Rayyanza berdiri di depan cermin di ruang kerjanya, berusaha menenangkan diri sambil merapikan penampilannya. Tanpa ia sadari, aroma minyak bayi yang sebelumnya digosokkan oleh Sus Runi pada tubuh Arshaka masih menempel di kemejanya.Jantungnya berdebar kencang saat Amanda tiba-tiba masuk ke dalam ruangan."Mengapa wangi bayi?" tanya Amanda, hidungnya menangkap aroma yang tak asing ketika ia memeluk Rayyanza.Rayyanza terkejut dan gugup seketika. "Oh, ya?" Ia menunduk, menarik sedikit kemeja dan menciumnya. Kaget, ia menyadari bahwa aroma Arshaka memang masih tertinggal.Otaknya berpacu mencari alasan. "Tadi, aku bertemu calon investor yang membawa anak kecil. Ya, nama investornya Pak Hendra," Rayyanza berbohong, berusaha terdengar meyakinkan. "Anaknya menggemaskan sekali, jadi aku gendong sebentar. Tapi aku tidak menyangka wanginya akan menempel seperti ini."Amanda menyimak, memperhatikan gelagat Rayyanza yang mencurigakan. "Tapi, sebelumnya aku tanya asistenmu, kamu tidak ada jadwa
Rayyanza tiba-tiba menyadari bahwa perdebatan mereka telah menarik perhatian orang-orang yang ada di lobi. Ia melepaskan cengkeramannya dari kerah Ryuki, berusaha menenangkan diri.Ryuki merapikan kemejanya yang kusut lalu tersenyum. "Bagaimana kalau kita mengopi?" tawarnya."Aku tidak punya waktu!" jawab Rayyanza ketus, berusaha mengakhiri percakapan secepatnya.Mengabaikan Ryuki, Rayyanza bergegas memesan beberapa minuman dan makanan, membayarnya dengan tergesa-gesa."Apa kamu tidak takut Amanda mengetahuinya?" Ryuki kembali memancing saat Rayyanza akan melangkah pergi.Rayyanza menghentikan langkah, menoleh, menatap Ryuki dengan tatapan tajam. "Mengapa kamu mengurusi urusanku?" balasnya sinis.Ryuki terdiam sejenak kemudian berkata, "Aku menyukai Luna. Aku tidak ingin kamu menyakitinya! Sebaiknya, kamu tidak usah serakah."Rayyanza mendengus dan tersenyum sinis. "Sudah kuduga, kamu pasti mempunyai maksud tertentu," ujarnya. "Asal kamu tahu, aku tidak takut Amanda mengetahuinya dan
Rayyanza, dengan gerak-gerik canggung, tiba-tiba berkata, "A-Aku mau ke toilet." katanya dengan terbata-bata. Ia bergegas melangkah menuju toilet, memanfaatkan letak toilet yang kebetulan berdekatan dengan dapur.Luna, bangkit perlahan, melangkah ke dapur untuk menyiapkan susu. Tanpa sengaja, matanya menangkap bayangan Rayyanza melalui celah pintu kamar mandi yang sedikit terbuka. Pria itu terlihat gelisah dan salah tingkah.Setelah selesai, Luna kembali ke ruang tamu. Ia menyerahkan botol susu kepada Amanda yang tengah menggendong Arshaka. Bayi mungil itu segera menyambut botolnya, menyedot isinya dengan penuh semangat.Tak lama kemudian, Rayyanza kembali dan duduk di samping Amanda. Suasana mulai mencair ketika Amanda berkata dengan nada riang, "Sayang, lihat, dia tampan sekali dan sangat menggemaskan." Rayyanza melirik Arshaka, lalu tersenyum kaku, mengangguk menanggapi ucapan Amanda."Oh, ya, kapan kamu akan mulai bekerja?" tanya Amanda pada Luna. Pertanyaan itu membuat Luna bingu
