Bab 07 Ambisi
Winarno meluaskan senyum sempurna, dia terlihat begitu berambisi kini. "Gak, Pak. Karyo namanya."
Bapak mangut-mangut seraya memainkan janggutnya yang panjang menjuntai lancip, mirip janggut kambing saja sekilas dilihat.
Sementara itu Kang Karyo mengemasi dagangannya yang tersisa karena hari sudah beranjak siang. Pasar tradisional pun sudah sepi pengunjung. Terlihat Kang Karyo sangat bahagia walau gurat lelah tersirat jelas, hasilnya hari ini lumayan banyak ditambah lagi dengan rezeki nomplok tadi.
Kang Karyo menghentikan motor di sebuah kedai bakso terlihat begitu ramai. Aroma kaldu kuahnya membuat perut yang keroncongan memberontak menjerit!
"Mas, baksonya satu mangkuk!" pinta Kang Karyo pada seorang pelayan yang melintasinya, seraya menjatuhkan pantat di kursi. Dia duduk di antara ramainya pengunjung lainnya.
Setelah selesai makan, Kang Karyo segera membayar menggunakan lembaran uang merah. Kemudian, Kang Karyo kembali melanjutkan perjalanan pulang di desa sebelah rumahnya, perutnya terasa penuh membuat semangat pulih.
******
Mobil melaju kencang, kini sudah memasuki jalur bebas hambatan, Kota Surabaya. Sebentar lagi mereka akan sampai rumah.
Winarno membunyikan klakson berulang. Seorang perempuan mengenakan kupluk rajutan benang wol hitam, dengan setelan daster batik tampak tergopoh keluar. Kemudian dengan cekatan mendorong pintu gerbang pagar. Mobil keluaran terbaru milik Haji Karsan langsung masuk dan parkir dalam garasi.
"Langsung tutup saja, Bu. Gembok sekalian!" Bapak memberikan titah sesat setelah keluar dari dalam mobil.
Ibu buru-buru menutup kembali pintu gerbang, melaksanakan titah Bapak. Ketiganya langsung masuk ke rumah.
Bapak langsung berbincang dengan Ibu di ruang keluarga dengan mimik wajah serius. Sementara Winarno langsung melengos ke dalam kamar.
Setelah cukup lama dalam kamar, Winarno keluar dengan handuk yang tersampir di bahunya. Kemudian, dia langsung bergegas menuju kamar mandi yang letaknya di area dapur.
Selang beberapa saat kemudian, terlihat Winarno berjalan keluar. Hanya mengenakan handuk kuning, melilit separuh area vitalnya. Dada bidangnya dibiarkan telanjang memamerkan deretan bulu halus nun menggoda hasrat. Namun, seketika langkahnya terhenti. "Win, Kamu jangan pulang dulu!" tegur Bapak saat Winarno melintas.
"Iya, jika itu titah, Bapak." Kemudian, Winarno melenggang masuk ke dalam kamar seraya mengibas rambut basahnya, ke depan dan belakang berulang kali menggunakan kedua tangan.
Saat sedang mengenakan pakaian di depan cermin. Winarno terperanjat!
"Aduh, Gusti!" jeritnya, Winarno tadi melihat sosok hitam tinggi besar tepat di belakangnya, sekelebat tertangkap pantulan cermin. Namun, saat Winarno menoleh tidak tampak apa pun, membuat jantungnya serasa nyaris lepas dari tempatnya!
"Hufff, sialan! Kirain nyata tadi!" Winarno merutuk. sambil memegangi dada.
Malam kian larut, Bapak sudah berada dalam kamar khusus yang terletak di lantai dua. Tidak sembarang kolega bisa berada di area itu. Hanya Haji Karsan dan istrinya saja yang bisa menjejakkan kaki. Selama berpuluh tahun lamanya aturan itu berlaku.
Tirai jendela putih melayang terbang dipermainkan angin. Bapak duduk bersila di lantai kamar tersebut, ditemani remang cahaya lilin membuat penglihatan sangat terbatas, hanya samar.
