Namun, pikiran Fiona seketika buyar setelah mendengar perkataan William.
“Make-up yang dipakai olehmu sangat berantakan, terlihat jelek. Aku akan bantu menghapusnya,” ujar William sambil menggunakan tangan satunya lagi untuk menghapus lipstik di bibir Fiona hingga berantakan di sekitar bibirnya.“William, kenapa kamu menghapusnya?” seru Fiona, berusaha melepaskan tangannya yang digenggam erat oleh William.William tidak menghiraukan perkataan Fiona. “Dan, merah-merah di pipimu sangat buruk, seperti orang yang habis terkena pukulan. Aku akan menghapusnya lagi,” katanya sambil kembali menghapus blush on yang sengaja dipakai Fiona.“Ahh… William, jangan! Hentikan,” teriak Fiona mencoba menghentikan tangan William yang terus menghapus make-up-nya.“Selesai,” gumam William sambil melepaskan tangannya lalu menjauh dari hadapan Fiona yang setengah tubuhnya masih berada di atas meja.Fiona merengut kesal, wajahnya terlihat memerah. MatanWilliam segera menekan tombol di samping ranjang yang akan terhubung ke lantai bawah untuk memanggil pembantunya. Tak butuh waktu lama, seorang pembantu wanita datang dan berdiri di depan William yang baru membuka pintu. Dia sedang menunggu perintah dari tuannya setelah beberapa saat yang lalu dipanggil, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut William. Dengan wajah agak canggung, William berkata, "Bawakan roti bersayap untuknya." Pembantu itu mengernyit bingung, mencoba memikirkan permintaan tuannya yang tidak biasa itu. "Tuan, kita tidak memiliki roti bersayap. Tapi aku bisa membuatkan roti bersayap dengan potongan sayap ayam," jawabnya dengan ekspresi bingung namun berusaha membantu. William mendesah pelan, merasa kebingungan sendiri. Dia memutar otaknya, mencoba mencari cara untuk menjelaskan tanpa langsung menyebutkan kata-kata yang terasa memalukan baginya.
Dengan wajah merengut kesal, Fiona mencoba menghubungi William untuk menjemputnya pulang. Namun, pria itu sama sekali tidak mengangkat teleponnya dan bahkan ada beberapa kali panggilan yang di rijeknya.‘Punya suami terasa tidak punya. Dia tidak bisa diandalkan,’ gerutu Fiona di dalam hati tanpa sadar telah mengakui William sebagai suaminya. Dia melangkah menjauhi mobilnya untuk mencari kedua temannya.Ketika baru beberapa langkah, Fiona menghentikan langkahnya mengingat Adel dan Maya tidak membawa mobil, bahkan mereka baru saja pulang.Fiona menghela napasnya, melihat sekeliling parkiran mencoba melihat orang yang telah berani bermain-main dengannya, sampai matanya melihat Juwita dari jarak yang sedikit jauh darinya. Gadis itu sedang tertawa lepas bersama beberapa teman satu kelasnya, Fiona yang di landa kesal karena ban mobilnya yang bocor hendak berjalan menghampirinya. Namun, tak sengaja dia menabrak Alvaro yang hendak melewatinya sam
Langit mulai gelap dan suasana di sekitar kantor menjadi semakin sepi. Fiona duduk di sana, merasa seperti anak yang terbuang, tanpa ada tempat untuk pulang dan tanpa siapa pun yang peduli. Bahkan mobil taksi tidak ada satu pun yang lewat, membuat Fiona benar-benar tak berdaya. Dia terus menunggu di depan gedung kantornya. Matahari telah lama tenggelam, dan malam semakin larut. Fiona tidak tahu bahwa William telah pergi sejak siang untuk mengecek beberapa pekerjaannya di luar kantor setelah selesai rapat. Kantor mulai sepi, satu per satu lampu di dalam gedung padam, menandakan bahwa tempat itu sudah tutup. Fiona tetap berada di sana, berharap William akan keluar dan menemukannya. Namun, harapan itu ternyata tidak sesuai dengan harapannya. Tiba-tiba, satpam mendekati Fiona. Pria itu berhenti di depannya, memandang Fiona dengan ekspresi datar. “Nona, Tuan William sudah tidak ada di kantor. Dia telah pergi sejak siang tadi.”Fiona menatap satpam itu dengan kaget, matanya yang tadinya
