Sepulang dari Musala Winarno sudah disambut dengan aroma harum, kepulan asap kopi panas. Menguar memenuhi rumah ukuran sempit. Dia langsung duduk bersila di atas tikar plastik di depan televisi, menikmati secangkir kopi seraya mengisap sebatang rokok dari celah jemarinya.
Badan terasa remuk. Lelah jelas, iya. Pekerjaan seperti itu tidak pernah dilakoni saat masih bujang, saat dirinya masih menyandang nama besar Haji Karsan. Rasanya begitu berat menjalani kehidupan.
"Kamu jangan coba-coba membuat malu keluarga Haji Karsan, Win! Cepatlah temui Mbah Lasiem!"
Kuping terasa hangat bahkan menebal. Perkataan Ibu kembali mendengung, membuat Winarno berulang mendesis!
Ibu memberikan saran demi kebahagiaan Winarno juga anak istrinya. Winarno terlihat gusar. Menangkup tangan di wajah dengan kasar, sesat kemudian beranjak. Winarno mengambil seragam kerja di tali jemuran emperan.
Setelah sarapan, Rahayu memberikan satu rantang bekal yang berada di atas meja.
Hari ini Winarno akan kembali bekerja di sawah milik Haji Sukardi. Seorang teman sesama buruh sudah menunggunya.
Tidak terasa sudah sore, Haji Sukardi memberikan upah. Tidak seberapa.
****
Winarno masuk kamar, Rahayu sudah menunggu kedatangannya. Keduanya saling bertukar kasih, di bawah temaram remang malam.
Malam kian larut, tetapi mata Winarno enggan untuk terpejam. Begitu pula pikirannya, melayang jauh. Indra pendengaran kembali terngiang akan ucapan Ibu.
"Banyak pilihan, kok. Ayolah secepatnya! Atau kamu akan miskin selamanya! Tidak ada alasan lagi, Win!"
Berbagai pertimbangan sudah pikirkan oleh Winarno, dengan matang juga risikonya.
Sementara Rahayu sudah terlelap sejak tadi. Mungkin dia lelah, setelah melayani kebutuhan biologis suaminya.
Keesokan harinya Winarno berpamitan akan pergi ke rumah Ibunya.
"Lho, Mas. Kan, aku sudah lama tidak bertemu dengan Ibu dan Bapak. Kok, tidak boleh?" Rahayu protes saat tidak di izinkan ikut serta.
"Sudahlah Rah, Mas, saja. Lagian aku ingin menginap beberapa hari. Kan, anak-anak selalu rewel jika di ajak tidur di sana. Yakin, masih mau ikut?"
Sejenak wanita ayu tanpa polesan make-up geming, bibirnya ingin berkata, tetapi lidahnya kelu. Kembali mengingat kejadian saat anaknya masih bayi. Tangis histeris itu masih mendengung tidak lekang dari indra pendengaran. Padahal kejadian itu sudah lumayan lama.
****
"Mas, bagaimana anak kita! Ini tidak wajar!" Rahayu benar-benar panik.
"Terus mau bagaimana? Kata Ibu kan, tadi sudah biasa bayi rewel seperti ini." Winarno terkesan acuh.
"Kamu ini gak punya perasaan, Mas!"
Dada Rahayu bergetar hebat dengan napas memburu, jemari tangannya gemetar saat mengetik pesan mengabarkan pada orang tuanya yang berdomisili di desa sebelah.
Batin Rahayu janggal, mertuanya acuh. Beberapa saat kemudian Rahayu sudah dijemput. “Demi nyawa anaknya.” Begitu penjelasan yang di terima Rahayu dulu.
Semenjak saat itu Rahayu dan anak-anak tidak pernah sekalipun tidur di rumah mertuanya. Atau sekedar bertandang sebagai tamu.
Winarno tidak pernah sama sekali mempermasalahkan. Winarno tahu dibalik diamnya. Bukan tanpa alasan, setahun yang lalu setelah Rahayu diboyong. Justru keponakannya mengalami hal yang sama.
Tidak butuh waktu lama, keesokan harinya bayi mungil anak pertama Kakak kandung Winarno meregang nyawa, dengan kondisi fisik penuh lebam.
"Bagaimana jika kamu mengungsi, tidur di rumah Mbak Yuni saja, Dek Rah?" Winarno meminta istrinya tidur di rumah tetangganya.