Suasana basement apartemen yang biasanya sepi itu kini diliputi ketegangan. Amanda berdiri di sana, sosoknya gemetar menahan amarah dan kepedihan yang tak terbendung. Matanya yang berkaca-kaca menatap tajam pada dua orang yang selama ini ia percayai sepenuhnya."Apa kamu bilang?" suara Amanda bergetar. Bibirnya tersenyum menahan pedih.Luna dan Rayyanza terpaku, seolah disambar petir di siang bolong. Jantung mereka berdegup kencang, seakan ingin melompat keluar dari dada. "Ma-manda?" Luna tergagap, dengan suara nyaris tak terdengar.Rayyanza berdiri kaku. Amanda menatap tajam, matanya menyala-nyala penuh amarah. "Katakan sekali lagi, Rayyan!" teriaknya, suaranya memecah keheningan malam. "Apakah benar yang kamu katakan barusan, hah?!"Mendengar teriakan Amanda, Arshaka tiba-tiba menangis kencang. Rayyanza, tak sanggup menjawab, ia malah sibuk mengayun-ayunkan Arshaka, berusaha untuk menenagkannya."Aku akan menjelaskannya di rumah."Amanda mendengus kasar. "Jadi itu benar? Barusan aku
Mobil Amanda melaju perlahan meninggalkan basement, membawa serta kepingan hatinya yang telah hancur. Air matanya mengalir tanpa henti, membasahi wajahnya yang pucat pasi.Sementara itu, Rayyanza berdiri termangu, matanya tak lepas dari mobil Amanda yang menjauh. Dalam hatinya berkecamuk berbagai perasaan, "Apa yang akan terjadi selanjutnya, aku benar-benar sudah tidak peduli. Aku sangat mencintai Luna dan ini adalah konsekuensi yang harus aku terima," batinnya.Dengan perasaan tak menentu, Rayyanza memacu mobilnya menuju rumah sakit. Setibanya di sana, ia menemukan Luna dan Ryuki yang tengah duduk di kursi tunggu. Tanpa basa-basi, ia mengambil alih Arshaka dari gendongan Ryuki, menempelkan pipi mungilnya ke pipinya sendiri untuk mengecek suhu tubuh sang buah hati."Apa kata dokter?" tanya Rayyanza, suaranya penuh kekhawatiran."Hanya demam biasa," jawab Ryuki singkat. "Kamu sudah datang, sebaiknya aku pergi."Namun baru beberapa langkah, Ryuki berhenti dan kembali menghampiri Rayyanz
"Tenangkan dirimu, Manda. Bercerai bukan hal yang sesederhana itu," ujarnya dengan nada lembut namun tegas.Amanda, dengan mata yang masih berkaca-kaca, menatap mertuanya dengan pandangan terluka. "Tapi, Ma ... untuk apa dipertahankan jika sudah jelas Rayyan mencintai wanita lain? Terlebih, wanita itu sahabatku sendiri." Suaranya bergetar, air mata kembali menggenang di pelupuk matanya.Bu Dona, masih berusaha mengendalikan situasi, berpaling pada putranya dengan tatapan tajam. "Rayyan ... pokoknya Mama tidak mau tahu. Tinggalkan wanita itu dan jangan pernah menemuinya lagi!" ucapnya penuh penekanan."Tidak, Ma! Aku tidak bisa melepasnya. Aku sangat mencintainya." Kata-kata itu meluncur dari bibirnya tanpa ragu, menghantam Amanda bagai ribuan jarum yang menusuk jantungnya.Dada Amanda terasa sesak mendengarnya. Ia merasa dunianya runtuh dalam sekejap, cintanya diremukkan tanpa belas kasihan.Bu Dona, yang kini dipenuhi amarah dan kekecewaan, membentak putranya. "Kamu ini bagaimana? Li
Luna terbelalak melihat wanita paruh baya yang berdiri di depannya. "Bu Dona?" serunya dengan suara bergetar.Bu Dona melangkah mendekat, tatapannya penuh kemarahan. la melirik bayi yang berada dalam gendongan Luna dengan pandangan tajam. Tanpa ragu, ia menjentikkan jarinya, memanggil dua pria berbadan tegap yang berdiri di belakangnya. "Ambil!" perintahnya tegas."Baik, Bu!" sahut salah satu pria itu, lalu tanpa basa-basi ia merenggut Arshaka dari pelukan Luna.Luna berusaha mempertahankan bayinya. Namun kekuatan pria itu terlalu besar. Dengan kasar, ia merampas Arshaka, membuat bayi itu menangis keras. Luna berteriak histeris saat melihat Arshaka berpindah ke dalam gendongan pria tersebut.Dengan tangan gemetar, Sus Runi mencoba menghubungi Rayyanza. Namun, belum sempat tangannya mencari kontak Rayyanza, pria yang satunya lagi sudah merebut ponselnya.Bu Dona sama sekali tidak memedulikan tangisan Arshaka dan Luna. Meskipun bayi itu adalah cucunya, darah dagingnya sendiri, kebencian