Karpet hijau itu sudah ter gelar sejak lama. Tampak deretan sesaji sudah ada di atasnya. Beraneka rupa ada buah pisang, apel, kopi dan bunga tiga rupa dalam satu canang diletakkan di atas ancak kecil. Satu yang paling mencolok perhatian, ingkung ayam cemani hitam polos di atas ancak(wadah yang terbuat dari bahan bambu kombinasi pelepah pisang) berukuran jumbo, lengkap dengan nasi kuning dan nasi ketan hitam, berada dalam satu ancak.
Bapak komat-kamit, sesaat kemudian dia menyalakan dupa dan menyelipkannya di atas ancak, wadah aneka sesaji yang berisikan buah. Tidak lama setelahnya Bapak memberi sujud hormat, menangkup tangan depan dada sejajar dagu seraya berjalan mundur dengan posisi jongkok. Sesaat lalu bangkit dan berdiri, saat sudah berada di luar. Bapak langsung menutup rapat-rapat pintu dan segera meninggalkan tempat itu di lantai dua.
Malam kian larut, sekelebat bayangan hitam masuk menembus dinding celah jendela kaca, setelah Bapak meninggalkan lantai dua tadi. Asap hitam itu samar terlihat menyerupai bentuk tubuh manusia, tapi berbentuk halimun, perlahan benar-benar menyerupai manusia, tetapi berkali lipat tinggi besar ukuran tubuhnya.
Dari cahaya temaram lilin, bayangan tubuh itu begitu jelas terlihat. Tangannya terlihat sedang mengangkat ingkung ayam cemani, lalu melahapnya dengan rakus. Suara onomatope kecapannya menggema di langit kamar, dengan penerangan kian minim. Setelah itu, kemudian lanjut buah-buahan di masukannya semua dalam mulut dengan begitu rakusnya, hingga tidak tersisa.
*******
"Rah, Dek. Rah ....” Winarno berbisik.
"Lho, Mas, Kok?" Rahayu melirik kedua anaknya yang tidur dengan pulasnya meringkuk di balik selimut. Mungkin karena hujan rintik-rintik membuat hawanya terasa begitu dingin. Membuat nyaman tidur dalam buai mimpi.
"Hussszzzt." Satu telunjuk Winarno menempel di bibir tipis milik istrinya. Membuat Rahayu seketika membisu, patuh.
"Jangan di sini, Mas." Suara Rahayu membisik seraya merangkul leher kekar Winarno dengan mata mengerling menahan kantuk.
Winarno membopong tubuh Rahayu, sangat romantis, masuk ke dalam kamar, tepat peraduan mereka saat beradu kasih seperti biasanya. Selama ditinggal pergi, Rahayu memilih tidur bersama anaknya.
Mata Rahayu begitu dikuasai kantuk yang teramat sangat, berulang dia mencoba membuka mata, tetapi tidak kuasa. Dengan rakusnya Winarno menikmati keindahan tubuh istrinya, perpisahan yang hanya beberapa hari sudah membuat libido seksnya meledak-ledak hingga ubun-ubun. Deru nafasnya memburu meredam nafsu yang teramat.
Rahayu membiarkan tubuhnya dipermainkan sesuka hati oleh suaminya. Antara sadar dan tidak Rahayu mulai menikmati, seraya menahan kantuk kian teramat sangat. Kebuasan Winarno membuat Rahayu menggelinjang, mendesah lirih walau dalam pengaruh kantuk.
Hingga akhirnya pujian lirih keluar dari bibir tipis Rahayu dengan mata yang masih enggan terbuka. "Mas, ini serius dirimu? Liar banget sih, tapi aku suka. Rasanya seperti saat kita malam pertama, dulu.” Jemari Rahayu mengusap lembut punggung Winarno yang dipenuhi bulu halus nun rapi. Membuat Winarno menyeringai.
Winarno tidak menjawab, sejak tadi dia lebih suka menunjukkan aksi dalam diam. Cekatan Winarno mengenakan pakaian kembali, satu per satu, setelah puas menyalurkan hasrat birahinya.
