Saat Rayyanza hendak meninggalkan kafe, matanya menangkap sosok Nikita yang sedang berjalan di dekat sana. Nikita, yang menyadari kehadiran Rayyanza, segera memalingkan wajah dan berusaha menghindar. Namun, Rayyanza dengan cepat mengejarnya dan menahannya."Katakan, di mana Luna?" tanya Rayyanza."Aku tidak tahu!" jawab Nikita tegas."Tidak mungkin kamu tidak mengetahuinya. Ayo katakan di mana Luna?" Rayyanza semakin mendesak."Aku tidak tahu! Dia pergi tidak bilang akan ke mana." "Kamu pasti berbohong. Aku mohon beritahu di mana Luna berada?!" Rayyanza mulai frustasi."Aku benar-benar tidak tahu, Kak! Dia bilang akan pergi menenangkan diri, menjauh dari Kak Rayyan, terutama dari Ibu Kak Rayyan," ucap Nikita seraya mendelik, menunjukkan ketidaksukaannya.Rayyanza mendaratkan kedua tangannya di bahu Nikita. "Lihat aku, Nik. Tolonglah aku sekali ini saja, aku harus bertemu dengan Luna dan Arshaka."Nikita menghempaskan tangan Rayyanza. "Sudah kubilang aku tidak tahu! Berhenti menggangg
Luna menyantap nasi goreng buatan Bu Endah dengan lahap, merasakan kehangatan makanan rumahan yang sudah lama tidak ia nikmati. Setiap suapan seolah mengisi tidak hanya perutnya yang lapar, tetapi juga hatinya yang merindukan rasa 'rumah'. Setelah menghabiskan sarapannya, Luna kembali ke rutinitas membersihkan rumah. Ia mengibas-ngibas sofa tua menggunakan sapu lidi, mengusir debu yang telah lama bersemayam. Tangannya dengan telaten mengelap meja, jendela, dan berbagai perabotan peninggalan sang nenek. Suara ketukan lembut di pintu mengalihkan perhatian Luna. Ia menoleh ke arah pintu yang tidak tertutup rapat dan melihat sosok Bu Endah berdiri di ambang pintu. "Bu Endah," sapa Luna ramah. "Silakan masuk." Bu Endah melangkah masuk, matanya menyapu ruangan yang kini terlihat lebih bersih. "Arshaka tidur?" tanyanya lembut. "Iya, Bu. Di kamar," jawab Luna, tersenyum kecil. Bu Endah terdiam sejenak, matanya terus memandangi Luna. Akhirnya, dengan hati-hati ia bertanya, "Ayah Ars
Sebelum fajar menyingsing, suara alarm memecah kesunyian kamar yang tidak terlalu luas. Luna, membuka mata perlahan, tangannya meraba-raba mencari ponsel di sampingnya. Layar berpendar redup menunjukkan pukul setengah empat pagi.Luna bangkit dari tidurnya. Hari ini ia akan menemani Bu Endah berjualan ikan segar di pasar. Tanpa membuang waktu, ia bergegas masuk ke kamar mandi. Air payau menyentuh kulitnya, terasa hangat berkat iklim pantai yang panas. Usai bersiap, Luna mengemas perlengkapan Arshaka dengan teliti - dua setel pakaian, popok cadangan, termos air, dan persediaan susu. Semua masuk ke dalam ransel yang akan ia bawa. Arshaka masih terlelap, wajahnya damai bagai malaikat kecil. Dengan hati-hati Luna membalut tubuh mungil itu dengan selimut, kaus kaki, dan topi untuk melindunginya dari dinginnya udara pagi.Pintu rumah berdecit pelan saat Luna melangkah keluar. Langit masih tampak gelap gulita, bahkan azan subuh pun belum berkumandang. Ia melangkahkan kaki menuju rumah Bu En
