Share

Bab 04 Ritual

Riasanya Winarno sangat ingin  bertanya, akan ke mana arah jalan setapak itu menuju? Tetapi, dia sudah di beri tahu tadi oleh Bapak. “

“Jangan berbicara atau bertanya sepatah kata pun jika tidak diberi titah oleh Mbah Lasiem.”

Keduanya  terus berjalan, jantung Winarno kembali berdegup saat  tiba-tiba saja! Mbah Lasiem menghentikan langkah! Tepat  di dekat sebuah dinding batu nan  kokoh. Dinding itu seperti tiba-tiba saja muncul di depan mata telanjang.

Terlihat dari warnanya, batu kokoh  itu sudah berusia ratusan tahun. Tampak berserakan takir yang sudah mengering di antara serakkan daun-daun gugur. Sepertinya sebelumnya sudah banyak orang yang datang, bahkan mungkin ribuan.

Mbah Lasiem  duduk bersimpuh. Bapak tergesa membuka wadah sesaji yang sedari tadi dia bawa. Mbah Lasiem mengambil satu bungkus dupa. Bapak mematik macis tanpa titah, membuat dupa yang digenggam Mbah Lasiem terbakar. Kemudian Mbah Lasiem menancapkan dupa ke perut bumi, tepat di depan dinding kokoh.

Cekatan Bapak mengambilkan takir(wadah dari daun pisang) kemudian memberikan kepada Mbah Lasiem. Tanpa bicara perempuan tua itu  mengambil satu putik kembang kantil. Bapak membuka tutup botol air mineral ukuran mini dan  menaruh di samping Mbah Lasiem. 

Hening hanya suara kicau burung bersahutan, memecah keheningan hutan. Mbah Lasiem menuang air ke dalam wadah alumunium yang memang sudah ada sejak lama di sana. Sebagai media peralatan sesaji. 

Mbah Lasiem mengangkat kedua tangannya selang beberapa menit. kemudian dia  menangkup jemarinya ke atas   sejajar pucuk kepala. Sudah  terselip di antara ujung celah jemarinya  kembang kantil tadi. 

Japu mantra kejawen keluar dari bibirnya lagi. “Heng wilaheng .... Heng wilaheng langgeng sekar jagat.” Sangat lirih nun magis begitu sakral, menghipnotis masuk membius lupa indra pendengaran. 

Bapak dan Winarno setia duduk bersila di atas dedaunan kering tepat  di belakang Mbah Lasiem. Tersirat gurat  tegang wajah Winarno. Berulang kali dia menarik napas panjang.

Sebenarnya Mbah Lasiem bukanlah seorang  Pekuncen. Akan tetapi, setelah kematian Mbah Karso, juru kunci  yang  namanya tersohor seantero tanah Jawa. Membuat  Mbah Lasiem harus  mengambil alih posisi suaminya itu. Karena mereka  tidak memiliki keturunan. 

Banyak klien yang sudah menjadi pelanggan tetap suami Mbah Lasiem, mereka harus datang kembali menyambung tali silaturahmi. Membawa anak keturunan sebagai penerus. Seperti yang dilakukan oleh Haji Karsan.

Lumayan lama Mbah Lasiem melakukan ritual. Tanpa sepengetahuan mata telanjang, dinding batu kokoh itu kini tidak tampak lagi di depan sana,  berganti  pintu raksasa membentang!

Sementara Winarno dan Bapak masih belum bisa melihat itu. Mbah Lasiem memalingkan wajahnya. Kemudian tangannya memercikkan air dari kembang kantil  ke wajah keduanya hingga mengenai kornea mata. Dalam hitungan detik Bapak sudah bisa bernapas lega. Dia sudah melihat pintu gua yang dulu di datanginya. Senyum pria bertubuh gempal itu mengembang.

Berbeda dengan Winarno. Dia nyaris saja berdiri dan berlari saat matanya menatap sekeliling dan gerbang gua raksasa. Winarno baru menyadari bila kiri dan kanannya di apit hutan belantara. Setahunya tadi dia sedang menyusuri jalan setapak sebuah desa. Kembali membuat mata Winarno mendelik saat sadar dia duduk di depan pintu gua raksasa, menganga itu.

