Fiona masih belum menyadari bahwa keenam pria itu sedang menyapanya karena dia tidak mengenal mereka.
“Astaga… Siapa yang kalian sebut 'Nyonya muda'? Aku belum menikah, tidak pantas disebut seperti itu,” tanya Maya. “Aku juga belum,” ucap Adel. Mata keenam pria itu tertuju pada Fiona, yang menatap balik dengan tatapan tajam. Sekarang Fiona menyadari bahwa kedatangan mereka adalah untuk menjemputnya. “Sepertinya kalian keliru, seharusnya memanggilku 'Nona muda', paham?” Fiona ingin memastikan kedua temannya tidak salah paham, sehingga dia segera memperbaiki perkataan keenam anak buah William yang sengaja diperintahkan untuk menjemput Fiona saat jam istirahat. “Maaf, Nona muda. Tuan-” belum selesai salah satu dari mereka berbicara, Fiona segera menghentikan perkataannya. “Stop! Kalian tak perlu mengucapkan apapun lagi, pergilah! Aku akan menyusul kalian nanti,” Fiona menyuruh mereka untuk pergi. “Aku harus pergi, kita akan melanjutkan cerita nanti!” tanpa menunggu jawaban dari Maya dan Adel, Fiona segera keluar dari kelas. **** Di sebuah restoran mewah yang sepi, Fiona berjalan menuju tempat di mana William menunggunya. "Ada apa? Mengapa aku harus datang kemari!" tanpa basa-basi, Fiona langsung memberikan William pertanyaan. “Duduk!” William menunjuk kursi kosong di hadapannya. Fiona dengan raut wajah kesal segera menuruti apa yang dikatakan William. “Katakan, ada apa? Aku harus segera kembali ke sekolah!” desak Fiona pada William agar segera mengatakan apa yang dia inginkan. “Temani aku makan siang,” ucap William. “Astaga… kamu menyuruhku datang kemari hanya untuk menemanimu makan siang? Bahkan sampai menyuruh orang-orang bertubuh besar itu untuk menjemputku, dan membuat teman baruku takut pada mereka! Kau membuatku kesal!” seru Fiona sambil melipat kedua tangannya di depan dada dan pipi yang cemberut. “Pilihlah makanan yang kamu inginkan,” ucap William, mengabaikan perkataan Fiona dan menyuruhnya memesan makanan. “Aku tidak mau memilih makanan apapun! Saat di sekolah, aku dipanggil ‘Nyonya muda’, bahkan aku menjadi pusat perhatian karena ulah anak buahmu itu,” protes Fiona, mempertahankan rasa kesalnya, sambil memikirkan penjelasan apa yang harus diberikan pada teman barunya di sekolah nanti jika mereka bertanya. “Aku akan memecat mereka, sekarang pilih makanan kesukaanmu dan pesankan untuk teman barumu juga,” ucap William, membuat mimik wajah Fiona berubah tenang seketika. “Kau, serius Baby?” tanya Fiona memastikan, sambil mata mereka saling bertatapan. “Ya, dan panggil aku William!” “Ah, baiklah! Sekarang aku akan memesan makanannya,” kata Fiona sambil mengambil menu makanan yang ada di atas meja. “Baby, eh… Maksudku William, sepertinya kamu tidak perlu memecat anak buahmu itu, mereka pasti membutuhkan pekerjaan juga. Tapi lain kali, mereka jangan memanggilku seperti itu, meskipun aku sudah menikah denganmu, tapi aku tidak ingin teman sekolahku mengetahuinya! Jika kamu merasa keberatan, kamu bisa menceraikanku,” Fiona berbicara panjang lebar sambil fokus pada menu makanan, tanpa melihat reaksi William. “Cepat, pesan makananmu, dan segera kembali ke sekolah!” ucap William dengan nada dingin. “Apa kamu keberatan dengan apa yang aku katakan tadi?” tanya Fiona. “Tidak! Sampai kakakmu kembali dan menggantikan posisimu, kita tidak akan bercerai!” ucap William dengan tegas. "Kenapa harus menunggu dia kembali? Kamu bisa menyuruh anak buahmu itu mencarinya, mereka pasti akan menemukannya." "Kau, sangat berisik!" William terlihat tidak senang mendengar apa yang Fiona bicarakan. Dia terlihat marah dan menatap Fiona dengan tatapan tajam. "Ya, baiklah! Padahal