Siang itu, keheningan rumah keluarga Rayyanza terpecah oleh jeritan Bu Dona yang memilukan. Di dalam kamar yang luas, wanita paruh baya itu menemukan putranya terbaring tak sadarkan diri di atas lantai dingin. Jantungnya seolah berhenti berdetak saat melihat tubuh Rayyanza yang tergeletak lemah."Rayyan, bangun!" teriak Bu Dona, air mata tumpah di pipinya. dengan tangan yang gemetar, Bu Dona menggoyang-goyangkan tubuh Rayyanza agar terbangun. Namun, tidak ada respon sedikitpun dari Rayyanza. "Segera telepon ambulans!" teriak Bu Dona entah pada siapa.Sementara itu, ayah Rayyanza berusaha tetap tenang. Ia meraih ponselnya dan segera menghubungi layanan darurat. Pria bertubuh kekar kemudian mengangkat tubuh Rayyanza yang terkulai lemas, memindahkannya ke atas kasur dengan hati-hati.Bu Dona terus mencoba membangunkan Rayyanza, jemarinya yang lembut menyentuh wajah Rayyanza yang pucat. Tubuhnya masih terasa hangat, tetapi denyut nadinya begitu lemah. Tangis Bu Dona semakin pecah. "Menga
Masih di ruangan VVIP rumah sakit, Bu Dona menatap putranya dengan mata berkaca-kaca. Kesedihan tergambar jelas di wajahnya saat melihat air mata mengalir di pipi Rayyanza. Ia mulai menyadari betapa dalam cintanya pada wanita dari latar belakang sederhana itu, tetapi hatinya tetap kukuh tidak merestui."Jangan siksa dirimu seperti ini, Rayyan. Kasihanilah dirimu sendiri," ujar Bu Dona dengan lembut."Biarkan aku mati, Bu. Apa gunanya hidup jika hanya untuk menderita?" jawabnya dengan suara parau.Mendengar ucapan Rayyanza, air mata kembali menggenang di pelupuk mata Bu Dona. Kekhawatiran pada putra semata wayangnya membuat hatinya seakan tercabik-cabik.Bu Dona berniat mencari bantuan untuk menyemangati Rayyanza. Ia menghubungi Amanda, memberitahukan kondisinya saat ini. Suara terkejut Amanda terdengar di seberang telepon, "Apa? Bagaimana bisa, Ma?" Tanpa pikir panjang, Amanda memutuskan untuk segera terbang ke Jakarta.Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka. Pria berambut putih mem
Masih di dalam kafe berkonsep alam terbuka, Nikita berdiri menatap Amanda dengan tatapan sinis."Ikut denganku!" seru Nikita, lalu bergegas mencari meja yang nyaman untuk mereka berdua.Nikita memilih tempat duduk di bawah pohon rindang, tempat yang disenangi oleh Luna ketika ia datang ke kafe Bibi Santika. Seketika, kenangan Amanda tentang Luna pun kembali tergugah.Tak lama kemudian, Bibi Santika, memerintahkan salah satu pelayan untuk menghidangkan dua gelas strawberry float di meja Nikita dan Amanda."Apa yang ingin Kak Manda bicarakan?" tanya Nikita dengan nada datar.Amanda tak membuang-buang waktu, langsung melontarkan pertanyaan yang sedari tadi mengusik pikirannya. "Di mana Luna?""Aku tidak tahu!"Amanda mengernyitkan dahi. "Tidak mungkin kamu tidak mengetahui keberadaan Luna. Aku tahu kamu ingin melindunginya, tapi saat ini Rayyan sangat membutuhkannya."Nikita menatap Amanda dengan tatapan sinis. "Kami tidak ingin berurusan lagi dengan kalian," jawabnya ketus.Amanda merub
Masih di rumah Antonio, Amanda duduk dan berbincang bersama dua pria tampan. Pembicaraan mereka terhenti sesaat ketika Antonio bertanya, "Oh, ya, Manda, ngomong-ngomong ada apa kamu tiba-tiba datang kemari?"Amanda melirik sekilas ke arah Haikal sebelum menjawab, "Oh, itu, euh ... nanti saja." Haikal mengerti bahwa apa yang akan dibicarakan Amanda mungkin adalah sesuatu yang bersifat pribadi. Ia pun segera berpamitan, "Kalau begitu aku permisi, aku harus kembali bekerja."Namun, Amanda mencegahnya, "Loh, mau kemana? Santai saja dulu. Mengapa langsung berpamitan?" Haikal pun segera beranjak dari duduknya. "Nanti, lain waktu kita berbincang lagi. Aku harus kembali bekerja," katanya.Setelah Haikal pergi, Antonio langsung menoleh ke arah Amanda dan bertanya, "Ada apa, Manda? Apa kamu sedang terjerat kasus hukum?""Memangnya semua teman yang mengunjungimu itu karena terjerat kasus hukum, ya?" balas Amanda. "Eum, tidak juga, sih," Antonio menanggapi.Amanda terdiam sejenak sebelum akhi
