BARTER PENGABDI SETAN
Penulis: Jenar Moksa
❤️Bab 01 Setipis Kulit Ari❤️
Winarno duduk termangu di belakang sebuah rumah mewah, memandang lepas hamparan sawah nun hijau, di seberang jalur bebas hambatan. Sebentar lagi akan panen. Sawah itu bukanlah miliknya. Begitu juga rumah mewah itu.
Berulang pria yang kini berusia 40 tahun itu membuang napas kasar, jelas beban berat di benaknya. Kejayaannya telah usai sejak insiden kebakaran yang memusnahkan segala harta benda miliknya dalam sekejap.
Winarno mempunyai toko elektronik di kota, sekaligus menjadi rumah hunian keluarga kecilnya. Usahanya berkembang pesat. Modal awal di beri oleh kedua orang tuanya. Sesaat setelah menikah.
Akan tetapi, itu dulu. Sekarang dia hanya buruh tani dan tinggal di desa.
Sementara istrinya seperti ibu-ibu di desa pada umumnya. Dulu wanita berparas ayu itu hanya duduk manis sembari menerima uang dari para pembeli. Membuat aura cantiknya kian bercahaya karena tidak pernah sekalipun turun tangan dalam hal tugas dapur. Beberapa orang asisten rumah tangga mengambil alih tugasnya.
Ini sudah ke sekian tahun Winarno hidup dalam kesederhanaan. Kembali pria yang dulu berkulit bersih menghela napas panjang. Kemudian, mengambil caping dan mengenakan. Winarno kembali turun ke sawah, karena hari ini dirinya mendapatkan pekerjaan matun rumput di sawah milik Haji Sukardi.
Tidak terasa senja di ufuk mengintip. Gontai kaki penuh lumpur menuju rumah, sembari membawa wadah peralatan bekal. Letak rumahnya tidak jauh sehingga dia hanya berjalan kaki bersama para buruh tani lainnya.
Sesampainya Winarno langsung mengambil handuk yang tersampir di tali jemuran, emperan rumah sederhana miliknya.
Rumah berdinding tembok dengan model lawas itu terlihat bangunan paling tua di desa. Cat rumah pun sudah mengelupas pun kerangka jendela dan pintu sudah bekas santapan rayap.
Genting sudah terlihat renggang hingga cahaya rembulan malam bisa menembus. Menjadi pengganti lampu neon yang tergantung di langit kamar. Lampu itu sudah tidak lagi berfungsi.
Akan tetapi, rumah itu bukanlah miliknya melainkan milik kolega. Berhubung tidak dihuni, Winarno diperbolehkan menempati.
Setelah mandi, Winarno masuk langsung mengenakan pakaian. Sementara istrinya sibuk menyiapkan menu, tanpa pedulikan kedatangannya. Dua buah bocah kecil duduk bersila menghadap televisi ukuran 14 inci. Keduanya menonton film animasi kesukaan. Akan tetapi, televisi model lawas bukanlah milik ayah mereka. Melainkan pinjaman dari kolega. Sesekali dua bocah itu tertawa lepas tanpa beban. Winarno mengelus pucuk kepala keduanya. Kemudian, gabung duduk melepas penat, sembari menyalakan sebatang rokok.
"Bunda, cepat aku sudah lapar!"
"Iya--- sebentar lagi, Nger!"
"Aku juga, lapar!"
"Ngeh, ini sudah selesai, kok!"
Winarno beranjak menuju dapur. "Masak apa tho, Dek, Rah? Baunya kok, menggoda."
Rah, meluaskan senyum. Tampak begitu sederhana senyumnya, tanpa menjawab pertanyaan Rahayu hanya memberi kode agar Winarno membantunya membawa beberapa menu, yang sudah siap dalam wadah plastik, ke depan televisi. Cekatan Winarno membantu.
Semuanya duduk bersila menghadap makanan. "Ayo, Le. Berdoa sebelum makan."
Kedua buah bocah refleks menengadah tangan. Rahayu membalas senyum Winarno yang menatapnya penuh cinta. Setelah piring saji berisi menu makanan, dengan lahap mereka menyantap sajian sederhana.
