Aileen bergerak gelisah di dalam kamar, ia harus pergi dari tempat ini karena berurusan dengan Devan hanya akan memperburuk keadaan. Dengan cepat ia berjalan ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka tanpa menghiraukan Devan yang menatapnya tajam.
"Kau akan pergi dari kamar ini tanpa mengucapkan Terima kasih padaku karena sudah menolongmu?" kata Devan tiba-tiba, membuat Aileen menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Devan dengan berani.
"Apakah kamu selalu mengharapkan ucapan Terima kasih dari orang-orang yang kamu tolong, Tuan?" tanyanya sinis.
"Tentu saja tidak, hal ini hanya berlaku untukmu saja," jawab Devan menyeringai.
"Seharusnya kamu tak perlu bersusah-payah menolongku Tuan Terhormat!" Aileen dibuat kesal dengan kelakuan Devan, menghadapi pria itu hanya akan menambah penyakit untuknya. "Aku bisa hipertensi jika terus berada disini," gumamnya pelan.
"Aku masih bisa mendengar apa yang kamu katakan sekalipun kau mengucapkan nya dalam hati."
"Terserah padamu saja sebaiknya aku pergi dan Terimakasih sudah menolongku, itu kan yang kamu inginkan? Sekarang sudah kulakukan," dengan kesal Aileen berbalik melanjutkan langkahnya untuk keluar dari kamar Devan.
Melihat Aileen meninggalkan kamarnya membuat Devan geram sendiri, ternyata menaklukkan gadis itu tak semudah yang dibayangkan nya. Jika wanita lain begitu mudah menyerahkan diri tapi tidak dengan Aileen, gadis itu seakan tak tertarik sedikit pun. Devan memerhatikan dirinya di cermin dari kepala hingga ujung kaki semuanya baik-baik saja tidak ada yang salah, apakah Devan begitu buruk di matanya? Oh tidak! Ini memalukan. Dengan langkah lebar Devan keluar dari kamarnya untuk mengejar Aileen.
"Jangan pernah meninggalkan tempat ini tanpa izin dariku!" Teriaknya lantang.
"Hufffttt," Aileen menghela nafas kasar, kesabarannya benar-benar diuji, ia tidak tahu harus bersikap bagaimana lagi dalam menghadapi Devan. Jika ia melawan sudah pasti akan kalah tapi, diam dan mengalah juga membuatnya mudah ditindas. Dengan malas ia berbalik dan kembali mendapat tatapan tajam.
"Apa aku harus meminta izinmu untuk melakukan sesuatu? Memangnya kamu siapa yang ingin mengatur kehidupan ku!" Devan tersenyum tipis melihat kekesalan diwajah gadis cantik di depannya, ia melangkah maju mencoba mengikis jarak, Aileen yang menyadarinya beringsut mundur namun sialnya ia terjebak oleh tembok kokoh yang membuatnya tak bisa bergerak sementara Devan semakin mendekat.
"A-apa yang ka-kamu lakukan?" Tanyanya gugup sorot ketakutan terlihat jelas di matanya. Devan menyeringai puas melihat lawannya tak berdaya di depannya.
Devan mengunci pergerakan Aileen membuat gadis itu terdiam memejamkan mata tak ingin beradu pandang dengan pria di depannya, hembusan nafas hangat menerpa wajahnya, gadis itu tetap tak berani membuka mata.
"What are you doing? Why close your eyes, do you wish i would kiss you, hmmm?"
Blussshh, pertanyaan Devan suskes membuat wajah Aileen memerah karena malu juga gugup, apa ia benar-benar mengharapkan itu? Bukankah semua ini kesalahan Devan yang berdiri terlalu dekat bahkan tak berjarak dengannya? Oh tidak, pria itu pandai berkilah sudah pasti Aileen yang tetap disalahkan, gadis itu tak habis fikir mengapa harus bertemu pria gila sejenis Devan.
Sekuat tenaga ia mendorong Devan agar menjauh darinya. Akan tetapi,baru saja Aileen ingin berlari menghindar lagi-lagi tangannya berhasil dicekal oleh Devan. "I told you not to dare to step without my permission," bisiknya tepat di telinga Aileen membuat gadis itu merinding, perlakuan Devan terlalu intim baginya.
"Say what you want, and please let me go," pinta Aileen memelas.
"Kuharap kamu tidak lupa bahwa urusan kita belum selesai terlebih apa yang sudah kamu lakukan padaku saat di restoran, Nona Aileen Nathania" tutur Devan mengingatkan pada Aileen dimana kesialan gadis itu bermula.
