Beranda / Thriller / BARTER PENGABDI SETAN / Bab 02 Batin Gamang

Share

Bab 02 Batin Gamang

Sepulang dari Musala Winarno sudah disambut dengan aroma harum, kepulan asap kopi panas. Menguar memenuhi rumah ukuran sempit. Dia  langsung duduk bersila di atas tikar plastik di depan televisi, menikmati secangkir kopi seraya mengisap  sebatang rokok dari celah jemarinya.

Badan terasa remuk. Lelah jelas, iya. Pekerjaan seperti itu tidak pernah dilakoni saat masih bujang, saat dirinya masih menyandang nama besar Haji Karsan. Rasanya begitu berat menjalani kehidupan.

"Kamu jangan coba-coba membuat malu keluarga Haji Karsan, Win! Cepatlah temui Mbah Lasiem!" 

Kuping terasa hangat bahkan menebal. Perkataan Ibu kembali mendengung, membuat Winarno berulang mendesis!

Ibu memberikan saran demi kebahagiaan Winarno juga anak istrinya. Winarno terlihat  gusar. Menangkup tangan di wajah dengan kasar,  sesat  kemudian beranjak. Winarno mengambil seragam kerja di tali jemuran emperan. 

Setelah  sarapan, Rahayu memberikan satu rantang bekal yang berada di atas meja.

Hari ini Winarno akan kembali bekerja di sawah milik Haji Sukardi. Seorang teman sesama buruh sudah menunggunya.

Tidak terasa sudah sore, Haji Sukardi memberikan upah. Tidak seberapa.

****

Winarno masuk kamar, Rahayu sudah menunggu kedatangannya. Keduanya saling bertukar kasih, di bawah temaram remang malam.

Malam kian larut, tetapi mata Winarno enggan untuk terpejam. Begitu pula pikirannya, melayang jauh. Indra pendengaran kembali terngiang akan ucapan Ibu.

"Banyak pilihan, kok. Ayolah secepatnya! Atau kamu akan miskin selamanya! Tidak ada alasan lagi, Win!"

Berbagai pertimbangan sudah pikirkan oleh Winarno, dengan matang juga risikonya. 

Sementara Rahayu sudah terlelap sejak tadi. Mungkin dia  lelah, setelah melayani kebutuhan biologis suaminya. 

Keesokan harinya Winarno  berpamitan akan pergi ke rumah Ibunya.

"Lho, Mas. Kan, aku sudah lama tidak bertemu dengan Ibu dan Bapak. Kok, tidak boleh?" Rahayu protes saat tidak di izinkan ikut serta.

"Sudahlah Rah,  Mas, saja. Lagian aku ingin menginap beberapa hari. Kan, anak-anak selalu rewel jika di ajak tidur di sana. Yakin, masih mau ikut?"

Sejenak wanita ayu tanpa polesan make-up  geming, bibirnya ingin berkata, tetapi lidahnya kelu.  Kembali mengingat kejadian saat anaknya masih bayi. Tangis histeris itu masih mendengung tidak lekang dari indra pendengaran. Padahal kejadian itu sudah lumayan lama.

****

"Mas, bagaimana anak kita! Ini tidak wajar!" Rahayu benar-benar panik.

"Terus mau bagaimana? Kata Ibu kan, tadi sudah biasa bayi rewel seperti ini." Winarno terkesan acuh.

"Kamu ini gak punya perasaan, Mas!"

Dada Rahayu bergetar hebat dengan napas memburu, jemari tangannya  gemetar  saat  mengetik pesan mengabarkan pada orang tuanya yang berdomisili di desa sebelah.

Batin Rahayu  janggal,  mertuanya acuh. Beberapa saat kemudian Rahayu sudah  dijemput. “Demi nyawa anaknya.” Begitu penjelasan yang di terima Rahayu dulu.

Semenjak saat itu Rahayu  dan anak-anak tidak pernah sekalipun tidur di rumah mertuanya. Atau sekedar bertandang sebagai tamu.

Winarno tidak pernah sama sekali mempermasalahkan. Winarno tahu dibalik diamnya. Bukan tanpa alasan, setahun yang lalu setelah Rahayu diboyong. Justru keponakannya mengalami hal yang sama.

Tidak butuh waktu lama, keesokan harinya bayi mungil  anak pertama  Kakak kandung Winarno meregang nyawa, dengan kondisi fisik penuh lebam.

