Sintia yang dipanggil Adel dengan sebutan Sitong segera menggelengkan kepalanya. Dia ingin mengelak membela dirinya tetapi tatapan Maya membuat Sintia kembali menundukkan kepalanya.
Maya adalah orang yang sengaja menggunakan kakinya saat Sintia akan melewati bangku Fiona agar Sintia menumpahkan minuman tersebut ke baju Fiona. "Adel, apa aku tadi tidak salah dengar, kamu menyebut namanya Sitong? Astaga, nama macam apa itu! Haha..." ejek Fiona sambil tertawa. Maya ikut tertawa puas mendengar perkataan Fiona, tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Kamu tidak salah dengar, Fiona," jawab Adel. Mereka bertiga menertawakannya, di saat Sintia memilih untuk pergi dari hadapan ketiga orang itu, Fiona memegangi tangannya. "Mau kemana kamu, Sitong? Enak aja, mau pergi tanpa bertanggung jawab! Lihat ini, baju seragamku kotor dan baju ini dibuat khusus dari Italia," Fiona berbicara dengan nada suara yang terdengar bangga dan angkuh. "Maaf! Aku akan membersihkan seragammu, apa kamu membawa baju seragam lain?" jawabnya. "Untuk apa aku membawa seragam cadangan? Ini hari pertama aku masuk ke sekolah baru, tapi kau sudah mengotori bajuku!” Fiona mendengus sambil menarik tangannya dari genggaman Sintia dengan kasar. Sintia merasa terpojok, tak tahu harus berbuat apa. Tatapan sinis dari Maya dan Adel membuatnya semakin gugup. "Sudahlah, Sitong. Kamu benar-benar ceroboh. Kamu harus bertanggung jawab atas ini!" kata Maya. "Aku akan membersihkannya sekarang juga," Sintia berusaha untuk bertanggung jawab. "Bagaimana caranya? Kita sedang di sekolah, dan di sini tidak ada mesin cuci," Fiona berucap dengan nada tinggi. "Aku bisa mencoba membersihkannya di kamar mandi. Aku punya tisu basah di tas," Sintia menjawab dengan pelan, dia tidak sepenuhnya yakin. Fiona memutar matanya, tapi akhirnya dia menyetujui, "Baiklah, tapi jika tidak bisa bersih, kamu harus mengganti baju ini! Mengerti?" Sintia mengangguk cepat. Mereka berempat segera menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Fiona melepaskan seragamnya, memberikannya pada Sintia. Sehingga hanya menyisakan baju hitam yang dipakainya sebagai dalam kedua. Sintia terus berusaha membersihkan seragam Fiona, air matanya jatuh tanpa disadari. Perlahan, dia mulai menghapus noda itu, berharap bisa menghilang. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, Sintia akhirnya menyadari bahwa noda di seragam Fiona tidak sepenuhnya bisa hilang. Dengan tangan gemetar, dia keluar dari kamar mandi dan mendapati Fiona, Maya, dan Adel masih menunggunya dengan kedua tangan mereka yang melipat di dada. "Aku... aku tidak bisa membersihkannya sepenuhnya," kata Sintia pelan, suaranya hampir hilang ditelan rasa takut dan malu. Fiona mendengus kesal. "Kalau begitu, kita tukar saja. Kamu pakai seragam kotor ini, dan aku pakai seragam mu,” Sintia tertegun. "Tapi... tapi itu tidak adil. Aku akan kotor sepanjang hari." "Itu bukan urusanku!” Fiona menyeringai. "Jika kamu tidak mau, aku bisa pastikan kamu mendapat masalah lebih besar lagi." Sintia tahu dia tidak punya pilihan. Dengan tangan gemetar, dia mulai membuka seragamnya dan menyerahkannya kepada Fiona. “Sitong, apa ketiakmu bau?” tanya Fiona. Maya dan Adel dengan keras tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Fiona. Sintia hanya bisa menundukkan kepalanya, merasa sangat terhina, tanpa berbicara sepatah katapun. Dia berusaha menahan air mata yang sudah menggenang di matanya. Dengan hati yang berat, Sintia berjalan menjauh, merasakan tatapan dan tawa sinis mereka di belakangnya. Fiona dengan cepat mengenakan seragam Sintia yang bersih. Setelah Sintia pergi dengan langkah gontai dan hati yang hancur, Maya dan Adel saling bertukar pandang. Maya memberikan tatapan penuh makna kepada Adel, menunjukkan bahwa