Degg ...! Aileen terkejut setelah Devan menyebutkan nama lengkapnya. "Dari mana kamu tahu nama lengkap ku?"
"Bukan perkara sulit untuk ku," jawab Devan datar lalu melenggang santai ke arah sofa dan duduk manis sambil menyilangkan kaki. "Dan jangan mengalihkan pembicaraan," lanjutnya.
"A-aku, aku tidak lupa kok, tenang saja. Tapi, tolong berikan aku waktu karena aku belum mendapatkan pekerjaan."
Devan tersenyum sinis mendengar apa yang dikatakan Aileen. "Menunggumu mendapatkan pekerjaan sama saja menunggu kucing bertelur, lagipula aku tidak yakin kamu bisa mendapat pekerjaan dengan gaji yang besar," ucapnya meremehkan.
Apa yang dikatakan oleh Devan dibenarkan Aileen, memang tidak mudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang besar. Tapi, ia butuh uang untuk membayar kerugian yang diminta Devan, jika tidak maka ia tak akan bisa bebas dari pria gila itu, padahal insiden yang terjadi waktu itu murni kecelakaan namun sepertinya Devan sengaja melakukan hal itu untuk mempersulit hidupnya. Apa yang harus dilakukan nya sekarang?.
"Sudahlah tidak perlu bingung, aku punya tawaran khusus untukmu," Devan mengerling jahil.
"Katakanlah," sergahnya cepat.
Bagus! tikus akan masuk perangkap, senyum jahat terbit di bibirnya. "Sleep with me," ucap Devan santai.
Plaakk!! Tanpa permisi sebuah tamparan mendarat dengan anggun di pipi Devan, para bodyguard yang melihatnya terbelalak kaget dengan reaksi yang diberikan Aileen. Mereka tidak menyangka seorang gadis dengan berani melayangkan tamparan pada putra sang penguasa, pria yang terkenal dingin dan kejam serta ditakuti semua orang. Waw, kejadian yang langka.
"Apa kau tidak malu mengatakan hal itu pada seorang gadis, hah? Dengarkan aku baik-baik, Tuan Devan yang terhormat! Aku tidak akan pernah menerima tawaran gilamu itu, karena aku bukan jalang yang sesuka hati kamu bawa ke atas ranjang untuk kamu tiduri!" teriak Aileen murka, hilang sudah kesabarannya ia tak lagi mau mengalah.
Kemarahan Aileen tak jauh berbeda dengan Devan, tak ada tatapan bersahabat yang ditunjukkan pria itu, wajahnya merah padam. Mendapat tamparan dari Aileen benar-benar membuatnya malu terlebih disaksikan oleh beberapa bodyguard yang setia berjaga di dekat pintu.
"Berani sekali kau mengangkat tanganmu ini," desisnya tajam lalu mencekal pergelangan tangan Aileen. "Mulutmu juga sudah keterlaluan, sepertinya kau harus diberi pelajaran," dengan kasar Devan mencengkram pipi mulus itu.
Melihat kemarahan Devan seketika rasa takut menguasai Aileen, ini bukan hal yang baik ia harus cepat pergi. Tapi, bagaimana caranya ia bisa meloloskan diri tenaganya tidak sebanding dengan tenaga Devan.
"To-tolong lepaskan tanganku, a-aku minta maaf karena sudah lancang menamparmu," lirihnya namun tak digubris oleh Devan.
"Kalian semua tinggalkan ruangan ini,"perintahnya pada pelayan dan juga bodyguardnya. Tidak harus diperintah dua kali mereka segera berhamburan keluar tanpa protes, kini tinggallah mereka berdua. Aileen yang ketakutan hanya menunduk tidak berani menatap pria di depannya yang masih dikuasai amarah.
"Ikut dengan ku, kau akan menerima hukuman atas perbuatanmu yang terlalu berani,"ujarnya lalu menyeret Aileen kembali ke kamar tanpa mempedulikan tangisan gadis itu, nafsu dan amarah menyatu dalam dirinya setelah melihat penolakan Aileen membuatnya ingin mendapatkan gadis itu, meski malam menjelang pagi tak menyurutkan niatnya untuk melakukan apa yang diinginkan nya.
