Sintia yang dipanggil Adel dengan sebutan Sitong segera menggelengkan kepalanya. Dia ingin mengelak membela dirinya tetapi tatapan Maya membuat Sintia kembali menundukkan kepalanya.
Maya adalah orang yang sengaja menggunakan kakinya saat Sintia akan melewati bangku Fiona agar Sintia menumpahkan minuman tersebut ke baju Fiona. "Adel, apa aku tadi tidak salah dengar, kamu menyebut namanya Sitong? Astaga, nama macam apa itu! Haha..." ejek Fiona sambil tertawa. Maya ikut tertawa puas mendengar perkataan Fiona, tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Kamu tidak salah dengar, Fiona," jawab Adel. Mereka bertiga menertawakannya, di saat Sintia memilih untuk pergi dari hadapan ketiga orang itu, Fiona memegangi tangannya. "Mau kemana kamu, Sitong? Enak aja, mau pergi tanpa bertanggung jawab! Lihat ini, baju seragamku kotor dan baju ini dibuat khusus dari Italia," Fiona berbicara dengan nada suara yang terdengar bangga dan angkuh. "Maaf! Aku akan membersihkan seragammu, apa kamu membawa baju seragam lain?" jawabnya. "Untuk apa aku membawa seragam cadangan? Ini hari pertama aku masuk ke sekolah baru, tapi kau sudah mengotori bajuku!” Fiona mendengus sambil menarik tangannya dari genggaman Sintia dengan kasar. Sintia merasa terpojok, tak tahu harus berbuat apa. Tatapan sinis dari Maya dan Adel membuatnya semakin gugup. "Sudahlah, Sitong. Kamu benar-benar ceroboh. Kamu harus bertanggung jawab atas ini!" kata Maya. "Aku akan membersihkannya sekarang juga," Sintia berusaha untuk bertanggung jawab. "Bagaimana caranya? Kita sedang di sekolah, dan di sini tidak ada mesin cuci," Fiona berucap dengan nada tinggi. "Aku bisa mencoba membersihkannya di kamar mandi. Aku punya tisu basah di tas," Sintia menjawab dengan pelan, dia tidak sepenuhnya yakin. Fiona memutar matanya, tapi akhirnya dia menyetujui, "Baiklah, tapi jika tidak bisa bersih, kamu harus mengganti baju ini! Mengerti?" Sintia mengangguk cepat. Mereka berempat segera menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Fiona melepaskan seragamnya, memberikannya pada Sintia. Sehingga hanya menyisakan baju hitam yang dipakainya sebagai dalam kedua. Sintia terus berusaha membersihkan seragam Fiona, air matanya jatuh tanpa disadari. Perlahan, dia mulai menghapus noda itu, berharap bisa menghilang. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, Sintia akhirnya menyadari bahwa noda di seragam Fiona tidak sepenuhnya bisa hilang. Dengan tangan gemetar, dia keluar dari kamar mandi dan mendapati Fiona, Maya, dan Adel masih menunggunya dengan kedua tangan mereka yang melipat di dada. "Aku... aku tidak bisa membersihkannya sepenuhnya," kata Sintia pelan, suaranya hampir hilang ditelan rasa takut dan malu. Fiona mendengus kesal. "Kalau begitu, kita tukar saja. Kamu pakai seragam kotor ini, dan aku pakai seragam mu,” Sintia tertegun. "Tapi... tapi itu tidak adil. Aku akan kotor sepanjang hari." "Itu bukan urusanku!” Fiona menyeringai. "Jika kamu tidak mau, aku bisa pastikan kamu mendapat masalah lebih besar lagi." Sintia tahu dia tidak punya pilihan. Dengan tangan gemetar, dia mulai membuka seragamnya dan menyerahkannya kepada Fiona. “Sitong, apa ketiakmu bau?” tanya Fiona. Maya dan Adel dengan keras tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Fiona. Sintia hanya bisa menundukkan kepalanya, merasa sangat terhina, tanpa berbicara sepatah katapun. Dia berusaha menahan air mata yang sudah menggenang di matanya. Dengan hati yang berat, Sintia berjalan menjauh, merasakan tatapan dan tawa sinis mereka di belakangnya. Fiona dengan cepat mengenakan seragam Sintia yang bersih. Setelah Sintia pergi dengan langkah gontai dan hati yang hancur, Maya dan Adel saling bertukar pandang. Maya memberikan tatapan penuh makna kepada Adel, menunjukkan bahwa