Hanya tempe goreng dan sayur kangkung, terlihat ada sepotong paha daging ayam sisa kemarin sepertinya Rahayu sisihkan untuk kedua anaknya.
"Enak, ayam Upin Ipin." Keduanya kompak, dengan mata membulat takjub.
Membuat dada Winarno bermanuver mendengar celoteh bibir mungil anaknya. Dulu makanan kekinian dan ayam KFC menjadi santapan keseharian. Sekarang hanya bisa menikmatinya jika ada kenduri atau hajatan.
Rahayu semringah melihat senyum tersungging di bibir mungil buah hatinya.
"Ya, cepat habiskan biar cepat besar. Nanti supaya bisa membantu Ayah, bekerja cari uang," puji Rahayu sesaat setelah menyuwir daging ayam.
Ucapan Rahayu mengentakkan lamunan Winarno. Buru-buru pria itu menenggak air putih. Nyaris saja dirinya tersedak tadi. Beberapa saat kemudian dia membantu mengangkat peralatan makan.
"Ayok, Nger. Sudah malam kita tidur kan, cartoon kesukaanmu sudah selesai. Gantian sekarang waktunya Ayah menonton berita."
Tanpa menjawab kedua bocah masuk ke kamar merebahkan diri di atas kasur kapuk, sejenak Rahayu menemani. Lirih terdengar suaranya senandung selawat Jawa. Tidak butuh waktu lama anak-anak terbuai dalam mimpi.
Winarno masih menonton televisi, tetapi pikirannya entah ke mana. Mungkin sedang bermanuver. Ucapan Ibunya terngiang di indra pendengaran. Berulang dia coba menghardik agar enyak!
Walaupun masih satu desa Winarno tidak pernah sekalipun mengizinkan istri dan anak-anaknya bertandang ke kediaman orang tuanya.
Terbesit benak Winarno. tidak mungkin Rahayu setuju! Apalagi mau. Demi harta berlimpah turun-temurun di lakukan oleh keluarganya.
Winarno benar-benar membawa lamunannya pergi jauh. Hingga tidak menyadari sejak tadi Rahayu memperhatikannya. Sentuhan lembut menyentuh bahu, begitu hangat, membuat lamunan Winarno kembali ke tempat semula.
"Sudah larut Mas, Win. Ayo istirahat, besok masih harus kerja."
Tanpa menjawab Winarno mengikuti langkah istrinya. Keduanya naik peraduan memadu kasih menghempas gundah. Keduanya larut saling mencumbu dalam lembah kenikmatan duniawi, di bawah temaram remang cahaya rembulan malam.
Sepertinya rembulan dan tabur bintang sengaja mengintip lewat celah genteng. Tanpa malu dan terusik keduanya masih memadu kasih. Berpelukan hingga kokok ayam jago membangunkan lelap.
Suara corong musala terdengar memekik. Memanggil insan masih mempunyai iman ingat kepada-Nya.
Keduanya beranjak membersihkan hadas besar. Setelah itu Winarno pergi salat berjamaah.
