"Evan selalu melakukan sesuatu dengan tujuan. Meskipun Paman Andy siuman, dia nggak akan memengaruhi hak Evan menjadi penerus.""Kalau begitu, siapa? Aku benar-benar nggak tahu." Yasmin merasa sangat jengkel. "Setelah Ayah meninggal, aku makin nggak bisa mengetahui apa yang terjadi di antaranya dengan Keluarga Samson. Jangan-jangan kematian Ayah ada hubungannya dengan Keluarga Samson? Itu berarti ada kaitannya dengan Juan? Tapi, ayahku adalah putra kandung Juan. Apa itu mungkin?""Itu tergantung pada apa masalahnya." Daniel berkata, "Ayah dan anak saling bermusuhan bukan hal yang aneh.""Menurutmu, Juan juga mencurigakan?" tanya Yasmin."Bekas luka di dada Evan mungkin untuk menyembunyikannya dari orang lain," kata Daniel.Pengetahuan dalam Daniel mengejutkan Yasmin. "Kenapa mereka membuat Gilbert makin mirip Evan?""Evan sendiri mempunyai penyakit jantung.""Aku nggak tahu itu." Setelah Yasmin mengatakan itu, Daniel meliriknya. Yasmin pun mengomel di dalam hati, 'Iya, kekuasaanku ngga
Ketiga anak kecil itu berlari keluar dari dalam. Kaki kecil mereka menuruni tangga dengan semangat.Yasmin menoleh seakan-akan dia baru mengingat sesuatu. "Oh, iya. Aku membawa anak-anak ke rumah ibuku. Besok aku akan mengantar mereka pulang."Dia sama sekali tidak peduli pada Irene apakah dia menginap di Taman Royal atau tidak.Di depan Daniel, Yasmin menggendong satu per satu anak ke dalam mobil.Anak-anak menjulurkan kepalanya dari jendela mobil. Mereka berkata pada Papa, "Dadah!"Raut wajah Daniel menjadi makin masam ketika dia melihat mobil melaju pergi. Sekujur tubuhnya menyebarkan aura yang menakutkan.Irene berkata dengan lembut, "Daniel, ayo masuk. Kita makan dulu, setelah itu aku akan memainkan piano untukmu. Baru-baru ini aku menulis lagu dan aku ingin kamu mendengarnya. Kamu orang pertama, loh!"Yasmin dan ketiga anak yang berisik itu sudah pergi. Maka itu, Irene dan Daniel bisa menikmati dunia mereka sendiri dengan tenang.Yasmin turun dari mobil, lalu dia hendak menggendo
Kepala Yasmin langsung jatuh ke atas dada Daniel. Sekujur tubuhnya berbaring di atas tubuh Daniel yang keras.Yasmin segera meronta. "Aku juga nggak bisa!"Daniel mencubit dagu Yasmin dan menyipitkan matanya. "Kamu akan tahu setelah mencobanya.""Aku nggak mau .... Mmph!" Begitu Yasmin membuka mulutnya, Daniel langsung menciumnya.Yasmin memalingkan mukanya dengan terengah-engah. Daniel pun mengecup leher Yasmin yang membuat tubuh Yasmin gemetar tak terkendali.Yasmin merasa pengemudi hendak mengemudikan mobil, dia pun berkata dengan gelisah, "Aku nggak mau pergi!""Kamu nggak perlu menemani anak-anak di sini," kata Daniel dengan suara kasar. Sorot matanya tampak berbahaya ketika dia menatap Yasmin.Karena panik, Yasmin bertanya, "Apa kamu suka menemukan pembunuh ayahku?"Dia tidak mau pergi dan dia lebih tidak ingin terjadi apa-apa dengan Daniel.Dia tidak mempunyai suasana hati untuk melakukan itu.Kematian ayahnya adalah masalah di hati ibunya.Yasmin tidak bisa tenang sebelum dia m
"Aku tiba-tiba merasa bulan malam ini indah," kata Evan sambil memandang bulan di langit.Lauren bergeming. Dia seolah-olah sedang diculik."Kamu nggak perlu takut padaku. Aku suamimu," kata Evan dengan lembut.Nada lembut Evan malah membuat Lauren merasa pria ini sangat tidak waras."Apa kamu benar-benar ingin aku menjadi istrimu?" Ketika Lauren bertanya, nadanya penuh dengan ketakutan."Menurutmu?"Menurut Lauren, cepat atau lambat dia akan dibunuh Evan atau Evan akan langsung melemparnya ke danau buaya seperti Nova.Lauren akan lenyap dari dunia ini secara diam-diam."Aku sudah bilang, aku nggak akan menyakitimu. Tentu saja kamu juga nggak boleh menyakiti dirimu sendiri. Kamu adalah segalanya bagiku. Hanya aku yang dapat memutuskan hidup atau matimu," kata Evan yang terdengar sangat sinting.Lauren lebih memilih Evan langsung membunuhnya daripada menunggu seperti ini. Ini jauh lebih menakutkan daripada kematian.Tangan Evan mengelus perut rata Lauren. "Apa ada anakku di dalam sini?