Fiona memang layak menjadi bagian dari geng mereka, "Trio FAM Alliance." "Dia cocok, kan?" bisik Maya kepada Adel dengan nada setengah senyum. Adel mengangguk setuju. "Dia memang sempurna untuk menggantikan Fianka. Sudah lama kita tidak menemukan seseorang yang punya sikap dan keberanian seperti itu." Fiona, yang masih sibuk merapikan seragam Sintia yang kini dia kenakan, mengangkat kepalanya dan tersenyum lebar. "Apa yang kalian bicarakan?" tanyanya dengan nada penuh percaya diri. Adel melangkah mendekat. "Kami pikir, kamu punya semua yang diperlukan untuk bergabung dengan kami, Trio FAM Alliance. Apa kamu tertarik?" Fiona mengangkat alisnya, berpikir sejenak. "Jadi, kalian memiliki geng, dan ingin aku bergabung dengan geng kalian? Apa keuntungannya bagiku?" Maya tersenyum lebar. "Keuntungannya? Kamu akan mendapatkan kepopuleran dan teman yang setia, kekuatan. Tidak ada yang akan berani mengganggumu. Dan tentu saja, kita akan bersenang-senang bersama, mengendalikan sekolah ini." Fiona tersenyum, tampak puas dengan penawaran itu. "Baiklah, aku tertarik. Apa yang harus aku lakukan untuk resmi bergabung?" Adel dan Maya saling pandang, lalu Adel menjawab, "Kamu baru saja menunjukkan keberanian dan sikap yang kita cari. Mulai sekarang, kamu adalah bagian dari Trio FAM Alliance.” “Aku sangat senang bisa bergabung dengan kalian, tapi apa artinya FAM?” Fiona terlihat penasaran dengan tiga huruf tersebut. “Sebelumnya, nama geng ini dibuat bersama dengan Fianka, tapi kedua orang tuanya telah jatuh miskin, sehingga dia meninggalkan sekolah ini! Dan nama FAM adalah singkatan nama depan kita bertiga, Fianka, Adel, dan Maya, tetapi sekarang nama Fianka telah menjadi nama Fiona, lebih segalanya dibandingkan gadis itu.” Maya dengan panjang lebar menjelaskan nama geng tersebut. “Apa kau keberatan, Fiona?” tanya Adel. “Tentu saja tidak!” Fiona merangkul kedua temannya itu dan keluar dari kamar dalam kamar mandi. Adel dan Maya tersenyum penuh kemenangan. Dengan kehadiran Fiona, mereka merasa geng mereka akan menjadi lebih kuat dan berpengaruh di sekolah. **** Sepulang sekolah, Fiona dengan penuh semangat mengajak Maya dan Adel menuju sebuah mal besar di pusat kota. Mereka bertiga menuju pintu masuk utama dengan langkah percaya diri, menikmati pandangan iri dari orang-orang di sekitar mereka. "Kalian berdua bisa memilih apa yang kalian inginkan, aku akan mentraktir kalian sebagai perayaan bergabungnya aku dengan geng Trio FAM Alliance," ucap Fiona dengan senyum cerah. "Ahh... Terima kasih, Fiona," ucap Adel dan Maya bersamaan dengan nada yang terdengar manja. "Let's go!" Fiona menarik tangan Adel dan Maya, menuju ke dalam mal dengan semangat. Mereka mengunjungi butik-butik mewah, mencoba berbagai pakaian, sepatu, dan aksesori. Suasana penuh tawa dan kebahagiaan terasa di antara mereka. Setelah berbelanja cukup banyak, mereka menuju ke lantai atas untuk makan siang di restoran mewah. Saat Fiona sedang asyik berbincang dengan Maya dan Adel, dia tidak sengaja menabrak seorang pria yang sedang berjalan dari arah berlawanan. Barang-barang belanjaannya jatuh berserakan di lantai. "Ah, maaf!" ucap Fiona, sedikit kesal tapi berusaha tetap tenang. Pria itu membantu mengumpulkan barang-barang Fiona. "Tidak apa-apa," katanya sambil menyerahkan tas belanjaan Fiona. Saat Fiona melihat wajahnya, dia tertegun sejenak. Pria itu sangat tampan, dengan mata yang tajam. Dia mengenakan seragam sekolah yang sama dengan mereka. Pria itu pergi begitu saja dari hadapan Fiona tanpa bicara apa pun lagi. Fiona menoleh pada Maya dan Adel dengan penasaran. "Siapa dia?" bisiknya. Adel tersenyum tipis lalu menjawab, "Itu Alvaro Kristian, dia ketua OSIS di sekolah kita dan dia mantan kekasih Fianka. Semenjak kepergian Fianka, Alvaro terlihat dingin