Dengan kasar Devan melempar Aileen ke atas ranjangnya rintihan kesakitan yang dirasakan gadis itu tidak sedikit pun membuatnya iba, tidak ada yang berani menghentikannya. Sebelum Aileen bergerak mundur dengan cepat Devan menindih nya mengunci pergerakan gadis itu agar tidak bisa kemana-mana, raut ketakutan terlihat jelas di wajahnya."Please don't ... mmphh," Devan membungkam mulut Aileen sebelum gadis itu banyak bicara, dengan kasar ia melumat bibir ranum itu."Kau terlalu banyak bicara sebaiknya diam dan nikmati saja," bisik Devan kemudian beranjak mencari sesuatu, dengan tegas Aileen menggeleng, ingin sekali ia melenyapkan pria gila ini bagaimana mungkin ia bisa menikmatinya bukankah ini pemaksaan? Ck, yang benar saja. Akan tetapi, hal itu hanya bisa diucapkannya dalam hati.Devan kesal saat ia tidak menemukan apa yang ia cari. "Shit! Pengamanku habis, bagaimana mungkin aku bisa lupa," umpat nya lalu melangkah kearah Aileen, ia tidak bisa menundanya lagi tubu
"Si-siapa kau ... Tolong le-paskan a-aku," pintanya gugup. Tapi, tetap tidak berani melihat orang tersebut, berbagai do'a ia rapalkan memohon perlindungan."Hahaha!" seketika suara tawa terdengar, Aileen mengerutkan keningnya ia merasa kenal dengan suara itu. "Hey! Aileen ... Ini aku, Dina," lanjutnya lagi.Aileen yang mendengar nama temannya itu segera berbalik dan benar saja ia mendapati Dina berdiri di depannya, semua rasa takut yang melanda nya kini perlahan-lahan menghilang. Tanpa diminta Aileen langsung memeluk temannya erat."Din, kamu membuat ku kaget! Tapi, aku senang akhirnya kita bisa bertemu lagi," ucapnya dengan antusias. "Eh ... Tapi, kamu kenapa bisa ada disini? Kamu tidak masuk kerja hari ini? Bagaimana kamu bisa tau kalau aku ada di tempat ini?" Aileen mencecar Dina dengan pertanyaan bertubi-tubi membuatnya kesal."Astaga! Pertanyaan-nya bisa satu persatu kan?" Dina berucap sinis, sementara Aileen hanya tersenyum lebar memperlihatkan dere
Pertanyaan tiba-tiba dari Devan bagaikan petir yang menggelegar di siang bolong, seketika wajah para bodyguard itu menjadi pucat. Sekarang mereka benar-benar dalam masalah besar setelah menyadari bahwa Aileen sudah berbohong. Tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Devan, semuanya larut dalam keresahan. Entah apa yang harus mereka katakan, akankah ucapannya dipercayai oleh sang Tuan? Oh tidak, Devan tidak sebaik itu untuk percaya dan memberikan maaf. Devan yang melihat tingkah para bodyguard nya menjadi curiga. "Ada apa dengan kalian semua, mengapa mendadak bisu, hah!" bentak nya. Ia kesal saat pertanyaan-nya tidak kunjung mendapat jawaban. "A-anu Tuan, i-itu Nona Aileen ... Di-dia sudah ... Pergi," jawabnya gugup. "Apa maksud kalian mengatakan dia sudah pergi!" teriakan Devan semakin meninggi. "Maafkan ka--" "Bersiaplah menerima hukuman atas kebodohan kalian," tukasnya kemudian berlalu masuk menuju kamarnya. Para pelay
Pagi itu di dalam kamar hotel terlihat seorang pria duduk bersandar di sofa sambil menghisap sebatang rokok, sesekali ia memejamkan mata mengingat sisa-sisa percintaannya semalam dengan seorang wanita berambut pirang. Pria itu ialah Devan Narendra, pria tampan sejuta pesona yang mampu memikat hati para wanita, Devan adalah putra tunggal dari pasangan Gerald Narendra dan Regina Xavera Narendra sang penguasa negara A, hidup dengan bergelimang harta membuat Devan bertindak sesuka hati. Devan mematikan sisa rokoknya kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, setelah lima belas menit Devan akhirnya berjalan keluar dari kamar mandi dan langsung disambut dengan senyuman menggoda dan sapaan manja yang nyaris terdengar seperti desahan dari wanita yang ditiduri nya semalam."Jangan menggodaku, karena aku tidak akan pernah menikmati seorang wanita lebih dari sekali," ucap Devan dengan tegas saat melihat tingkah wanita it
