Share

BARA CINTA TERLARANG
BARA CINTA TERLARANG
Penulis: MARIWINA

BAB 1. PERJUMPAAN PERTAMA.

Mata kuliah akutansi biaya  yang diajar oleh pak Bimo berakhir. Pak Bimo memanggilku, “ Jessika bisakah kamu membantu bapak?” tanyanya sambil memegang dokumen di tangannya.

“Apa yang bisa saya bantu?” tanyaku.

“Mm...  Ini ada dokumen penting . Bapak sibuk beberapa hari tidak bisa mengantarnya. Kalau tidak salah tidak jauh dari tempat kostmu.”

“Bisakah saya lihat alamatnya?” tanyaku.

Pak Bimo menyerahkan dokumen kepadaku, aku membacacanya.

To: BULUS

Alamat : Apartemen Bougenville, blok dua, room 1004.

“Bisa pak, nanti pulang kuliah saya singgah.”

"Baiklah, tapi jangan kalau pulang kuliah. Besok pagi saja kamu bawa, karena temanku ini pulangnya larut malam.”

“Baik pak.”

“ Ini transpotmu. Jangan menolak !” Bisiknya memberikan dua lembar uang seratus ribu.

Aku mengambil dokumen dan uang yang terselip di bawahnya dengan tersenyum.

Hubungan aku dengan pak Bimo di kampus seperti hubungan dosen dengan mahasiswa, meskipun sebagian besar mahasiswa menyatakan bahwa aku mahasiswi kesayangan pak Bimo. Mereka tidak tahu mengapa sampai aku bisa kuliah di universitas swasta yang cukup terkenal di Jakarta . Itu semua karena jasa pak Bimo dan isterinya tante Mayang.

Mereka adalah oom Sari Sririndu, sahabatku yang memperkenalkanku yang ingin menjadi  akuntan seperti almarhum ayahku. Uang kuliah perdana , pak Bimo dan tante Mayang yang membayarnya,  semester  berikutnya, aku mendapatkan beasiswa dari perusahaan kontraktor yang cukup terkenal  PT. MERCU BANGUN PERSADA.

Aku tidak dipusingkan dengan uang semester dan biaya-biaya kuliah, biaya beli buku - buku akuntansi, perpajakan dan Auditing. Aku hanya perlu memikirkan uang untuk kukirim ke ibu agar kedua adikku bisa sekolah dan uang kost. Itupun dari kerja part timer, memberi les. Masalahnya  sekarang siswa yang kuberikan les, akan pindah sekolah . Anaknya  pak Bimo, Sakti yang tamat SD akan di sekolahkan dan di asramakan di Jogja. Sirata bersaudara, Mauren dan Marsel , tamat SMP akan sekolah di Singapura.  Akupun dipusingkan bagaimana caranya membantu mama dan membayar kost.

Aku terhentak ketika sahabatku Sari menegurku, “Tadi kulihat oom Bimo bicara denganmu.”

Aku memperlihatkan dokumen, “Oom Bimo memintaku membawa dokumen ini ke alamat ini.”

“Oh, itu temannya oom Bimo. Aku nggak suka deh dengannya. Genit!”

“Siapa yang genit? Bukan aku kan?” terdengar suara bariton di belakang kami. Surya pacar Sari langsung memeluk Sari, “Kalian janji mau ke mana?”

“Kami tidak janjian. Kami kebetulan ketemu. Kalau kalian punya janji silahkan, aku mau pulang ke tempat kostku. Aku ngantuk semalaman buat tugas akutansi anggaran .” Jawabku.

Aku tahu Sari dan Surya baru saja berpacaran. Mereka sedang hangat-hangatnya berpacaran. Aku tidak ingin menjadi obat nyamuk di antara mereka.

“Baiklah ! Kami pergi duluan.“ kata Sari sambil melambaikan tangannya menuju ke parkiran mobil. Surya anak pejabat setiap hari naik mobil sport kuning ke kampus. Sari kepincut pada ketampanan dan kekayaan Surya. Menurutku mereka selevel, tidak denganku. Aku jauh di bawah level Surya yang menurutku terlalu flamboyan dengan ketampanan dan kekayaannya.

Kami berpisah, aku menuju halte bus, menunggu bus yang penuh dengan aneka macam aroma. Turun dari bus diiringi matahari yang bersinar sangat terik, aku menyusuri jalan kecil. Nampak di depan apartemen menjulang tinggi, dengan dua puluh lima lantai, apartemen Bougenvil terdiri dari dua blok.

Teringat kata Sari, “Aku tidak suka dengannya. Genit! “ Apakah ibu yang akan aku ketemu teman dekat oom Bimo? Mengapa Sari tidak suka ? Batinku.

