Dengan kasar Devan melempar Aileen ke atas ranjangnya rintihan kesakitan yang dirasakan gadis itu tidak sedikit pun membuatnya iba, tidak ada yang berani menghentikannya. Sebelum Aileen bergerak mundur dengan cepat Devan menindih nya mengunci pergerakan gadis itu agar tidak bisa kemana-mana, raut ketakutan terlihat jelas di wajahnya.
"Please don't ... mmphh," Devan membungkam mulut Aileen sebelum gadis itu banyak bicara, dengan kasar ia melumat bibir ranum itu.
"Kau terlalu banyak bicara sebaiknya diam dan nikmati saja," bisik Devan kemudian beranjak mencari sesuatu, dengan tegas Aileen menggeleng, ingin sekali ia melenyapkan pria gila ini bagaimana mungkin ia bisa menikmatinya bukankah ini pemaksaan? Ck, yang benar saja. Akan tetapi, hal itu hanya bisa diucapkannya dalam hati.
Devan kesal saat ia tidak menemukan apa yang ia cari. "Shit! Pengamanku habis, bagaimana mungkin aku bisa lupa," umpat nya lalu melangkah kearah Aileen, ia tidak bisa menundanya lagi tubuh polos nan indah itu sulit ia abaikan.
Aileen terkejut bukan main kala mendapati dirinya tanpa sehelai benang pun entahlah ia tidak tahu kapan pria itu melakukannya, ia ketakutan tapi ... tidak bisa berbuat apa-apa terlebih Devan yang bersiap memasuki dirinya.
"Ku mohon jangan ... Ah sakiiit," pekiknya menahan perih,Devan tidak menghiraukan itu ia terus saja mencoba memasuki lebih dalam lagi, meruntuhkan pertahanan yang dijaga selama ini oleh gadis itu. Bulir bening lolos dari mata indah milik Aileen, ia sudah kehilangan segalanya tak ada yang tersisa lagi. Devan sudah merenggut nya, haruskah ia menyalahkan takdir?
Desahan dan erangan menggema di dalam kamar meski hal itu didominasi oleh Devan karena Aileen lebih banyak menahannya, kadang ia mengutuki dirinya sendiri yang terbuai dengan permainan Devan. Walau hati berkata tidak tapi, tubuhnya menginginkan lebih. Aileen yang kelelahan akhirnya tertidur bersamaan dengan Devan yang berbaring di sampingnya, dengan nafas yang masih memburu ia menatap wajah cantik yang sudah terlelap itu.
Devan meraih selimut untuk menutupi tubuh telanjang milik Aileen. Tapi, tangannya yang terangkat tiba-tiba berhenti saat ia melihat bercak darah segar di seprei membuat hatinya menghangat. 'Ternyata dia masih perawan' batinnya. Tanpa disadari kedua sudut bibirnya terangkat mengukir senyum terindah yang belum pernah ia perlihatkan pada siapapun.
"Sweet dream honey," bisiknya lalu beranjak menuju kamar mandi setelah menyelimuti tubuh Aileen.
Setelah membersihkan diri dan mengenakan pakaian, Devan melangkah keluar menuju ruang kerjanya. Sengaja ia melakukannya karena berada di dekat Aileen membuatnya hilang kendali. Leon yang melihatnya segera mendekat.
"Tuan! Anda butuh sesuatu?"
"Besok pagi sebelum Aileen terbangun pastikan pakaian baru untuknya dan juga makanan sudah siap di kamarku," perintahnya.
Leon mengangguk. "Baik Tuan, akan saya sampaikan pada pelayan."
"Ya sudah pergi lah istirahat," ucap Devan kemudian berjalan melewati Leon.
Diruang kerjanya, Devan tidak bisa tenang bayangan Aileen selalu muncul meski sudah ia coba alihkan dengan pekerjaan tetap saja gagal, sudah banyak wanita yang berhasil ia tiduri. Tapi, rasanya berbeda saat ia menyentuh Aileen. Apa mungkin karena Aileen masih perawan? Sehingga dengan membayangkannya saja sudah membuat miliknya kembali terbangun.
"Aaarrrrgghh ...! Sial," umpat nya kesal, wanita itu semakin membuatnya frustasi. Ia memilih keluar dari kamarnya karena tidak ingin mengganggu tidur Aileen. Tapi, ternyata berdampak buruk baginya, haruskah ia kembali ke kamarnya?
"Tidak ... Aku harus mengendalikan diri jangan sampai aku terjebak dalam perangkap ku sendiri," gumamnya.
**************
Sinar matahari pagi menerpa wajah cantik Aileen, membangunkannya dari tidur singkatnya karena ulah Devan. Mengingat pria itu seketika mata indah Aileen terbuka lebar, ia meraba tubuhnya yang hanya dibalut selimut.