"Ah, gak lah, Mas. Malu sama suaminya gegara aku mereka tidur pisah ranjang."
"Cuma beberapa malam, lho, Dek! Sungkanmu kok, gak hilang-hilang!"
"Kalau hilang ya, saya sudah bukan Rahayu lagi, dong!"
"Yakin, berani? Ini malam apa, coba?”
Malam Kamis, Mas. Emang aku gak ingat? Besok malam Jumat!”
"Ya, sudahlah. Alhamdulillah jika berani."
Keduanya spontan tertawa renyah, saat Rahayu mendarat cubitan kecil di bawah pusar suaminya. Winarno memeluk tubuh wanitanya, pujian diberikan atas keberanian. Bukan tanpa alasan besok malam Jumat Kliwon bertepatan dengan bulan Suro bulan sakral masyarakat Jawa. Apalagi desanya terkenal warganya banyak yang mempunyai walean( pesugihan).
Setelah berpamitan. Winarno kembali mengambil gelas kopi masih setengah, dia mengecapnya hingga menyisakan cethe.
Kemudian, Winarno pergi mengendarai motor menuju rumah orang tuanya. Letaknya hanya beberapa kilo meter. Lebih tepatnya berbeda desa. Sesampainya di sana dirinya disambut pelukan oleh Ibu dan Bapak. Sepertinya kedua pasangan senja itu begitu merindukan anaknya.
Mata cekung Bapak menatap iba penampilan Winarno pun Ibu melakukan hal yang sama. Winarno menjatuhkan diri kasar di atas sofa empuk. Dia menangkup wajah dengan dua tangan. Napasnya terasa begitu berat untuk mengutarakan niat kedatangannya.
"Bagaimana kabar anak-anak, Win?" Ibu bertanya memecah keheningan.
"Ba--ik, Bu. Pun Rahayu," jelas Winarno.
"Ibu tidak menanyakan, perihal perempuan itu!"
"Buk! Sampean ini bicara apa, sih?"
Bapak terlihat protes atas ucapan. Tidak seharusnya sebagai orang tua berkata begitu. Entah mengapa perempuan senja itu begitu membenci anak menantunya.
"Kenapa, Ibu tetap saja membenci istriku," lirih noktah suara Winarno. Dia takut jika perkataannya melukai hati perempuan yang begitu banyak berkorban materi untuknya.
Kebencian itu bukan tanpa sebab. Dulu wanita salihah itu menolak melanjutkan ritual wajib, saat Ibu memberikan titah, sesaat setelah menikah.
Ritual itu adalah kewajiban, bagi anggota baru keluarga Haji Karsan yang tersohor akan kekayaannya. Tidak bakal habis di nikmati hingga tujuh turunan.
Apalagi saat kembali akan diberi modal. Rahayu malah menolak keras. Mungkin itu yang membuat hati Ibu terluka, karena Rahayu lah, Winarno menderita.
Satu tepukan tidak begitu keras mendarat di bahu Winarno. Sontak membuatnya menatap sempurna kedua orang tuanya.
"Bagaimana, Win? Apa istrimu sudah mau, melakukan---?"
Winarno menarik napas dalam-dalam. Menjelaskan bahwa dirinya tidak berani mengajak Rahayu lagi. Dengan wajah tertunduk menjelaskan, Bapak kembali menepuk pundak Winarno, membuat wajahnya mendongak.
"Akan tetapi, kamu mau, kan?" Terlihat bapak mengerling menatap pasangan hidupnya.
Namun, Winarno belum memberikan jawaban dia geming membuat jantung orang tuanya mengepos. Winarno kembali menarik napas panjang menetralisir gejolak batinnya. Lidah kelu itu mulai berani merangkai kata.
"I---iya, saya mau melanjutkan perjanjian keluarga kita!" Lantang jawaban Winarno membuat keduanya orang tua itu terkekeh lepas.
Kekeh tawa itu menggelegar memekik indra pendengaran. Menggema di langit plafon rumah mewah berlantai dua. Bangga jelas tersirat di wajah keriput kedua pasangan senja yang setiap tahun bertandang ke Madinah.
"Siapkan saratnya, Buk. Malam ini aku membawa anakmu ke rumah Mbah Lasiem!"