pada siapa pun." Fiona menatap punggungnya yang menjauh dengan mata berbinar. "Menarik," gumamnya pelan, tersirat rasa penasaran yang mendalam di dalamnya. **** Jam tujuh malam, Fiona baru kembali ke kediaman Stefanus Thene dengan beberapa belanjaannya. Tatapan tajam dari seseorang menyambut kedatangannya. "Dari mana saja kamu, Fiona!" William terlihat seperti seorang ayah yang sedang menunggu kedatangan putrinya dan bersiap untuk memarahinya. "Tentu saja menghabiskan uangmu," jawab Fiona sambil menunjukkan beberapa belanjaannya. Fiona menoleh ke samping kanan, melihat beberapa pembantu yang berdiri tak jauh darinya. "Kalian kenapa diam saja! Ambil ini dan bawa ke kamarku. Aku harus memanjakan suamiku terlebih dahulu," ucap Fiona dengan penuh percaya diri sambil berjalan mendekati William.Fiona berdiri tepat di hadapan William yang melihatnya dengan tatapan datar. Fiona menundukkan setengah badannya agar sejajar dengan William yang duduk di kursi roda, sambil memainkan dasi merah yang dipakainya."Apakah kamu marah padaku?" tanyanya dengan suara lembut.Hening, tak ada jawaban yang keluar dari mulut William. Dia hanya diam memperhatikan gerak gerik Fiona.Dengan sentuhan lembut, Fiona meraba jas hitam William lalu merubah tangannya menjadi menunjuk tepat di arah detak jantung William.“William, apa kamu masih ingat perkataanku kemarin? Jika lupa, aku akan ingatkan sekali lagi, bahwa kau tidak punya hak untuk melarang apapun yang aku lakukan karena aku tidak suka dilarang, termasuk oleh suamiku sendiri. Apalagi pernikahan kita-" Fiona belum menyelesaikan ucapannya, William telah memotong pembicaraannya."Kau tidak perlu membahasnya lagi! Aku sama sekali tidak tertarik dengan urusanmu," potong William dengan suara dingin, matanya menatap kosong ke arah lain.Fiona terdia
"Satu ... dua ... tiga!" Teriakan itu menggema di malam yang tenang, disambut dengan deru mesin yang meraung keras. Mobil-mobil melaju dengan cepat, meninggalkan jejak debu dan asap di jalanan aspal yang gelap. Seorang pria tampan berada di depan kemudi, memacu mobilnya dengan penuh percaya diri, matanya fokus pada jalan di depan. Cahaya lampu jalanan dan sorot lampu mobil-mobil lainnya memantulkan bayangan wajahnya yang tegang namun penuh determinasi. Di pinggir lintasan, Fiona baru saja tiba di lokasi. Dia memandang pemandangan di depannya dengan tenang, matanya menyapu kerumunan orang yang bersorak-sorai menyemangati para pembalap. Di sampingnya, Maya dan Adel berdiri dengan antusias, mengikuti setiap gerakan mobil-mobil yang berpacu di lintasan. "Wow, lihat dia! Mobilnya benar-benar melaju kencang," seru Maya, matanya berbinar penuh semangat. "Siapa orang yang di dalamnya itu? Dia begitu lihai," tanya Adel dengan nada penasaran, sambil menunjuk ke arah mobil yang mem
William hanya bisa melihat istrinya yang sedang berjongkok seperti anak kecil yang kehilangan induknya melalui CCTV yang terpasang di dalam lift dan terhubung dengan ponselnya. Sebelumnya, saat William baru selesai mengerjakan beberapa dokumen pekerjaannya. Dia mendapati banyak panggilan yang tak terjawab dari nomor dengan nama F, hanya satu huruf singkat dan itu adalah nomor ponsel Fiona. William mengabaikan teleponnya, baru saja dia menyimpan ponselnya kembali ke atas meja, seorang pembantu memberitahu bahwa Fiona terjebak di dalam lift. Sampai beberapa saat pintu lift berhasil dibuka, tetapi Fiona masih berjongkok dengan pikirannya. William mencoba mendekati Fiona dengan kursi rodanya. “Apa kau akan terus berjongkok disini?” ucap William, tetapi tidak ada respon darinya. “Ehmmm...” William berdehem cukup keras, Fiona masih saja tak bergeming. Dengan ragu-ragu, William menarik beberapa helai rambut Fiona cukup kencang lalu berpura-pura seolah-olah dia tidak melakukannya.