Fiona memang layak menjadi bagian dari geng mereka, "Trio FAM Alliance." "Dia cocok, kan?" bisik Maya kepada Adel dengan nada setengah senyum. Adel mengangguk setuju. "Dia memang sempurna untuk menggantikan Fianka. Sudah lama kita tidak menemukan seseorang yang punya sikap dan keberanian seperti itu." Fiona, yang masih sibuk merapikan seragam Sintia yang kini dia kenakan, mengangkat kepalanya dan tersenyum lebar. "Apa yang kalian bicarakan?" tanyanya dengan nada penuh percaya diri. Adel melangkah mendekat. "Kami pikir, kamu punya semua yang diperlukan untuk bergabung dengan kami, Trio FAM Alliance. Apa kamu tertarik?" Fiona mengangkat alisnya, berpikir sejenak. "Jadi, kalian memiliki geng, dan ingin aku bergabung dengan geng kalian? Apa keuntungannya bagiku?" Maya tersenyum lebar. "Keuntungannya? Kamu akan mendapatkan kepopuleran dan teman yang setia, kekuatan. Tidak ada yang akan berani mengganggumu. Dan tentu saja, kita akan bersenang-senang bersama, mengendalikan sekolah ini." Fiona tersenyum, tampak puas dengan penawaran itu. "Baiklah, aku tertarik. Apa yang harus aku lakukan untuk resmi bergabung?" Adel dan Maya saling pandang, lalu Adel menjawab, "Kamu baru saja menunjukkan keberanian dan sikap yang kita cari. Mulai sekarang, kamu adalah bagian dari Trio FAM Alliance.” “Aku sangat senang bisa bergabung dengan kalian, tapi apa artinya FAM?” Fiona terlihat penasaran dengan tiga huruf tersebut. “Sebelumnya, nama geng ini dibuat bersama dengan Fianka, tapi kedua orang tuanya telah jatuh miskin, sehingga dia meninggalkan sekolah ini! Dan nama FAM adalah singkatan nama depan kita bertiga, Fianka, Adel, dan Maya, tetapi sekarang nama Fianka telah menjadi nama Fiona, lebih segalanya dibandingkan gadis itu.” Maya dengan panjang lebar menjelaskan nama geng tersebut. “Apa kau keberatan, Fiona?” tanya Adel. “Tentu saja tidak!” Fiona merangkul kedua temannya itu dan keluar dari kamar dalam kamar mandi. Adel dan Maya tersenyum penuh kemenangan. Dengan kehadiran Fiona, mereka merasa geng mereka akan menjadi lebih kuat dan berpengaruh di sekolah. **** Sepulang sekolah, Fiona dengan penuh semangat mengajak Maya dan Adel menuju sebuah mal besar di pusat kota. Mereka bertiga menuju pintu masuk utama dengan langkah percaya diri, menikmati pandangan iri dari orang-orang di sekitar mereka. "Kalian berdua bisa memilih apa yang kalian inginkan, aku akan mentraktir kalian sebagai perayaan bergabungnya aku dengan geng Trio FAM Alliance," ucap Fiona dengan senyum cerah. "Ahh... Terima kasih, Fiona," ucap Adel dan Maya bersamaan dengan nada yang terdengar manja. "Let's go!" Fiona menarik tangan Adel dan Maya, menuju ke dalam mal dengan semangat. Mereka mengunjungi butik-butik mewah, mencoba berbagai pakaian, sepatu, dan aksesori. Suasana penuh tawa dan kebahagiaan terasa di antara mereka. Setelah berbelanja cukup banyak, mereka menuju ke lantai atas untuk makan siang di restoran mewah. Saat Fiona sedang asyik berbincang dengan Maya dan Adel, dia tidak sengaja menabrak seorang pria yang sedang berjalan dari arah berlawanan. Barang-barang belanjaannya jatuh berserakan di lantai. "Ah, maaf!" ucap Fiona, sedikit kesal tapi berusaha tetap tenang. Pria itu membantu mengumpulkan barang-barang Fiona. "Tidak apa-apa," katanya sambil menyerahkan tas belanjaan Fiona. Saat Fiona melihat wajahnya, dia tertegun sejenak. Pria itu sangat tampan, dengan mata yang tajam. Dia mengenakan seragam sekolah yang sama dengan mereka. Pria itu pergi begitu saja dari hadapan Fiona tanpa bicara apa pun lagi. Fiona menoleh pada Maya dan Adel dengan penasaran. "Siapa dia?" bisiknya. Adel tersenyum tipis lalu menjawab, "Itu Alvaro Kristian, dia ketua OSIS di sekolah kita dan dia mantan kekasih Fianka. Semenjak kepergian Fianka, Alvaro terlihat dingin