Rahayu membuang napas, apalah daya dia tidak berani mengusik apa pun itu. Dengan hati diliputi rasa campur aduk dia kembali menutup pintu kamar dari dalam. Belum juga dia membalikkan badannya, pelukan Winarno menyambutnya hangat.
"Aduh, Mas!""Rah ....”"Mengagetkan tahu, gak!?""Maafkan, suprise bukan?""Iya, sih. Tapi ....""Apa, Sayang?""Kenapa harus gelap-gelapan, sih?""Kan suprise, Sayang.""Berarti kalau gelap gak—""Iya, mana bisa lama jika terang, iya enggak?""Hemmm...."Keduanya saling bertukar tanya jawab masih dengan posisi berdiri dan tubuh Rahayu tersandar di daun pintu akibat impitan tubuh kekar Winarno. Napas Winarno memburu jemarinya mulai nakal menggerayangi. Rahayu sesekali menggeliat, pikiran tadi sudah lenyap dari otaknya. Terbayar oleh belaian cinta suaminya.Winarno membopong tubuh Rahayu menuju pembaringan. Dengan mesra Rahayu bergelayut di leher kekar milik suaminya. Seperti biasa“Dung, ya Tuhanku.” Rahayu membatin seraya menengok ke arah bawah.Untung saja tiada yang mengetahuinya, secepatnya Rahayu meninggalkan tempat itu. Cekatan bahkan nyaris berlari dia menuju anak tangga, menuruni tergesa. Suasana hening, memang terasa berbeda. Seperti ada khodam menjadi penghuni toko elektronik itu.Rahayu sejenak berdiri di depan pintu kamar, dia menarik napas dalam-dalam lalu membuka pintu dengan sangat hati-hati. Sesampainya di dalam Rahayu kemudian masuk dan merebahkan diri seperti tidak terjadi apa-apa. Namun, tetap saja ada yang mengganjal Rahayu membenamkan wajahnya dalam dada Winarno, mencoba mengusir rasa takutnya.Cukup lama mata Rahayu enggan terpejam, otaknya masih mengingat jelas apa yang dilihat tadi. Deretan sesaji dan ranjang berselimut beludru lantai bak ret karpet yang akan menyambut Nyai Ratu dan pasangannya. Pemandangan itu terus saja berkutat menjejal otak, enggan lenyap."Mas ...!" Rahayu mencoba mengus
*Tujuh belas tahun kemudian.Malam itu kembali keduanya memadu kasih, libido wanita ayu itu membuncah. Jemarinya mengusap lembut rahang kekar Winarno, dengan rakus Rahayu mencecap leher kokoh dengan deretan bulu halus menghias. Tangan Winarno bergerak lincah, bermain sesuka hatinya ke segala penjuru.Rahayu sedikit menjauhkan tubuh Winarno, berat hati pria dengan sorot mata tajam melepaskan pelukannya, seraya mendesis, "Sayang ...." Rahayu berjalan ke sudut ruang, kaki jenjang tanpa alas kaki dan tubuh tanpa sehelai benang pun berjalan di bawah temaram redup bohlam kamar. Sesampainya, jemari Rahayu menyalakan VCD player. Lagu milik Mariah Carey terdengar lirih . Akan tetapi, cukup meredam desahan keduanya tidak terdengar dari luar kamar. "Sudah tidak sabar, ya ...." Rahayu menggoda. Tiada jawaban, Winarno hanya menyeringai, lalu meraih tubuh Rahayu secara kasar dan menjatuhkan di atas ranjang empuk. "Sayang ...." "Mas ....""Rahayu, Sayang----" "Oh,
BARTER PENGABDI SETAN Penulis: Jenar Moksa ❤️Bab 01 Setipis Kulit Ari❤️ Winarno duduk termangu di belakang sebuah rumah mewah, memandang lepas hamparan sawah nun hijau, di seberang jalur bebas hambatan. Sebentar lagi akan panen. Sawah itu bukanlah miliknya. Begitu juga rumah mewah itu. Berulang pria yang kini berusia 40 tahun itu membuang napas kasar, jelas beban berat di benaknya. Kejayaannya telah usai sejak insiden kebakaran yang memusnahkan segala harta benda miliknya dalam sekejap. Winarno mempunyai toko elektronik di kota, sekaligus menjadi rumah hunian keluarga kecilnya. Usahanya berkembang pesat. Modal awal di beri oleh kedua orang tuanya. Sesaat setelah menikah. Akan tetapi, itu dulu. Sekarang dia hanya buruh tani dan tinggal di desa. Sementara istrinya seperti ibu-ibu di desa pada umumnya. Dulu wanita berparas ayu itu hanya duduk manis sembari menerima uang dari para pembel