Masih di rumah sederhana itu, Irwan menunduk malu. "Eh, Bu Endah. Begini, Bu, saya mengantar Luna pulang. Tadi dia baru saja dirampok," jelasnya dengan hati-hati."Apa? Dirampok?" seru Bu Endah terkejut.Irwan mengangguk. "Iya, Bu. Saya menemukannya sedang menangis di pinggir jalan. Perampoknya sudah menghilang."Bu Endah menghela napas, "Aduh, ada-ada saja," gumamnya sambil mendekati Luna."Kalau begitu, saya permisi, Bu," pamit Irwan."Terima kasih, Mas Irwan," ucap Luna tulus.Sepeninggal Irwan, Luna menceritakan kejadian nahas yang menimpanya kepada Bu Endah dengan isakan tertahan. Bu Endah dengan lembut mengambil alih Arshaka yang masih gelisah."Maaf, Bu. Semua uangnya hilang. Tapi saya akan berusaha menggantinya dari hasil jualan saya setiap hari," kata Luna penuh penyesalan."Sudahlah, Luna. Tidak usah dipikirkan. Yang terpenting kamu dan Arshaka selamat," hibur Bu Endah.Luna menatap Bu Endah dengan haru, terkesima oleh kebaikan wanita berusia 55 tahun itu.Sore harinya, Luna
Dua minggu berlalu dengan cepat. Malam itu, Amanda menginap di apartemen Luna, berniat menemani sahabatnya sebelum melepas masa lajang. "Kapan kamu dan Ryuki akan menyusul kami?" tanya Luna pada Amanda, penuh keingintahuan.Amanda tersenyum lembut, tangannya dengan lembut menyisir rambut panjang Luna. "Doakan saja, semoga kami cepat menyusul kalian."Luna melirik jam yang menggantung di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Apa kamu tidak mengantuk?" tanyanya pada Amanda."Aku belum mengantuk," balas Amanda. "Besok kamu akan menikah, sebaiknya kamu tidur agar wajahmu fresh."Luna menggeleng pelan. "Aku juga tidak bisa tidur."Amanda tersenyum maklum. "Kalau begitu, bagaimana jika kita paksakan untuk tidur?" usulnya, lalu mematikan lampu kamar. Ia memeluk tubuh Luna dengan lembut. "Sini biar aku peluk.""Lepas, Manda, geli!" Luna meronta, tawanya terdengar dalam kegelapan.Amanda tertawa kecil. "Apa kamu ingat, dulu ketika kuliah, kita sering tidur bersama seperti ini."Lu
Malam berganti pagi. Sinar mentari yang hangat mulai merayap masuk melalui celah-celah tirai, membangunkan Luna dari tidur lelapnya. Ia mengerjapkan mata, berusaha memfokuskan pandangan. Seketika, ia terkesiap mendapati dirinya berada dalam pelukan Rayyanza. Kehangatan tubuh pria itu membuatnya nyaman, tetapi juga membuat jantungnya berdegup kencang.Pergerakan Luna rupanya cukup untuk membangunkan Rayyanza. Pria itu menggeliat pelan, tangannya masih melingkar di pinggang Luna. Di samping Rayyanza, terdengar ocehan riang Arshaka yang sudah terjaga."Ah, anak mama sudah bangun?" kata Luna, menoleh pada putranya dengan senyum lembut.Rayyanza, masih setengah tertidur, dengan gerakan manja menyembunyikan wajahnya di perut Luna. "Aku masih ngantuk, Sayang," rengeknya."Lagi pula, siapa yang membangunkanmu? Aku mengajak bicara Arshaka," ujarnya. "Jika masih ngantuk, tidur lagi saja."Mata Luna melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 07.00 pagi. Perlahan, ia beranjak dari tempat tidur,