❤️
Sulawesi Senin, 07Maret 2022
Sepulang dari Musala Winarno sudah disambut dengan aroma harum, kepulan asap kopi panas. Menguar memenuhi rumah ukuran sempit. Dia langsung duduk bersila di atas tikar plastik di depan televisi, menikmati secangkir kopi seraya mengisap sebatang rokok dari celah jemarinya.Badan terasa remuk. Lelah jelas, iya. Pekerjaan seperti itu tidak pernah dilakoni saat masih bujang, saat dirinya masih menyandang nama besar Haji Karsan. Rasanya begitu berat menjalani kehidupan."Kamu jangan coba-coba membuat malu keluarga Haji Karsan, Win! Cepatlah temui Mbah Lasiem!"Kuping terasa hangat bahkan menebal. Perkataan Ibu kembali mendengung, membuat Winarno berulang mendesis!Ibu memberikan saran demi kebahagiaan Winarno juga anak istrinya. Winarno terlihat gusar. Menangkup tangan di wajah dengan kasar, sesat kemudian beranjak. Winarno mengambil seragam kerja di tali jemuran emperan.Setelah sarapan, Rah
Keesokan harinya, Ibu terlihat begitu antusias. Bapak menerima uluran wadah dibungkus taplak meja motif batik dari Ibu. Wadah itu berisi sesaji. Syaratnya wajib jika bertandang ke rumah Mbah Lasiem.Terdiri dari kemenyan, dupa, kembang setaman, rokok, gula, air mineral dan masih banyak lagi yang lainnya.Winarno sudah berada dalam mobil, Bapak tergopoh keluar, lalu bergegas masuk duduk di samping kemudi. Tidak menunggu titah, Winarno memacu mobil menembus kemacetan jalanan Kota Surabaya. Mereka akan ke luar kota.Embusan angin sepoi-sepoi saat mobil keluar dari keramaian jalanan kota. Sepanjang menyusuri jalanan desa yang jauh dari keramaian.Mobil terus melaju hingga terlihat gerbang kokoh di depan bertuliskan."SELAMAT DATANG DI DESA KARANG ANYAR"Winarno memperlambat, laju kendaraan saat Bapak memberikan titah, berhenti sejenak!Saat mobil sudah b
Riasanya Winarno sangat ingin bertanya, akan ke mana arah jalan setapak itu menuju? Tetapi, dia sudah di beri tahu tadi oleh Bapak. ““Jangan berbicara atau bertanya sepatah kata pun jika tidak diberi titah oleh Mbah Lasiem.”Keduanya terus berjalan, jantung Winarno kembali berdegup saat tiba-tiba saja! Mbah Lasiem menghentikan langkah! Tepat di dekat sebuah dinding batu nan kokoh. Dinding itu seperti tiba-tiba saja muncul di depan mata telanjang.Terlihat dari warnanya, batu kokoh itu sudah berusia ratusan tahun. Tampak berserakan takir yang sudah mengering di antara serakkan daun-daun gugur. Sepertinya sebelumnya sudah banyak orang yang datang, bahkan mungkin ribuan.Mbah Lasiem duduk bersimpuh. Bapak tergesa membuka wadah sesaji yang sedari tadi dia bawa. Mbah Lasiem mengambil satu bungkus dupa. Bapak mematik macis tanpa titah, membuat dupa yang digenggam Mbah Lasiem terbakar. Ke
RWinarno menurut saja, dia seperti hilang kesadaran. Laksana seekor sapi yang dikeloi(cucuk tali hidungnya) menurut saja. Berulang kali dia menelan saliva saat satu demi satu helai pakaian lepas dari tubuh indah sang Ratu. Dari kemban, selendang kemudian yang terakhir kain jarik batik. Sontak membuat mata Winarno menyalang dia menatap dengan begitu bernafsunya. Nyai ratu melepaskan mahkota yang sedari tadi menghias silaukan mata! Memancarkan kilau cahaya! Kemudian Nyai Ratu meletakkan di sudut ranjang. Sementara helai kain tampak berserakan di atas permadani berwarna emas. Selang beberapa saat dia melangkah ke sudut meja, meraih satu gelas berwarna emas, lalu menuangkan isi teko. Kemudian diberikannya gelas itu pada Winarno, yang sedari tadi mematung membisu takjub. Mengamati tubuh bugil dari ujung kaki sampai ujung rambut. Betis jenjang dan jari-jari kaki nan seksi, membuat Winarno menelan saliva berulang kali, jangkungnya naik
