"Aku tiba-tiba merasa bulan malam ini indah," kata Evan sambil memandang bulan di langit.Lauren bergeming. Dia seolah-olah sedang diculik."Kamu nggak perlu takut padaku. Aku suamimu," kata Evan dengan lembut.Nada lembut Evan malah membuat Lauren merasa pria ini sangat tidak waras."Apa kamu benar-benar ingin aku menjadi istrimu?" Ketika Lauren bertanya, nadanya penuh dengan ketakutan."Menurutmu?"Menurut Lauren, cepat atau lambat dia akan dibunuh Evan atau Evan akan langsung melemparnya ke danau buaya seperti Nova.Lauren akan lenyap dari dunia ini secara diam-diam."Aku sudah bilang, aku nggak akan menyakitimu. Tentu saja kamu juga nggak boleh menyakiti dirimu sendiri. Kamu adalah segalanya bagiku. Hanya aku yang dapat memutuskan hidup atau matimu," kata Evan yang terdengar sangat sinting.Lauren lebih memilih Evan langsung membunuhnya daripada menunggu seperti ini. Ini jauh lebih menakutkan daripada kematian.Tangan Evan mengelus perut rata Lauren. "Apa ada anakku di dalam sini?
Mobil melaju pergi.Yasmin kaget. "Woi! Daniel, kamu jangan memaksaku!""Memaksamu apa?" Daniel menatapnya. "Apa kamu nggak perlu tidur? Tidur di mana pun sama saja, 'kan?""..."Klara berdiri di atas dan melihat mobil di bawah pergi. Yasmin juga tidak keluar dari mobil.Dia senang melihat itu.Itu berarti Daniel tidak menemani Irene, melainkan datang untuk mencari Yasmin.Jelas kalau Yasmin yang mempunyai anak lebih penting daripada Irene.Besok pagi, Klara dan Bibi membantu anak-anak memakai baju.Anak-anak bertanya dengan penasaran, "Di mana Mama?""Kami nggak melihat Mama.""Aku tahu! Mama belum bangun, 'kan?"Klara berkata, "Semuanya salah. Kemarin Mama pergi bersama Papa.""Papa datang?""Oh! Mereka pergi kencan, 'kan?" Mata Julia berbinar-binar.Klara bertanya, "Apa mereka sering pergi kencan?""Sering," jawab Julian."Mereka nggak akan pulang sepanjang malam," jawab Julius.Klara bertanya lagi, "Kalau begitu, apa papa kalian sering bersama Irene?""Kami nggak melihat mereka.""
"Lebih baik sampai dia mati! Pergi cari lebih banyak wartawan!""Mengerti."Irene melempar ponselnya ke samping dengan emosi.Ayahnya baru meninggal. Kalau sesuatu terjadi pada pabrik, Yasmin pasti kewalahan menangani perusahaan.Selama dia bisa membuat Yasmin menderita, dia tidak peduli dengan konsekuensinya!Yasmin memasuki kantor. Dia melihat setumpuk dokumen di meja yang perlu dia kerjakan. Setelah melihat-lihat dokumen itu, dia menemukan selembar daftarDia mengeluarkannya, lalu melihat selembar per selembar.Beberapa perlu tanda tangannya.Yasmin mengeluarkan pulpennya. Dia menggambar sebuah lingkaran.Ada yang langsung membuka pintu kantor dengan tidak sopan.Yasmin lihat orang yang masuk adalah Irene. Tanpa ekspresi dia bertanya, "Ada apa?""Ayah sudah tiada. Seberapa jauh perusahaan ini bisa berkembang di tanganmu? Kalau kamu mundur sekarang masih sempat," ujar Irene."Aku mengelola perusahaan ini, yang merupakan keinginan ayah. Mengapa harus mundur? Jangan lupa, sekarang peru
Jangan mengira Yasmin tidak tahu kalau mereka satu komplotan.Penghancuran tembok pasti disengaja waktu itu. Dia tidak bertanya karena belum saatnya.Irene menggertakkan giginya dengan emosi, tapi dia berpura-pura tidak peduli. "Ngapain kamu memberitahuku? Untuk membuktikan kalau kamu hebat? Lucu sekali. Kemampuan terhebatmu cuman merayu pria!""Bu Yasmin, tolong saya. Saya sudah difitnah." Raffie masih memohon.Yasmin berkata, "Boleh! Beri tahu aku, siapa yang menyuruhmu? Seharusnya ada yang mengarahkanmu, 'kan? Kalau nggak, kamu nggak mungkin seberani ini."Mata Raffie mengelak. "Ng ... nggak. Saya yang serakah ...."Yasmin pun tidak bertanya lagi. "Pak Polisi, terima kasih.""Yasmin, berani-beraninya kamu menjebakku. Aku nggak akan melepaskanmu! Kamu bukan siapa-siapa ...." Raffie naik darah karena Yasmin tidak mau menolongnya. Kemudian, dia dimasukkan ke dalam mobil polisi.Yasmin melihat Irene yang sedang menahan amarah dengan ekspresi datar. "Kamu sangat kecewa, 'kan?"Irene berk