Rayyanza membuka pintu apartemen dengan perasaan sedikit gelisah. "Sayang ...?" panggilnya beberapa kali, suaranya menggema dalam keheningan.Ketika tak ada jawaban, ia melangkah masuk ke kamar Luna, hatinya mencelos melihat meja rias yang biasanya dipenuhi barang-barang kini kosong melompong.Dengan tangan bergetar, Rayyanza membuka lemari pakaian. Nafasnya tercekat mendapati isinya lenyap, seolah-olah Luna tak pernah ada di sana. Panik mulai menguasainya. Ia bergegas keluar, berniat mencari Sus Runi untuk meminta penjelasan.Namun, baru saja ia hendak keluar kamar, sosok Sus Runi sudah berdiri di ambang pintu. Wajah wanita pengasuh Arshaka itu pucat pasi, sorot matanya menyiratkan ketakutan yang dalam."Ada apa ini, Sus?" tanya Rayyanza.Sus Runi tergagap, "Ma-maaf, Pak. Saya tidak tahu."Rayyanza melongok ke dalam kamar Arshaka, putranya. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat melihat box bayi dan lemari yang juga kosong. "Ke mana Ibu dan Arshaka?" desaknya dengan raut cemas.Sus
Dua minggu berlalu dengan cepat. Malam itu, Amanda menginap di apartemen Luna, berniat menemani sahabatnya sebelum melepas masa lajang. "Kapan kamu dan Ryuki akan menyusul kami?" tanya Luna pada Amanda, penuh keingintahuan.Amanda tersenyum lembut, tangannya dengan lembut menyisir rambut panjang Luna. "Doakan saja, semoga kami cepat menyusul kalian."Luna melirik jam yang menggantung di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Apa kamu tidak mengantuk?" tanyanya pada Amanda."Aku belum mengantuk," balas Amanda. "Besok kamu akan menikah, sebaiknya kamu tidur agar wajahmu fresh."Luna menggeleng pelan. "Aku juga tidak bisa tidur."Amanda tersenyum maklum. "Kalau begitu, bagaimana jika kita paksakan untuk tidur?" usulnya, lalu mematikan lampu kamar. Ia memeluk tubuh Luna dengan lembut. "Sini biar aku peluk.""Lepas, Manda, geli!" Luna meronta, tawanya terdengar dalam kegelapan.Amanda tertawa kecil. "Apa kamu ingat, dulu ketika kuliah, kita sering tidur bersama seperti ini."Lu
Malam berganti pagi. Sinar mentari yang hangat mulai merayap masuk melalui celah-celah tirai, membangunkan Luna dari tidur lelapnya. Ia mengerjapkan mata, berusaha memfokuskan pandangan. Seketika, ia terkesiap mendapati dirinya berada dalam pelukan Rayyanza. Kehangatan tubuh pria itu membuatnya nyaman, tetapi juga membuat jantungnya berdegup kencang.Pergerakan Luna rupanya cukup untuk membangunkan Rayyanza. Pria itu menggeliat pelan, tangannya masih melingkar di pinggang Luna. Di samping Rayyanza, terdengar ocehan riang Arshaka yang sudah terjaga."Ah, anak mama sudah bangun?" kata Luna, menoleh pada putranya dengan senyum lembut.Rayyanza, masih setengah tertidur, dengan gerakan manja menyembunyikan wajahnya di perut Luna. "Aku masih ngantuk, Sayang," rengeknya."Lagi pula, siapa yang membangunkanmu? Aku mengajak bicara Arshaka," ujarnya. "Jika masih ngantuk, tidur lagi saja."Mata Luna melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 07.00 pagi. Perlahan, ia beranjak dari tempat tidur,