Alvaro berdiri dari kursinya dengan kasar tanpa sepatah kata lagi, Alvaro meninggalkan meja dengan langkah cepat, membuat seluruh kantin bertanya-tanya. Fiona terdiam, dia masih terkejut dengan kemarahan Alvaro. Juwita, yang awalnya merasa kesal hanya tersenyum sinis. Dia memandangi Fiona sejenak sebelum ikut pergi dengan sikap sombong. Anggota OSIS lainnya mengikuti langkah Juwita, meninggalkan meja yang sekarang kosong.Fiona masih berdiri di tempatnya, menatap uang yang ada di atas meja. “Fiona, duduklah! Kamu telah berhasil membuat mereka pergi,” ujar Maya yang duduk terlebih dahulu di bangku tersebut.“Ngapain kalian lihat-lihat!? Mau aku keluarkan mata kalian,” teriak Fiona dengan keras, menatap ke semua siswa yang melihat ke arahnya. Fiona menghela napas lalu ikut duduk dengan kesal, mengabaikan kejadian sebelumnya. Mereka memesan makanan.Saat mereka sedang asyik makan sambil berbicara, tiba-tiba Sintia berjalan mendekati meja mereka dengan gugup tetapi memiliki keberanian
Semua orang terkejut dan kagum saat melihat seorang wanita keluar dari mobil dengan rok rempel berbahan kulit berwarna hitam yang panjangnya tepat di atas lutut, dipadukan dengan jaket crop yang membuatnya begitu menarik perhatian semua orang di sana.Fiona dengan percaya diri menutup pintu mobilnya yang berwarna biru. Dia memasang wajah angkuh, berjalan ke arah Alvaro, meninggalkan Adel dan Maya yang baru keluar dari mobil dengan kaki gemetar dan rambut yang berantakan karena Fiona membawanya melakukan drift. “Gadis sialan!” teriak Maya dengan berjalan terhuyung-huyung sampai menyentuh bagian mobil Fiona sebagai pegangannya. “Fiona … bisa-bisanya dia melakukan hal gila seperti tadi, membuat kakiku gemetar,” keluh Adel. Fiona mengabaikan perkataan kedua temannya dan terus berjalan mendekati Alvaro. Alvaro duduk di bagian depan mobilnya, melipat kedua tangan di depan. Beberapa temannya mulai mendekat, membuat Fiona yang ingin mendekati Alvaro harus terhalang oleh mereka. Fiona den
Setelah melihat Max yang keluar dari ruang VIP yang di tempati William. Dengan penuh percaya diri, Fiona mendorong pintu ruang VIP yang tidak terkunci itu, membukanya dengan keras hingga mengejutkan William dan wanita tersebut. Ruangan itu hanya diisi oleh mereka berdua, membuat Fiona merasa kesal, dia melangkah masuk dengan tatapan marah."Baby! Oh, jadi kau berbohong padaku demi bersama dengannya? Sangat luar biasa sekali," teriak Fiona dengan nada sinis, berjalan mendekati William dan tanpa ragu duduk di atas pangkuannya. William terkejut dengan ulah Fiona, namun dia memilih diam dan tidak melarangnya. Sementara itu, wanita yang duduk di hadapan mereka tampak bingung dengan apa yang terjadi.Fiona menatap tajam ke arah wanita tersebut, melihat penampilan wanita itu dengan tatapan meremehkan, dia berkata, “Hei, kau! Kenapa menggoda suami orang lain? Apa kau sedang kesepian?” ucapnya dengan nada yang terkesan mengejek. Wanita itu hanya tersenyum tipis, tampak kebingungan. "Apa mak
