvaro, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Fiona melepaskan tangannya dari genggaman Alvaro dan berjalan menjauh. Alvaro tampak bingung dan mencoba memanggilnya, tetapi Fiona tidak peduli. Ia terus melangkah meninggalkan keramaian dan menuju pintu keluar.Begitu sampai di rumah, Fiona langsung masuk ke kamarnya, membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan baju tidur yang nyaman, Fiona merebahkan tubuhnya di atas ranjang.Namun, belum sempat ia memejamkan mata, suara pintu yang terbuka menarik perhatiannya. Fiona menoleh dan mendapati William masuk ke dalam kamar. Pria itu tampak lelah, tetapi ekspresinya tetap datar seperti biasa.“Kau baru pulang?” tanya Fiona sambil duduk di atas ranjang.William hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Keesokan paginya, Fiona bangun dengan tubuh yang masih terasa lelah. Ia mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakan, lalu berjalan keluar kamar untuk mengambil air minum. Air di kamarnya tela

  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 49 Apakah Kita Berjodoh

    Keesokan harinya, Alvaro kembali mencoba mendekati Fiona. Ia menunggunya di parkiran, berharap bisa berbicara dengannya. Namun, Fiona memilih tempat parkiran yang sedikit jauh dari Alvaro dan dengan tergesa-gesa dia berlari menjauh, tidak ingin berbicara dengan Alvaro. Alvaro sama sekali belum menyerah, meski kemarin dia sudah dibuat kecewa oleh gadis itu.“Aku tidak akan menyerah, sampai berhasil mendapatkannya,” gumam Alvaro pada dirinya sendiri.Saat jam pelajaran terakhir, Fiona sedang berjalan sendirian menuju ruang peralatan olahraga, Alvaro berhasil mengejarnya.“Fiona, tolong dengarkan aku,” ucap Alvaro, berdiri di hadapannya.Fiona berhenti, menatapnya dengan ekspresi. “Aku sudah bilang, aku tidak ingin bicara denganmu,” lanjut berkata. “Sekarang minggir.”“Aku tidak akan pergi sampai kau memaafkanku,” kata Alvaro. “Aku tahu aku salah, dan aku menyesal. Tapi aku tidak bisa membiarkan semuanya berakhir seperti ini.”Fiona terdiam sejenak. “Aku butuh waktu, Alvaro,” kata Fiona

  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 48 Hukuman Untukmu

    William menekan sebuah tombol interkom yang terhubung dengan bawahan kantornya. “Ambilkan satu set pakaian kantor untuk istriku,” perintah William dengan nada tenang.Perkataan itu membuat Fiona sedikit tersenyum geli. Namun, ia segera kembali berkata, “William, kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa menyuruhku datang ke sini?”“Kemari,” ucap William, menyuruh Fiona mendekat, mengabaikan perkataan Fiona. Tanpa ragu, Fiona berjalan mendekatinya. Namun, begitu sampai di hadapan William, ia mengaduh kesakitan.“William! Apa yang kau lakukan? Kenapa kau mencubit perutku?” serunya sambil memegang bagian perutnya yang sebagian terbuka.“Itu hukuman untukmu,” jawab William santai.“Hukuman? Untuk apa?” Fiona menatapnya bingung. “Aku sudah terbiasa memakai pakaian seperti ini. Lagipula, apa salahnya?”“Mulai sekarang, kau tidak boleh berpakaian yang memperlihatkan perutmu,” ucap William dengan nada tegas.Fiona mengernyit. “Astaga, sejak kapan kau menjadi posesif seperti ini?”William terdi

  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 47 Memaksanya

    Alvaro sempat terkejut dengan tindakan Fiona yang tiba-tiba. “Fiona, ada apa?” tanya Alvaro, bingung.Fiona melepaskan tangannya. Ia menatap mata Alvaro dengan sedikit mendongak. “Aku ingin mengakhiri hubungan pura-pura kita,” ucapnya pelan. Lagi pula rumor tentangnya sudah tenggelam, jadi tidak ada salahnya jika ia mengakhiri hubungannya secara tiba-tiba.Alvaro tampak terkejut. “Kenapa mendadak? Apa aku melakukan sesuatu yang salah?”Fiona menggeleng. “Kau tidak melakukan kesalahan apa pun, Alvaro. Aku hanya merasa hubungan ini sudah cukup. Aku tidak bisa terus berpura-pura seperti ini. Terima kasih untuk segalanya, tapi aku ingin kita berhenti di sini saja.” Fiona berbalik hendak pergi, tetapi suara Alvaro menghentikan langkahnya. “Aku tidak mau mengakhiri hubungan ini, Fiona.”Fiona menoleh, bingung. “Apa maksudmu?”Alvaro menarik napas dalam-dalam. “Aku tidak ingin hubungan ini berakhir sebagai pura-pura. Aku ingin hubungan kita menjadi serius. Aku benar-benar menyukaimu, Fiona.

