Keesokan harinya, Ibu terlihat begitu antusias. Bapak menerima uluran wadah dibungkus taplak meja motif batik dari Ibu. Wadah itu berisi sesaji. Syaratnya wajib jika bertandang ke rumah Mbah Lasiem.
Terdiri dari kemenyan, dupa, kembang setaman, rokok, gula, air mineral dan masih banyak lagi yang lainnya.
Winarno sudah berada dalam mobil, Bapak tergopoh keluar, lalu bergegas masuk duduk di samping kemudi. Tidak menunggu titah, Winarno memacu mobil menembus kemacetan jalanan Kota Surabaya. Mereka akan ke luar kota.
Embusan angin sepoi-sepoi saat mobil keluar dari keramaian jalanan kota. Sepanjang menyusuri jalanan desa yang jauh dari keramaian.
Mobil terus melaju hingga terlihat gerbang kokoh di depan bertuliskan.
"SELAMAT DATANG DI DESA KARANG ANYAR"
Winarno memperlambat, laju kendaraan saat Bapak memberikan titah, berhenti sejenak!
Saat mobil sudah berhenti, Bapak keluar. Dia mengambil satu buah takir(wadah dari daun pisang) berisikan beberapa warna bunga.
Kemudian, dia duduk bersila di atas rerumputan. Tepat di bawah gerbang desa. Tidak lama, setelah komat-kamit Bapak kembali masuk mobil.
Winarno menarik napas panjang dia terlihat tegang. Berbeda dengan Bapak visual semringah tersirat menghias wajah tua. Sebentar lagi mereka akan sampai tujuan!
Mobil mewah putih keluaran terbaru itu berhenti, di halaman sebuah rumah. Terlihat paling mentereng di antara rumah penduduk di desa itu. Hilir mudik kendaraan bermotor melewati jalanan depan rumah tersebut.
Bapak antusias turun dari mobil sembari membawa tentengan. Seorang perempuan renta memegang tongkat sudah menyambut di depan pintu. Senyum tersungging di bibir merah karena susur(kinang) dia memamerkan deretan giginya yang hitam kecokelatan. Kekeh tawa khasnya melengking.
Saat Bapak dan Winarno segera mendekat. Perempuan tua menyapa dengan ramahnya.
"Oalah, Kaji Karsan!" Kembali dia memperdengarkan kekeh tawa khasnya, seraya menepuk lengan Bapak. Bola matanya menatap tajam. Terkesan misterius membuat bulu kuduk Winarno bergidik.
"Ngeh niki kulo Mbah, Kaji Karsan. Saya kira Mbah Lasiem sudah lupa?" Bapak mencairkan suasana dengan logat khas Jawanya yang begitu kental.
Mbah Lasiem kembali terkekeh. "Mana mungkin, saya lupa sama kamu!" sambarnya seraya kembali menepuk lengan bapak berulang, membuat Bapak meringis.
Sesaat kemudian Mbah Lasiem mengekeh lagi. Mata elangnya menatap tajam wajah tampan Winarno. Sontak membuat jantung Winarno berdegup. Dia merasa akan ditenjangi kemudian dimangsa hidup-hidup.
Bapak meraih pucuk jemari tangan Mbah Lasiem dan menciumnya. “Mbah, perkenalkan ini anak saya.” Bapak berkata setelah melepaskan salimnya, seraya menunjuk jempol.
Tanpa menunggu titah, cekatan Winarno meraih, kemudian mencium takzim punggung tangan Mbah Lasiem. Sama seperti yang bapak lakukan. Tidak mengangkat kepalanya hingga jemari perempuan tua itu mengusap rambutnya.
Keduanya dipersilahkan masuk. Mata Winarno menyalang menatap penuh selidik sudut tiap-tiap ruangan. Udara rumah itu terasa lembab dan hening hawanya dingin menjamah menyapa kulit.
Lantai keramik putih pun tampak berdebu. Begitu juga dengan satu set tempat duduk berbahan kayu jati. Debunya tampak tebal sepertinya tidak pernah sekalipun diduduki. Sarang laba-laba menghias langit rumah, menambah ketakutan di hati Winarno.
Sepertinya Mbah Lasiem tinggal seorang diri. Sekarang semuanya sudah duduk bersila di lantai tanpa alas tikar di bilik khusus. Aromanya begitu pekat menyengat indra penciuman. Khas wangian dupa dan kemenyan mendominasi.