Keesokan harinya, Ibu terlihat begitu antusias. Bapak menerima uluran wadah dibungkus taplak meja motif batik dari Ibu. Wadah itu berisi sesaji. Syaratnya wajib jika bertandang ke rumah Mbah Lasiem.Terdiri dari kemenyan, dupa, kembang setaman, rokok, gula, air mineral dan masih banyak lagi yang lainnya.Winarno sudah berada dalam mobil, Bapak tergopoh keluar, lalu bergegas masuk duduk di samping kemudi. Tidak menunggu titah, Winarno memacu mobil menembus kemacetan jalanan Kota Surabaya. Mereka akan ke luar kota.Embusan angin sepoi-sepoi saat mobil keluar dari keramaian jalanan kota. Sepanjang menyusuri jalanan desa yang jauh dari keramaian.Mobil terus melaju hingga terlihat gerbang kokoh di depan bertuliskan."SELAMAT DATANG DI DESA KARANG ANYAR"Winarno memperlambat, laju kendaraan saat Bapak memberikan titah, berhenti sejenak!Saat mobil sudah b
Riasanya Winarno sangat ingin bertanya, akan ke mana arah jalan setapak itu menuju? Tetapi, dia sudah di beri tahu tadi oleh Bapak. ““Jangan berbicara atau bertanya sepatah kata pun jika tidak diberi titah oleh Mbah Lasiem.”Keduanya terus berjalan, jantung Winarno kembali berdegup saat tiba-tiba saja! Mbah Lasiem menghentikan langkah! Tepat di dekat sebuah dinding batu nan kokoh. Dinding itu seperti tiba-tiba saja muncul di depan mata telanjang.Terlihat dari warnanya, batu kokoh itu sudah berusia ratusan tahun. Tampak berserakan takir yang sudah mengering di antara serakkan daun-daun gugur. Sepertinya sebelumnya sudah banyak orang yang datang, bahkan mungkin ribuan.Mbah Lasiem duduk bersimpuh. Bapak tergesa membuka wadah sesaji yang sedari tadi dia bawa. Mbah Lasiem mengambil satu bungkus dupa. Bapak mematik macis tanpa titah, membuat dupa yang digenggam Mbah Lasiem terbakar. Ke
RWinarno menurut saja, dia seperti hilang kesadaran. Laksana seekor sapi yang dikeloi(cucuk tali hidungnya) menurut saja. Berulang kali dia menelan saliva saat satu demi satu helai pakaian lepas dari tubuh indah sang Ratu. Dari kemban, selendang kemudian yang terakhir kain jarik batik. Sontak membuat mata Winarno menyalang dia menatap dengan begitu bernafsunya. Nyai ratu melepaskan mahkota yang sedari tadi menghias silaukan mata! Memancarkan kilau cahaya! Kemudian Nyai Ratu meletakkan di sudut ranjang. Sementara helai kain tampak berserakan di atas permadani berwarna emas. Selang beberapa saat dia melangkah ke sudut meja, meraih satu gelas berwarna emas, lalu menuangkan isi teko. Kemudian diberikannya gelas itu pada Winarno, yang sedari tadi mematung membisu takjub. Mengamati tubuh bugil dari ujung kaki sampai ujung rambut. Betis jenjang dan jari-jari kaki nan seksi, membuat Winarno menelan saliva berulang kali, jangkungnya naik
Ketiganya keluar menampakkan diri satu per satu dari balik jerami, tepat di samping rumah Mbah Lasiem. Kemudian, masuk lewat pintu belakang seperti pada saat mereka keluar untuk berangkat tadi.Bapak dan Winarno mengikuti langkah Mbah Lasiem masuk, kemudian duduk bersila menghadap meja. Mbah Lasiem lincah memindahkan sesuatu ke dalam kain putih. Dia mengambilnya dari wadah sesaji yang memang ada di atas meja. Tampak berbagai macam bentuk ada botol-botol kecil berisikan wewangian media yang di perlukan klien.Mbah Lasiem mengulurkan sesuatu yang dibungkusnya tadi, pada Winarno, tetapi Winarno seperti masih terhipnotis, dia geming membisu dengan pandangan kosong. Hingga satu sikutan Bapak mendarat di lengannya dengan keras! Sontak membuat Winarno tersadar! Dia langsung menerima pemberian Mbah Lasiem. Wajah Winarno terlihat begitu lelah, bibirnya pucat, mungkin dia masih merasakan efek keperkasaannya tadi."He he! Hehehehe! Sep