Setelah berpikir sejenak, dia akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah, aku setuju,” gumamnya dengan nada enggan. “Kau bisa mengatur semuanya.”Namun, Fiona kembali terkejut saat William kembali berkata, “Kau harus melamar pekerjaan itu secara resmi. Seperti orang lain yang melamar pekerjaan di kantorku. Kau juga harus melewati wawancara.”“Apa? Tidak mau, aku tidak mau, William! Kau tidak serius, kan? Aku ini istrimu!” Fiona menekankan kata ‘istri’ agar William menarik perkataannya itu. Namun, William tetap pada pendiriannya. Dengan suara tegas dia berkata, “Aku tidak main-main, Fiona. Jika kau benar-benar ingin aku membeli sekolah itu, kau harus melewati semua prosedur. Termasuk wawancara.”Fiona menggigit bibir bawahnya, terdiam sejenak, dan berpikir keras untuk bisa membujuk William agar mempermudahnya. Dengan mata yang menatap ke arah William, dia tiba-tiba berjalan untuk menghampirinya. “Jangan mendekat,” seru William menghentikan langkah kaki Fiona yang ingin mendekatinya. Dia cuk
Fiona yang takut dan panik karena tidak mau terlambat, dia tanpa sengaja mendorong seorang wanita yang baru saja masuk ke dalam lift. "Aduh! Apa yang kau lakukan?" seru wanita itu marah.Wanita itu mengenakan pakaian yang lebih formal dari pelamar kerja lainnya, karena dia seorang karyawan tetap di kantor William, dan Fiona tidak menyadarinya. "Berani-beraninya kau mendorongku!" ucapnya dengan nada sinis.Fiona dengan cepat membela diri, "Kami semua sudah menunggu lama, kau baru datang dan langsung masuk begitu saja!" protes Fiona. “Apa kau tidak tahu siapa aku? Dibandingkan kalian aku lebih lama bekerja disini!”“Aku tidak peduli kamu senior atau bukan, tapi kita harus mematuhi aturan.” Fiona dengan percaya diri membicarakan tentang peraturan untuk membela dirinya. Dua orang wanita yang ada di samping Fiona, tiba-tiba mendorong Fiona dengan kasar, hingga jatuh ke lantai dan salah satu lututnya terluka.Wanita yang didorong Fiona sebelumnya tersenyum puas, melihat ada orang yang
Wajah Fiona seketika menegang. Ia kini memahami mengapa suasana sekolah begitu aneh sejak kedatangannya.“Fiona, bisakah kau menjelaskan ini?” tanya kepala sekolah dengan nada serius.Fiona menatap foto-foto itu, lalu menegakkan bahunya. “Apa yang harus saya jelaskan, Pak?” tanyanya, berusaha tetap tenang.“Apakah benar kau sudah menikah?” tanya salah satu guru perempuan. “Dan pria dalam foto ini … suamimu?”Fiona menarik napas. Tak ada gunanya berbohong, karena semuanya sudah terungkap. “Ya, benar, dia suamiku. Pemilik sekolah ini,” jawabnya.Suasana ruangan seketika menjadi sunyi. Para guru saling bertukar pandang, sementara kepala sekolah menghela napas panjang.“Kami tidak melarang siswa menikah, tetapi yang menjadi masalah adalah reaksi yang ditimbulkan karena tersebarnya foto dan video ini,” jelas kepala sekolah. “Banyak siswa yang membicarakan hal ini dan tidak sedikit yang memberikan komentar yang tidak pantas. Kami khawatir hal ini akan mempengaruhi lingkungan sekolah.”Fiona
Azalea tampak terkejut melihat William. Rasa takut tiba-tiba merayapi hatinya, tetapi dengan cepat ia menegakkan punggungnya dengan percaya diri. Keberadaan Zayver di sisinya seolah memberinya kekuatan. Mereka berdua berjalan mendekati William yang berhenti tak jauh dari mereka. “Tuan, apa kita harus putar balik,” bisik Max, mencoba membujuk tuannya untuk pergi. Namun, William mengangkat tangannya, menghentikan Max. “Tidak perlu,” katanya dengan tegas.Zayver tiba di depan William, berdiri dengan sikap arogan. Senyum lebar terukir di wajahnya, senyum yang penuh dengan rasa puas dan bangga. “Kakak, apa kabar? Lama tak jumpa,” katanya dengan nada yang dibuat-buat.William hanya mendengus kasar, menahan keinginannya untuk membalas dengan lebih dari sekadar kata-kata. Ia tetap diam, tatapannya dingin begitu menusuk Zayver.Zayver yang tampaknya tidak cukup puas karena tidak ada jawab, ia kembali berbicara. “Kakak, aku dengar-dengar, kau sudah merestui hubungan ayahmu dan ibuku. Aku sa