Malam itu, setelah perjalanan yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di basement apartemen. Luna turun dari mobil dengan hati-hati, kakinya yang masih terpincang membuatnya sedikit kesulitan. Ia berdiri sejenak, mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang remang-remang itu. Tanpa bisa dicegah, ingatannya melayang ke malam yang kelam, malam di mana persahabatannya dengan Amanda hancur berkeping-keping. Namun, kini segalanya telah berubah. Luna merasa sangat bersyukur, menyadari bahwa pada akhirnya, semuanya baik-baik saja.Mereka melangkah bersama-sama menuju lift. Ruangan berdinding besi itu membawa mereka naik ke lantai sepuluh dalam keheningan yang nyaman. Setibanya di depan pintu apartemen, Amanda tiba-tiba berpamitan, suaranya terdengar sedikit gugup."Maaf, aku tidak bisa lama. Aku sudah ada janji dengan seseorang," ujarnya.Semua mata tertuju pada Amanda, dan Luna pun tak bisa menahan rasa penasarannya. "Mau ke mana malam-malam begini?" tanyanya, dengan alis yang terangk
Siang menjelang sore, suasana di rumah mendiang nenek Luna terasa hangat. Bu Dona masih terus mengajak main Arshaka yang mulai mengoceh. Bayi itu juga sering melebarkan senyum, membuat ingatan Bu Dona kembali ke masa Rayyanza masih bayi."Mengapa kamu mirip sekali dengan papamu, Nak?" cetusnya, memandangi wajah polos Arshaka.Luna baru saja keluar dari kamar mandi, dengan balutan handuk, ia melangkah terpincang-pincang hendak masuk ke kamar. Rayyanza yang saat itu tengah berdiri di antara ruang tamu dan ruang tengah menoleh ke arah Luna, kemudian melangkah mendekatinya. "Sudah selesai mandinya, Sayang?" tanyanya seraya memegangi tangan Luna agar tidak jatuh.Wanita yang hanya berbalut handuk itu merasa malu dan risih. "Sudah, sana! Aku bisa sendiri.""Aku hanya ingin membantumu berjalan," Rayyanza bersikeras."Tapi aku malu!" protes Luna."Malu?" Rayyanza tertawa. "Mengapa malu? Bahkan aku pernah melihatmu tanpa sehelai kain.""Sudah hentikan, Rayyan! Itu tidak lucu sama sekali!" Lun
Rayyan langsung melepaskan pelukannya saat menoleh ke arah pintu masuk. Luna dengan ramah mengajak Irwan untuk masuk, "Ayo, masuk, Mas."Irwan, pria desa yang telah menaruh hati pada Luna itu berdiri canggung di ambang pintu. "Maaf, sepertinya sedang ada pertemuan penting. Sebaiknya saya kembali lagi nanti," ucapnya, hendak melangkah pergi."Tunggu!" panggil Luna tiba-tiba. Irwan berhenti dan kembali menghadap Luna."Masuklah, Mas. Kenalkan, ini Ayah anak saya," kata Luna tanpa menyadari betapa menyakitkan kalimat itu bagi Irwan. Seketika, harapan yang baru saja muncul di mata Irwan langsung sirna, digantikan oleh kekecewaan yang ia coba sembunyikan.Irwan memaksakan senyum dan mengangguk, melangkah masuk mendekati Luna. Tangannya terulur, mengajak bersalaman pada Rayyanza. "Saya Irwan," ucapnya dengan suara yang ia usahakan agar tetap tenang.Rayyanza menatap Irwan dari atas hingga bawah. Kali ini, ia tidak merasa cemburu seperti pada Ryuki karena Irwan tidak semenarik Ryuki. Ayah A
Sekujur tubuh Rayyanza menegang ketika melihat sosok wanita yang sangat dikenalnya. "Sayang ...," gumamnya. Pria tampan itu segera melangkah menerobos kerumunan hiruk-pikuk pasar, diikuti oleh Bu Dona, Amanda, dan Nikita yang berjalan di belakangnya. Mereka tampak tergesa-gesa, seolah-olah tengah mengejar seseorang.Sementara itu, Luna sama sekali tidak menyadari kehadiran Rayyanza. Ia masih fokus melayani pembeli, tangannya menyodorkan kantong plastik hitam berisi ikan yang baru saja ditimbangnya, sembari menerima uang pembayaran. "Terima kasih," ucapnya ramah seraya tersenyum.Baru saja ia akan memasukkan uang hasil penjualannya ke dalam dompet, tiba-tiba terdengar suara yang sangat tidak asing lagi di telinganya. "Sayang ...?!"Luna menoleh dan terhenyak kaget, matanya melebar saat melihat Rayyanza berdiri di hadapannya. Namun, begitu melihat Bu Dona berada di belakang Rayyanza, Luna segera berbalik badan dan berlari kecil menjauhi mereka, ketakutan jika Bu Dona akan kembali menga