  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 46 Kau Tetap Istriku

    Mata Fiona membulat. Di saat ia ingin menarik wajahnya kembali, William menahan tengkuknya dengan lembut, lalu membalas ciuman itu. Detak jantung keduanya kini benar-benar tak beraturan.Setelah beberapa saat, Fiona langsung menarik diri seketika. Wajahnya kini bagai tomat matang.“Kau menyebalkan, William!” serunya sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. William tertawa, suara tawanya yang jarang terdengar. “Aku hanya memastikan kau menaati aturan.”Fiona mendengus kesal, tetapi hatinya tidak bisa berbohong. Ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa dijelaskan semenjak kepulangan William membuat perasaannya bergejolak. Sikap dinginnya masih sama, tetapi di balik itu, Fiona merasa ada kelembutan yang jarang ia lihat.Dengan wajah merah dan napas yang masih belum stabil, Fiona menatap papan permainan itu dengan tatapan tajam. “William, aku tidak ingin bermain ini lagi. Aku akan tidur,” ucap Fiona, mencoba mencari alasan.William mengangguk setuju. “Ya, sebaiknya kau tidur.”Fiona

  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 45 Tidak Sengaja Mencium Bibirnya

    Setelah puas memakan buah anggur dari pohonnya, Fiona kembali ke kamarnya.William kembali tenggelam dalam pekerjaannya, sibuk dengan berkas-berkas yang tertata di atas meja. Sementara itu, Fiona duduk di atas ranjang, sesekali melirik ke arah William. Begitu pula William, meski hanya sekilas. Tak ada percakapan di antara mereka.Fiona mulai merasa jenuh. Seharian berada di dalam kamar membuatnya resah. Tiba-tiba, suara notifikasi pesan dari ponsel yang ada di atas nakas menarik perhatiannya. Fiona segera mengambil ponselnya dan membuka pesan tersebut.William, yang sedang fokus pada pekerjaannya, sempat melirik ke arah Fiona sebelum kembali menatap berkas di depannya.Fiona membuka layar ponsel dan menemukan pesan dari Alvaro yang mengajaknya bertemu nanti malam. Namun, bukannya membalas pesan itu, Fiona memilih mengabaikannya. Ia justru membuka kontak Max dan mengirim pesan singkat: "Belikan aku mainan ular tangga. Aku butuh sekarang juga."Beberapa jam kemudian, suara ketukan terde

  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 44 Duduk Diatas Pangkuannya

    Saat pagi hari, Fiona terbangun dengan perasaan aneh. Tangan kanannya secara refleks meraba kasur di sebelahnya, yang terasa dingin dan kosong. Mata Fiona perlahan terbuka, mencari sosok William yang semalam menemaninya. Namun, kamar itu tampak sepi. Fiona segera bangun dari tidurnya. Ia menggigit bibirnya pelan, mencoba memahami apa yang terjadi.“Apa tadi malam aku hanya mimpi?” gumamnya pelan.Namun, pintu kamar tiba-tiba terbuka. William masuk dengan kursi roda, membawa mangkuk berisi bubur di tangannya. Matanya menatap Fiona sekilas, sebelum menghentikan kursi rodanya di samping ranjang.Wajah Fiona langsung memerah. Ternyata semalam bukanlah mimpi. William benar-benar ada di hadapannya.“Kau sudah bangun,” ujar William singkat. Ia meletakkan mangkuk bubur di meja dekat ranjang, lalu menatap Fiona dengan ekspresi datar—seolah di antara mereka tidak terjadi apapun tadi malam.Fiona mengerutkan dahi, lalu menggeleng pelan. “Aku tidak ingin makan ... kecuali kau menyuapiku,” katanya

  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 43 Sebuah Ciuman Lembut

    Fiona masih duduk di kursinya, terengah-engah. Rasa nyeri di kepalanya membuatnya pusing, tetapi ia tetap sadar. Melalui kaca depan yang pecah sebagian, ia melihat asap mengepul dari kap mesin mobilnya. Tangan Fiona meraba ponselnya di kursi penumpang, lalu mengarahkan kamera ke bagian depan mobil yang ringsek.Dengan jari yang gemetar, dia memotret mobilnya dan tersenyum miris. Fiona membuka pesan di ponselnya dan menemukan kontak William. Meski tahu nomor itu sudah lama tidak aktif, namun tetap mengirimkan foto tersebut. Setelah mengirim pesan itu, Fiona merasa tubuhnya semakin lemah. Pandangannya semakin buram, dan rasa sakit di kepalanya semakin tak tertahankan. Akhirnya, dirinya tenggelam dalam kegelapan.Di rumah sakit, Fiona terbaring lemah dengan perban melilit kepalanya. Wajahnya pucat, tetapi napasnya stabil. Max, yang duduk di kursi tunggu di luar kamar, menatap lantai dengan ekspresi cemas.Satu jam yang lalu, ia menerima telepon dari anak buahnya tentang kecelakaan Fio

  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 42 Rasa Rindu

    Sudah beberapa minggu berlalu, dan bayangan William terus menghantui pikiran Fiona. Dia merasa frustrasi karena tidak tahu keberadaan pria itu. Fiona telah mencoba menghubungi Max, bahkan datang langsung ke kantor William. Namun, setiap kali dia melangkah masuk ke ruangan kantornya, ruangan itu selalu tampak rapi, tidak ada siapa pun di sana. Hari ini, rasa penasaran Fiona sudah mencapai puncaknya. Dia ingin tahu di mana William berada. Dia memutuskan untuk menemui Max lagi, berharap kali ini akan mendapatkan jawaban.Ketika dia tiba di kantor William, Fiona langsung memasuki ruang kerjanya. Max tiba-tiba muncul di belakangnya, memandang Fiona dengan ekspresi bingung. "Nona Fiona, ada perlu apa Anda mencari saya?" tanyanya sopan.Fiona yang sedang duduk di sofa berwarna abu-abu segera berdiri. Tanpa basa-basi dia berkata, "Di mana William? Aku sudah lama tidak melihatnya. Bahkan dia juga tidak meminta maaf padaku. Apa dia sengaja menghindariku karena tidak ingin meminta maaf?" Suara

DMCA.com Protection Status