Sementara Rahayu sudah kembali tertidur dengan pulasnya, terbuai dalam mimpi semula, masih dengan kondisi berantakan, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh indahnya.
Kokok ayam jago bersahutan, melenyapkan kantuk di mata Rahayu. Wanita berparas ayu itu terjaga, tetapi dia kaget bukan kepalang! Karena dirinya sudah berpindah tempat tidur! Rahayu tampak celingak-celinguk saat menyadari. Cekatan dia langsung menarik selimut guna menutupi tubuh polosnya.
'Lho, kok. Mimpiku semalam nyata.' Rahayu membatin. Cekatan dia mengenakan pakaian.
Kemudian, secepatnya dia bangkit. Langsung berjalan menuju kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Rahayu segera mandi besar. Akan tetapi, dalam hatinya masih saja bertanya-tanya. ‘Kenapa mimpiku menjadi nyata?’
Jantung Rahayu berdesir hebat saat jemarinya membersihkan area sensitif miliknya, jantungnya serasa bermanuver.
'Lah, kok, kenapa bisa ada beneran? Cairan kentalnya?' Batin Rahayu mengganjal. Namun, dia coba menghempas pikiran yang aneh-aneh.
Bab 07 Ambisi
Winarno meluaskan senyum sempurna, dia terlihat begitu berambisi kini. "Gak, Pak. Karyo namanya."Bapak mangut-mangut seraya memainkan janggutnya yang panjang menjuntai lancip, mirip janggut kambing saja sekilas dilihat.
Sementara itu Kang Karyo mengemasi dagangannya yang tersisa karena hari sudah beranjak siang. Pasar tradisional pun sudah sepi pengunjung. Terlihat Kang Karyo sangat bahagia walau gurat lelah tersirat jelas, hasilnya hari ini lumayan banyak ditambah lagi dengan rezeki nomplok tadi.
Kang Karyo menghentikan motor di sebuah kedai bakso terlihat begitu ramai. Aroma kaldu kuahnya membuat perut yang keroncongan memberontak menjerit!
"Mas, baksonya satu mangkuk!" pinta Kang Karyo pada seorang pelayan yang melintasinya, seraya menjatuhkan pantat di kursi. Dia duduk di antara ramainya pengunjung lainnya.
Setelah selesai makan, Kang Karyo segera membayar menggunakan lembaran uang merah. Kemudian, Kang Karyo kembali melanjutkan perjalanan pulang di desa sebelah rumahnya, perutnya terasa penuh membuat semangat pulih.
******Mobil melaju kencang, kini sudah memasuki jalur bebas hambatan, Kota Surabaya. Sebentar lagi mereka akan sampai rumah.
Winarno membunyikan klakson berulang. Seorang perempuan mengenakan kupluk rajutan benang wol hitam, dengan setelan daster batik tampak tergopoh keluar. Kemudian dengan cekatan mendorong pintu gerbang pagar. Mobil keluaran terbaru milik Haji Karsan langsung masuk dan parkir dalam garasi.
"Langsung tutup saja, Bu. Gembok sekalian!" Bapak memberikan titah sesat setelah keluar dari dalam mobil.
Ibu buru-buru menutup kembali pintu gerbang, melaksanakan titah Bapak. Ketiganya langsung masuk ke rumah.
Bapak langsung berbincang dengan Ibu di ruang keluarga dengan mimik wajah serius. Sementara Winarno langsung melengos ke dalam kamar.
Setelah cukup lama dalam kamar, Winarno keluar dengan handuk yang tersampir di bahunya. Kemudian, dia langsung bergegas menuju kamar mandi yang letaknya di area dapur.
Selang beberapa saat kemudian, terlihat Winarno berjalan keluar. Hanya mengenakan handuk kuning, melilit separuh area vitalnya. Dada bidangnya dibiarkan telanjang memamerkan deretan bulu halus nun menggoda hasrat. Namun, seketika langkahnya terhenti. "Win, Kamu jangan pulang dulu!" tegur Bapak saat Winarno melintas.