Ketiganya keluar menampakkan diri satu per satu dari balik jerami, tepat di samping rumah Mbah Lasiem. Kemudian, masuk lewat pintu belakang seperti pada saat mereka keluar untuk berangkat tadi.Bapak dan Winarno mengikuti langkah Mbah Lasiem masuk, kemudian duduk bersila menghadap meja. Mbah Lasiem lincah memindahkan sesuatu ke dalam kain putih. Dia mengambilnya dari wadah sesaji yang memang ada di atas meja. Tampak berbagai macam bentuk ada botol-botol kecil berisikan wewangian media yang di perlukan klien.Mbah Lasiem mengulurkan sesuatu yang dibungkusnya tadi, pada Winarno, tetapi Winarno seperti masih terhipnotis, dia geming membisu dengan pandangan kosong. Hingga satu sikutan Bapak mendarat di lengannya dengan keras! Sontak membuat Winarno tersadar! Dia langsung menerima pemberian Mbah Lasiem. Wajah Winarno terlihat begitu lelah, bibirnya pucat, mungkin dia masih merasakan efek keperkasaannya tadi."He he! Hehehehe! Sep
Bab 07 Ambisi Winarno meluaskan senyum sempurna, dia terlihat begitu berambisi kini. "Gak, Pak. Karyo namanya." Bapak mangut-mangut seraya memainkan janggutnya yang panjang menjuntai lancip, mirip janggut kambing saja sekilas dilihat. Sementara itu Kang Karyo mengemasi dagangannya yang tersisa karena hari sudah beranjak siang. Pasar tradisional pun sudah sepi pengunjung. Terlihat Kang Karyo sangat bahagia walau gurat lelah tersirat jelas, hasilnya hari ini lumayan banyak ditambah lagi dengan rezeki nomplok tadi. Kang Karyo menghentikan motor di sebuah kedai bakso terlihat begitu ramai. Aroma kaldu kuahnya membuat perut yang keroncongan memberontak menjerit! "Mas, baksonya satu mangkuk!" pinta Kang Karyo pada seorang pelayan yang melintasinya, seraya menjatuhkan pantat di kursi. Dia duduk di antara ramainya pengunjung lainnya. Setela
Bab 08 PulangSetelah menunaikan ibadah Salat Subuh Winarno langsung ke dapur. Suara kedua orang tuanya sudah terdengar sejak tadi bercakap-cakap. Setibanya Winarno menarik kursi bergabung duduk dengan Bapak, kemudian Winarno meraih segelas kopi panas dari Ibu. "Buk, saya pulang hari ini sudah boleh, kan?" tanya Winarno."Iya--- setelah selesai berangkatlah." Bapak menyerobot jawab sekenanya."Kok, main iya saja tho, Pak? Kasih wejangan situ dulu anakmu! Bagaimana ke depannya!’ Ibu menyambar sengit.Sejenak Bapak menghentikan aktivitas merokok. "Hemm, begini Win. Ada baiknya jika istri dan anakmu ajak saja pindah segera ke toko Bapak sana. Cepatlah memulai bisnis lagi!" tegas Bapak.Winarno langsung tertegun mendengar, lalu dia menenggak kopinya hingga tandas. Sepertinya ada unek-unek menganjal dalam batinnya. “Terus modalnya, bagaimana, Pak?" Winarno gamang."Sudah, yang penting kamu
Bab 9 Bercumbu Rahayu terlihat gelisah dia tidak tenang, petir menyambar bersahutan di tambah lagi hujan mulai turun dengan derasnya. Berulang kali membuatnya kembali mengintip, lewat celah jendela. Namun, belum juga ada tanda-tanda kedatangan Winarno."Sudah-sudah, ayo pergi tidur sana! Ini sudah larut malam, Nak." Rahayu menghardik agar anaknya menghentikan aktivitas menonton televisi, karena Winarno tidak kunjung tiba."Ayah, ke mana, Bunda?" Pertanyaan polos dari buah hatinya membuat Rahayu kembali bangkit dan mengintip lewat celah jendela."Ke rumah Eyang, tadi. Tapi----" Rahayu kembali terkejut, mendengar suara petir menggelegar."Kok, sekarang Ayah sering ke rumah, Eyang?" Pertanyaan polos itu bukan tanpa alasan. Dalam beberapa Minggu terakhir ini, Winarno pergi pagi dan akan tiba sore, bahkan kadang larut malam.Rahayu tidak menanggapi pertanyaan lugu anaknya."Sepertinya Ayah, tida