Aileen mengedarkan pandangannya ke segala arah mencari sosok yang sudah menghancurkan hidupnya. Tapi, tidak ada tanda-tanda keberadaan Devan di dalam kamar itu, setelah merasa aman ia bangkit perlahan-lahan.
"Aw ... Sakit sekali, tubuhku rasanya remuk semua," rintihnya menahan sakit yang luar biasa terutama di bagian intinya, jangankan untuk berjalan untuk bergerak saja sangat sulit baginya.
"Aku harus pergi dari tempat terkutuk ini, jangan sampai monster itu melihat ku lagi disini," gumamnya pelan.
Dengan sangat pelan ia beranjak dari ranjang memungut pakaiannya yang berserakan lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Kini ia pasrah menerima kenyataan bahwa hidupnya sudah hancur, menangis pun tidak ada gunanya semua tak akan kembali utuh. Selesai membersihkan dirinya Aileen melangkah keluar bersiap untuk meninggalkan kamar itu setelah menuliskan sebuah pesan untuk Devan pada selembar kertas, sedikit pun ia tidak melirik makanan dan juga paper bag yang ada di atas meja.
"Nona, apa Anda butuh sesuatu?" tanya seorang pelayan yang melihat Aileen keluar dari kamar.
Aileen menggeleng. "Tidak, terimakasih," ucapnya sambil berlalu menuju pintu keluar, ia tidak ingin mengulur waktu dengan berbasa-basi.
Namun, langkahnya kembali dihentikan oleh para pengawal Devan.
"Anda mau kemana, Nona?"
"Ck, aku mau keluar!" jawabnya dengan kesal.
"Maaf Nona ... Kami tidak bisa memberikan Anda izin untuk keluar dari tempat ini, Tuan Devan sudah memerintahkan pada kami untuk menjaga Anda, Nona."
Aileen memandang jengkel para Pengawal Devan, monster itu benar-benar mempersulit hidupnya. Tidak bisa kah pria itu membebaskan nya? "Hufftt ... Si monster brengsek itu, apalagi yang dia inginkan! Jika begini caranya aku tidak akan bisa keluar, aku harus mencari cara," gumam Aileen pelan sambil berpikir.
Setelah mendapat ide, Aileen mendekati Pengawal itu. "Kalian cepat minggir aku ingin keluar," bentak nya. Tapi, sedikit pun mereka tidak terpengaruh dengan bentakan Aileen, membuatnya kesal
"Hei! Apa kalian tidak mendengar? Aku ingin keluar, dan aku sudah mendapatkan izin dari tuanmu," Aileen berbohong.
"Be-benarkah apa yang Anda katakan itu, Nona? Anda tidak membohongi kami kan?" tanya para pengawal Devan setengah percaya.
Aileen menatap serius. "Apa aku terlihat seperti pembohong? Kalau kalian tidak percaya hubungi saja dia."
Kedua pengawal itu saling menatap bingung, mereka tidak tahu siapa yang harus dipercayai karena sebelumnya Devan sudah berpesan agar mereka menjaga Aileen. Sekarang gadis itu mengatakan bahwa ia sudah mendapatkan izin. Tapi, mereka juga tidak berani untuk menghubungi Devan yang sibuk.
Setelah lama berpikir akhirnya mereka setuju untuk mengizinkan Aileen keluar. Menurutnya mungkin saja Devan berubah pikiran, lagipula tidak ada orang lain yang berani membantah perintah sang Tuan Muda selain Aileen dan mereka melihat hal itu semalam.
"Baiklah Nona, kalau memang Tuan Devan yang memberi izin, kami tidak bisa menghalangi," tuturnya lembut sembari membungkuk hormat pada Aileen yang berjalan melewati para pengawal yang berhasil ia bohongi, senyum mengejek tercetak di bibirnya. Tapi, tidak diketahui oleh orang-orang Devan.
"Cih! Dasar pengawal bodoh, mudah sekali menipu kalian. Ckckck ... Jangankan meminta izin pada monster itu, melihatnya saja aku tidak sudi. Aku berharap tidak akan pernah bertemu dengan nya lagi," gumam Aileen pelan sembari melangkah terburu-buru mengabaikan rasa sakitnya.
Para pengawal yang melihat langkah Aileen yang terburu-buru membuatnya curiga, bagaimana jika ternyata gadis itu membohongi nya semua akan berakibat fatal, mereka tidak sanggup menghadapi kemarahan Devan.
Langkah kaki Aileen terayun membawanya semakin menjauh dari Penthouse milik Devan, meski tanpa arah dan tujuan yang jelas ia tetap melangkah sampai akhirnya berhenti di sebuah halte untuk beristirahat. Setelah mendudukkan dirinya, matanya selalu mengawasi keadaan di sekitarnya jangan sampai para pengawal Devan menyadari kebohongan nya dan segera mencari dirinya. Tapi, tubuh nya tiba-tiba menegang saat merasakan pundaknya disentuh oleh seseorang dari belakang, keringat dingin mengucur deras membasahi keningnya juga tubuh nya bergetar hebat karena ketakutan.