Setelah kejadian tadi pagi, seseorang datang ke dalam kelas Fiona dan memberitahunya untuk ke ruang guru.Dengan perasaan kesal, Fiona menuju ruang guru sesuai dengan panggilan yang diterimanya.Di ruang guru, seorang guru BK yang bernama Pak Herman sudah menunggu kedatangan Fiona."Fiona, kamu tahu mengapa kamu dipanggil ke sini?" tanya Pak Herman dengan nada tegas.Fiona mengangguk perlahan. "Iya, Pak."Pak Herman menatapnya tajam. "Jika kamu tahu, kenapa harus ada percekcokan, bahkan sampai bertengkar dan membuat tangan Juwita terluka?"Fiona terkejut mendengar apa yang baru saja dikatakan Pak Herman. “Tapi, Pak, itu bukan kesalahan saya.”“Kamu ini, masih saja membantah. Jangan mentang-mentang keluargamu orang berada sehingga bisa membantah aturan sekolah. Apalagi dengan membawa begitu banyak alat make-up seperti ini. Kamu datang ke sekolah untuk belajar atau pamer kecantikanmu? Membawa alat-alat make-up seperti itu,
Namun, pikiran Fiona seketika buyar setelah mendengar perkataan William.“Make-up yang dipakai olehmu sangat berantakan, terlihat jelek. Aku akan bantu menghapusnya,” ujar William sambil menggunakan tangan satunya lagi untuk menghapus lipstik di bibir Fiona hingga berantakan di sekitar bibirnya.“William, kenapa kamu menghapusnya?” seru Fiona, berusaha melepaskan tangannya yang digenggam erat oleh William.William tidak menghiraukan perkataan Fiona. “Dan, merah-merah di pipimu sangat buruk, seperti orang yang habis terkena pukulan. Aku akan menghapusnya lagi,” katanya sambil kembali menghapus blush on yang sengaja dipakai Fiona.“Ahh… William, jangan! Hentikan,” teriak Fiona mencoba menghentikan tangan William yang terus menghapus make-up-nya.“Selesai,” gumam William sambil melepaskan tangannya lalu menjauh dari hadapan Fiona yang setengah tubuhnya masih berada di atas meja.Fiona merengut kesal, wajahnya terlihat memerah. Matan
William segera menekan tombol di samping ranjang yang akan terhubung ke lantai bawah untuk memanggil pembantunya. Tak butuh waktu lama, seorang pembantu wanita datang dan berdiri di depan William yang baru membuka pintu. Dia sedang menunggu perintah dari tuannya setelah beberapa saat yang lalu dipanggil, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut William. Dengan wajah agak canggung, William berkata, "Bawakan roti bersayap untuknya." Pembantu itu mengernyit bingung, mencoba memikirkan permintaan tuannya yang tidak biasa itu. "Tuan, kita tidak memiliki roti bersayap. Tapi aku bisa membuatkan roti bersayap dengan potongan sayap ayam," jawabnya dengan ekspresi bingung namun berusaha membantu. William mendesah pelan, merasa kebingungan sendiri. Dia memutar otaknya, mencoba mencari cara untuk menjelaskan tanpa langsung menyebutkan kata-kata yang terasa memalukan baginya.