Martin terdiam.Yasmin juga terdiam.Ini jauh lebih buruk daripada golf!Yasmin membuang stik biliar ke atas meja dengan wajah datar. "Nggak seru. Aku nggak mau bermain lagi."Martin tidak bisa menahan tawanya. Dia mengambil bola di lantai dan berkata, "Begitu aku mulai, aku akan bermain sampai akhir."Yasmin melihat Martin meletakkan kembali bolanya, kemudian mulai bermain.Setiap bola yang dia pukul masuk ke dalam jaring. Terkadang hanya satu bola, terkadang dua atau gila bola sekaligus.Yasmin menontonnya dari samping."Apa kamu merasa lebih baik?" tanya Martin sambil memasukkan bola.Yasmin tahu apa yang dimaksud Martin.Martin juga ada menghadiri pemakaman ayahnya.Namun, saat itu Yasmin terlalu sedih dan sama sekali tidak memedulikannya."Aku merasa aku nggak akan pernah merasakan apa yang kamu rasakan," kata Martin. "Kalau ayahku meninggal dunia, bisa jadi aku akan merayakannya tiga hari tiga malam."Yasmin tahu Martin bukan sedang bercanda.Martin dan David sama sekali tidak de
Winnie sangat senang.Raymond berkata pada Winnie, "Kamu mencari tempat untuk beristirahat dulu. Nanti aku akan menyusulmu."Winnie melirik Yasmin, lalu dia tersenyum dengan sopan sebelum pergi.Yasmin terus menatap Winnie. Dia memperhatikan tubuh dan tinggi Winnie."Apa kamu sedang memiliki kursi pijat?" tanya Raymond."Iya. Ibuku bilang lehernya pegal, jadi aku datang untuk melihat-lihat. Ada terlalu banyak merek dan aku nggak tahu mana yang bagus," ujar Yasmin.Raymond membantu Yasmin memilih sebuah merek. "Yang ini. Aku pernah membelikannya untuk ibuku dan ini lumayan bagus.""Aku mau yang ini," kata Yasmin kepada staf toko.Staf toko pergi menulis tagihan untuknya.Ketika mereka sedang menunggu, Raymond berkata, "Ibuku yang mengaturnya. Kami sedang mencoba.""Itu sangat bagus. Dia terlihat sangat lucu." Lalu, Yasmin bertanya, "Apa pekerjaannya?""Guru.""Murid-murid pasti sangat menyukainya. Satu guru, satu kepala sekolah. Kalian benar-benar serasi," ujar Yasmin dengan jujur. Dia
Winnie berjalan mendekat. "Kenapa kamu ada di sini."Yasmin melihat Winnie dan tampak sangat terkejut. "Kamu ....""Aku bekerja di sini.""Aku mengingat Pak Raymond bilang kamu bekerja sebagai guru," kata Yasmin. "Aku punya tiga anak dan sedang berpikir haruskah aku menyekolahkan mereka di sini saja. Jadi, aku ingin bertanya-tanya."Winnie melihat Yasmin dengan terkejut. "Kamu sudah punya tiga anak? Aku nggak bisa melihatnya. Kamu muda sekali." Kalau begitu, dia tidak perlu mengkhawatirkan Yasmin sebagai saingannya. Dia mencurigai Yasmin adalah mantan pacar Raymond, tapi siapa yang akan menyukai wanita yang mempunyai tiga anak?Yasmin tersenyum. Dia memang masih muda, hanya saja dia cepat melahirkan.Tak peduli ke mana pun dia pergi, orang lain mengira dia masih mahasiswa. Bahkan mahasiswa tahun pertama."Kalau begitu, aku orang yang tepat. Aku sudah mengajar di sekolah ini hampir tiga tahun, jadi aku memahami semuanya," ujar Winnie.Setelah itu, terdengar suara klakson mobil di sebela
Yasmin berdiri di luar pintu. Setelah mobil itu menghilang dari pandangannya, dia baru masuk.Dia baru saja membuka pintu, lalu dia langsung melihat Klara sedang berdiri di sana sambil tersenyum. "Sepertinya itu bukan mobil Daniel?""Kenapa itu harus mobil Daniel? Apa dia nggak punya kesibukan sendiri?" Yasmin merasa dia sedang diejek ibunya."Apa itu Raymond?" tanya Klara.Yasmin tidak menyangkalnya. "Iya, itu dia. Ketika aku pergi membeli kursi pijat, aku berpapasan dengannya dan pacarnya. Setelah itu, dia mengantarku pulang." Dia tidak memberi tahu Klara kalau pacarnya Raymond memiliki tahi lalat di sudut mulutnya. Bagaimana kalau itu bukan dia? Lebih baik Yasmin merahasiakannya dulu."Pacar? Dia sudah punya pacar? Aku kira dia benar-benar nggak bisa melupakanmu. Ternyata dia juga bisa melupakan orang dengan mudah." Dia merasa pria yang bisa diandalkan benar-benar langka."Bukankah itu sangat bagus?" tanya Yasmin. "Aku dan dia nggak mungkin bisa bersama.""Iya, sekarang aku juga sud