aku hanya sedikit memberi saran karena tidak semudah itu kakakku jatuh ke pelukanmu lagi, kecuali kakimu bisa kembali berjalan dengan normal," ujar Fiona sambil memasukkan makanan yang baru saja tiba ke dalam mulutnya. William hanya memandang wajah Fiona yang sedang makan dengan rakus, selera makannya yang sebelumnya menghilang karena perkataan Fiona yang membahas tentang kakaknya kini telah kembali dengan hanya melihat Fiona makan. William pun memakan makanannya juga, menciptakan suasana yang tenang tanpa adanya pembicaraan apapun hingga beberapa saat kemudian. “William, aku ingin- uhuk-uhuk!” Fiona belum sempat berbicara, tiba-tiba tenggorokannya terasa sesak dan membuatnya terbatuk-batuk, kedua matanya kemerahan dan berair. William ingin memberikan Fiona air minum, tetapi keterbatasan tubuhnya membuatnya kesulitan saat mencoba mengulurkan tangannya, sehingga William akhirnya mengurungkan niatnya. Fiona segera mengambil sendiri minuman yang ada di sampingnya. “Minumlah dengan pelan,” ucap William. "Uh… Tenggorokanku terasa sakit, tetapi makanan ini sangat enak! Sudah lama sekali aku tidak menikmati makanan sedap seperti ini sejak di Italia," monolog Fiona. “Apa yang ingin kamu katakan?” tanya William, rasa penasaran terpancar dari matanya yang tajam. “Oh, itu… Aku hanya ingin meminta uang padamu,” ucap Fiona tanpa ragu. “Fiona, kau sangat berani berbicara seperti itu padaku!” jawab William. “Tentu saja aku berani! Sekarang, berikan aku uang, bagaimanapun aku adalah istrimu, aku tidak memiliki uang sepeserpun untuk membeli barang yang aku inginkan. Tidak mungkin aku harus meminta pada suami orang lain! Ayahku tidak memberiku uang saat dia mengantarku ke rumahmu.” Fiona dengan lantang meminta uang pada William tanpa rasa malu sedikitpun, seakan dia telah mengenal William cukup lama. “Ambil ini!” William mengeluarkan sebuah kartu black card. Fiona dengan wajah sumringah, segera berjalan mendekati William dan mengambilnya dengan cepat. **** Fiona telah kembali ke sekolah. Saat masuk ke dalam kelas, Maya dan Adel segera mendekatinya. "Fiona, kamu tidak kenapa-napa kan?” tanya Adel yang terlihat penasaran dengan apa yang terjadi pada Fiona, setelah pergi dari sekolah bersama para pria berbadan besar. “Aku baik-baik saja!” jawab Fiona. “Fiona, kau tahu siapa mereka?" tanya Maya yang terlihat penasaran ingin mengetahui lebih banyak tentang Fiona, meskipun mereka baru saling mengenal beberapa jam yang lalu. "Mereka hanya orang-orang suruhan Pamanku. Sebelumnya aku tinggal di Italia, dan sekarang aku tinggal bersama dengannya," ujar Fiona. Maya hendak berbicara, tetapi Fiona kembali berucap, "Dan ini untuk kalian!" Fiona memberikan dua kantong paper bag yang berisi makanan di dalamnya. "Ah… Terima kasih, Fiona," ucap Adel, diikuti oleh Maya yang juga berterima kasih pada Fiona. Saat Fiona sedang asyik berbincang dengan Adel dan Maya sambil menunggu guru datang untuk mengajar, tiba-tiba seseorang menumpahkan minumannya ke arah baju Fiona tanpa sengaja. "Sial!" Fiona mengumpat pelan lalu segera berdiri dari duduknya, mencoba membersihkan baju yang tersiram minuman berwarna coklat membuat noda kotornya masih terlihat jelas di bajunya. "Punya mata gak sih! Lihat ini, bajuku kotor sekarang!" Fiona dengan raut wajah kesal membentak seorang gadis yang ada di hadapannya. Gadis itu terlihat ketakutan pada Fiona, apalagi setelah kedatangan pria berbaju hitam yang menjemput Fiona sebelumnya. Hal ini menyebabkan banyak rumor tentangnya, bahwa Fiona bukanlah orang sembarangan dan tak boleh diganggu oleh siapapun, atau mereka akan berurusan