Dengan wajah merengut kesal, Fiona mencoba menghubungi William untuk menjemputnya pulang. Namun, pria itu sama sekali tidak mengangkat teleponnya dan bahkan ada beberapa kali panggilan yang di rijeknya.‘Punya suami terasa tidak punya. Dia tidak bisa diandalkan,’ gerutu Fiona di dalam hati tanpa sadar telah mengakui William sebagai suaminya. Dia melangkah menjauhi mobilnya untuk mencari kedua temannya.Ketika baru beberapa langkah, Fiona menghentikan langkahnya mengingat Adel dan Maya tidak membawa mobil, bahkan mereka baru saja pulang.Fiona menghela napasnya, melihat sekeliling parkiran mencoba melihat orang yang telah berani bermain-main dengannya, sampai matanya melihat Juwita dari jarak yang sedikit jauh darinya. Gadis itu sedang tertawa lepas bersama beberapa teman satu kelasnya, Fiona yang di landa kesal karena ban mobilnya yang bocor hendak berjalan menghampirinya. Namun, tak sengaja dia menabrak Alvaro yang hendak melewatinya sam
Langit mulai gelap dan suasana di sekitar kantor menjadi semakin sepi. Fiona duduk di sana, merasa seperti anak yang terbuang, tanpa ada tempat untuk pulang dan tanpa siapa pun yang peduli. Bahkan mobil taksi tidak ada satu pun yang lewat, membuat Fiona benar-benar tak berdaya. Dia terus menunggu di depan gedung kantornya. Matahari telah lama tenggelam, dan malam semakin larut. Fiona tidak tahu bahwa William telah pergi sejak siang untuk mengecek beberapa pekerjaannya di luar kantor setelah selesai rapat. Kantor mulai sepi, satu per satu lampu di dalam gedung padam, menandakan bahwa tempat itu sudah tutup. Fiona tetap berada di sana, berharap William akan keluar dan menemukannya. Namun, harapan itu ternyata tidak sesuai dengan harapannya. Tiba-tiba, satpam mendekati Fiona. Pria itu berhenti di depannya, memandang Fiona dengan ekspresi datar. “Nona, Tuan William sudah tidak ada di kantor. Dia telah pergi sejak siang tadi.”Fiona menatap satpam itu dengan kaget, matanya yang tadinya
Fiona menutup matanya dan menyentuhkan bibirnya pada bibir William. Seketika William membalas ciuman itu semakin dalam. William merengkuh pinggang Fiona, mendekapnya erat seakan tak ingin melepaskannya lagi. Tangan pria itu meraba punggung Fiona, merasakan kehangatan tubuh istrinya yang begitu ia rindukan."Aku juga mencintaimu, William,” gumam Fiona di sela ciuman mereka. Pengakuan itu membuat William semakin kehilangan kendali. Ia menindihnya dengan penuh hasrat.Fiona yang semula masih menolak, kini tidak bisa menahan diri lagi. Dia membiarkan William menyentuhnya, membiarkan pria itu mengklaimnya kembali. Mereka larut dalam gairah, seakan ingin melupakan segala masalah yang ada di antara mereka. ****Di tempat lain, di sebuah kios es krim, Lauren duduk dengan gelisah. Ia sesekali melirik ke arah jam tangan, lalu melihat Ezra yang duduk di sampingnya dengan ekspresi bosan. Anak itu menggoyangkan kakinya dengan tidak sabar."Nenek, kenapa Ibu belum datang juga? Aku ingin pulang,"
Ciuman itu begitu menuntut, seolah William ingin menyalurkan semua emosi yang telah lama ia pendam. Rindu yang bertahun-tahun tertahan, kemarahan karena kepergian Fiona, dan cinta yang tak pernah benar-benar hilang—semuanya meledak dalam satu ciuman yang membius.Fiona mulai kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri. Jemarinya yang awalnya ingin mendorong William kini justru mencengkeram kemeja pria itu, gemetar di antara genggamannya. Namun, saat pikirannya mulai hanyut dalam perasaan yang bercampur aduk, kesadarannya kembali.Dengan sekuat tenaga, Fiona memukul dada William, memaksa pria itu untuk melepaskan ciumannya."Jangan!" serunya dengan napas memburu.William akhirnya melepaskan Fiona, tetapi tangannya tetap menahan pinggang wanita itu, seakan tidak rela berpisah. Mata mereka bertemu dalam keheningan yang mendebarkan."Dasar mesum," bisik Fiona, matanya berkaca-kaca.William tersenyum miring, jari-jarinya menyentuh bibirnya sendiri, merasakan jejak ciuman mereka. "Benarkah?" t