Mbah Lasiem mengenakan kebaya hitam kombinasi tapih batik. Rambutnya yang putih sempurna digelung tusuk konde, berhias kembang melati. Dia antusias menanyakan perihal maksud kedatangan Bapak lagi.
Bapak mendekatkan wajahnya di samping cuping telinga Mbah Lasiem. Beliau memberi tahu tujuannya, tetapi dengan nada berbisik. Lirih hingga tidak terdengar sedikit pun, bahkan Winarno.
Setelah Bapak berbisik Mbah Lasiem menganggukkan kepalanya. Cekatan Mbah Lasiem memeriksa wadah terbungkus taplak meja batik yang diulurkan oleh Bapak. Kemudian Mbah Lasiem berdiri lalu beranjak. Kembali membuat mata Winarno menyalang.
"Kenapa kamu ini, Win? Tegang sekali wajahmu." Bapak protes.
Winarno hanya mematung dalam kebisuan. Dia seperti berada di tempat uji nyali. Benar-benar pengalaman yang cukup memacu adrenalinnya.
Selang beberapa saat kemudian, Mbah Lasiem kembali dengan membawa bara api di atas wadah tanah liat. Kemudian di taruhannya di atas meja kayu tepat berada di hadapan Bapak dan Winarno.
Mata Winarno enggan berkedip walau sedetik. Sementara bapak tampak enjoy. Asap mengepul sesaat setelah Mbah Lasiem menabur serbuk kemenyan di atas bara api yang kian menyala memerah darah. Menjilati rakus serbuk magis itu.
Mbah Lasiem meraih satu bungkus dupa dari wadah bawaan Bapak, kemudian menyalakannya. Sesaat setelah itu mengangkat tinggi sejajar kepala. Mulutnya komat-kamit sesekali matanya mendelik menatap wajah tampan Winarno penuh telisik. Entah apa yang ada dalam benak perempuan tua itu.
Japu Mantra kejawen lirih keluar dari bibir Mbah Lasiem. “Hom wilaheng, hom wilaheng!” Berulang dia membacanya.
Begitu sakral hingga seakan membawa raga Bapak dan Winarno pergi ke alam berbeda. Bapak mencuri pandang pada Winarno dia tahu bahwa anaknya sedang bergelut dengan iman-Nya.
"Pak—“ Suara Winarno lirih. Sepertinya dia kaget saat melihat dua kornea mata Mbah Lasiem mendelik membulat berubah putih bersih. Menatap tajam padanya.
Bapak geming, kemudian memberi isyarat dengan satu telunjuk. Sontak membuat Winarno mengunci rapat mulutnya. Tiba-tiba saja tubuh Mbah Lasiem seperti dibentur oleh sesuatu. Sekelebat bayangan hitam tadi berusaha masuk ke dalam raga Mbah Lasiem, tanpa terlihat oleh mata telanjang.
Japu Mantra terus dia rapal walau dengan tubuh bergetar. Jemari Mbah Lasiem masih menangkup tinggi sejajar kepala. Dupa tampak tinggal separuh. Pemandangan itu Membuat jantung Winarno seakan-akan sudah tidak ada lagi tergantung dalam dadanya.
Tubuh renta Mbah Lasiem tersentak! Asap hitam yang menyerupai sosok makhluk, sudah masuk ke dalam raga sepenuhnya. Sontak membuat bola matanya mendelik, tampak kornea matanya berubah warna, kian merah menyerupai warna darah. Selang beberapa saat kemudian Mbah Lasiem berdiri. Tanpa titah bapak mengikuti langkahnya ke luar. Winarno spontan mengikuti.
Keduanya berjalan beriringan, tepat di belakang Mbah Lasiem. Sepanjang jalan berhamburan dedaunan kering. Kicau burung bersahutan, udaranya sejuk. Sepertinya mereka kembali ke dunia nyata.
