Ketiganya keluar menampakkan diri satu per satu dari balik jerami, tepat di samping rumah Mbah Lasiem. Kemudian, masuk lewat pintu belakang seperti pada saat mereka keluar untuk berangkat tadi.
Bapak dan Winarno mengikuti langkah Mbah Lasiem masuk, kemudian duduk bersila menghadap meja. Mbah Lasiem lincah memindahkan sesuatu ke dalam kain putih. Dia mengambilnya dari wadah sesaji yang memang ada di atas meja. Tampak berbagai macam bentuk ada botol-botol kecil berisikan wewangian media yang di perlukan klien.
Mbah Lasiem mengulurkan sesuatu yang dibungkusnya tadi, pada Winarno, tetapi Winarno seperti masih terhipnotis, dia geming membisu dengan pandangan kosong. Hingga satu sikutan Bapak mendarat di lengannya dengan keras! Sontak membuat Winarno tersadar! Dia langsung menerima pemberian Mbah Lasiem. Wajah Winarno terlihat begitu lelah, bibirnya pucat, mungkin dia masih merasakan efek keperkasaannya tadi.
"He he! Hehehehe! Sepertinya, anakmu lelah, San!”
Bapak tersenyum seraya melirik kondisi fisik Winarno. Rupanya anaknya tidak setangguh dirinya dulu, membuatnya ingin mengejek dan tertawa! Seperti yang dilakukan oleh Mbah Lasiem.
"Berikan dia syarat, Mbah. Biar sedikit bugar," pinta Bapak membuat Mbah Lasiem kembali terkekeh geli.
Suasana terasa mencair tidak setegang saat baru sampai. Sesekali Bapak berbincang hal yang tidak penting. Hingga mengundang tawa khas perempuan tua itu, di sela-sela saat Mbah Lasiem menjelaskan, detail syarat khusus yang harus Winarno lakukan, nantinya.
Mbah Lasiem mengambil satu botol air mineral, yang memang sudah ada berjejer rapi di samping meja ritual. Kemudian, dia membuka tutup air mineral berukuran sedang itu, lalu membacakan matra. Selang beberapa menit kemudian, dia meniupkan kodam jopa-japu matra ke dalam botol itu hingga tiga kali.
“Cuh!Cuh!Cuh!”
Terlihat asap hitam masuk ke dalam air mineral, tetapi tidak bisa dilihat oleh mata telanjang.
"Ini, minumlah. Sisakan sedikit untuk membasuh wajahmu," ucap Mbah Lasiem seraya terkekeh geli.
Bapak kembali menyikut lengan Winarno dengan kasar. Sontak membuat Winarno terperanjat dan langsung menerima uluran tangan Mbah Lasiem.
"Cepat, minum. Sisakan sedikit untuk membasuh wajahmu,” Bapak memperjelas dengan nada membisik.
Tidak menunggu titah kedua kalinya, Winarno menenggak, seperti yang dipinta. Setelah itu keajaiban langsung terjadi, dalam sekejap kesadaran Winarno terlihat kembali pulih.
Malam kian larut, Bapak berpamitan setelah semuanya dijelaskan tadi, oleh Mbah Lasiem. Keduanya sudah dipersilahkan untuk pulang, malam itu juga. Suasana di sekitar rumah Mbah Lasiem sangat sepi. Mungkin karena tidak ada satu pun rumah penduduk yang menyalakan lampu, jadi seakan-akan tidak ada rumah lain. Hanya rumah megah Mbah Lasiem yang tampak terang benderang. Padahal siang tadi begitu ramai, banyak warga berjalan kaki dan lalu-lalang kendaraan. Mungkin milik warga desa setempat? Atau desa sebelah? Entahlah.
"Bagaimana, Win? Sudah bisa menyetir, kan?" tanya Bapak saat sudah berada dekat mobilnya.
"Hem, bisa." Winarno menjawab singkat seraya mengusap wajahnya, lalu menerima kunci yang diulurkan oleh Bapak.
Mbah Lasiem menghantarkan kepergian kliennya hingga pelataran. Setelah membunyikan klakson, mobil perlahan meninggalkan halaman rumah itu. Mbah Lasiem terkekeh, matanya membulat sempurna menatap mobil kliennya kian jauh meninggalkan gubuk bambu miliknya. Tawanya memekik memecah keheningan malam, hutan belantara.