dengan pria berbaju hitam. Rumor ini membuat banyak murid tidak ingin berurusan dengan Fiona. "Maaf, aku tidak sengaja membuat bajumu basah, tadi aku hampir terjatuh karena-" ucap gadis itu tanpa melanjutkan kalimatnya. Dia terus saja menundukan kepalanya tanpa berani melihat ke arah Fiona dan juga Adel yang ada di samping Fiona. "Eh, Sitong, kamu tidak perlu mencari alasan lagi! Kau pasti sengaja menumpahkan minuman itu ke bajunya kan?!" tegas Adel sambil menunjuk ke arah baju Fiona.Sintia yang dipanggil Adel dengan sebutan Sitong segera menggelengkan kepalanya. Dia ingin mengelak membela dirinya tetapi tatapan Maya membuat Sintia kembali menundukkan kepalanya.Maya adalah orang yang sengaja menggunakan kakinya saat Sintia akan melewati bangku Fiona agar Sintia menumpahkan minuman tersebut ke baju Fiona."Adel, apa aku tadi tidak salah dengar, kamu menyebut namanya Sitong? Astaga, nama macam apa itu! Haha..." ejek Fiona sambil tertawa.Maya ikut tertawa puas mendengar perkataan Fiona, tanpa rasa bersalah sedikitpun."Kamu tidak salah dengar, Fiona," jawab Adel.Mereka bertiga menertawakannya, di saat Sintia memilih untuk pergi dari hadapan ketiga orang itu, Fiona memegangi tangannya."Mau kemana kamu, Sitong? Enak aja, mau pergi tanpa bertanggung jawab! Lihat ini, baju seragamku kotor dan baju ini dibuat khusus dari Italia," Fiona berbicara dengan nada suara yang terdengar bangga dan angkuh."Maaf! Aku akan membersihkan seragammu, apa kamu membawa baju seragam la
Fiona berdiri tepat di hadapan William yang melihatnya dengan tatapan datar. Fiona menundukkan setengah badannya agar sejajar dengan William yang duduk di kursi roda, sambil memainkan dasi merah yang dipakainya."Apakah kamu marah padaku?" tanyanya dengan suara lembut.Hening, tak ada jawaban yang keluar dari mulut William. Dia hanya diam memperhatikan gerak gerik Fiona.Dengan sentuhan lembut, Fiona meraba jas hitam William lalu merubah tangannya menjadi menunjuk tepat di arah detak jantung William.“William, apa kamu masih ingat perkataanku kemarin? Jika lupa, aku akan ingatkan sekali lagi, bahwa kau tidak punya hak untuk melarang apapun yang aku lakukan karena aku tidak suka dilarang, termasuk oleh suamiku sendiri. Apalagi pernikahan kita-" Fiona belum menyelesaikan ucapannya, William telah memotong pembicaraannya."Kau tidak perlu membahasnya lagi! Aku sama sekali tidak tertarik dengan urusanmu," potong William dengan suara dingin, matanya menatap kosong ke arah lain.Fiona terdia
"Satu ... dua ... tiga!" Teriakan itu menggema di malam yang tenang, disambut dengan deru mesin yang meraung keras. Mobil-mobil melaju dengan cepat, meninggalkan jejak debu dan asap di jalanan aspal yang gelap. Seorang pria tampan berada di depan kemudi, memacu mobilnya dengan penuh percaya diri, matanya fokus pada jalan di depan. Cahaya lampu jalanan dan sorot lampu mobil-mobil lainnya memantulkan bayangan wajahnya yang tegang namun penuh determinasi. Di pinggir lintasan, Fiona baru saja tiba di lokasi. Dia memandang pemandangan di depannya dengan tenang, matanya menyapu kerumunan orang yang bersorak-sorai menyemangati para pembalap. Di sampingnya, Maya dan Adel berdiri dengan antusias, mengikuti setiap gerakan mobil-mobil yang berpacu di lintasan. "Wow, lihat dia! Mobilnya benar-benar melaju kencang," seru Maya, matanya berbinar penuh semangat. "Siapa orang yang di dalamnya itu? Dia begitu lihai," tanya Adel dengan nada penasaran, sambil menunjuk ke arah mobil yang mem