"Iya, jika itu titah, Bapak." Kemudian, Winarno melenggang masuk ke dalam kamar seraya mengibas rambut basahnya, ke depan dan belakang berulang kali menggunakan kedua tangan.
Saat sedang mengenakan pakaian di depan cermin. Winarno terperanjat!
"Aduh, Gusti!" jeritnya, Winarno tadi melihat sosok hitam tinggi besar tepat di belakangnya, sekelebat tertangkap pantulan cermin. Namun, saat Winarno menoleh tidak tampak apa pun, membuat jantungnya serasa nyaris lepas dari tempatnya!
"Hufff, sialan! Kirain nyata tadi!" Winarno merutuk. sambil memegangi dada.
Malam kian larut, Bapak sudah berada dalam kamar khusus yang terletak di lantai dua. Tidak sembarang kolega bisa berada di area itu. Hanya Haji Karsan dan istrinya saja yang bisa menjejakkan kaki. Selama berpuluh tahun lamanya aturan itu berlaku.
Tirai jendela putih melayang terbang dipermainkan angin. Bapak duduk bersila di lantai kamar tersebut, ditemani remang cahaya lilin membuat penglihatan sangat terbatas, hanya samar.
Karpet hijau itu sudah ter gelar sejak lama. Tampak deretan sesaji sudah ada di atasnya. Beraneka rupa ada buah pisang, apel, kopi dan bunga tiga rupa dalam satu canang diletakkan di atas ancak kecil. Satu yang paling mencolok perhatian, ingkung ayam cemani hitam polos di atas ancak(wadah yang terbuat dari bahan bambu kombinasi pelepah pisang) berukuran jumbo, lengkap dengan nasi kuning dan nasi ketan hitam, berada dalam satu ancak.
Bapak komat-kamit, sesaat kemudian dia menyalakan dupa dan menyelipkannya di atas ancak, wadah aneka sesaji yang berisikan buah. Tidak lama setelahnya Bapak memberi sujud hormat, menangkup tangan depan dada sejajar dagu seraya berjalan mundur dengan posisi jongkok. Sesaat lalu bangkit dan berdiri, saat sudah berada di luar. Bapak langsung menutup rapat-rapat pintu dan segera meninggalkan tempat itu di lantai dua.
Malam kian larut, sekelebat bayangan hitam masuk menembus dinding celah jendela kaca, setelah Bapak meninggalkan lantai dua tadi. Asap hitam itu samar terlihat menyerupai bentuk tubuh manusia, tapi berbentuk halimun, perlahan benar-benar menyerupai manusia, tetapi berkali lipat tinggi besar ukuran tubuhnya.
Dari cahaya temaram lilin, bayangan tubuh itu begitu jelas terlihat. Tangannya terlihat sedang mengangkat ingkung ayam cemani, lalu melahapnya dengan rakus. Suara onomatope kecapannya menggema di langit kamar, dengan penerangan kian minim. Setelah itu, kemudian lanjut buah-buahan di masukannya semua dalam mulut dengan begitu rakusnya, hingga tidak tersisa.
*******"Rah, Dek. Rah ....” Winarno berbisik.
"Lho, Mas, Kok?" Rahayu melirik kedua anaknya yang tidur dengan pulasnya meringkuk di balik selimut. Mungkin karena hujan rintik-rintik membuat hawanya terasa begitu dingin. Membuat nyaman tidur dalam buai mimpi.
"Hussszzzt." Satu telunjuk Winarno menempel di bibir tipis milik istrinya. Membuat Rahayu seketika membisu, patuh.
"Jangan di sini, Mas." Suara Rahayu membisik seraya merangkul leher kekar Winarno dengan mata mengerling menahan kantuk.
Winarno membopong tubuh Rahayu, sangat romantis, masuk ke dalam kamar, tepat peraduan mereka saat beradu kasih seperti biasanya. Selama ditinggal pergi, Rahayu memilih tidur bersama anaknya.