pada siapa pun." Fiona menatap punggungnya yang menjauh dengan mata berbinar. "Menarik," gumamnya pelan, tersirat rasa penasaran yang mendalam di dalamnya. **** Jam tujuh malam, Fiona baru kembali ke kediaman Stefanus Thene dengan beberapa belanjaannya. Tatapan tajam dari seseorang menyambut kedatangannya. "Dari mana saja kamu, Fiona!" William terlihat seperti seorang ayah yang sedang menunggu kedatangan putrinya dan bersiap untuk memarahinya. "Tentu saja menghabiskan uangmu," jawab Fiona sambil menunjukkan beberapa belanjaannya. Fiona menoleh ke samping kanan, melihat beberapa pembantu yang berdiri tak jauh darinya. "Kalian kenapa diam saja! Ambil ini dan bawa ke kamarku. Aku harus memanjakan suamiku terlebih dahulu," ucap Fiona dengan penuh percaya diri sambil berjalan mendekati William.Fiona berdiri tepat di hadapan William yang melihatnya dengan tatapan datar. Fiona menundukkan setengah badannya agar sejajar dengan William yang duduk di kursi roda, sambil memainkan dasi merah yang dipakainya."Apakah kamu marah padaku?" tanyanya dengan suara lembut.Hening, tak ada jawaban yang keluar dari mulut William. Dia hanya diam memperhatikan gerak gerik Fiona.Dengan sentuhan lembut, Fiona meraba jas hitam William lalu merubah tangannya menjadi menunjuk tepat di arah detak jantung William.“William, apa kamu masih ingat perkataanku kemarin? Jika lupa, aku akan ingatkan sekali lagi, bahwa kau tidak punya hak untuk melarang apapun yang aku lakukan karena aku tidak suka dilarang, termasuk oleh suamiku sendiri. Apalagi pernikahan kita-" Fiona belum menyelesaikan ucapannya, William telah memotong pembicaraannya."Kau tidak perlu membahasnya lagi! Aku sama sekali tidak tertarik dengan urusanmu," potong William dengan suara dingin, matanya menatap kosong ke arah lain.Fiona terdia
"Satu ... dua ... tiga!" Teriakan itu menggema di malam yang tenang, disambut dengan deru mesin yang meraung keras. Mobil-mobil melaju dengan cepat, meninggalkan jejak debu dan asap di jalanan aspal yang gelap. Seorang pria tampan berada di depan kemudi, memacu mobilnya dengan penuh percaya diri, matanya fokus pada jalan di depan. Cahaya lampu jalanan dan sorot lampu mobil-mobil lainnya memantulkan bayangan wajahnya yang tegang namun penuh determinasi. Di pinggir lintasan, Fiona baru saja tiba di lokasi. Dia memandang pemandangan di depannya dengan tenang, matanya menyapu kerumunan orang yang bersorak-sorai menyemangati para pembalap. Di sampingnya, Maya dan Adel berdiri dengan antusias, mengikuti setiap gerakan mobil-mobil yang berpacu di lintasan. "Wow, lihat dia! Mobilnya benar-benar melaju kencang," seru Maya, matanya berbinar penuh semangat. "Siapa orang yang di dalamnya itu? Dia begitu lihai," tanya Adel dengan nada penasaran, sambil menunjuk ke arah mobil yang mem
William hanya bisa melihat istrinya yang sedang berjongkok seperti anak kecil yang kehilangan induknya melalui CCTV yang terpasang di dalam lift dan terhubung dengan ponselnya. Sebelumnya, saat William baru selesai mengerjakan beberapa dokumen pekerjaannya. Dia mendapati banyak panggilan yang tak terjawab dari nomor dengan nama F, hanya satu huruf singkat dan itu adalah nomor ponsel Fiona. William mengabaikan teleponnya, baru saja dia menyimpan ponselnya kembali ke atas meja, seorang pembantu memberitahu bahwa Fiona terjebak di dalam lift. Sampai beberapa saat pintu lift berhasil dibuka, tetapi Fiona masih berjongkok dengan pikirannya. William mencoba mendekati Fiona dengan kursi rodanya. “Apa kau akan terus berjongkok disini?” ucap William, tetapi tidak ada respon darinya. “Ehmmm...” William berdehem cukup keras, Fiona masih saja tak bergeming. Dengan ragu-ragu, William menarik beberapa helai rambut Fiona cukup kencang lalu berpura-pura seolah-olah dia tidak melakukannya.