William hanya bisa melihat istrinya yang sedang berjongkok seperti anak kecil yang kehilangan induknya melalui CCTV yang terpasang di dalam lift dan terhubung dengan ponselnya. Sebelumnya, saat William baru selesai mengerjakan beberapa dokumen pekerjaannya. Dia mendapati banyak panggilan yang tak terjawab dari nomor dengan nama F, hanya satu huruf singkat dan itu adalah nomor ponsel Fiona. William mengabaikan teleponnya, baru saja dia menyimpan ponselnya kembali ke atas meja, seorang pembantu memberitahu bahwa Fiona terjebak di dalam lift. Sampai beberapa saat pintu lift berhasil dibuka, tetapi Fiona masih berjongkok dengan pikirannya. William mencoba mendekati Fiona dengan kursi rodanya. “Apa kau akan terus berjongkok disini?” ucap William, tetapi tidak ada respon darinya. “Ehmmm...” William berdehem cukup keras, Fiona masih saja tak bergeming. Dengan ragu-ragu, William menarik beberapa helai rambut Fiona cukup kencang lalu berpura-pura seolah-olah dia tidak melakukannya.
Setelah kejadian tadi pagi, seseorang datang ke dalam kelas Fiona dan memberitahunya untuk ke ruang guru.Dengan perasaan kesal, Fiona menuju ruang guru sesuai dengan panggilan yang diterimanya.Di ruang guru, seorang guru BK yang bernama Pak Herman sudah menunggu kedatangan Fiona."Fiona, kamu tahu mengapa kamu dipanggil ke sini?" tanya Pak Herman dengan nada tegas.Fiona mengangguk perlahan. "Iya, Pak."Pak Herman menatapnya tajam. "Jika kamu tahu, kenapa harus ada percekcokan, bahkan sampai bertengkar dan membuat tangan Juwita terluka?"Fiona terkejut mendengar apa yang baru saja dikatakan Pak Herman. “Tapi, Pak, itu bukan kesalahan saya.”“Kamu ini, masih saja membantah. Jangan mentang-mentang keluargamu orang berada sehingga bisa membantah aturan sekolah. Apalagi dengan membawa begitu banyak alat make-up seperti ini. Kamu datang ke sekolah untuk belajar atau pamer kecantikanmu? Membawa alat-alat make-up seperti itu,
Namun, pikiran Fiona seketika buyar setelah mendengar perkataan William.“Make-up yang dipakai olehmu sangat berantakan, terlihat jelek. Aku akan bantu menghapusnya,” ujar William sambil menggunakan tangan satunya lagi untuk menghapus lipstik di bibir Fiona hingga berantakan di sekitar bibirnya.“William, kenapa kamu menghapusnya?” seru Fiona, berusaha melepaskan tangannya yang digenggam erat oleh William.William tidak menghiraukan perkataan Fiona. “Dan, merah-merah di pipimu sangat buruk, seperti orang yang habis terkena pukulan. Aku akan menghapusnya lagi,” katanya sambil kembali menghapus blush on yang sengaja dipakai Fiona.“Ahh… William, jangan! Hentikan,” teriak Fiona mencoba menghentikan tangan William yang terus menghapus make-up-nya.“Selesai,” gumam William sambil melepaskan tangannya lalu menjauh dari hadapan Fiona yang setengah tubuhnya masih berada di atas meja.Fiona merengut kesal, wajahnya terlihat memerah. Matan
William segera menekan tombol di samping ranjang yang akan terhubung ke lantai bawah untuk memanggil pembantunya. Tak butuh waktu lama, seorang pembantu wanita datang dan berdiri di depan William yang baru membuka pintu. Dia sedang menunggu perintah dari tuannya setelah beberapa saat yang lalu dipanggil, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut William. Dengan wajah agak canggung, William berkata, "Bawakan roti bersayap untuknya." Pembantu itu mengernyit bingung, mencoba memikirkan permintaan tuannya yang tidak biasa itu. "Tuan, kita tidak memiliki roti bersayap. Tapi aku bisa membuatkan roti bersayap dengan potongan sayap ayam," jawabnya dengan ekspresi bingung namun berusaha membantu. William mendesah pelan, merasa kebingungan sendiri. Dia memutar otaknya, mencoba mencari cara untuk menjelaskan tanpa langsung menyebutkan kata-kata yang terasa memalukan baginya.