“Hem, jawabannya besok pagi, mungkin setelah melihatnya aku akan tahu mengapa Sari tidak menyukainya.” Bisikku.

Sebelum ke tempat kost aku mencari warung Tegal mencari  makanan . Sayur lodeh, tempe bacem dan telur pindang adalah makanan favoritku.Uang dua puluh lima ribu bisa aku makan untuk makan siang dan malam.

Setelah makan, aku beristirahat sejenak di depan kamar, mencari angin. Kamarku tidak ber AC, kamar sempit tempat aku membaringkan tubuhku yang lelah, belajar. Ada meja belajar, hibah dari oom Bimo sewaktu oom Bimo kuliah dulu, laptop di meja belajar, tidak ada sofa. Satu hal yang menurutku sangat istimewa, kamar mandinya ada di dalam. Aku tidak suka berebutan kamar mandi dengan teman-teman kost yang hampir tidak kukenal, hanya menyapa Hello jika ketemu atau saling berbagi makanan jika ada yang berulang tahun.

Karena angin yang semilir membelai wajahku, aku merasa mengantuk, masuk ke kamar lalu tertidur.Aku bangun menjelang magrib,  langsung mandi, sekalian mencuci pakaian dalam yang hanya terdiri dari beberapa lembar dan blus kuliah. Aku hanya mempunyai dua celana jeans dan dua celana kain. Blus kemeja terdiri dari tiga buah dan tiga buah baju kaos berkerah  dan satu jaket yang kupakai kalau ke kuliah. Setiap dua hari aku mencuci jaketku, dan menyetrika memakai pewangi agar aromanya wangi.

Aku tahu penampilanku membuat aku tersingkir dalam pergaulan, aku tidak memusingkannya. Saripun jarang menegurku, apalagi setelah dia pacaran dengan Surya. Renjanaku hanya satu, belajar, lulus  tepat pada waktunya dan  bisa meraih cumlaude pintu masuk  mendapatkan beasiswa S2 di luar negeri.

****

Esok paginya aku menuju ke apartemen Bougenville, diantar oleh satpam aku ke kamar 1004 yang memakai smart lock. Terdengar suara “ tunggu sebentar “ dari layar yang mungkin merekam wajahku.

Pintu kamar terbuka, aku terkaget-kaget melihat pria yang membuka pintu hanya memakai jas kamar, menampakkan sebagian dadanya yang bidang dengan bulu-bulu hitam masih ada air melekat di bulu-bulunya. Mengacak-acak rambutnya yang basah.

“Mbak Jessika? “ tanyanya.

“Pak, saya permisi.” Kata Satpam menatapku dengan wajah kurang ajar.

“Saya mau ketemu Bulus.” Kataku.

“Iya, saya sendiri.”

Aku semakin dibuatnya kaget, ternyata Bulus yang kukira adalah ibu Lus, ternyata nama pria.

“Mari masuk.”

“Maaf pak, saya hanya membawa dokumen titipan pak Bimo.”

“Ah, masuklah ! Saya mau pelajari dulu dokumen yang dia kirim. Siapa tahu tidak sesuai dengan ekspektasiku.”

Pria itu menyilahkanku masuk, “Tunggu sebentar, saya ganti baju dulu.” katanya langsung masuk ke kamarnya.

Tidak lama pak Bulus keluar, membuka dokumen yang kubawa. Terlihat tebal ,Hmm.. barapa lama dia membacanya, batinku.

Dibuka-bukanya lembaran demi lembaran, kadang-kadang menatapku dengan tersenyum.

“Menurut pak Bimo , kamu membantunya mengaudit?” tanyanya.

“Iya pak.”

“Eh, kebetulan saya buat nasi goreng. Fillingku mengatakan ada tamu yang bisa kuajak sarapan bersama, jadi saya masak agak banyak. Ayo, mari sarapan bersamaku.” Katanya menutup dokumen meletakkan di meja tamu, lalu menuju ke meja makan yang menyatu dengan ruang tamu.

Membuka kulkas, menuangkan juice jeruk ke gelas. Dia menyiapkan dua gelas, dua piring dan mengajakku ke meja makan.

Aku ragu-ragu menerima tawarannya.

“Takut terlambat? Jangan takut, sesudah sarapan aku akan antar kamu.”

“Maaf pak..”

“Jangan menolak. Saya akan sedih sepanjang hari karena seorang wanita cantik menolak tawaranku untuk sama-sama sarapan.” Bukan ajakan tapi perintah halus.

Rasa tidak enak langsung menghantaui hatiku, aku menuju ke meja makan. Bapak Bulus membuka kursi menyilahkanku duduk. Dia duduk di sampingku. Aroma wangi lotion langsung menyerbu hidungku, bukan aroma nasi goreng yang masih mengebulkan asapnya.

“Inilah nasib  jomlo tidak laku, masak, cuci, tidur sendiri.”