Mata Rahayu begitu dikuasai kantuk yang teramat sangat, berulang dia mencoba membuka mata, tetapi tidak kuasa. Dengan rakusnya Winarno menikmati keindahan tubuh istrinya, perpisahan yang hanya beberapa hari sudah membuat libido seksnya meledak-ledak hingga ubun-ubun. Deru nafasnya memburu meredam nafsu yang teramat.
Rahayu membiarkan tubuhnya dipermainkan sesuka hati oleh suaminya. Antara sadar dan tidak Rahayu mulai menikmati, seraya menahan kantuk kian teramat sangat. Kebuasan Winarno membuat Rahayu menggelinjang, mendesah lirih walau dalam pengaruh kantuk.
Hingga akhirnya pujian lirih keluar dari bibir tipis Rahayu dengan mata yang masih enggan terbuka. "Mas, ini serius dirimu? Liar banget sih, tapi aku suka. Rasanya seperti saat kita malam pertama, dulu.” Jemari Rahayu mengusap lembut punggung Winarno yang dipenuhi bulu halus nun rapi. Membuat Winarno menyeringai.
Winarno tidak menjawab, sejak tadi dia lebih suka menunjukkan aksi dalam diam. Cekatan Winarno mengenakan pakaian kembali, satu per satu, setelah puas menyalurkan hasrat birahinya.
Sementara Rahayu sudah kembali tertidur dengan pulasnya, terbuai dalam mimpi semula, masih dengan kondisi berantakan, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh indahnya.
Kokok ayam jago bersahutan, melenyapkan kantuk di mata Rahayu. Wanita berparas ayu itu terjaga, tetapi dia kaget bukan kepalang! Karena dirinya sudah berpindah tempat tidur! Rahayu tampak celingak-celinguk saat menyadari. Cekatan dia langsung menarik selimut guna menutupi tubuh polosnya.
'Lho, kok. Mimpiku semalam nyata.' Rahayu membatin. Cekatan dia mengenakan pakaian.
Kemudian, secepatnya dia bangkit. Langsung berjalan menuju kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Rahayu segera mandi besar. Akan tetapi, dalam hatinya masih saja bertanya-tanya. ‘Kenapa mimpiku menjadi nyata?’
Jantung Rahayu berdesir hebat saat jemarinya membersihkan area sensitif miliknya, jantungnya serasa bermanuver.
'Lah, kok, kenapa bisa ada beneran? Cairan kentalnya?' Batin Rahayu mengganjal. Namun, dia coba menghempas pikiran yang aneh-aneh.
Bab 08 PulangSetelah menunaikan ibadah Salat Subuh Winarno langsung ke dapur. Suara kedua orang tuanya sudah terdengar sejak tadi bercakap-cakap. Setibanya Winarno menarik kursi bergabung duduk dengan Bapak, kemudian Winarno meraih segelas kopi panas dari Ibu. "Buk, saya pulang hari ini sudah boleh, kan?" tanya Winarno."Iya--- setelah selesai berangkatlah." Bapak menyerobot jawab sekenanya."Kok, main iya saja tho, Pak? Kasih wejangan situ dulu anakmu! Bagaimana ke depannya!’ Ibu menyambar sengit.Sejenak Bapak menghentikan aktivitas merokok. "Hemm, begini Win. Ada baiknya jika istri dan anakmu ajak saja pindah segera ke toko Bapak sana. Cepatlah memulai bisnis lagi!" tegas Bapak.Winarno langsung tertegun mendengar, lalu dia menenggak kopinya hingga tandas. Sepertinya ada unek-unek menganjal dalam batinnya. “Terus modalnya, bagaimana, Pak?" Winarno gamang."Sudah, yang penting kamu