Dengan wajah merengut kesal, Fiona mencoba menghubungi William untuk menjemputnya pulang. Namun, pria itu sama sekali tidak mengangkat teleponnya dan bahkan ada beberapa kali panggilan yang di rijeknya.‘Punya suami terasa tidak punya. Dia tidak bisa diandalkan,’ gerutu Fiona di dalam hati tanpa sadar telah mengakui William sebagai suaminya. Dia melangkah menjauhi mobilnya untuk mencari kedua temannya.Ketika baru beberapa langkah, Fiona menghentikan langkahnya mengingat Adel dan Maya tidak membawa mobil, bahkan mereka baru saja pulang.Fiona menghela napasnya, melihat sekeliling parkiran mencoba melihat orang yang telah berani bermain-main dengannya, sampai matanya melihat Juwita dari jarak yang sedikit jauh darinya. Gadis itu sedang tertawa lepas bersama beberapa teman satu kelasnya, Fiona yang di landa kesal karena ban mobilnya yang bocor hendak berjalan menghampirinya. Namun, tak sengaja dia menabrak Alvaro yang hendak melewatinya sam
Wajah Fiona seketika menegang. Ia kini memahami mengapa suasana sekolah begitu aneh sejak kedatangannya.“Fiona, bisakah kau menjelaskan ini?” tanya kepala sekolah dengan nada serius.Fiona menatap foto-foto itu, lalu menegakkan bahunya. “Apa yang harus saya jelaskan, Pak?” tanyanya, berusaha tetap tenang.“Apakah benar kau sudah menikah?” tanya salah satu guru perempuan. “Dan pria dalam foto ini … suamimu?”Fiona menarik napas. Tak ada gunanya berbohong, karena semuanya sudah terungkap. “Ya, benar, dia suamiku. Pemilik sekolah ini,” jawabnya.Suasana ruangan seketika menjadi sunyi. Para guru saling bertukar pandang, sementara kepala sekolah menghela napas panjang.“Kami tidak melarang siswa menikah, tetapi yang menjadi masalah adalah reaksi yang ditimbulkan karena tersebarnya foto dan video ini,” jelas kepala sekolah. “Banyak siswa yang membicarakan hal ini dan tidak sedikit yang memberikan komentar yang tidak pantas. Kami khawatir hal ini akan mempengaruhi lingkungan sekolah.”Fiona
Azalea tampak terkejut melihat William. Rasa takut tiba-tiba merayapi hatinya, tetapi dengan cepat ia menegakkan punggungnya dengan percaya diri. Keberadaan Zayver di sisinya seolah memberinya kekuatan. Mereka berdua berjalan mendekati William yang berhenti tak jauh dari mereka. “Tuan, apa kita harus putar balik,” bisik Max, mencoba membujuk tuannya untuk pergi. Namun, William mengangkat tangannya, menghentikan Max. “Tidak perlu,” katanya dengan tegas.Zayver tiba di depan William, berdiri dengan sikap arogan. Senyum lebar terukir di wajahnya, senyum yang penuh dengan rasa puas dan bangga. “Kakak, apa kabar? Lama tak jumpa,” katanya dengan nada yang dibuat-buat.William hanya mendengus kasar, menahan keinginannya untuk membalas dengan lebih dari sekadar kata-kata. Ia tetap diam, tatapannya dingin begitu menusuk Zayver.Zayver yang tampaknya tidak cukup puas karena tidak ada jawab, ia kembali berbicara. “Kakak, aku dengar-dengar, kau sudah merestui hubungan ayahmu dan ibuku. Aku sa