Sepulang dari Musala Winarno sudah disambut dengan aroma harum, kepulan asap kopi panas. Menguar memenuhi rumah ukuran sempit. Dia langsung duduk bersila di atas tikar plastik di depan televisi, menikmati secangkir kopi seraya mengisap sebatang rokok dari celah jemarinya.Badan terasa remuk. Lelah jelas, iya. Pekerjaan seperti itu tidak pernah dilakoni saat masih bujang, saat dirinya masih menyandang nama besar Haji Karsan. Rasanya begitu berat menjalani kehidupan."Kamu jangan coba-coba membuat malu keluarga Haji Karsan, Win! Cepatlah temui Mbah Lasiem!"Kuping terasa hangat bahkan menebal. Perkataan Ibu kembali mendengung, membuat Winarno berulang mendesis!Ibu memberikan saran demi kebahagiaan Winarno juga anak istrinya. Winarno terlihat gusar. Menangkup tangan di wajah dengan kasar, sesat kemudian beranjak. Winarno mengambil seragam kerja di tali jemuran emperan.Setelah sarapan, Rah
Keesokan harinya, Ibu terlihat begitu antusias. Bapak menerima uluran wadah dibungkus taplak meja motif batik dari Ibu. Wadah itu berisi sesaji. Syaratnya wajib jika bertandang ke rumah Mbah Lasiem.Terdiri dari kemenyan, dupa, kembang setaman, rokok, gula, air mineral dan masih banyak lagi yang lainnya.Winarno sudah berada dalam mobil, Bapak tergopoh keluar, lalu bergegas masuk duduk di samping kemudi. Tidak menunggu titah, Winarno memacu mobil menembus kemacetan jalanan Kota Surabaya. Mereka akan ke luar kota.Embusan angin sepoi-sepoi saat mobil keluar dari keramaian jalanan kota. Sepanjang menyusuri jalanan desa yang jauh dari keramaian.Mobil terus melaju hingga terlihat gerbang kokoh di depan bertuliskan."SELAMAT DATANG DI DESA KARANG ANYAR"Winarno memperlambat, laju kendaraan saat Bapak memberikan titah, berhenti sejenak!Saat mobil sudah b
Riasanya Winarno sangat ingin bertanya, akan ke mana arah jalan setapak itu menuju? Tetapi, dia sudah di beri tahu tadi oleh Bapak. ““Jangan berbicara atau bertanya sepatah kata pun jika tidak diberi titah oleh Mbah Lasiem.”Keduanya terus berjalan, jantung Winarno kembali berdegup saat tiba-tiba saja! Mbah Lasiem menghentikan langkah! Tepat di dekat sebuah dinding batu nan kokoh. Dinding itu seperti tiba-tiba saja muncul di depan mata telanjang.Terlihat dari warnanya, batu kokoh itu sudah berusia ratusan tahun. Tampak berserakan takir yang sudah mengering di antara serakkan daun-daun gugur. Sepertinya sebelumnya sudah banyak orang yang datang, bahkan mungkin ribuan.Mbah Lasiem duduk bersimpuh. Bapak tergesa membuka wadah sesaji yang sedari tadi dia bawa. Mbah Lasiem mengambil satu bungkus dupa. Bapak mematik macis tanpa titah, membuat dupa yang digenggam Mbah Lasiem terbakar. Ke
RWinarno menurut saja, dia seperti hilang kesadaran. Laksana seekor sapi yang dikeloi(cucuk tali hidungnya) menurut saja. Berulang kali dia menelan saliva saat satu demi satu helai pakaian lepas dari tubuh indah sang Ratu. Dari kemban, selendang kemudian yang terakhir kain jarik batik. Sontak membuat mata Winarno menyalang dia menatap dengan begitu bernafsunya. Nyai ratu melepaskan mahkota yang sedari tadi menghias silaukan mata! Memancarkan kilau cahaya! Kemudian Nyai Ratu meletakkan di sudut ranjang. Sementara helai kain tampak berserakan di atas permadani berwarna emas. Selang beberapa saat dia melangkah ke sudut meja, meraih satu gelas berwarna emas, lalu menuangkan isi teko. Kemudian diberikannya gelas itu pada Winarno, yang sedari tadi mematung membisu takjub. Mengamati tubuh bugil dari ujung kaki sampai ujung rambut. Betis jenjang dan jari-jari kaki nan seksi, membuat Winarno menelan saliva berulang kali, jangkungnya naik
Ketiganya keluar menampakkan diri satu per satu dari balik jerami, tepat di samping rumah Mbah Lasiem. Kemudian, masuk lewat pintu belakang seperti pada saat mereka keluar untuk berangkat tadi.Bapak dan Winarno mengikuti langkah Mbah Lasiem masuk, kemudian duduk bersila menghadap meja. Mbah Lasiem lincah memindahkan sesuatu ke dalam kain putih. Dia mengambilnya dari wadah sesaji yang memang ada di atas meja. Tampak berbagai macam bentuk ada botol-botol kecil berisikan wewangian media yang di perlukan klien.Mbah Lasiem mengulurkan sesuatu yang dibungkusnya tadi, pada Winarno, tetapi Winarno seperti masih terhipnotis, dia geming membisu dengan pandangan kosong. Hingga satu sikutan Bapak mendarat di lengannya dengan keras! Sontak membuat Winarno tersadar! Dia langsung menerima pemberian Mbah Lasiem. Wajah Winarno terlihat begitu lelah, bibirnya pucat, mungkin dia masih merasakan efek keperkasaannya tadi."He he! Hehehehe! Sep