Mbah Lasiem bangkit, beliau berjalan tertatih masih setia  memegangi tongkatnya. Bapak mengikuti langkahnya, pun Winarno. Mereka masuk ke dalam gua. 

Mata Winarno menyalang, menatap penuh selidik dinding gua yang kokoh berhias stalaktit runcing ke bawah. Gemercik suara air jatuh dari langit dari stalaktit-stalaktit   berwarna mutiara, airnya begitu jernih terasa dingin saat berulang kali menyentuh kulit Winarno. Hingga membuat hoodie putih  yang dikenakannya basah. 

Begitu juga dengan Bapak. Dia berulang kali membenahi peci putih miliknya. Rupanya tetesan jernih ujung stalaktit  itu menembus hingga kepalanya yang plontos basah. Kehadiran ketiganya mengusik kawanan kelelawar. Hewan itu  terbang ke luar.  Aroma gua begitu harum dominan aroma melati, menguar.

Fisik Mbah Lasiem masih kuat, dia begitu lincah. Kini tubuh bungkuk Mbah Lasiem sudah berada di atas sebuah  batu, berbentuk datar dan lebar, di ikuti oleh Bapak dan Winarno. Terlihat di depan sana ada batu kokoh  yang lebih mirip singgasana. Kiri dan kanan berhias stalagmit runcing ke atas laksana penjaga. Ketiganya sekarang sudah duduk bersila di atas batu yang sama.

Mbah Lasiem kembali menangkup tangan, mulutnya komat-kamit. Sementara Bapak memberikan isyarat pada Winarno agar mengikutinya menangkup tangan seperti yang dilakukan oleh Mbah Lasiem. Seraya memejamkan mata.

Selang beberapa waktu seorang wanita cantik sudah duduk di atas singgasana emas, beserta para penjaga. Dia begitu cantik, sempurna, membuat  Winarno menelan saliva, sesaat setelah membuka mata. Winarno tidak pernah sekalipun melihat wanita secantik itu, sepanjang hidupnya. Bapak melirik melihat ekspresi wajah Winarno yang mendadak sangat bernafsu. 

Kekeh tawa khas Mbah Lasiem kembali menggelegar nyaring. Membuat kelelawar hitam penghuni gua terbang  tunggang langgang menjauhi gua, untuk sementara pergi.

"Maafkan abdimu ini, Nyai ratu!" Mbah Lasiem membuka percakapan seraya terkekeh. Memamerkan  deretan gigi hitam kecokelatan miliknya.

Nyai ratu tersenyum, bahagia sekali. Bola mata nun indah itu menatap tajam wajah tampan Winarno. Sontak membuat jantung dan pikiran pria mana pun akan bermanuver. Sementara Bapak tidak berani mengangkat wajahnya, semenjak kedatangan Nyai Ratu. 

"Aku senang atas kehadiranmu, Mbok Lasiem! Kau adalah abdiku yang terbaik." Suara Nyai Ratu lirih, begitu mendamaikan dan membangkitkan gairah.

"Hehehehe! Hehehehe! Saya datang membawa kabar gembira, Ratu." Mbah Lasiem menjawab.

"Ba---ik, katakan saja."

"Anak muda ini, dia ingin meneruskan perjanjian orang tuanya. Dia  meminta bantuan, campur tangan darimu agar menjadi orang kaya raya." Setelah menjelaskan, kembali Mbah Lasiem terkekeh.

Beberapa saat kemudian, Nyai Ratu memberi isyarat agar  Mbah Lasiem dan Bapak untuk keluar segera. Kini hanya Winarno dan Nyai Ratu.

Wanita cantik sempurna itu  tersenyum. Dia menatap tajam  bola mata Winarno. Tanpa disadari kejanggalan terjadi.  Winarno seperti terkena japu mantra sihir. Saat satu telunjuk mengarah padanya. Ratu memberikan isyarat agar Winarno mendekat.

Winarno bangkit dan berjalan mengikuti langkah Ratu. Selendang warna hijau itu menjuntai menyapu lantai batu mengkilap bak kaca. Mereka menuju ke sebuah kamar pribadi milik,  Nyai Ratu.

Sepanjang jalan masuk menuju kamar, deretan para Emban dan Dayang-dayang  duduk bersimpuh menunduk kepala, bukti  tanda hormat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status