Malam itu, setelah perjalanan yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di basement apartemen. Luna turun dari mobil dengan hati-hati, kakinya yang masih terpincang membuatnya sedikit kesulitan. Ia berdiri sejenak, mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang remang-remang itu. Tanpa bisa dicegah, ingatannya melayang ke malam yang kelam, malam di mana persahabatannya dengan Amanda hancur berkeping-keping. Namun, kini segalanya telah berubah. Luna merasa sangat bersyukur, menyadari bahwa pada akhirnya, semuanya baik-baik saja.Mereka melangkah bersama-sama menuju lift. Ruangan berdinding besi itu membawa mereka naik ke lantai sepuluh dalam keheningan yang nyaman. Setibanya di depan pintu apartemen, Amanda tiba-tiba berpamitan, suaranya terdengar sedikit gugup."Maaf, aku tidak bisa lama. Aku sudah ada janji dengan seseorang," ujarnya.Semua mata tertuju pada Amanda, dan Luna pun tak bisa menahan rasa penasarannya. "Mau ke mana malam-malam begini?" tanyanya, dengan alis yang terangk
Siang menjelang sore, suasana di rumah mendiang nenek Luna terasa hangat. Bu Dona masih terus mengajak main Arshaka yang mulai mengoceh. Bayi itu juga sering melebarkan senyum, membuat ingatan Bu Dona kembali ke masa Rayyanza masih bayi."Mengapa kamu mirip sekali dengan papamu, Nak?" cetusnya, memandangi wajah polos Arshaka.Luna baru saja keluar dari kamar mandi, dengan balutan handuk, ia melangkah terpincang-pincang hendak masuk ke kamar. Rayyanza yang saat itu tengah berdiri di antara ruang tamu dan ruang tengah menoleh ke arah Luna, kemudian melangkah mendekatinya. "Sudah selesai mandinya, Sayang?" tanyanya seraya memegangi tangan Luna agar tidak jatuh.Wanita yang hanya berbalut handuk itu merasa malu dan risih. "Sudah, sana! Aku bisa sendiri.""Aku hanya ingin membantumu berjalan," Rayyanza bersikeras."Tapi aku malu!" protes Luna."Malu?" Rayyanza tertawa. "Mengapa malu? Bahkan aku pernah melihatmu tanpa sehelai kain.""Sudah hentikan, Rayyan! Itu tidak lucu sama sekali!" Lun
Rayyan langsung melepaskan pelukannya saat menoleh ke arah pintu masuk. Luna dengan ramah mengajak Irwan untuk masuk, "Ayo, masuk, Mas."Irwan, pria desa yang telah menaruh hati pada Luna itu berdiri canggung di ambang pintu. "Maaf, sepertinya sedang ada pertemuan penting. Sebaiknya saya kembali lagi nanti," ucapnya, hendak melangkah pergi."Tunggu!" panggil Luna tiba-tiba. Irwan berhenti dan kembali menghadap Luna."Masuklah, Mas. Kenalkan, ini Ayah anak saya," kata Luna tanpa menyadari betapa menyakitkan kalimat itu bagi Irwan. Seketika, harapan yang baru saja muncul di mata Irwan langsung sirna, digantikan oleh kekecewaan yang ia coba sembunyikan.Irwan memaksakan senyum dan mengangguk, melangkah masuk mendekati Luna. Tangannya terulur, mengajak bersalaman pada Rayyanza. "Saya Irwan," ucapnya dengan suara yang ia usahakan agar tetap tenang.Rayyanza menatap Irwan dari atas hingga bawah. Kali ini, ia tidak merasa cemburu seperti pada Ryuki karena Irwan tidak semenarik Ryuki. Ayah A
Sekujur tubuh Rayyanza menegang ketika melihat sosok wanita yang sangat dikenalnya. "Sayang ...," gumamnya. Pria tampan itu segera melangkah menerobos kerumunan hiruk-pikuk pasar, diikuti oleh Bu Dona, Amanda, dan Nikita yang berjalan di belakangnya. Mereka tampak tergesa-gesa, seolah-olah tengah mengejar seseorang.Sementara itu, Luna sama sekali tidak menyadari kehadiran Rayyanza. Ia masih fokus melayani pembeli, tangannya menyodorkan kantong plastik hitam berisi ikan yang baru saja ditimbangnya, sembari menerima uang pembayaran. "Terima kasih," ucapnya ramah seraya tersenyum.Baru saja ia akan memasukkan uang hasil penjualannya ke dalam dompet, tiba-tiba terdengar suara yang sangat tidak asing lagi di telinganya. "Sayang ...?!"Luna menoleh dan terhenyak kaget, matanya melebar saat melihat Rayyanza berdiri di hadapannya. Namun, begitu melihat Bu Dona berada di belakang Rayyanza, Luna segera berbalik badan dan berlari kecil menjauhi mereka, ketakutan jika Bu Dona akan kembali menga