Mobil terus melaju, akhirnya sudah melewati batas desa Karang Anyar. Winarno mempercepat laju kendaraan meninggalkan desa itu. Bapak tidak melakukan ritual pamit lagi, di bawah gerbang. Kini mobil sudah memasuki jalanan desa lain dengan deretan rumah penduduk yang menyalakan lampu. Leher Winarno terasa begitu kaku, karena sejak tadi tidak bisa menoleh, apalagi menengok ke belakang pun, bicara.
Masih lumayan jauh perjalanan menuju rumah. Mungkin mereka akan tiba saat hari sudah mulai terang. Sepanjang perjalanan Bapak tampak tertidur. Hingga akhirnya Bapak terjaga saat menyadari bahwa sudah tampak semburat jingga penghantar pagi.
"Win, nanti di Desa Wonosari berhenti sejenak." Bapak memberikan titah.
"Iya--- di pasar kriek, Pak?"
"Iya---"
Desa Wonosari tinggal beberapa kilometer lagi. Akhirnya sampai juga mereka di pasar kriek(tradisional) yang dimaksud. Winarno memperlambat laju kendaraan, kemudian memarkirkan mobilnya dibahu jalan. Winarno turun, dia mendekati seorang pria yang berdagang buah pisang.
"Monggo, matang di pohon, Mas. Tidak usah khawatir. Monggo dibeli untuk penglaris."
Pedagang pisang itu begitu antusias mempromosikan dagangannya, saat melihat Winarno kian mendekatinya.
"Dengan Kang siapa, ini?" tanya Winarno ramah.
"Karto, Mas. Sepertinya kok, sampean ini bukan orang sini, ya?"
"Iya--- saya dalam perjalanan, Kang." Winarno menjawab sekenanya. Seraya memilah beberapa sisir pisang kluthuk. Dengan tingkat kematangan sesuai.
Pria setengah baya, mengenakan kaus lengan panjang dengan setelan trining biru itu antusias, sumringah tersirat sepagi itu sudah mendapatkan calon pembeli dengan dandanan modis.
"Berapa harganya, Kang?"
"Lima ribu saja, satu sisirnya. Biasanya sih, saya jual tujuh ribuan, Mas."
"Wah, terima kasih. Aku dikasih murah, dapat diskon, ini." Winarno menggoda.
"Iya--- gak apa-apa, biar gangsar jualan saya."
Winarno memilah empat sisir pisang, dengan cekatan Kang Karto mengaitkan tali di antara celah pisang. Kemudian, menerima uang lima puluh ribu, dari Winarno.
“Mas! Kembaliannya!” panggil Kang Karyo.
Namun, Win geming hingga kembali Kang Karyo mengulang.
“Ambil saja, Kang! Anggap saja sedekah dariku!” Winarno menoleh saat menjawab.
“Alhamdulillah, Gusti! Kok, ada orang sebaik itu!”
Setelah itu terlihat Kang Karyo mengibaskan uang ke atas pisang-pisang dagangannya berulang seraya berkata, "Laris! Laris!" Dengan lantang.
Winarno tergesa meningalkan tempat itu dan masuk ke dalam mobil, kemudian perlahan meninggalkan pasar tradisional. Bapak terus saja melihat ke arah kaca belakang, mengamati Kang Karto, si pedagang pisang tadi, tampak begitu senangnya mendapatkan rezeki nomplok.
"Alhamdulillah, Gusti!" jerit Kang Karyo seraya merapikan gulungan uang kertas, warna merah.
Kang Karyo barusan memungut uang dari tanah tepat di samping dagangan. Sangking senangnya sampai-sampai dia menempelkan uang itu tepat di jidatnya. Kang Karyo girang bukan kepalang.
Bapak terbahak seraya menepuk pundak Winarno. "Tidak lupa dengan nama orang tadi, Win---?”
Bersambung ....