Bab 07 Ambisi Winarno meluaskan senyum sempurna, dia terlihat begitu berambisi kini. "Gak, Pak. Karyo namanya." Bapak mangut-mangut seraya memainkan janggutnya yang panjang menjuntai lancip, mirip janggut kambing saja sekilas dilihat. Sementara itu Kang Karyo mengemasi dagangannya yang tersisa karena hari sudah beranjak siang. Pasar tradisional pun sudah sepi pengunjung. Terlihat Kang Karyo sangat bahagia walau gurat lelah tersirat jelas, hasilnya hari ini lumayan banyak ditambah lagi dengan rezeki nomplok tadi. Kang Karyo menghentikan motor di sebuah kedai bakso terlihat begitu ramai. Aroma kaldu kuahnya membuat perut yang keroncongan memberontak menjerit! "Mas, baksonya satu mangkuk!" pinta Kang Karyo pada seorang pelayan yang melintasinya, seraya menjatuhkan pantat di kursi. Dia duduk di antara ramainya pengunjung lainnya. Setela
Bab 08 PulangSetelah menunaikan ibadah Salat Subuh Winarno langsung ke dapur. Suara kedua orang tuanya sudah terdengar sejak tadi bercakap-cakap. Setibanya Winarno menarik kursi bergabung duduk dengan Bapak, kemudian Winarno meraih segelas kopi panas dari Ibu. "Buk, saya pulang hari ini sudah boleh, kan?" tanya Winarno."Iya--- setelah selesai berangkatlah." Bapak menyerobot jawab sekenanya."Kok, main iya saja tho, Pak? Kasih wejangan situ dulu anakmu! Bagaimana ke depannya!’ Ibu menyambar sengit.Sejenak Bapak menghentikan aktivitas merokok. "Hemm, begini Win. Ada baiknya jika istri dan anakmu ajak saja pindah segera ke toko Bapak sana. Cepatlah memulai bisnis lagi!" tegas Bapak.Winarno langsung tertegun mendengar, lalu dia menenggak kopinya hingga tandas. Sepertinya ada unek-unek menganjal dalam batinnya. “Terus modalnya, bagaimana, Pak?" Winarno gamang."Sudah, yang penting kamu
Bab 9 Bercumbu Rahayu terlihat gelisah dia tidak tenang, petir menyambar bersahutan di tambah lagi hujan mulai turun dengan derasnya. Berulang kali membuatnya kembali mengintip, lewat celah jendela. Namun, belum juga ada tanda-tanda kedatangan Winarno."Sudah-sudah, ayo pergi tidur sana! Ini sudah larut malam, Nak." Rahayu menghardik agar anaknya menghentikan aktivitas menonton televisi, karena Winarno tidak kunjung tiba."Ayah, ke mana, Bunda?" Pertanyaan polos dari buah hatinya membuat Rahayu kembali bangkit dan mengintip lewat celah jendela."Ke rumah Eyang, tadi. Tapi----" Rahayu kembali terkejut, mendengar suara petir menggelegar."Kok, sekarang Ayah sering ke rumah, Eyang?" Pertanyaan polos itu bukan tanpa alasan. Dalam beberapa Minggu terakhir ini, Winarno pergi pagi dan akan tiba sore, bahkan kadang larut malam.Rahayu tidak menanggapi pertanyaan lugu anaknya."Sepertinya Ayah, tida
Bab 10 Geger di Desa WonosariTidak terasa sudah dua pekan kedatangan Winarno dan Bapak dari rumah Mbah Lasiem. Semua syarat sudah dilaksanakan, termasuk pulang larut saat malam Jumat dan membuat kamar khusus di toko, yang akan menjadi hunian keluarga kecil Winarno nantinya.***Sementara itu kondisi kesehatan Kang Karyo, dalam beberapa hari, terus menurun. Bahkan memburuk. Desas-desus beredar dia dijadikan tumbal oleh pemilik warung bakso di area Wonosari, yang begitu tersohor sangat ramai pelanggan. Maklum orang desa masih saja percaya hal mistis dan mengait-ngaitkan!Bukan tanpa dasar, karena sebelum makan di tempat itu, kondisi kesehatan Kang Karyo baik-baik saja. Setelahnya, keanehan terjadi. Hari demi hari kian memburuk, pria itu sekarang hanya bisa tiduran menjadi kembang ranjang."Duh, Gusti! To ... tolong, suamiku!" Suara teriakan lantang berulang terdengar dari dalam rumah sederhana milik Kang Karyo."Ada