Suasana di dalam ruangan rawat dipenuhi oleh haru. Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Bu Dona dan Amanda, sementara Nikita berusaha menahan isakan yang tertahan di tenggorokannya. "Benarkah?" tanya Rayyanza dengan mata yang berbinar, seolah mendapatkan kembali cahaya kehidupan yang telah lama redup.Nikita mengangguk, air mata menetes di pipinya. "Iya, Kak Rayyan. Pokoknya, Kak Rayyan harus sehat.""Jadi, di mana mereka tinggal?""Mereka tinggal di sebuah desa terpencil di Sukabumi," terang Nikita."Desa terpencil? Pantas sulit sekali menemukannya," cetus Amanda."Mari kita pergi ke sana!" Rayyanza tiba-tiba terlihat sangat bersemangat, berusaha bangkit dari tempat tidurnya."Kak Rayyan sedang sakit, sebaiknya aku saja yang pergi," Nikita mencoba menahan."Tidak! Aku ingin ikut," Rayyanza bersikeras.Bu Dona ikut menimpali dengan nada khawatir, "Tapi Rayyan ... sebaiknya kamu pulihkan dulu kesehatanmu.""Aku akan sehat, Ma. Aku pasti kuat. Mulai sekarang aku akan makan dengan laha
Dengan hati yang dipenuhi rasa sakit, Nikita memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka. Rasa bencinya terhadap keluarga Rayyanza telah membutakan nuraninya, membuatnya tak peduli dengan keadaan Rayyanza.Melihat situasi yang tidak menguntungkan, akhirnya Amanda mengajak Bu Dona untuk mundur. "Ayo, Ma, sebaiknya kita kembali ke rumah sakit."Bu Dona hanya bisa mengangguk pasrah, kesedihan terpancar jelas di wajahnya karena gagal membujuk Nikita. Keduanya melangkah keluar dari kafe dengan langkah berat, masuk ke dalam mobil yang terparkir di luar.Selama perjalanan kembali ke rumah sakit, Amanda melajukan mobil dengan hati-hati. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari cara lain untuk menemukan Luna.Setibanya di rumah sakit, sebuah ide muncul di benak Amanda. Ia melangkah cepat menuju ruang informasi, berniat untuk melihat rekaman CCTV saat Bu Dona keluar meninggalkan ruangan rawat Rayyanza sebelumnya.Dengan alasan keamanan, pihak rumah sakit mengizinkan Amanda dan Bu Dona untuk ma
Suasana di ruangan VVIP rumah sakit terasa begitu memilukan. Rayyanza, terbaring lemah di ranjangnya, menatap nanar ke arah Bu Dona. Matanya menyiratkan harapan yang begitu rapuh ketika ia bertanya dengan suara lirih, "Benar, Ma? Mama akan mengizinkan aku untuk bertemu dengan Luna dan juga anakku?"Bu Dona hanya bisa mengangguk, tak sanggup berkata-kata. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya menetes. Ia kemudian berbalik badan dan melangkah keluar ruangan, diikuti oleh Amanda.Di luar kamar, Bu Dona langsung menghadap Amanda. "Di mana wanita itu tinggal?" tanyanya.Amanda menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, Ma. Kemarin aku sudah berusaha mencari Luna, tetapi tidak diketahui keberadaannya," jelasnya dengan wajah sedih."Lalu kita harus mencarinya ke mana?" tanya Bu Dona lagi.Saat itulah, Bu Dona yang selama ini dikenal keras kepala akhirnya menyadari sesuatu. Satu-satunya hal yang bisa mengembalikan semangat hidup Rayyanza adalah Luna dan anaknya. Rasa takut kehilangan putranya ka