Mobil melaju pergi.Yasmin kaget. "Woi! Daniel, kamu jangan memaksaku!""Memaksamu apa?" Daniel menatapnya. "Apa kamu nggak perlu tidur? Tidur di mana pun sama saja, 'kan?""..."Klara berdiri di atas dan melihat mobil di bawah pergi. Yasmin juga tidak keluar dari mobil.Dia senang melihat itu.Itu berarti Daniel tidak menemani Irene, melainkan datang untuk mencari Yasmin.Jelas kalau Yasmin yang mempunyai anak lebih penting daripada Irene.Besok pagi, Klara dan Bibi membantu anak-anak memakai baju.Anak-anak bertanya dengan penasaran, "Di mana Mama?""Kami nggak melihat Mama.""Aku tahu! Mama belum bangun, 'kan?"Klara berkata, "Semuanya salah. Kemarin Mama pergi bersama Papa.""Papa datang?""Oh! Mereka pergi kencan, 'kan?" Mata Julia berbinar-binar.Klara bertanya, "Apa mereka sering pergi kencan?""Sering," jawab Julian."Mereka nggak akan pulang sepanjang malam," jawab Julius.Klara bertanya lagi, "Kalau begitu, apa papa kalian sering bersama Irene?""Kami nggak melihat mereka.""
"Lebih baik sampai dia mati! Pergi cari lebih banyak wartawan!""Mengerti."Irene melempar ponselnya ke samping dengan emosi.Ayahnya baru meninggal. Kalau sesuatu terjadi pada pabrik, Yasmin pasti kewalahan menangani perusahaan.Selama dia bisa membuat Yasmin menderita, dia tidak peduli dengan konsekuensinya!Yasmin memasuki kantor. Dia melihat setumpuk dokumen di meja yang perlu dia kerjakan. Setelah melihat-lihat dokumen itu, dia menemukan selembar daftarDia mengeluarkannya, lalu melihat selembar per selembar.Beberapa perlu tanda tangannya.Yasmin mengeluarkan pulpennya. Dia menggambar sebuah lingkaran.Ada yang langsung membuka pintu kantor dengan tidak sopan.Yasmin lihat orang yang masuk adalah Irene. Tanpa ekspresi dia bertanya, "Ada apa?""Ayah sudah tiada. Seberapa jauh perusahaan ini bisa berkembang di tanganmu? Kalau kamu mundur sekarang masih sempat," ujar Irene."Aku mengelola perusahaan ini, yang merupakan keinginan ayah. Mengapa harus mundur? Jangan lupa, sekarang peru
Jangan mengira Yasmin tidak tahu kalau mereka satu komplotan.Penghancuran tembok pasti disengaja waktu itu. Dia tidak bertanya karena belum saatnya.Irene menggertakkan giginya dengan emosi, tapi dia berpura-pura tidak peduli. "Ngapain kamu memberitahuku? Untuk membuktikan kalau kamu hebat? Lucu sekali. Kemampuan terhebatmu cuman merayu pria!""Bu Yasmin, tolong saya. Saya sudah difitnah." Raffie masih memohon.Yasmin berkata, "Boleh! Beri tahu aku, siapa yang menyuruhmu? Seharusnya ada yang mengarahkanmu, 'kan? Kalau nggak, kamu nggak mungkin seberani ini."Mata Raffie mengelak. "Ng ... nggak. Saya yang serakah ...."Yasmin pun tidak bertanya lagi. "Pak Polisi, terima kasih.""Yasmin, berani-beraninya kamu menjebakku. Aku nggak akan melepaskanmu! Kamu bukan siapa-siapa ...." Raffie naik darah karena Yasmin tidak mau menolongnya. Kemudian, dia dimasukkan ke dalam mobil polisi.Yasmin melihat Irene yang sedang menahan amarah dengan ekspresi datar. "Kamu sangat kecewa, 'kan?"Irene berk
Martin terdiam.Yasmin juga terdiam.Ini jauh lebih buruk daripada golf!Yasmin membuang stik biliar ke atas meja dengan wajah datar. "Nggak seru. Aku nggak mau bermain lagi."Martin tidak bisa menahan tawanya. Dia mengambil bola di lantai dan berkata, "Begitu aku mulai, aku akan bermain sampai akhir."Yasmin melihat Martin meletakkan kembali bolanya, kemudian mulai bermain.Setiap bola yang dia pukul masuk ke dalam jaring. Terkadang hanya satu bola, terkadang dua atau gila bola sekaligus.Yasmin menontonnya dari samping."Apa kamu merasa lebih baik?" tanya Martin sambil memasukkan bola.Yasmin tahu apa yang dimaksud Martin.Martin juga ada menghadiri pemakaman ayahnya.Namun, saat itu Yasmin terlalu sedih dan sama sekali tidak memedulikannya."Aku merasa aku nggak akan pernah merasakan apa yang kamu rasakan," kata Martin. "Kalau ayahku meninggal dunia, bisa jadi aku akan merayakannya tiga hari tiga malam."Yasmin tahu Martin bukan sedang bercanda.Martin dan David sama sekali tidak de