Luna diam di dalam kamar, matanya terpaku pada sosok Rayyanza yang tertidur pulas di atas ranjang. Keheningan malam seolah memperkuat gejolak emosi yang berkecamuk dalam dirinya. Dilema besar tengah menghantuinya. Bagaimana jika ternyata Amanda benar hamil? Pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya, menimbulkan rasa bersalah yang semakin dalam. Ia merasa terjebak dalam situasi yang rumit, sebuah hubungan yang tidak seharusnya terjadi. Luna berpikir, mulai saat ini ia harus menjauhkan diri dari Rayyanza. Hubungan yang sudah jelas salah ini tidak boleh ia lanjutkan. Namun, baru saja ia berpikir demikian, tekadnya langsung goyah ketika teringat dengan perkataan Bibi Santika yang mengatakan Arshaka pasti membutuhkan sosok ayah. Ia semakin bingung, di satu sisi, ia ingin melakukan hal yang benar dengan menjauh dari Rayyanza. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan kebutuhan anaknya yang membutuhkan figur seorang ayah. Luna beranjak dri duduknya. "Sebaiknya, aku tidur di kamar
Rayyanza menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum menjawab pertanyaan Amanda. "Semalam aku tidur di kamar. Mungkin Mbok Ratna tidak melihat aku pulang," ujarnya, berbohong. Ia cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, "Bagaimana keadaanmu, Sayang?""Aku mual," jawab Amanda, suaranya terdengar lemah. "Bisakah kamu menyusulku ke sini? Aku ingin bersamamu," pintanya penuh harap."Eum ... hari ini aku sibuk," kilahnya, berusaha menghindari permintaan istrinya."Tapi aku membutuhkanmu, Sayang," desak Amanda, nada suaranya semakin memelas.Rayyanza menjadi bingung, merasa terjebak antara kewajiban sebagai suami dan perasaannya terhadap Luna. Ia terdiam sejenak, mencoba mencari jalan keluar.Akhirnya, dengan berat hati, Rayyanza menyerah. "Baiklah sayang. Aku akan memesan tiket dan terbang ke sana nanti sore," janjinya, meskipun dalam hati ia merasa bersalah karena harus membatalkan rencananya untuk kembali ke apartemen."Benarkah, Sayang?" tanya Amanda dengan senang."Ya, Say
"Sus Runi ...." Luna memanggil pelan. Suster Arshaka itu segera muncul di ambang pintu. "Tolong gendong Arshaka, aku mau mandi," pinta Luna, menyerahkan bayi yang tengah tertidur pulas itu pada Sus Runi.Di bawah siraman shower, Luna bernyanyi pelan, berusaha mengusir kegundahan yang menyelimuti hatinya. Tiba-tiba, suara ketukan di pintu kamar mandi menginterupsi nyanyiannya. "Bu, ponsel Anda berbunyi," ujar Sus Runi dari luar.Luna membuka pintu sedikit dan mengintip. "Siapa, Sus?""Bapak, Bu," jawab Sus Runi singkat.Luna segera mengeringkan tangannya dengan handuk, kemudian meraih ponsel dari tangan Sus Runi. Panggilan video dari Rayyanza masih muncul di layar. Ia menjawab panggilan tersebut, mendekatkan layar sehingga hanya wajahnya saja yang terlihat."Ada apa?" tanyanya, dengan rambut dan wajah yang tampak basah."Kamu sedang apa?" tanya Rayyanza di seberang sana."Aku sedang mandi," jawab Luna singkat."Wow ... coba sedikit jauhkan kameranya," goda Rayyanza.Luna mendengus, "En
Di sudut sebuah kafe, Luna dan Ryuki masih berbincang. Cangkir ice cappuccino di atas meja kini telah kosong. "Oh ya, kamu tinggal di unit berapa?" tanya Ryuki."Aku tinggal di unit tiga lima dua," jawab Luna dengan senyum tipis."Bolehkah kapan-kapan aku main ke unitmu?""Tentu saja boleh." Luna menjawab dengan ramah.Menyadari hari yang semakin malam, Luna mencoba beranjak dari duduknya, hendak kembali ke dalam unit. "Sudah malam. Kalau begitu, aku permisi," ujarnya sopan."Tunggu, Luna!" seru Ryuki tiba-tiba, membuat langkah Luna terhenti."Ada apa?" tanya Luna, sedikit terkejut.Dengan sedikit gugup, Ryuki memberanikan diri untuk bertanya, "Bolehkah aku meminta nomor teleponmu?"Tanpa keberatan, Luna kemudian memberitahukan nomor ponselnya kepada Ryuki. Setelah itu, ia berpamitan, meninggalkan Ryuki yang masih terpaku di tempat duduknya.Pria bermata sipit itu, terus memandangi Luna yang semakin menjauh. Ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wanita