Setelah kejadian tadi pagi, seseorang datang ke dalam kelas Fiona dan memberitahunya untuk ke ruang guru.Dengan perasaan kesal, Fiona menuju ruang guru sesuai dengan panggilan yang diterimanya.Di ruang guru, seorang guru BK yang bernama Pak Herman sudah menunggu kedatangan Fiona."Fiona, kamu tahu mengapa kamu dipanggil ke sini?" tanya Pak Herman dengan nada tegas.Fiona mengangguk perlahan. "Iya, Pak."Pak Herman menatapnya tajam. "Jika kamu tahu, kenapa harus ada percekcokan, bahkan sampai bertengkar dan membuat tangan Juwita terluka?"Fiona terkejut mendengar apa yang baru saja dikatakan Pak Herman. “Tapi, Pak, itu bukan kesalahan saya.”“Kamu ini, masih saja membantah. Jangan mentang-mentang keluargamu orang berada sehingga bisa membantah aturan sekolah. Apalagi dengan membawa begitu banyak alat make-up seperti ini. Kamu datang ke sekolah untuk belajar atau pamer kecantikanmu? Membawa alat-alat make-up seperti itu,
Namun, pikiran Fiona seketika buyar setelah mendengar perkataan William.“Make-up yang dipakai olehmu sangat berantakan, terlihat jelek. Aku akan bantu menghapusnya,” ujar William sambil menggunakan tangan satunya lagi untuk menghapus lipstik di bibir Fiona hingga berantakan di sekitar bibirnya.“William, kenapa kamu menghapusnya?” seru Fiona, berusaha melepaskan tangannya yang digenggam erat oleh William.William tidak menghiraukan perkataan Fiona. “Dan, merah-merah di pipimu sangat buruk, seperti orang yang habis terkena pukulan. Aku akan menghapusnya lagi,” katanya sambil kembali menghapus blush on yang sengaja dipakai Fiona.“Ahh… William, jangan! Hentikan,” teriak Fiona mencoba menghentikan tangan William yang terus menghapus make-up-nya.“Selesai,” gumam William sambil melepaskan tangannya lalu menjauh dari hadapan Fiona yang setengah tubuhnya masih berada di atas meja.Fiona merengut kesal, wajahnya terlihat memerah. Matan
William segera menekan tombol di samping ranjang yang akan terhubung ke lantai bawah untuk memanggil pembantunya. Tak butuh waktu lama, seorang pembantu wanita datang dan berdiri di depan William yang baru membuka pintu. Dia sedang menunggu perintah dari tuannya setelah beberapa saat yang lalu dipanggil, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut William. Dengan wajah agak canggung, William berkata, "Bawakan roti bersayap untuknya." Pembantu itu mengernyit bingung, mencoba memikirkan permintaan tuannya yang tidak biasa itu. "Tuan, kita tidak memiliki roti bersayap. Tapi aku bisa membuatkan roti bersayap dengan potongan sayap ayam," jawabnya dengan ekspresi bingung namun berusaha membantu. William mendesah pelan, merasa kebingungan sendiri. Dia memutar otaknya, mencoba mencari cara untuk menjelaskan tanpa langsung menyebutkan kata-kata yang terasa memalukan baginya.