Sulawesi Senin, 07Maret 2022
Bab 07 Ambisi Winarno meluaskan senyum sempurna, dia terlihat begitu berambisi kini. "Gak, Pak. Karyo namanya." Bapak mangut-mangut seraya memainkan janggutnya yang panjang menjuntai lancip, mirip janggut kambing saja sekilas dilihat. Sementara itu Kang Karyo mengemasi dagangannya yang tersisa karena hari sudah beranjak siang. Pasar tradisional pun sudah sepi pengunjung. Terlihat Kang Karyo sangat bahagia walau gurat lelah tersirat jelas, hasilnya hari ini lumayan banyak ditambah lagi dengan rezeki nomplok tadi. Kang Karyo menghentikan motor di sebuah kedai bakso terlihat begitu ramai. Aroma kaldu kuahnya membuat perut yang keroncongan memberontak menjerit! "Mas, baksonya satu mangkuk!" pinta Kang Karyo pada seorang pelayan yang melintasinya, seraya menjatuhkan pantat di kursi. Dia duduk di antara ramainya pengunjung lainnya. Setela
Bab 08 PulangSetelah menunaikan ibadah Salat Subuh Winarno langsung ke dapur. Suara kedua orang tuanya sudah terdengar sejak tadi bercakap-cakap. Setibanya Winarno menarik kursi bergabung duduk dengan Bapak, kemudian Winarno meraih segelas kopi panas dari Ibu. "Buk, saya pulang hari ini sudah boleh, kan?" tanya Winarno."Iya--- setelah selesai berangkatlah." Bapak menyerobot jawab sekenanya."Kok, main iya saja tho, Pak? Kasih wejangan situ dulu anakmu! Bagaimana ke depannya!’ Ibu menyambar sengit.Sejenak Bapak menghentikan aktivitas merokok. "Hemm, begini Win. Ada baiknya jika istri dan anakmu ajak saja pindah segera ke toko Bapak sana. Cepatlah memulai bisnis lagi!" tegas Bapak.Winarno langsung tertegun mendengar, lalu dia menenggak kopinya hingga tandas. Sepertinya ada unek-unek menganjal dalam batinnya. “Terus modalnya, bagaimana, Pak?" Winarno gamang."Sudah, yang penting kamu
Bab 9 Bercumbu Rahayu terlihat gelisah dia tidak tenang, petir menyambar bersahutan di tambah lagi hujan mulai turun dengan derasnya. Berulang kali membuatnya kembali mengintip, lewat celah jendela. Namun, belum juga ada tanda-tanda kedatangan Winarno."Sudah-sudah, ayo pergi tidur sana! Ini sudah larut malam, Nak." Rahayu menghardik agar anaknya menghentikan aktivitas menonton televisi, karena Winarno tidak kunjung tiba."Ayah, ke mana, Bunda?" Pertanyaan polos dari buah hatinya membuat Rahayu kembali bangkit dan mengintip lewat celah jendela."Ke rumah Eyang, tadi. Tapi----" Rahayu kembali terkejut, mendengar suara petir menggelegar."Kok, sekarang Ayah sering ke rumah, Eyang?" Pertanyaan polos itu bukan tanpa alasan. Dalam beberapa Minggu terakhir ini, Winarno pergi pagi dan akan tiba sore, bahkan kadang larut malam.Rahayu tidak menanggapi pertanyaan lugu anaknya."Sepertinya Ayah, tida
Bab 10 Geger di Desa WonosariTidak terasa sudah dua pekan kedatangan Winarno dan Bapak dari rumah Mbah Lasiem. Semua syarat sudah dilaksanakan, termasuk pulang larut saat malam Jumat dan membuat kamar khusus di toko, yang akan menjadi hunian keluarga kecil Winarno nantinya.***Sementara itu kondisi kesehatan Kang Karyo, dalam beberapa hari, terus menurun. Bahkan memburuk. Desas-desus beredar dia dijadikan tumbal oleh pemilik warung bakso di area Wonosari, yang begitu tersohor sangat ramai pelanggan. Maklum orang desa masih saja percaya hal mistis dan mengait-ngaitkan!Bukan tanpa dasar, karena sebelum makan di tempat itu, kondisi kesehatan Kang Karyo baik-baik saja. Setelahnya, keanehan terjadi. Hari demi hari kian memburuk, pria itu sekarang hanya bisa tiduran menjadi kembang ranjang."Duh, Gusti! To ... tolong, suamiku!" Suara teriakan lantang berulang terdengar dari dalam rumah sederhana milik Kang Karyo."Ada