"Bagaimana jika kamu mengungsi, tidur di rumah Mbak Yuni saja, Dek Rah?" Winarno meminta istrinya tidur di rumah tetangganya.

"Ah, gak lah, Mas. Malu sama suaminya gegara aku mereka tidur pisah ranjang."

"Cuma beberapa malam, lho, Dek! Sungkanmu kok, gak hilang-hilang!"

"Kalau hilang ya, saya sudah bukan Rahayu lagi, dong!"

"Yakin, berani? Ini malam apa, coba?”

Malam Kamis, Mas. Emang aku gak ingat? Besok malam Jumat!”

"Ya, sudahlah. Alhamdulillah jika berani."

Keduanya spontan tertawa renyah, saat Rahayu mendarat cubitan kecil di bawah pusar suaminya. Winarno memeluk tubuh wanitanya, pujian diberikan atas keberanian. Bukan tanpa alasan besok  malam Jumat Kliwon bertepatan dengan bulan Suro bulan sakral masyarakat Jawa. Apalagi desanya terkenal warganya banyak yang mempunyai walean( pesugihan).

Setelah berpamitan. Winarno kembali mengambil gelas kopi masih  setengah, dia mengecapnya hingga menyisakan cethe. 

Kemudian, Winarno pergi mengendarai motor menuju rumah orang tuanya. Letaknya hanya beberapa kilo meter. Lebih tepatnya berbeda desa. Sesampainya di sana dirinya disambut pelukan oleh Ibu dan Bapak. Sepertinya kedua pasangan senja itu begitu merindukan anaknya.

Mata cekung Bapak menatap iba penampilan Winarno pun Ibu melakukan hal yang sama. Winarno menjatuhkan diri kasar di atas sofa empuk. Dia menangkup wajah dengan dua tangan. Napasnya terasa begitu berat untuk mengutarakan  niat kedatangannya.

"Bagaimana kabar anak-anak, Win?" Ibu bertanya memecah keheningan.

"Ba--ik, Bu. Pun Rahayu," jelas Winarno.

"Ibu tidak menanyakan, perihal perempuan itu!"

"Buk! Sampean  ini bicara apa, sih?" 

Bapak terlihat protes atas ucapan. Tidak seharusnya sebagai orang tua berkata begitu. Entah mengapa perempuan senja itu begitu membenci anak menantunya.

"Kenapa, Ibu tetap saja membenci istriku," lirih noktah  suara Winarno. Dia takut jika perkataannya melukai hati perempuan yang begitu banyak berkorban materi untuknya.

Kebencian itu bukan tanpa sebab. Dulu wanita salihah itu menolak melanjutkan ritual wajib, saat Ibu memberikan titah, sesaat setelah menikah.

 Ritual itu adalah kewajiban, bagi anggota baru keluarga Haji Karsan yang tersohor akan kekayaannya. Tidak bakal habis di nikmati hingga tujuh turunan.

Apalagi saat kembali akan diberi modal. Rahayu malah menolak keras. Mungkin itu yang membuat hati Ibu terluka, karena Rahayu lah, Winarno menderita.

Satu tepukan tidak begitu keras mendarat di bahu Winarno. Sontak membuatnya menatap  sempurna kedua orang tuanya.

"Bagaimana, Win? Apa istrimu sudah mau, melakukan---?"

Winarno menarik napas dalam-dalam. Menjelaskan bahwa dirinya tidak berani mengajak Rahayu lagi. Dengan wajah tertunduk  menjelaskan, Bapak kembali menepuk pundak Winarno, membuat wajahnya mendongak.

"Akan tetapi, kamu mau, kan?" Terlihat bapak mengerling menatap pasangan hidupnya.

 Namun, Winarno belum memberikan jawaban dia geming membuat jantung orang tuanya mengepos. Winarno kembali menarik napas panjang menetralisir gejolak batinnya. Lidah kelu itu mulai berani merangkai kata. 

"I---iya, saya mau melanjutkan perjanjian keluarga kita!" Lantang jawaban Winarno membuat keduanya orang tua itu terkekeh lepas. 

Kekeh tawa itu menggelegar memekik indra pendengaran. Menggema di langit plafon rumah mewah berlantai dua. Bangga jelas tersirat di wajah keriput  kedua pasangan senja yang setiap tahun bertandang ke Madinah.

"Siapkan saratnya, Buk. Malam ini aku membawa anakmu ke rumah Mbah Lasiem!" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status