Fiona seketika di buat panik, napasnya memburu. “William, bagaimana ini…?” tanyanya dengan suara bergetar. William segera menarik tubuh Fiona ke dalam pelukannya, mencoba menenangkan gadis itu agar tidak takut. “Tenanglah,” katanya pelan. “Bagaimana bisa tenang, apa kau tidak lihat mereka begitu banyak, sedangkan kita hanya bertiga. Kita tidak akan mampu melawan mereka,” kata Fiona dengan nada yang sedikit keras karena panik. Ia segera meraih ponselnya. “Kita harus menghubungi Max.” Dengan tangan gemetar Fiona mencoba mencari nomor telepon Max. Setelah berhasil menemukannya ia segera menghubunginya. Namun, panggilannya tidak dijawab. Fiona semakin cemas.Supir yang duduk di depan mencoba keluar untuk melawan orang-orang itu, meski ia hanya sendirian.“William, bagaimana ini… Dia tidak akan mampu melawannya,” kata Fiona dengan tangannya yang memegang erat jas yang dipakai William. “Ahhh…” Fiona berteriak, melihat supir yang dilumuri dengan darah terjatuh di depan mobil. Tidak but
Ketika sampai di lantai bawah, William mendengar suara yang berasal dari dapur dengan rasa penasaran ia menuju ke dapur. Matanya terpesona oleh pemandangan yang jarang ia lihat. Fiona berdiri di depan kompor, sibuk memasak sesuatu. Baju tidurnya yang berbahan satin memantulkan cahaya lembut dari lampu dapur, membuatnya terlihat menawan meski rambutnya terlihat berantakan tetapi wajah cantiknya, benar-benar membuat William kesulitan untuk memalingkan matanya. “Fiona,” panggil William, suaranya terdengar pelan tapi cukup membuat Fiona menoleh.Fiona tersenyum, menatap William yang mendorong kursi rodanya mendekat. “Kau bangun pagi,” katanya sambil mematikan kompor dan membawa piring ke meja makan.“Seharusnya aku yang berkata begitu. Kau biasanya bangun lebih siang.”Fiona tertawa pelan. “Aku tidak bisa tidur nyenyak semalam, jadi aku pikir, kenapa tidak bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuk kita berdua.”William mengamati wajah Fiona. “Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” ta
Di dalam mobil, suasana hening. Fiona melirik William yang terlihat dingin, pandangannya lurus ke depan.Fiona menggeser duduknya, mendekat dan bersandar pada lengannya. "William...""Aku tidak suka ada orang lain yang menyeretmu ke masalah seperti ini," potong William.Fiona tersenyum tipis, lalu menjawab dengan nada lembut, "Tidak apa-apa. Lagi pula, ini bukan masalah yang serius. Kalau saja kau mau menurunkan ego sedikit, semuanya akan selesai lebih cepat," ucapnya, sambil mengecup pipi William.William tak membalas perkataan Fiona; ia hanya diam dengan wajah tanpa ekspresi.Fiona tetap bersandar, memainkan dasi merah yang dipakai William."William, aku ingin tahu. Apa alasanmu tidak merestui hubungan mereka? Ayah membutuhkan seorang pendamping di usianya yang tak lagi muda, dan Ibu ingin memperbaiki hubungan denganmu. Mereka tulus, William. Mereka benar-benar peduli."William memalingkan wajahnya, matanya ke arah Fiona. "Peduli?" katanya dingin. "Jika mereka peduli, mereka tidak a
Di dalam ruang kantor, setelah selesai rapat. William hanya duduk dengan wajah datar. Jarinya mengetuk-ngetuk meja, tanda bahwa pikirannya sedang kacau. Beberapa menit kemudian, Max masuk ke ruangannya dengan langkah cepat. “Tuan, kami menemukan jejaknya. Salah satu tim mendeteksi mobil Nona Fiona di sebuah restoran yang ada di pinggiran kota. Kami sedang mengirim orang ke sana.”William menatap Max cukup tajam, membuat pria itu sedikit ketakutan dengan tatapannya. “Siapkan mobilku. Aku ingin pergi sekarang.”“Tuan, Anda tidak perlu turun langsung. Kami bisa mengurusnya,” balas Max dengan hati-hati.“Tutup mulutmu, Max. Aku tidak akan duduk diam di sini sementara istriku mungkin dalam bahaya,” jawab William dengan nada tajam.****Fiona turun dari mobil dengan langkah ragu. Rumah megah yang berdiri di hadapannya terlihat begitu mewah, dengan taman luas dan air mancur yang memancarkan cahaya saat terkena sinar matahari. Namun, keindahan itu tidak mampu mengusir rasa takut yang meray