Aileen tidak memiliki keberanian untuk sekedar menoleh kebelakang, ia takut bagaimana jika orang itu adalah suruhan Devan. Semakin lama sentuhan itu berubah menjadi remasan yang kuat.
Deg ...!
"Si-siapa kau ... Tolong le-paskan a-aku," pintanya gugup. Tapi, tetap tidak berani melihat orang tersebut, berbagai do'a ia rapalkan memohon perlindungan."Hahaha!" seketika suara tawa terdengar, Aileen mengerutkan keningnya ia merasa kenal dengan suara itu. "Hey! Aileen ... Ini aku, Dina," lanjutnya lagi.Aileen yang mendengar nama temannya itu segera berbalik dan benar saja ia mendapati Dina berdiri di depannya, semua rasa takut yang melanda nya kini perlahan-lahan menghilang. Tanpa diminta Aileen langsung memeluk temannya erat."Din, kamu membuat ku kaget! Tapi, aku senang akhirnya kita bisa bertemu lagi," ucapnya dengan antusias. "Eh ... Tapi, kamu kenapa bisa ada disini? Kamu tidak masuk kerja hari ini? Bagaimana kamu bisa tau kalau aku ada di tempat ini?" Aileen mencecar Dina dengan pertanyaan bertubi-tubi membuatnya kesal."Astaga! Pertanyaan-nya bisa satu persatu kan?" Dina berucap sinis, sementara Aileen hanya tersenyum lebar memperlihatkan dere
Pertanyaan tiba-tiba dari Devan bagaikan petir yang menggelegar di siang bolong, seketika wajah para bodyguard itu menjadi pucat. Sekarang mereka benar-benar dalam masalah besar setelah menyadari bahwa Aileen sudah berbohong. Tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Devan, semuanya larut dalam keresahan. Entah apa yang harus mereka katakan, akankah ucapannya dipercayai oleh sang Tuan? Oh tidak, Devan tidak sebaik itu untuk percaya dan memberikan maaf. Devan yang melihat tingkah para bodyguard nya menjadi curiga. "Ada apa dengan kalian semua, mengapa mendadak bisu, hah!" bentak nya. Ia kesal saat pertanyaan-nya tidak kunjung mendapat jawaban. "A-anu Tuan, i-itu Nona Aileen ... Di-dia sudah ... Pergi," jawabnya gugup. "Apa maksud kalian mengatakan dia sudah pergi!" teriakan Devan semakin meninggi. "Maafkan ka--" "Bersiaplah menerima hukuman atas kebodohan kalian," tukasnya kemudian berlalu masuk menuju kamarnya. Para pelay
Pagi itu di dalam kamar hotel terlihat seorang pria duduk bersandar di sofa sambil menghisap sebatang rokok, sesekali ia memejamkan mata mengingat sisa-sisa percintaannya semalam dengan seorang wanita berambut pirang. Pria itu ialah Devan Narendra, pria tampan sejuta pesona yang mampu memikat hati para wanita, Devan adalah putra tunggal dari pasangan Gerald Narendra dan Regina Xavera Narendra sang penguasa negara A, hidup dengan bergelimang harta membuat Devan bertindak sesuka hati. Devan mematikan sisa rokoknya kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, setelah lima belas menit Devan akhirnya berjalan keluar dari kamar mandi dan langsung disambut dengan senyuman menggoda dan sapaan manja yang nyaris terdengar seperti desahan dari wanita yang ditiduri nya semalam."Jangan menggodaku, karena aku tidak akan pernah menikmati seorang wanita lebih dari sekali," ucap Devan dengan tegas saat melihat tingkah wanita it
Seperti yang dikatakan oleh Devan sebelumnya bahwa ia akan berangkat sepagi mungkin, selain untuk menghindari kemacetan, perjalanan yang ditempuh untuk sampai pun membutuhkan waktu beberapa jam, sekarang ia sudah berada didalam mobil bersama Leon asistennya yang duduk dibalik kemudi, mobilnya melaju dengan kecepatan sedang yang diikuti oleh beberapa mobil para pengawalnya. Devan adalah tipe orang yang sangat disiplin waktu jika sudah menyangkut tentang pekerjaan, jadi siapa pun yang terlambat tidak akan pernah mendapat toleransi. Namun, berbeda dengan seorang gadis cantik yang masih tertidur pulas didalam kamar apartemennya, Aileen Nathania gadis ceria, cantik nan polos yang baru beberapa hari bekerja di sebuah restoran mewah, hari ini seharusnya ia datang lebih awal karena manajer restoran tempatnya bekerja sudah menyampaikan bahwa pemilik dari restoran tersebut akan datang, jadi diharapkan pada seluruh karyawan untuk tidak terlambat, sayang