Suasana di dalam ruangan rawat dipenuhi oleh haru. Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Bu Dona dan Amanda, sementara Nikita berusaha menahan isakan yang tertahan di tenggorokannya. "Benarkah?" tanya Rayyanza dengan mata yang berbinar, seolah mendapatkan kembali cahaya kehidupan yang telah lama redup.Nikita mengangguk, air mata menetes di pipinya. "Iya, Kak Rayyan. Pokoknya, Kak Rayyan harus sehat.""Jadi, di mana mereka tinggal?""Mereka tinggal di sebuah desa terpencil di Sukabumi," terang Nikita."Desa terpencil? Pantas sulit sekali menemukannya," cetus Amanda."Mari kita pergi ke sana!" Rayyanza tiba-tiba terlihat sangat bersemangat, berusaha bangkit dari tempat tidurnya."Kak Rayyan sedang sakit, sebaiknya aku saja yang pergi," Nikita mencoba menahan."Tidak! Aku ingin ikut," Rayyanza bersikeras.Bu Dona ikut menimpali dengan nada khawatir, "Tapi Rayyan ... sebaiknya kamu pulihkan dulu kesehatanmu.""Aku akan sehat, Ma. Aku pasti kuat. Mulai sekarang aku akan makan dengan laha
Dengan hati yang dipenuhi rasa sakit, Nikita memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka. Rasa bencinya terhadap keluarga Rayyanza telah membutakan nuraninya, membuatnya tak peduli dengan keadaan Rayyanza.Melihat situasi yang tidak menguntungkan, akhirnya Amanda mengajak Bu Dona untuk mundur. "Ayo, Ma, sebaiknya kita kembali ke rumah sakit."Bu Dona hanya bisa mengangguk pasrah, kesedihan terpancar jelas di wajahnya karena gagal membujuk Nikita. Keduanya melangkah keluar dari kafe dengan langkah berat, masuk ke dalam mobil yang terparkir di luar.Selama perjalanan kembali ke rumah sakit, Amanda melajukan mobil dengan hati-hati. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari cara lain untuk menemukan Luna.Setibanya di rumah sakit, sebuah ide muncul di benak Amanda. Ia melangkah cepat menuju ruang informasi, berniat untuk melihat rekaman CCTV saat Bu Dona keluar meninggalkan ruangan rawat Rayyanza sebelumnya.Dengan alasan keamanan, pihak rumah sakit mengizinkan Amanda dan Bu Dona untuk ma
Suasana di ruangan VVIP rumah sakit terasa begitu memilukan. Rayyanza, terbaring lemah di ranjangnya, menatap nanar ke arah Bu Dona. Matanya menyiratkan harapan yang begitu rapuh ketika ia bertanya dengan suara lirih, "Benar, Ma? Mama akan mengizinkan aku untuk bertemu dengan Luna dan juga anakku?"Bu Dona hanya bisa mengangguk, tak sanggup berkata-kata. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya menetes. Ia kemudian berbalik badan dan melangkah keluar ruangan, diikuti oleh Amanda.Di luar kamar, Bu Dona langsung menghadap Amanda. "Di mana wanita itu tinggal?" tanyanya.Amanda menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, Ma. Kemarin aku sudah berusaha mencari Luna, tetapi tidak diketahui keberadaannya," jelasnya dengan wajah sedih."Lalu kita harus mencarinya ke mana?" tanya Bu Dona lagi.Saat itulah, Bu Dona yang selama ini dikenal keras kepala akhirnya menyadari sesuatu. Satu-satunya hal yang bisa mengembalikan semangat hidup Rayyanza adalah Luna dan anaknya. Rasa takut kehilangan putranya ka