Dengan wajah merengut kesal, Fiona mencoba menghubungi William untuk menjemputnya pulang. Namun, pria itu sama sekali tidak mengangkat teleponnya dan bahkan ada beberapa kali panggilan yang di rijeknya.‘Punya suami terasa tidak punya. Dia tidak bisa diandalkan,’ gerutu Fiona di dalam hati tanpa sadar telah mengakui William sebagai suaminya. Dia melangkah menjauhi mobilnya untuk mencari kedua temannya.Ketika baru beberapa langkah, Fiona menghentikan langkahnya mengingat Adel dan Maya tidak membawa mobil, bahkan mereka baru saja pulang.Fiona menghela napasnya, melihat sekeliling parkiran mencoba melihat orang yang telah berani bermain-main dengannya, sampai matanya melihat Juwita dari jarak yang sedikit jauh darinya. Gadis itu sedang tertawa lepas bersama beberapa teman satu kelasnya, Fiona yang di landa kesal karena ban mobilnya yang bocor hendak berjalan menghampirinya. Namun, tak sengaja dia menabrak Alvaro yang hendak melewatinya sam
Langit mulai gelap dan suasana di sekitar kantor menjadi semakin sepi. Fiona duduk di sana, merasa seperti anak yang terbuang, tanpa ada tempat untuk pulang dan tanpa siapa pun yang peduli. Bahkan mobil taksi tidak ada satu pun yang lewat, membuat Fiona benar-benar tak berdaya. Dia terus menunggu di depan gedung kantornya. Matahari telah lama tenggelam, dan malam semakin larut. Fiona tidak tahu bahwa William telah pergi sejak siang untuk mengecek beberapa pekerjaannya di luar kantor setelah selesai rapat. Kantor mulai sepi, satu per satu lampu di dalam gedung padam, menandakan bahwa tempat itu sudah tutup. Fiona tetap berada di sana, berharap William akan keluar dan menemukannya. Namun, harapan itu ternyata tidak sesuai dengan harapannya. Tiba-tiba, satpam mendekati Fiona. Pria itu berhenti di depannya, memandang Fiona dengan ekspresi datar. “Nona, Tuan William sudah tidak ada di kantor. Dia telah pergi sejak siang tadi.”Fiona menatap satpam itu dengan kaget, matanya yang tadinya
Wajah Fiona seketika menegang. Ia kini memahami mengapa suasana sekolah begitu aneh sejak kedatangannya.“Fiona, bisakah kau menjelaskan ini?” tanya kepala sekolah dengan nada serius.Fiona menatap foto-foto itu, lalu menegakkan bahunya. “Apa yang harus saya jelaskan, Pak?” tanyanya, berusaha tetap tenang.“Apakah benar kau sudah menikah?” tanya salah satu guru perempuan. “Dan pria dalam foto ini … suamimu?”Fiona menarik napas. Tak ada gunanya berbohong, karena semuanya sudah terungkap. “Ya, benar, dia suamiku. Pemilik sekolah ini,” jawabnya.Suasana ruangan seketika menjadi sunyi. Para guru saling bertukar pandang, sementara kepala sekolah menghela napas panjang.“Kami tidak melarang siswa menikah, tetapi yang menjadi masalah adalah reaksi yang ditimbulkan karena tersebarnya foto dan video ini,” jelas kepala sekolah. “Banyak siswa yang membicarakan hal ini dan tidak sedikit yang memberikan komentar yang tidak pantas. Kami khawatir hal ini akan mempengaruhi lingkungan sekolah.”Fiona
Azalea tampak terkejut melihat William. Rasa takut tiba-tiba merayapi hatinya, tetapi dengan cepat ia menegakkan punggungnya dengan percaya diri. Keberadaan Zayver di sisinya seolah memberinya kekuatan. Mereka berdua berjalan mendekati William yang berhenti tak jauh dari mereka. “Tuan, apa kita harus putar balik,” bisik Max, mencoba membujuk tuannya untuk pergi. Namun, William mengangkat tangannya, menghentikan Max. “Tidak perlu,” katanya dengan tegas.Zayver tiba di depan William, berdiri dengan sikap arogan. Senyum lebar terukir di wajahnya, senyum yang penuh dengan rasa puas dan bangga. “Kakak, apa kabar? Lama tak jumpa,” katanya dengan nada yang dibuat-buat.William hanya mendengus kasar, menahan keinginannya untuk membalas dengan lebih dari sekadar kata-kata. Ia tetap diam, tatapannya dingin begitu menusuk Zayver.Zayver yang tampaknya tidak cukup puas karena tidak ada jawab, ia kembali berbicara. “Kakak, aku dengar-dengar, kau sudah merestui hubungan ayahmu dan ibuku. Aku sa