Aku tersenyum mendengar perkataan pak Bulus, “Isteri bapak?” tanyaku polos.

“Kan saya bilang jomblo, yah .. tidak beristeri.”

“Duda?” tanyaku lagi.

Lalu tersadar berapa kurang ajarnya aku .Mendengar perkataanku pak Bulus tertawa terbahak-bahak,”Kamu tidak percaya saya ini jomlo, pejaka tua.”

Mendengarnya aku tersedak, mencari minuman. Dengan cepat diambilnya gelas menuju dispenser menyerahkan gelas berisi air putih ke tanganku. Tangannya menepuk punggungku dengan lembut, Serasa tersengat listrik  dari punggung ke seluruh tubuhku. Aku langsung menyingkirkan tangannya dari punggungku.

 Aku tidak pernah dipegang oleh  laki-laki. Yang pernah memegangku hanya ayahku. Melihat aku agak tidak suka , pak Bulus menjauhkan tangannya, “Maaf, saya hanya membantumu agar tenang.”

“Terima kasih pak.”

“Ayo dimakan, habiskan. Saya senang kalau mbak Jessika menghabiskannya, berarti nasi gorengku enak.”

Selesai sarapan, aku melihat di tempat cuci ada wajan, sutil dan beberapa mangkok dan piring belum dicuci. Refleks aku mencucinya bersama piring dan gelas yang baru kami pakai.

"Biarkan saja, nanti pulang kantor saya cuci."

"Biar pak, kan bapak bilang makan, masak, tidur sendiri, pasti juga cuci sendiri?"

Dijawab dengan tawa terbahak-bahak , langsung berdiri di sampingku, menyingsingkan lengan bajunya,      " Saya yang mencuci, mbak  Jessika yang menaruh di rak piring."

Kami melakukannya dengan diam, kadang-kadang aku melirik ke arahnya. Pria setampan ini kok masih lajang. apakah terlalu tinggi ekspektasinya tentang wanita pendamping? Aku merasa aneh dengan sikapku yang seolah-olah sudah sangat akrab. Mungkin usianya yang membuatku mengingat almarhum ayahku. Selesai, pak Bulus mengantarku ke kampus dengan mobilnya.

Di dalam mobil kami bercakap-cakap bagaikan seorang ayah yang bercakap dengan anaknya.

"Sudah semester berapa?"

"Semester lima pak,"

"Bapak dengar kamu mendapat beasiswa ?"

"Iya, beasiswa dari PT. MERCU  BANGUN PERSADA. Oom Bimo yang urus hingga saya bisa mendapatkan."

"Ditransfer ke bank atau diberi secara personal?"

"Ditransfer ke Bank, menurut oom Bimo beasiswa dari ownernya. Dia tidak ingin diketahui pribadinya, yang penting setiap semester saya kirim IPK .

"Berapa IPK mu di semester empat?"

"3,88."

"Wow. Hampir sempurna."

"Iya pak Saya bercita-cita bisa lulus cumlaude, agar oom Bimo dan pemberi beasiswa bisa bangga."

"Setelah lulus kamu akan meneruskan ke S2?"

"Kalau dapat beasiswa. Kalau tidak ya..cari kerja. Saya harus membiayai kedua adik saya yang masih sekolah. Maaf pak, jadinya kok saya mengumbar cerita kekurangan keluargaku."

"Tidak apa-apa. Oom senang kamu bicara terus terang, apalagi di pertemuan pertama kita. Rasanya oom mengenalmu sudah lama."

"Iyakah?" tanyaku sambil menatapnya. Pria di sampingku, lebih banyak rambut putihnya, masih terlihat tampan, hidungnya mancung, aku tidak bisa melihat matanya karena tertutup kacamata hitam. Ada karismatik di wajahnya.

"Mengapa menatapku?" tanyanya , membuat aku kaget dengan pertanyaannya.

"Bapak.."

"Panggil aku oom, agar lebih akrab."

"Oom kenapa belum menikah? Saya tadi mengamati oom itu tidak jelek amat. Lebih banyak terlihat tampan."

Oom Bulus tertawa terbahak-bahak mendengar  perkataanku, "Belum ada yang cocok."jawabnya.

Kamipun sampai di kampusku, sebelum turun aku mengambil tangan oom Bulus menciumnya," Terima kasih oom sudah mengajak saya sarapan, kebetulan saya juga belum sarapan dan terima kasih mengantar saya. Saya bisa menghemat sepuluh ribu." kataku sambil tertawa lalu menutup pintu mobil.

Ketika mobil oom Bulus melewatiku, aku masih berdiri memandang mobilnya , meninggalkan debu beterbangan," Seandainya papa masih hidup aku pasti akan merasakan kebahagiaan seperti yang baru aku rasakan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status