Fiona seketika di buat panik, napasnya memburu. “William, bagaimana ini…?” tanyanya dengan suara bergetar. William segera menarik tubuh Fiona ke dalam pelukannya, mencoba menenangkan gadis itu agar tidak takut. “Tenanglah,” katanya pelan. “Bagaimana bisa tenang, apa kau tidak lihat mereka begitu banyak, sedangkan kita hanya bertiga. Kita tidak akan mampu melawan mereka,” kata Fiona dengan nada yang sedikit keras karena panik. Ia segera meraih ponselnya. “Kita harus menghubungi Max.” Dengan tangan gemetar Fiona mencoba mencari nomor telepon Max. Setelah berhasil menemukannya ia segera menghubunginya. Namun, panggilannya tidak dijawab. Fiona semakin cemas.Supir yang duduk di depan mencoba keluar untuk melawan orang-orang itu, meski ia hanya sendirian.“William, bagaimana ini… Dia tidak akan mampu melawannya,” kata Fiona dengan tangannya yang memegang erat jas yang dipakai William. “Ahhh…” Fiona berteriak, melihat supir yang dilumuri dengan darah terjatuh di depan mobil. Tidak but
Ketika sampai di lantai bawah, William mendengar suara yang berasal dari dapur dengan rasa penasaran ia menuju ke dapur. Matanya terpesona oleh pemandangan yang jarang ia lihat. Fiona berdiri di depan kompor, sibuk memasak sesuatu. Baju tidurnya yang berbahan satin memantulkan cahaya lembut dari lampu dapur, membuatnya terlihat menawan meski rambutnya terlihat berantakan tetapi wajah cantiknya, benar-benar membuat William kesulitan untuk memalingkan matanya. “Fiona,” panggil William, suaranya terdengar pelan tapi cukup membuat Fiona menoleh.Fiona tersenyum, menatap William yang mendorong kursi rodanya mendekat. “Kau bangun pagi,” katanya sambil mematikan kompor dan membawa piring ke meja makan.“Seharusnya aku yang berkata begitu. Kau biasanya bangun lebih siang.”Fiona tertawa pelan. “Aku tidak bisa tidur nyenyak semalam, jadi aku pikir, kenapa tidak bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuk kita berdua.”William mengamati wajah Fiona. “Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” ta
Di dalam mobil, suasana hening. Fiona melirik William yang terlihat dingin, pandangannya lurus ke depan.Fiona menggeser duduknya, mendekat dan bersandar pada lengannya. "William...""Aku tidak suka ada orang lain yang menyeretmu ke masalah seperti ini," potong William.Fiona tersenyum tipis, lalu menjawab dengan nada lembut, "Tidak apa-apa. Lagi pula, ini bukan masalah yang serius. Kalau saja kau mau menurunkan ego sedikit, semuanya akan selesai lebih cepat," ucapnya, sambil mengecup pipi William.William tak membalas perkataan Fiona; ia hanya diam dengan wajah tanpa ekspresi.Fiona tetap bersandar, memainkan dasi merah yang dipakai William."William, aku ingin tahu. Apa alasanmu tidak merestui hubungan mereka? Ayah membutuhkan seorang pendamping di usianya yang tak lagi muda, dan Ibu ingin memperbaiki hubungan denganmu. Mereka tulus, William. Mereka benar-benar peduli."William memalingkan wajahnya, matanya ke arah Fiona. "Peduli?" katanya dingin. "Jika mereka peduli, mereka tidak a