Fiona seketika di buat panik, napasnya memburu. “William, bagaimana ini…?” tanyanya dengan suara bergetar. William segera menarik tubuh Fiona ke dalam pelukannya, mencoba menenangkan gadis itu agar tidak takut. “Tenanglah,” katanya pelan. “Bagaimana bisa tenang, apa kau tidak lihat mereka begitu banyak, sedangkan kita hanya bertiga. Kita tidak akan mampu melawan mereka,” kata Fiona dengan nada yang sedikit keras karena panik. Ia segera meraih ponselnya. “Kita harus menghubungi Max.” Dengan tangan gemetar Fiona mencoba mencari nomor telepon Max. Setelah berhasil menemukannya ia segera menghubunginya. Namun, panggilannya tidak dijawab. Fiona semakin cemas.Supir yang duduk di depan mencoba keluar untuk melawan orang-orang itu, meski ia hanya sendirian.“William, bagaimana ini… Dia tidak akan mampu melawannya,” kata Fiona dengan tangannya yang memegang erat jas yang dipakai William. “Ahhh…” Fiona berteriak, melihat supir yang dilumuri dengan darah terjatuh di depan mobil. Tidak but
Ketika sampai di lantai bawah, William mendengar suara yang berasal dari dapur dengan rasa penasaran ia menuju ke dapur. Matanya terpesona oleh pemandangan yang jarang ia lihat. Fiona berdiri di depan kompor, sibuk memasak sesuatu. Baju tidurnya yang berbahan satin memantulkan cahaya lembut dari lampu dapur, membuatnya terlihat menawan meski rambutnya terlihat berantakan tetapi wajah cantiknya, benar-benar membuat William kesulitan untuk memalingkan matanya. “Fiona,” panggil William, suaranya terdengar pelan tapi cukup membuat Fiona menoleh.Fiona tersenyum, menatap William yang mendorong kursi rodanya mendekat. “Kau bangun pagi,” katanya sambil mematikan kompor dan membawa piring ke meja makan.“Seharusnya aku yang berkata begitu. Kau biasanya bangun lebih siang.”Fiona tertawa pelan. “Aku tidak bisa tidur nyenyak semalam, jadi aku pikir, kenapa tidak bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuk kita berdua.”William mengamati wajah Fiona. “Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” ta
Di dalam mobil, suasana hening. Fiona melirik William yang terlihat dingin, pandangannya lurus ke depan.Fiona menggeser duduknya, mendekat dan bersandar pada lengannya. "William...""Aku tidak suka ada orang lain yang menyeretmu ke masalah seperti ini," potong William.Fiona tersenyum tipis, lalu menjawab dengan nada lembut, "Tidak apa-apa. Lagi pula, ini bukan masalah yang serius. Kalau saja kau mau menurunkan ego sedikit, semuanya akan selesai lebih cepat," ucapnya, sambil mengecup pipi William.William tak membalas perkataan Fiona; ia hanya diam dengan wajah tanpa ekspresi.Fiona tetap bersandar, memainkan dasi merah yang dipakai William."William, aku ingin tahu. Apa alasanmu tidak merestui hubungan mereka? Ayah membutuhkan seorang pendamping di usianya yang tak lagi muda, dan Ibu ingin memperbaiki hubungan denganmu. Mereka tulus, William. Mereka benar-benar peduli."William memalingkan wajahnya, matanya ke arah Fiona. "Peduli?" katanya dingin. "Jika mereka peduli, mereka tidak a