Seperti yang dikatakan oleh Devan sebelumnya bahwa ia akan berangkat sepagi mungkin, selain untuk menghindari kemacetan, perjalanan yang ditempuh untuk sampai pun membutuhkan waktu beberapa jam, sekarang ia sudah berada didalam mobil bersama Leon asistennya yang duduk dibalik kemudi, mobilnya melaju dengan kecepatan sedang yang diikuti oleh beberapa mobil para pengawalnya. Devan adalah tipe orang yang sangat disiplin waktu jika sudah menyangkut tentang pekerjaan, jadi siapa pun yang terlambat tidak akan pernah mendapat toleransi. Namun, berbeda dengan seorang gadis cantik yang masih tertidur pulas didalam kamar apartemennya, Aileen Nathania gadis ceria, cantik nan polos yang baru beberapa hari bekerja di sebuah restoran mewah, hari ini seharusnya ia datang lebih awal karena manajer restoran tempatnya bekerja sudah menyampaikan bahwa pemilik dari restoran tersebut akan datang, jadi diharapkan pada seluruh karyawan untuk tidak terlambat, sayang
"Aileen, cukup!! Apa kamu sadar dengan siapa kamu berbicara?" tanya Alvin dengan suara yang meninggi."Yah, tentu saja Pak, dia adalah pemilik restoran ini kan? Lagipula saya sudah meminta maaf tapi sepertinya permintaan maaf ku sama sekali tidak berarti apa-apa," ucap Aileen menyindir. Devan yang mendengar ucapan Aileen seketika menatap tajam kearah Alvin."Apa seperti ini kelakuan orang-orang yang kau pekerjakan direstoran milikku? Jika kau tidak bisa melakukan tugasmu dengan baik maka lepaskan jabatanmu sebagai manajer dan tinggalkan tempat ini, karena aku tidak ingin memiliki karyawan yang pekerjaannya sangat buruk," hina Devan."Ti-tidak Tuan, kumohon jangan lakukan hal itu, saya berjanji akan mengajari mereka semua dengan baik," ucap Alvin terbata."Aku tidak mau tau, dia harus membayar ganti rugi atas perbuatannya," tunjuk Devan tepat didepan mata Aileen. Aileen seketika membulatkan matanya, yang benar saja
Pagi hari adalah waktu yang dinantikan oleh Aileen, saat ini ia begitu bersemangat untuk mulai dari awal lagi setelah dikeluarkan dari restoran milik Devan kini Aileen mencoba mencari pekerjaan baru, setelah semua berkas yang dibutuhkan untuk melamar pekerjaan sudah lengkap ia melangkah dengan riang menuju pintu."Selamat pagi, Aileen," sapa Dina saat melihat Aileen berjalan kearah lift."Eh! Dina, selamat pagi," jawabnya dengan senyum cerah."Mau kemana, Leen, sepagi ini?"tanyanya lagi."Rencana mau mencari pekerjaan, Din, siapa tau aja hari ini dapat yang sesuai dengan kemampuan ku.""Semangat yah, aku do'akan semoga hari ini cepat dapat pekerjaan," ucap Dina tulus."Terima kasih, Din, aku duluan yah!" seru Aileen berlalu meninggalkan temannya, hari ini ia memilih berjalan kaki menyusuri setiap tempat yang membuka lowongan pekerjaan, tanpa ia sadari ada sepasang mata yang mengawasi setiap langkahnya.&nbs
Selama diperjalanan Devan tetap tidak membuka suara membuat Leon merasa bersalah karena gagal menjalankan perintah tuannya itu. "Tuan, saya minta maaf karena gagal meyakinkan Nona Aileen," ucapnya dengan menunduk. "It's okay, fokus saja menyetir, urusan Aileen biar aku yang pikirkan caranya," jawab Devan santai namun dalam hatinya merasa tertantang setelah melihat sikap Aileen yang sedikit pun tak tergiur oleh harta dan pesona yang dimilikinya. 'Dia sungguh berbeda dengan wanita lainnya, aku ingin tahu sekuat apa dia mampu menolak ku' ucapnya dalam hati kemudian memejamkan matanya. "Pastikan dia tetap diawasi aku tidak ingin terjadi sesuatu padanya," perintahnya tegas masih dengan mata terpejam. "Baik Tuan," jawab Leon. Bukan tanpa alasan Devan melakukannya, setelah mendapat laporan bahwa beberapa preman mengganggu Aileen membuatnya emosi hingga tanpa sadar ia meninggalkan pekerjaannya dan menuju tempat dimana Aileen berada, apa