Riasanya Winarno sangat ingin bertanya, akan ke mana arah jalan setapak itu menuju? Tetapi, dia sudah di beri tahu tadi oleh Bapak. ““Jangan berbicara atau bertanya sepatah kata pun jika tidak diberi titah oleh Mbah Lasiem.”Keduanya terus berjalan, jantung Winarno kembali berdegup saat tiba-tiba saja! Mbah Lasiem menghentikan langkah! Tepat di dekat sebuah dinding batu nan kokoh. Dinding itu seperti tiba-tiba saja muncul di depan mata telanjang.Terlihat dari warnanya, batu kokoh itu sudah berusia ratusan tahun. Tampak berserakan takir yang sudah mengering di antara serakkan daun-daun gugur. Sepertinya sebelumnya sudah banyak orang yang datang, bahkan mungkin ribuan.Mbah Lasiem duduk bersimpuh. Bapak tergesa membuka wadah sesaji yang sedari tadi dia bawa. Mbah Lasiem mengambil satu bungkus dupa. Bapak mematik macis tanpa titah, membuat dupa yang digenggam Mbah Lasiem terbakar. Ke
RWinarno menurut saja, dia seperti hilang kesadaran. Laksana seekor sapi yang dikeloi(cucuk tali hidungnya) menurut saja. Berulang kali dia menelan saliva saat satu demi satu helai pakaian lepas dari tubuh indah sang Ratu. Dari kemban, selendang kemudian yang terakhir kain jarik batik. Sontak membuat mata Winarno menyalang dia menatap dengan begitu bernafsunya. Nyai ratu melepaskan mahkota yang sedari tadi menghias silaukan mata! Memancarkan kilau cahaya! Kemudian Nyai Ratu meletakkan di sudut ranjang. Sementara helai kain tampak berserakan di atas permadani berwarna emas. Selang beberapa saat dia melangkah ke sudut meja, meraih satu gelas berwarna emas, lalu menuangkan isi teko. Kemudian diberikannya gelas itu pada Winarno, yang sedari tadi mematung membisu takjub. Mengamati tubuh bugil dari ujung kaki sampai ujung rambut. Betis jenjang dan jari-jari kaki nan seksi, membuat Winarno menelan saliva berulang kali, jangkungnya naik
Ketiganya keluar menampakkan diri satu per satu dari balik jerami, tepat di samping rumah Mbah Lasiem. Kemudian, masuk lewat pintu belakang seperti pada saat mereka keluar untuk berangkat tadi.Bapak dan Winarno mengikuti langkah Mbah Lasiem masuk, kemudian duduk bersila menghadap meja. Mbah Lasiem lincah memindahkan sesuatu ke dalam kain putih. Dia mengambilnya dari wadah sesaji yang memang ada di atas meja. Tampak berbagai macam bentuk ada botol-botol kecil berisikan wewangian media yang di perlukan klien.Mbah Lasiem mengulurkan sesuatu yang dibungkusnya tadi, pada Winarno, tetapi Winarno seperti masih terhipnotis, dia geming membisu dengan pandangan kosong. Hingga satu sikutan Bapak mendarat di lengannya dengan keras! Sontak membuat Winarno tersadar! Dia langsung menerima pemberian Mbah Lasiem. Wajah Winarno terlihat begitu lelah, bibirnya pucat, mungkin dia masih merasakan efek keperkasaannya tadi."He he! Hehehehe! Sep
Bab 07 Ambisi Winarno meluaskan senyum sempurna, dia terlihat begitu berambisi kini. "Gak, Pak. Karyo namanya." Bapak mangut-mangut seraya memainkan janggutnya yang panjang menjuntai lancip, mirip janggut kambing saja sekilas dilihat. Sementara itu Kang Karyo mengemasi dagangannya yang tersisa karena hari sudah beranjak siang. Pasar tradisional pun sudah sepi pengunjung. Terlihat Kang Karyo sangat bahagia walau gurat lelah tersirat jelas, hasilnya hari ini lumayan banyak ditambah lagi dengan rezeki nomplok tadi. Kang Karyo menghentikan motor di sebuah kedai bakso terlihat begitu ramai. Aroma kaldu kuahnya membuat perut yang keroncongan memberontak menjerit! "Mas, baksonya satu mangkuk!" pinta Kang Karyo pada seorang pelayan yang melintasinya, seraya menjatuhkan pantat di kursi. Dia duduk di antara ramainya pengunjung lainnya. Setela