Di dalam ruang kantor, setelah selesai rapat. William hanya duduk dengan wajah datar. Jarinya mengetuk-ngetuk meja, tanda bahwa pikirannya sedang kacau. Beberapa menit kemudian, Max masuk ke ruangannya dengan langkah cepat. “Tuan, kami menemukan jejaknya. Salah satu tim mendeteksi mobil Nona Fiona di sebuah restoran yang ada di pinggiran kota. Kami sedang mengirim orang ke sana.”William menatap Max cukup tajam, membuat pria itu sedikit ketakutan dengan tatapannya. “Siapkan mobilku. Aku ingin pergi sekarang.”“Tuan, Anda tidak perlu turun langsung. Kami bisa mengurusnya,” balas Max dengan hati-hati.“Tutup mulutmu, Max. Aku tidak akan duduk diam di sini sementara istriku mungkin dalam bahaya,” jawab William dengan nada tajam.****Fiona turun dari mobil dengan langkah ragu. Rumah megah yang berdiri di hadapannya terlihat begitu mewah, dengan taman luas dan air mancur yang memancarkan cahaya saat terkena sinar matahari. Namun, keindahan itu tidak mampu mengusir rasa takut yang meray
Fiona memutuskan untuk mengerjai orang-orang yang ia kira anak buah William yang diperintahkan untuk mengikutinya dengan mempercepat laju mobilnya, menikung tajam di sebuah persimpangan, dan memasuki jalan yang lebih kecil.Namun, kedua mobil itu tetap menempel di belakangnya, tidak menunjukkan tanda-tanda untuk menghindar. Fiona mulai merasa kesal. Fiona sedikit memelankan laju mobilnya, ia mengirim sebuah pesan pada William untuk menarik anak buahnya. Setelah pesan itu terkirim, Fiona memutuskan untuk mengetes mereka sekali lagi. Ia menekan pedal gas lebih dalam, membuat mobilnya melesat dengan kecepatan yang lebih tinggi. Namun, kedua mobil itu ternyata mampu mengejarnya dengan mudah.Suara derit ban yang mendadak terdengar ketika Fiona harus mengerem secara tiba-tiba di sebuah persimpangan untuk menghindari sebuah truk yang melintas. Mobilnya berhenti dengan aman, tetapi kedua mobil di belakangnya juga berhenti dengan kecepatan tinggi, hampir menyerempet mobil Fiona.“Dasar tida
Setelah beberapa saat, William akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. “Fiona, apa kau tidak suka aku membawamu kemari?”Fiona menoleh ke arah William, senyum kecil terulas di wajahnya. “Aku menyukainya, William,” jawabnya pelan.William terdiam sejenak, menatap matanya dengan begitu intens. “Kalau begitu, apa kau baik-baik saja? Apa yang sedang kau pikirkan?”Fiona menghela napas, ia sudah mendungannya William akan bertanya seperti itu. Pandangan matanya jatuh ke meja di depannya. “Aku hanya … banyak berpikir,” jawabnya. Fiona merasa jawabannya sangat aneh, namun ia tidak mengulangi perkataannya. “Tentang apa?” tanya William, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.Fiona mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk mencari alasan, tetapi ia tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Ia tidak ingin William tahu tentang Azalea yang dilihatnya waktu di jalan. “Hanya … tentang sekolah, teman-teman, dan banyak hal lainnya,” jawabnya samar.William mengangguk, meskipun jelas ia tidak sepenuh
“Terima kasih,” ucap William dengan nada pelan. Ia hendak menarik pinggang Fiona untuk duduk di atas pangkuannya, namun Fiona malah menghindar. Fiona tidak menjawab atau bahkan tersenyum. Ia langsung mengambil segelas air, meneguknya, lalu duduk dengan tenang.Suasana di antara mereka terasa sunyi, seperti ada tembok tak terlihat yang memisahkan mereka.William menatap Fiona begitu dalam, mencoba mencari tahu apa yang salah. Padahal sebelumnya mereka selalu menikmati kebersamaan dengan romantis, setelah kejadian malam itu. Tetapi sejak semalam, semuanya terasa berbeda, seperti kembali ke hari-hari awal pernikahan mereka yang dingin dan terhalang jarak. William menghela napas lalu mengambil roti, mengolesinya dengan selai stroberi, salah satu kesukaan Fiona, dan meletakkannya di piring Fiona.“Ini, makanlah,” katanya sambil mendorong piring itu sedikit ke arahnya.Fiona mengangkat pandangannya sejenak, lalu berkata, “Terima kasih,” dengan nada datar. Ia mengambil roti itu dan mulai m