Di dalam ruang kantor, setelah selesai rapat. William hanya duduk dengan wajah datar. Jarinya mengetuk-ngetuk meja, tanda bahwa pikirannya sedang kacau. Beberapa menit kemudian, Max masuk ke ruangannya dengan langkah cepat. “Tuan, kami menemukan jejaknya. Salah satu tim mendeteksi mobil Nona Fiona di sebuah restoran yang ada di pinggiran kota. Kami sedang mengirim orang ke sana.”William menatap Max cukup tajam, membuat pria itu sedikit ketakutan dengan tatapannya. “Siapkan mobilku. Aku ingin pergi sekarang.”“Tuan, Anda tidak perlu turun langsung. Kami bisa mengurusnya,” balas Max dengan hati-hati.“Tutup mulutmu, Max. Aku tidak akan duduk diam di sini sementara istriku mungkin dalam bahaya,” jawab William dengan nada tajam.****Fiona turun dari mobil dengan langkah ragu. Rumah megah yang berdiri di hadapannya terlihat begitu mewah, dengan taman luas dan air mancur yang memancarkan cahaya saat terkena sinar matahari. Namun, keindahan itu tidak mampu mengusir rasa takut yang meray
Fiona memutuskan untuk mengerjai orang-orang yang ia kira anak buah William yang diperintahkan untuk mengikutinya dengan mempercepat laju mobilnya, menikung tajam di sebuah persimpangan, dan memasuki jalan yang lebih kecil.Namun, kedua mobil itu tetap menempel di belakangnya, tidak menunjukkan tanda-tanda untuk menghindar. Fiona mulai merasa kesal. Fiona sedikit memelankan laju mobilnya, ia mengirim sebuah pesan pada William untuk menarik anak buahnya. Setelah pesan itu terkirim, Fiona memutuskan untuk mengetes mereka sekali lagi. Ia menekan pedal gas lebih dalam, membuat mobilnya melesat dengan kecepatan yang lebih tinggi. Namun, kedua mobil itu ternyata mampu mengejarnya dengan mudah.Suara derit ban yang mendadak terdengar ketika Fiona harus mengerem secara tiba-tiba di sebuah persimpangan untuk menghindari sebuah truk yang melintas. Mobilnya berhenti dengan aman, tetapi kedua mobil di belakangnya juga berhenti dengan kecepatan tinggi, hampir menyerempet mobil Fiona.“Dasar tida
Setelah beberapa saat, William akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. “Fiona, apa kau tidak suka aku membawamu kemari?”Fiona menoleh ke arah William, senyum kecil terulas di wajahnya. “Aku menyukainya, William,” jawabnya pelan.William terdiam sejenak, menatap matanya dengan begitu intens. “Kalau begitu, apa kau baik-baik saja? Apa yang sedang kau pikirkan?”Fiona menghela napas, ia sudah mendungannya William akan bertanya seperti itu. Pandangan matanya jatuh ke meja di depannya. “Aku hanya … banyak berpikir,” jawabnya. Fiona merasa jawabannya sangat aneh, namun ia tidak mengulangi perkataannya. “Tentang apa?” tanya William, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.Fiona mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk mencari alasan, tetapi ia tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Ia tidak ingin William tahu tentang Azalea yang dilihatnya waktu di jalan. “Hanya … tentang sekolah, teman-teman, dan banyak hal lainnya,” jawabnya samar.William mengangguk, meskipun jelas ia tidak sepenuh
“Terima kasih,” ucap William dengan nada pelan. Ia hendak menarik pinggang Fiona untuk duduk di atas pangkuannya, namun Fiona malah menghindar. Fiona tidak menjawab atau bahkan tersenyum. Ia langsung mengambil segelas air, meneguknya, lalu duduk dengan tenang.Suasana di antara mereka terasa sunyi, seperti ada tembok tak terlihat yang memisahkan mereka.William menatap Fiona begitu dalam, mencoba mencari tahu apa yang salah. Padahal sebelumnya mereka selalu menikmati kebersamaan dengan romantis, setelah kejadian malam itu. Tetapi sejak semalam, semuanya terasa berbeda, seperti kembali ke hari-hari awal pernikahan mereka yang dingin dan terhalang jarak. William menghela napas lalu mengambil roti, mengolesinya dengan selai stroberi, salah satu kesukaan Fiona, dan meletakkannya di piring Fiona.“Ini, makanlah,” katanya sambil mendorong piring itu sedikit ke arahnya.Fiona mengangkat pandangannya sejenak, lalu berkata, “Terima kasih,” dengan nada datar. Ia mengambil roti itu dan mulai m