Mentari pagi mengintip malu-malu dari balik tirai, membangunkan Luna dari tidurnya. Jemarinya meraba nakas di samping ranjang, meraih ponsel yang berkedip lemah. Layarnya menyala, menampilkan pesan dari Rayyanza yang terbengkalai sejak semalam.[Mengapa kamu menutup teleponnya?]Luna menghela nafas panjang, membiarkan pesan itu tenggelam. Dengan langkah yang masih berat oleh kantuk, Luna melangkah ke kamar Arshaka. Di sana, putra kecilnya telah terjaga, sepasang mata bulat berbinar menatapnya."Sudah tidak menangis, jagoan mama?" tanya Luna lembut, dengan suara serak khas bangun tidur.Sus Runi, yang tengah sibuk merapikan lemari bayi, menyahut, "Dek Arshaka baru saja selesai menyusu, Bu. Tenang sekali pagi ini."Luna mengangkat Arshaka ke dalam dekapannya. "Anak mama makin tampan saja," bisiknya, mengecup pipi gembil sang buah hati."Makin hari, wajahnya semakin mirip dengan bapak ya, Bu," komentar Sus Runi.Luna tersenyum tipis mendengarnya. "Benarkah?" katanya sembari memperhatika
Senja mulai merambat ketika ketukan lembut terdengar di pintu unit. Luna membukanya, dan seketika terpana. Di hadapannya berdiri sosok pria tampan dalam balutan kemeja putih dan jeans sobek yang membuatnya terlihat begitu menawan."Ryuki?" nama itu meluncur dari bibir Luna, bercampur rasa terkejut dan senang."Aku membawakanmu ini," Ryuki tersenyum, mengangkat jinjingan berisi pizza yang menggoda.Meski ragu, Luna tak kuasa menolak kebaikan Ryuki. "Ayo, masuklah," ajaknya dengan senyum hangat.Pria bermata sipit, berhidung mancung, melepas alas kakinya dan melangkah masuk. Ia duduk di sofa dengan gerakan yang anggun."Mau minum apa?" tawar Luna."Apa saja," jawab Ryuki dengan santai. Mata pria itu menjelajahi ruangan. "Jika dilihat dari unit yang dihuninya, sepertinya suami Luna orang kaya. Karena tidak mungkin orang biasa-biasa mampu membeli unit termewah di apartemen ini," gumam Ryuki dalam hati. Ia menjadi penasaran, siapa suami Luna sebernarnya? Tiba-tiba, tangisan Arshaka memec
Di apartemen, Luna terduduk lemas, tubuhnya seolah kehilangan seluruh tenaga. Berita dari Amanda bagai petir di siang bolong, menghantam jiwanya tanpa ampun."Halo ... Luna?" seru Amanda."Ya, Manda," jawab Luna dengan suara bergetar. "Kita berdoa saja semoga Rayyan selamat," katanya, berpura-pura tenang.Setelah memutus sambungan telepon, Luna termangu. Pikirannya berkecamuk, membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada Rayyanza. Jika sesuatu yang buruk benar-benar terjadi, bagaimana nasib dirinya dan Arshaka?Air mata mulai mengalir tanpa bisa dibendung, membasahi pipinya yang pucat. Isakan lirih lolos dari bibirnya yang bergetar. Hatinya seolah diremas kuat-kuat, meninggalkan rasa sakit yang tak tertahankan. Tiba-tiba, tangisan Arshaka memecah keheningan dari dalam kamar, seolah ikut merasakan kesedihan ibunya. Suara tangisan itu menambah perasaan tak enak yang menyelimuti Luna.Langsung saja, Luna menyeka air mata. Dengan langkah gontai, ia bergegas masuk ke dalam kam
Malam itu, Luna membalas ciumannya. Rayyanza semakin terbawa suasana, ciuman mereka semakin dalam, kedua tangannya menyusuri lekuk tubuh Luna.Akhirnya Luna melepaskan diri, terengah-engah. "Cepat ke mobil, ganti bajumu. Bukankah kamu merindukan Arshaka?"Rayyanza tak segera beranjak. Ia memandangi bibir tipis Luna yang memerah dan basah dari jarak dekat. Ia ingin menciumnya sekali lagi, namun Luna menolak, segera membuang wajah ke samping."Cepat ambil pakaianmu, jangan lupa telepon Amanda. Beri dia kabar bahwa kamu baik-baik saja. Dia sangat mengkhawatirkanmu." kata Luna. Pria tampan itu mengangguk. "Baiklah ...." Ia kemudian beranjak. "Tapi, nanti kita tidur bertiga, oke?""Tidak! Enak saja!" tolak Luna tegas, namun senyum kecil tersungging di bibirnya.Rayyanza tersenyum, seolah mengerti dengan senyum tipis yang mengembang di bibir Luna. Dengan langkah yang tergesa, pria itu meninggalkan unit apartemen. Lift membawanya turun ke basement. Baru saat itu ia tersadar, bahwa ponseln