Setelah lama saling melepas rindu dengan ibunya, Fiona kini berdiri di depan jendela kamar, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Kata-kata ibunya masih terngiang di telinganya."Ada banyak orang yang terus mencarimu."Fiona menggigit kuku ibu jarinya, kebiasaan lamanya saat merasa cemas. Dalam hatinya, muncul pertanyaan yang selama ini ia hindari."Apakah William mencariku?"Pikiran itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Bagaimana jika William benar-benar mencarinya? Bagaimana jika dia tahu tentang Ezra? Apakah William akan mencoba mengambil Ezra darinya?Fiona menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran itu. Namun, jauh di dalam hatinya, Fiona tidak bisa menutupi rasa rindunya pada pria itu.Keesok harinya Fiona dan ibunya, Lauren, memutuskan untuk menghabiskan hari dengan berjalan-jalan ke mal. Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, Lauren ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan putrinya dan cucunya, Ezra. Sementara itu, di tempat lain, William akhirnya tiba di
Limat tahun kemudian di bandara Italia, Fiona turun dari pesawat dengan seorang anak laki-laki berusia sekitar empat tahun di sampingnya. Wajahnya berseri-seri saat dia menggandeng tangan anaknya, Ezra. Meski sudah menjadi seorang ibu, Fiona masih tampak muda dan cantik, seolah waktu tidak mengubahnya sedikit pun. Bahkan, jika dilihat sekilas, orang mungkin akan mengira Ezra adalah adiknya, bukan anaknya.Fiona dan Ezra berjalan dengan langkah ringan menuju area kedatangan. Perjalanan Fiona ke Italia adalah untuk menemui ibunya, Lauren, yang sudah lama tidak ditemuinya. Fiona merasa sedikit gugup, tapi juga bahagia. Dia ingin memperkenalkan Ezra kepada neneknya dan berharap ibunya bisa menerima mereka dengan hangat, setelah bertahun-tahun tanpa kabar.Saat mereka berjalan di trotoar dekat rumah ibunya, Fiona tiba-tiba melihat sosok Lauren yang baru saja pulang dari suatu tempat, ibunya terlihat sudah mulai menua. Dengan cepat, dia berlutut di samping Ezra dan tersenyum lembut. “Sayan
Alvaro berjalan memasuki kantor William dengan ekspresi serius. Begitu dia sampai di lobi, seorang resepsionis mencoba menahannya, tetapi dia hanya melirik tajam sebelum melanjutkan langkahnya. Hari ini, Alvaro datang bukan untuk urusan bisnis, melainkan untuk sesuatu yang jauh lebih penting. Sesampainya di ruang kantor William yang luas dan mewah, Alvaro duduk di sofa sambil menunggu. Dia menatap sekeliling, memperhatikan desain interior yang elegan dan mahal. Ruangan itu begitu tenang, hanya suara jam dinding yang terdengar samar. Alvaro menghela napas, pikirannya dipenuhi dengan banyak pertanyaan tentang Fiona yang sudah lama tidak dilihatnya di sekolah. Ia baru mengetahuinya jika gadis itu pergi setelah pulang dari rumah sakit. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. William melangkah masuk dengan setelan jasnya yang rapi, menunjukkan bahwa dia baru saja selesai rapat. Begitu melihat Alvaro, dia mengerutkan kening. "Apa yang membawamu ke sini?" tanyanya, langsung ke intinya sam
William memijat pelipisnya yang berdenyut setelah Azalea pergi dari ruangannya. Ia segera memerintahkan seseorang untuk mengawasi pergerakan Azalea, berharap wanita itu mengetahui keberadaan Fiona.Baru saja ia hendak kembali fokus pada pekerjaannya, ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya."Masuk," ucapnya tanpa mengangkat kepala.Pintu terbuka perlahan, menampilkan seorang wanita yang penampilannya tak jauh berbeda dari Azalea."William, aku dengar istrimu pergi?" Aileen langsung bertanya tanpa basa-basi.William menoleh sekilas dan menatapnya dingin. "Lalu? Apa urusannya denganmu?" ucapnya tajam, membuat Aileen merasa tersinggung."Hm... Aku hanya mengkhawatirkanmu," jawabnya santai. "Aku baru pulang dari luar negeri dan mendengar kabar ini."William tertawa kecil, terdengar meremehkan. "Apa kalian berdua sedang bermain sandiwara? Kau datang ke sini setelah Azalea pergi, seolah ingin membujukku."Aileen mengerutkan kening, tidak mengerti maksud perkataan William. "Apa maksudmu?"