Bab 9 Bercumbu Rahayu terlihat gelisah dia tidak tenang, petir menyambar bersahutan di tambah lagi hujan mulai turun dengan derasnya. Berulang kali membuatnya kembali mengintip, lewat celah jendela. Namun, belum juga ada tanda-tanda kedatangan Winarno."Sudah-sudah, ayo pergi tidur sana! Ini sudah larut malam, Nak." Rahayu menghardik agar anaknya menghentikan aktivitas menonton televisi, karena Winarno tidak kunjung tiba."Ayah, ke mana, Bunda?" Pertanyaan polos dari buah hatinya membuat Rahayu kembali bangkit dan mengintip lewat celah jendela."Ke rumah Eyang, tadi. Tapi----" Rahayu kembali terkejut, mendengar suara petir menggelegar."Kok, sekarang Ayah sering ke rumah, Eyang?" Pertanyaan polos itu bukan tanpa alasan. Dalam beberapa Minggu terakhir ini, Winarno pergi pagi dan akan tiba sore, bahkan kadang larut malam.Rahayu tidak menanggapi pertanyaan lugu anaknya."Sepertinya Ayah, tida
Bab 10 Geger di Desa WonosariTidak terasa sudah dua pekan kedatangan Winarno dan Bapak dari rumah Mbah Lasiem. Semua syarat sudah dilaksanakan, termasuk pulang larut saat malam Jumat dan membuat kamar khusus di toko, yang akan menjadi hunian keluarga kecil Winarno nantinya.***Sementara itu kondisi kesehatan Kang Karyo, dalam beberapa hari, terus menurun. Bahkan memburuk. Desas-desus beredar dia dijadikan tumbal oleh pemilik warung bakso di area Wonosari, yang begitu tersohor sangat ramai pelanggan. Maklum orang desa masih saja percaya hal mistis dan mengait-ngaitkan!Bukan tanpa dasar, karena sebelum makan di tempat itu, kondisi kesehatan Kang Karyo baik-baik saja. Setelahnya, keanehan terjadi. Hari demi hari kian memburuk, pria itu sekarang hanya bisa tiduran menjadi kembang ranjang."Duh, Gusti! To ... tolong, suamiku!" Suara teriakan lantang berulang terdengar dari dalam rumah sederhana milik Kang Karyo."Ada
Bab 11 Akhirnya Tewas"Innalilahi wa innailaihi rojiun! Kang Karyo!" Dirman menjerit dia tidak tega menyaksikan kondisi terakhir saudaranya. Teriakannya terdengar oleh Mbak Mar, perempuan itu langsung berhambur masuk kamar.Beberapa orang pria mencegahnya di depan pintu, agar tidak syok melihat kondisi orang tercintanya. Namun, kekuatan Mbak Mar mampu menerobos masuk."Gusti ...!" jerit Mbak Mar. Selang beberapa menit kemudian, dia terkulai, jatuh. Cekatan salah satu kolega mengevakuasi menjauhi kamar.Cak Badrun langsung menengadah jemari. Dia membaca beberapa doa islami berulang. Selang beberapa waktu dia meniupkan asap putih dari dalam rongga mulutnya. Kemudian Cak Badrun mengusap kasar area wajah jasad Kang Karyo, seraya berkata. Berkat, ”Sedulur papat limo pancer, Karyo. Hufff!”Keajaiban terjadi, mata jenazah yang mendelik dengan lidah menjulur, seperti sedang menahan sakit akibat cekikikan itu kembali semula. Kang Karyo t
Terbuai LagiWinarno menelan saliva, dadanya berdegup kencang, saat darahnya mulai memanas. Membuat bulu-bulu halus miliknya bergidik. Mata elang Winarno menatap penuh cinta pada istrinya. Rahayu tertidur pulas, matanya tidak mampu menahan kantuk teramat sangat. Hingga dia tidak mendengar dan menyadari kehadiran suaminya sejak tadi.Winarno mendengkus, perlahan mulai meraba ujung jemari tangannya milik Rahayu. Kemudian mengendus dari atas hingga bawah. Lanjut mengulum jempol jemari kaki istrinya dengan rakus. Sontak membuat tubuh wanita mana pun akan menggelinjang, begitu juga dengan Rahayu. Winarno tidak setiap saat seperti itu. Itulah sebabnya melakukan hubungan pada malam Jumat membuat Rahayu seperti mendapatkan kenikmatan tersendiri. Walaupun matanya enggan untuk terbuka, tetapi dia terbuai hingga lapisan langit ke tujuh."Rah, Sayang." Winarno berbisik lirih. Napasnya memburu, membuat rambut indah Rahayu tersingkap hingga menutupi