"Aileen, cukup!! Apa kamu sadar dengan siapa kamu berbicara?" tanya Alvin dengan suara yang meninggi."Yah, tentu saja Pak, dia adalah pemilik restoran ini kan? Lagipula saya sudah meminta maaf tapi sepertinya permintaan maaf ku sama sekali tidak berarti apa-apa," ucap Aileen menyindir. Devan yang mendengar ucapan Aileen seketika menatap tajam kearah Alvin."Apa seperti ini kelakuan orang-orang yang kau pekerjakan direstoran milikku? Jika kau tidak bisa melakukan tugasmu dengan baik maka lepaskan jabatanmu sebagai manajer dan tinggalkan tempat ini, karena aku tidak ingin memiliki karyawan yang pekerjaannya sangat buruk," hina Devan."Ti-tidak Tuan, kumohon jangan lakukan hal itu, saya berjanji akan mengajari mereka semua dengan baik," ucap Alvin terbata."Aku tidak mau tau, dia harus membayar ganti rugi atas perbuatannya," tunjuk Devan tepat didepan mata Aileen. Aileen seketika membulatkan matanya, yang benar saja
Pagi hari adalah waktu yang dinantikan oleh Aileen, saat ini ia begitu bersemangat untuk mulai dari awal lagi setelah dikeluarkan dari restoran milik Devan kini Aileen mencoba mencari pekerjaan baru, setelah semua berkas yang dibutuhkan untuk melamar pekerjaan sudah lengkap ia melangkah dengan riang menuju pintu."Selamat pagi, Aileen," sapa Dina saat melihat Aileen berjalan kearah lift."Eh! Dina, selamat pagi," jawabnya dengan senyum cerah."Mau kemana, Leen, sepagi ini?"tanyanya lagi."Rencana mau mencari pekerjaan, Din, siapa tau aja hari ini dapat yang sesuai dengan kemampuan ku.""Semangat yah, aku do'akan semoga hari ini cepat dapat pekerjaan," ucap Dina tulus."Terima kasih, Din, aku duluan yah!" seru Aileen berlalu meninggalkan temannya, hari ini ia memilih berjalan kaki menyusuri setiap tempat yang membuka lowongan pekerjaan, tanpa ia sadari ada sepasang mata yang mengawasi setiap langkahnya.&nbs
Selama diperjalanan Devan tetap tidak membuka suara membuat Leon merasa bersalah karena gagal menjalankan perintah tuannya itu. "Tuan, saya minta maaf karena gagal meyakinkan Nona Aileen," ucapnya dengan menunduk. "It's okay, fokus saja menyetir, urusan Aileen biar aku yang pikirkan caranya," jawab Devan santai namun dalam hatinya merasa tertantang setelah melihat sikap Aileen yang sedikit pun tak tergiur oleh harta dan pesona yang dimilikinya. 'Dia sungguh berbeda dengan wanita lainnya, aku ingin tahu sekuat apa dia mampu menolak ku' ucapnya dalam hati kemudian memejamkan matanya. "Pastikan dia tetap diawasi aku tidak ingin terjadi sesuatu padanya," perintahnya tegas masih dengan mata terpejam. "Baik Tuan," jawab Leon. Bukan tanpa alasan Devan melakukannya, setelah mendapat laporan bahwa beberapa preman mengganggu Aileen membuatnya emosi hingga tanpa sadar ia meninggalkan pekerjaannya dan menuju tempat dimana Aileen berada, apa
Aileen bergerak gelisah di dalam kamar, ia harus pergi dari tempat ini karena berurusan dengan Devan hanya akan memperburuk keadaan. Dengan cepat ia berjalan ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka tanpa menghiraukan Devan yang menatapnya tajam."Kau akan pergi dari kamar ini tanpa mengucapkan Terima kasih padaku karena sudah menolongmu?" kata Devan tiba-tiba, membuat Aileen menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Devan dengan berani."Apakah kamu selalu mengharapkan ucapan Terima kasih dari orang-orang yang kamu tolong, Tuan?" tanyanya sinis."Tentu saja tidak, hal ini hanya berlaku untukmu saja," jawab Devan menyeringai."Seharusnya kamu tak perlu bersusah-payah menolongku Tuan Terhormat!" Aileen dibuat kesal dengan kelakuan Devan, menghadapi pria itu hanya akan menambah penyakit untuknya. "Aku bisa hipertensi jika terus berada disini," gumamnya pelan."Aku masih bisa mendengar apa yang kamu katakan sekalipun kau mengucapkan ny