Ketika masih dalam perjalanan ponselnya bergetar. Nama Max tertera di layar. Dengan cepat, William mengangkatnya."Tuan, kami menemukan sesuatu. Fiona membeli tiket di bandara."Jantung William berdegup kencang. "Ke mana?""Tujuan ke Italia, Tuan. Sepertinya dia ingin pergi ke rumah ibunya. Tapi…” Max belum selesai memberitahu William, tetapi teleponnya sudah di matikan lebih dulu.Tanpa membuang waktu lagi William menambah kecepatan tinggi menuju bandara. Di perjalanan, pikirannya dipenuhi perasaan bercampur aduk. Mengapa Fiona tiba-tiba pergi? Apa karena dia? William mengingat kembali kata-katanya sendiri. Apakah itu yang membuat Fiona memilih pergi tanpa memberitahunya? Atau ada alasan lain yang belum diketahui?Sesampainya di bandara, William langsung masuk ke dalam gedung terminal dengan langkah tergesa-gesa. Ia menatap sekeliling, berharap menemukan sosok Fiona di antara kerumunan penumpang yang berlalu-lalang.Matanya mencari dengan panik. Sesekali ia mendekati beberapa wanita
Fiona duduk di dalam taksi, meninggalkan mobilnya di kantor William, pikirannya begitu berkecamuk. Hatinya terasa sesak, seolah dihimpit oleh sesuatu yang tidak terlihat. Azalea telah kembali bersamanya. Jadi, apakah ini akhirnya aku telah bebas? Tetapi kenapa begitu menyakitkan.Tangan Fiona perlahan menyentuh perutnya yang masih rata. Akan ada kehidupan yang segera tumbuh di dalam rahimnya, tetapi sang ayah bahkan belum tahu. Fiona tiba-tiba teringat kembali kata-kata William. "Sampai kakakmu kembali, kita tidak akan bercerai.” Sekarang kakaknya telah kembali, William mungkin akan menceraikannya. Pernikahan mereka memang hanya sebuah kesepakatan. Tidak ada cinta. Tidak ada janji sehidup semati. William tidak pernah mengucapkan kata ‘cinta’ padanya, bahkan setelah semua yang mereka lalui bersama.Air mata Fiona menggenang. Hidupnya terasa begitu menyedihkan. Masalah datang bertubi-tubi tanpa memberinya kesempatan untuk bernapas.Fiona menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri
Fiona merebahkan tubuhnya di ranjang, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kasur yang terasa begitu nyaman. Rasa lelah masih menyelimuti dirinya, dan pikirannya kacau. Ia belum siap menghadapi kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung anak William.Pintu kamar terbuka, suara roda kursi William bergeser mendekatinya. Pria itu baru saja pulang kerja, jasnya masih terpasang rapi di tubuhnya, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan sedikit kelelahan. Begitu melihat Fiona yang terbaring diam dengan mata setengah tertutup, William segera memajukan kursi rodanya, mendekati ranjang.“Fiona?” panggilnya, suaranya terdengar datar, tapi ada sedikit kekhawatiran di dalamnya.Fiona tidak langsung menjawab. Ia hanya menarik napas pelan dan menutup matanya sejenak. Ia tak ingin berbicara. Tak ingin menjelaskan apa pun. “Kau sakit?” tanyanya lagi, kini dengan nada yang lebih serius.Fiona menggeleng tanpa membuka matanya. “Aku baik-baik saja, hanya ingin tidur,” jawabnya dengan suara lirih.William diam