#Nafkah Batin NyaiDasimah.Winarno meluaskan senyum, sesekali meraba rahang kokoh miliknya, kemudian mengusap bulu-bulu halus yang tumbuh di area itu, walau sudah coba bersikap biasa, bayangan Nyai Dasimah mengambil separuh hatinya. Permainan ranjang yang sangat luar biasa, dia tidak pernah sekalipun merasakan hal seperti itu selama berhubungan intim dengan Istrinya.***"Win, kamu jangan pulang malam, ini!" teriak Bapak dari lantai dasar, ruko miliknya. Beliau mengingatkan."Iya!" Winarno menjawab singkat seraya menuruni anak tangga, setelah mengunci pintu kamar atas.Keduanya berjalan beriringan keluar, Winarno mengantarkan kepergian Bapak untuk pulang. Seharian beliau memantau anaknya menata barang hingga selesai. Winarno menemani hingga pelataran yang sepi karena hujan rintik-rintik, perlahan mobil putih meninggalkan dirinya seorang di toko berlantai dua dengan sentuhan kesan elegan, minimalis.Toko elektronik sekaligus menjadi huniann
#Pindah ke Toko Hari ini Winarno tidak pergi lagi, berhubung semua sudah finis. Malam di lewati bersama keluarga kecilnya. Kenangan tinggal di rumah jauh dari kata layak akan segera berakhir. Tinggal menghitung jam.Keempatnya duduk di tempat favorit, satu-satunya. Mereka menonton televisi, Rahayu dan Winarno menemani kedua jagoannya hingga akhirnya film animasi kesukaan mereka usai.“Ayo, ayo! Semua masuk ke kamar. Cepat tidur besok kita sudah pindah!” Rahayu memberikan titah.“Horeee! Horeee! Besok, Bunda?” Celoteh anaknya bertanya dengan polosnya.“He-emm, iya, besok!”“Asyik! Kita akan pindah!” Dua bocah itu berkelakar penuh bahagia seraya masuk ke kamar. Tingkah polos itu mengundang senyum di sudut bibir Rahayu.Sementara Winarno asyik dengan sebatang rokok di celah jemarinya. Menyaksikan keluarga kecilnya yang begitu antusias. Ada bangga dalam benaknya, bisa kembali memberikan fasilitas layak untuk anak-anak. Winarno mengambil gelas kopi, kemudi
# Kejanggalan❤️Bapak dan Ibu sudah terlebih dahulu sampai di toko. Mereka sudah berada di dalam, tentu saja keduanya bisa masuk karena kunci duplikat. Ibu terlihat antusias menyambut kedatangan Winarno beserta keluarganya. Saat mobil pick up biru tiba. Sudah lumayan lama perempuan tua itu tidak bertemu dengan cucunya, bahagia menyelimuti hatinya seiring senyuman meluas sempurna saat kedua bocah lelaki itu masih mengenalinya."Eyang!"Keduanya berteriak dari jendela mobil, sesat kemudian tergesa membuka pintu mobil lalu berhamburan keluar."Oalah, cucuku. Arya .... " Ibu menyambut seraya melebarkan kedua tangannya."Eyang ...."Ibu terlihat bingung seraya mengusap wajah kedua bocah lelaki yang terlihat laksana pinang dibelah dua. Wajahnya tampan, mirip Winarno, dengan rambut bergelombang menghias."Ini, yang Arya mana? Wiguna mana?" tanya Ibu sambil menggandeng tangan keduanya masuk."Aku, Arya Kusuma, Eyang!""Aku, Wiguna Kus