Bab 11 Akhirnya Tewas"Innalilahi wa innailaihi rojiun! Kang Karyo!" Dirman menjerit dia tidak tega menyaksikan kondisi terakhir saudaranya. Teriakannya terdengar oleh Mbak Mar, perempuan itu langsung berhambur masuk kamar.Beberapa orang pria mencegahnya di depan pintu, agar tidak syok melihat kondisi orang tercintanya. Namun, kekuatan Mbak Mar mampu menerobos masuk."Gusti ...!" jerit Mbak Mar. Selang beberapa menit kemudian, dia terkulai, jatuh. Cekatan salah satu kolega mengevakuasi menjauhi kamar.Cak Badrun langsung menengadah jemari. Dia membaca beberapa doa islami berulang. Selang beberapa waktu dia meniupkan asap putih dari dalam rongga mulutnya. Kemudian Cak Badrun mengusap kasar area wajah jasad Kang Karyo, seraya berkata. Berkat, ”Sedulur papat limo pancer, Karyo. Hufff!”Keajaiban terjadi, mata jenazah yang mendelik dengan lidah menjulur, seperti sedang menahan sakit akibat cekikikan itu kembali semula. Kang Karyo t
Terbuai LagiWinarno menelan saliva, dadanya berdegup kencang, saat darahnya mulai memanas. Membuat bulu-bulu halus miliknya bergidik. Mata elang Winarno menatap penuh cinta pada istrinya. Rahayu tertidur pulas, matanya tidak mampu menahan kantuk teramat sangat. Hingga dia tidak mendengar dan menyadari kehadiran suaminya sejak tadi.Winarno mendengkus, perlahan mulai meraba ujung jemari tangannya milik Rahayu. Kemudian mengendus dari atas hingga bawah. Lanjut mengulum jempol jemari kaki istrinya dengan rakus. Sontak membuat tubuh wanita mana pun akan menggelinjang, begitu juga dengan Rahayu. Winarno tidak setiap saat seperti itu. Itulah sebabnya melakukan hubungan pada malam Jumat membuat Rahayu seperti mendapatkan kenikmatan tersendiri. Walaupun matanya enggan untuk terbuka, tetapi dia terbuai hingga lapisan langit ke tujuh."Rah, Sayang." Winarno berbisik lirih. Napasnya memburu, membuat rambut indah Rahayu tersingkap hingga menutupi
#Nafkah Batin NyaiDasimah.Winarno meluaskan senyum, sesekali meraba rahang kokoh miliknya, kemudian mengusap bulu-bulu halus yang tumbuh di area itu, walau sudah coba bersikap biasa, bayangan Nyai Dasimah mengambil separuh hatinya. Permainan ranjang yang sangat luar biasa, dia tidak pernah sekalipun merasakan hal seperti itu selama berhubungan intim dengan Istrinya.***"Win, kamu jangan pulang malam, ini!" teriak Bapak dari lantai dasar, ruko miliknya. Beliau mengingatkan."Iya!" Winarno menjawab singkat seraya menuruni anak tangga, setelah mengunci pintu kamar atas.Keduanya berjalan beriringan keluar, Winarno mengantarkan kepergian Bapak untuk pulang. Seharian beliau memantau anaknya menata barang hingga selesai. Winarno menemani hingga pelataran yang sepi karena hujan rintik-rintik, perlahan mobil putih meninggalkan dirinya seorang di toko berlantai dua dengan sentuhan kesan elegan, minimalis.Toko elektronik sekaligus menjadi huniann
#Pindah ke Toko Hari ini Winarno tidak pergi lagi, berhubung semua sudah finis. Malam di lewati bersama keluarga kecilnya. Kenangan tinggal di rumah jauh dari kata layak akan segera berakhir. Tinggal menghitung jam.Keempatnya duduk di tempat favorit, satu-satunya. Mereka menonton televisi, Rahayu dan Winarno menemani kedua jagoannya hingga akhirnya film animasi kesukaan mereka usai.“Ayo, ayo! Semua masuk ke kamar. Cepat tidur besok kita sudah pindah!” Rahayu memberikan titah.“Horeee! Horeee! Besok, Bunda?” Celoteh anaknya bertanya dengan polosnya.“He-emm, iya, besok!”“Asyik! Kita akan pindah!” Dua bocah itu berkelakar penuh bahagia seraya masuk ke kamar. Tingkah polos itu mengundang senyum di sudut bibir Rahayu.Sementara Winarno asyik dengan sebatang rokok di celah jemarinya. Menyaksikan keluarga kecilnya yang begitu antusias. Ada bangga dalam benaknya, bisa kembali memberikan fasilitas layak untuk anak-anak. Winarno mengambil gelas kopi, kemudi