Bab 08 PulangSetelah menunaikan ibadah Salat Subuh Winarno langsung ke dapur. Suara kedua orang tuanya sudah terdengar sejak tadi bercakap-cakap. Setibanya Winarno menarik kursi bergabung duduk dengan Bapak, kemudian Winarno meraih segelas kopi panas dari Ibu. "Buk, saya pulang hari ini sudah boleh, kan?" tanya Winarno."Iya--- setelah selesai berangkatlah." Bapak menyerobot jawab sekenanya."Kok, main iya saja tho, Pak? Kasih wejangan situ dulu anakmu! Bagaimana ke depannya!’ Ibu menyambar sengit.Sejenak Bapak menghentikan aktivitas merokok. "Hemm, begini Win. Ada baiknya jika istri dan anakmu ajak saja pindah segera ke toko Bapak sana. Cepatlah memulai bisnis lagi!" tegas Bapak.Winarno langsung tertegun mendengar, lalu dia menenggak kopinya hingga tandas. Sepertinya ada unek-unek menganjal dalam batinnya. “Terus modalnya, bagaimana, Pak?" Winarno gamang."Sudah, yang penting kamu
Bab 9 Bercumbu Rahayu terlihat gelisah dia tidak tenang, petir menyambar bersahutan di tambah lagi hujan mulai turun dengan derasnya. Berulang kali membuatnya kembali mengintip, lewat celah jendela. Namun, belum juga ada tanda-tanda kedatangan Winarno."Sudah-sudah, ayo pergi tidur sana! Ini sudah larut malam, Nak." Rahayu menghardik agar anaknya menghentikan aktivitas menonton televisi, karena Winarno tidak kunjung tiba."Ayah, ke mana, Bunda?" Pertanyaan polos dari buah hatinya membuat Rahayu kembali bangkit dan mengintip lewat celah jendela."Ke rumah Eyang, tadi. Tapi----" Rahayu kembali terkejut, mendengar suara petir menggelegar."Kok, sekarang Ayah sering ke rumah, Eyang?" Pertanyaan polos itu bukan tanpa alasan. Dalam beberapa Minggu terakhir ini, Winarno pergi pagi dan akan tiba sore, bahkan kadang larut malam.Rahayu tidak menanggapi pertanyaan lugu anaknya."Sepertinya Ayah, tida
Bab 10 Geger di Desa WonosariTidak terasa sudah dua pekan kedatangan Winarno dan Bapak dari rumah Mbah Lasiem. Semua syarat sudah dilaksanakan, termasuk pulang larut saat malam Jumat dan membuat kamar khusus di toko, yang akan menjadi hunian keluarga kecil Winarno nantinya.***Sementara itu kondisi kesehatan Kang Karyo, dalam beberapa hari, terus menurun. Bahkan memburuk. Desas-desus beredar dia dijadikan tumbal oleh pemilik warung bakso di area Wonosari, yang begitu tersohor sangat ramai pelanggan. Maklum orang desa masih saja percaya hal mistis dan mengait-ngaitkan!Bukan tanpa dasar, karena sebelum makan di tempat itu, kondisi kesehatan Kang Karyo baik-baik saja. Setelahnya, keanehan terjadi. Hari demi hari kian memburuk, pria itu sekarang hanya bisa tiduran menjadi kembang ranjang."Duh, Gusti! To ... tolong, suamiku!" Suara teriakan lantang berulang terdengar dari dalam rumah sederhana milik Kang Karyo."Ada
Bab 11 Akhirnya Tewas"Innalilahi wa innailaihi rojiun! Kang Karyo!" Dirman menjerit dia tidak tega menyaksikan kondisi terakhir saudaranya. Teriakannya terdengar oleh Mbak Mar, perempuan itu langsung berhambur masuk kamar.Beberapa orang pria mencegahnya di depan pintu, agar tidak syok melihat kondisi orang tercintanya. Namun, kekuatan Mbak Mar mampu menerobos masuk."Gusti ...!" jerit Mbak Mar. Selang beberapa menit kemudian, dia terkulai, jatuh. Cekatan salah satu kolega mengevakuasi menjauhi kamar.Cak Badrun langsung menengadah jemari. Dia membaca beberapa doa islami berulang. Selang beberapa waktu dia meniupkan asap putih dari dalam rongga mulutnya. Kemudian Cak Badrun mengusap kasar area wajah jasad Kang Karyo, seraya berkata. Berkat, ”Sedulur papat limo pancer, Karyo. Hufff!”Keajaiban terjadi, mata jenazah yang mendelik dengan lidah menjulur, seperti sedang menahan sakit akibat cekikikan itu kembali semula. Kang Karyo t