Fiona memutuskan untuk mengerjai orang-orang yang ia kira anak buah William yang diperintahkan untuk mengikutinya dengan mempercepat laju mobilnya, menikung tajam di sebuah persimpangan, dan memasuki jalan yang lebih kecil.Namun, kedua mobil itu tetap menempel di belakangnya, tidak menunjukkan tanda-tanda untuk menghindar. Fiona mulai merasa kesal. Fiona sedikit memelankan laju mobilnya, ia mengirim sebuah pesan pada William untuk menarik anak buahnya. Setelah pesan itu terkirim, Fiona memutuskan untuk mengetes mereka sekali lagi. Ia menekan pedal gas lebih dalam, membuat mobilnya melesat dengan kecepatan yang lebih tinggi. Namun, kedua mobil itu ternyata mampu mengejarnya dengan mudah.Suara derit ban yang mendadak terdengar ketika Fiona harus mengerem secara tiba-tiba di sebuah persimpangan untuk menghindari sebuah truk yang melintas. Mobilnya berhenti dengan aman, tetapi kedua mobil di belakangnya juga berhenti dengan kecepatan tinggi, hampir menyerempet mobil Fiona.“Dasar tida
Setelah beberapa saat, William akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. “Fiona, apa kau tidak suka aku membawamu kemari?”Fiona menoleh ke arah William, senyum kecil terulas di wajahnya. “Aku menyukainya, William,” jawabnya pelan.William terdiam sejenak, menatap matanya dengan begitu intens. “Kalau begitu, apa kau baik-baik saja? Apa yang sedang kau pikirkan?”Fiona menghela napas, ia sudah mendungannya William akan bertanya seperti itu. Pandangan matanya jatuh ke meja di depannya. “Aku hanya … banyak berpikir,” jawabnya. Fiona merasa jawabannya sangat aneh, namun ia tidak mengulangi perkataannya. “Tentang apa?” tanya William, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.Fiona mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk mencari alasan, tetapi ia tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Ia tidak ingin William tahu tentang Azalea yang dilihatnya waktu di jalan. “Hanya … tentang sekolah, teman-teman, dan banyak hal lainnya,” jawabnya samar.William mengangguk, meskipun jelas ia tidak sepenuh
“Terima kasih,” ucap William dengan nada pelan. Ia hendak menarik pinggang Fiona untuk duduk di atas pangkuannya, namun Fiona malah menghindar. Fiona tidak menjawab atau bahkan tersenyum. Ia langsung mengambil segelas air, meneguknya, lalu duduk dengan tenang.Suasana di antara mereka terasa sunyi, seperti ada tembok tak terlihat yang memisahkan mereka.William menatap Fiona begitu dalam, mencoba mencari tahu apa yang salah. Padahal sebelumnya mereka selalu menikmati kebersamaan dengan romantis, setelah kejadian malam itu. Tetapi sejak semalam, semuanya terasa berbeda, seperti kembali ke hari-hari awal pernikahan mereka yang dingin dan terhalang jarak. William menghela napas lalu mengambil roti, mengolesinya dengan selai stroberi, salah satu kesukaan Fiona, dan meletakkannya di piring Fiona.“Ini, makanlah,” katanya sambil mendorong piring itu sedikit ke arahnya.Fiona mengangkat pandangannya sejenak, lalu berkata, “Terima kasih,” dengan nada datar. Ia mengambil roti itu dan mulai m