Langit masih berada di tempat terakhir ia bersama Green, belum berniat untuk kembali ke rumahnya, yang dilakukan Langit hanya menatap kursi penumpang di sampingnya dan membayangkan Green ada di sana. Selain karena Green berbeda dengan wanita kebanyakan, wajah dan sikap Green mengingatkannya pada seseorang di masalalu, seseorang yang pernah mengisi hatinya. Langit tersenyum membayangkan wajah Green, namun seketika senyum itu pudar digantikan dengan ekspresi datar.
Alarm ponsel Langit berbunyi, sudah waktunya ia kembali ke rumah karena harus melanjutkan pekerjaannya. Langit mengemudikan mobil dan meninggalkan tempat tersebut, esok atau lusa ia berniat akan kembali ke tempat itu untuk sekadar meminta maaf pada Green karena telah membuat wanita tersebut tidak nyaman dan ketakutan.
“Green.., nama yang indah, seindah pemiliknya.” Langit berbicara dengan dirinya sambil tersenyum membayangkan wajah Green.
Bayangannya tentang wajah Green seketika hilang saat ponselnya bergetar, ada panggilan masuk dari Kalila—sang bunda. Langit mendengus kesal, sudah bisa dipastikan Kalila akan membahas mengenai pernikahan, dan itu sangat menjengkelkan bagi Langit.
“Lang, kamu di mana?” tanya Kalila setelah panggilan terhubung.
“Di jalan, Bun,” jawab Langit singkat.
“Jalan mana? Jalan kenangan?”
“Di jalan pulang, tadi Langit habis nganterin temennya Cherry.”
“Kamu nganterinnya sampe rumah, kan? Temennya Cherry gak kamu turunin di depan gang, kan?” Kalila berbicara dengan suara heboh.
“Temennya Cherry minta diturunin di depan gang, Bun, mobil Langit gak bisa masuk, gangnya terlalu sempit.”
Terdengar kehebohan dari suara dibalik telepon, sepertinya Jerry—sang ayah mengambil alih ponsel Kalila, lelaki itu mengatakan sesuatu yang membuat Langit geleng-geleng kepala, “Ganteng doang, nganterin cewek depan gang. Lang, kamu tau gak sih kalau yang sempit-sempit itu enak?”
Setelah mengatakan itu Langit dapat mendengar suara rintihan Jerry karena sepertinya Kalila mencubit pinggang lelaki itu, hal biasa yang dilakukan Kalila saat kesal pada Jerry.
“Bunda kenapa telepon?” tanya Langit. Jika bukan bundanya, sudah bisa dipastikan Langit akan menyudahi panggilan tersebut sejak tadi.
“Lang, anak temen bunda ada yang mau nikah. Kamu tau gak, sih, temen-temen bunda itu udah pada pamer menantu, kamu kapan kasih bunda menantu?”
Benar kan dugaan Langit? ujung-ujungnya Kalila akan membahas hal itu. Padahal Langit sudah menjelaskan dan meminta Kalila untuk tak membahas hal tersebut secara berulang-ulang.
“Nanti, Bun.”
“Kamu ini nanti-nanti mulu. Bunda juga pengin kayak temen-temen bunda, nyalon, belanja, masak sama menantunya.”
“Bunda kan bisa sama ayah,” ujar Langit tetap berusaha santai meskipun keinginan untuk menyumpal mulut istri ayahnya itu sangat besar.
“Om om itu susah diajak pergi Lang, meetiiiiinggggg terus padahal udah kaya.”
Suara selanjutnya yang Langit dengar adalah suara milik Jerry. “Kalau ayah gak kaya, bunda gak bisa bawa menantu nyalon sama belanja bareng.”
“Yaudah, Bun, Langit tutup dulu ya, Langit lagi nyetir,” putus Langit akhirnya karena sudah lelah meladeni ayah dan bundanya.
“Kamu itu kebiasaan kalau diajak ngobrol soal pernikahan pasti menghindar,” Kalila mendengus kesal, dan Langit mendengarnya.
Langit sangat paham dengan tingkah laku bundanya, saat ini wanita itu tengah kesal karena dirinya selalu tak memberikan jawaban pasti jika berbicara soal itu.
“Bun…,”
“Ya sudah, kamu hati-hati. Minggu depan ayah sama bunda ke Jakarta, bunda kangen sama kalian.”
“Iya Bunda. Ayah sama Bunda jaga kesehatan ya.”
“Iya, Nak, kamu juga.”
Setelah mengakhiri panggilan itu, Langit kembali fokus pada jalanan. Entah sudah berapa kali Kalila menanyakan hal serupa dan Langit selalu menghindar. Langit tak tahu sampai kapan ia menyangkal kebutuhan hatinya. Hatinya membutuhkan penghuni, namun Langit masih enggan, mungkin sampai batas waktu yang tak bisa ditentukan.
***
Alta panik saat Green bertanya mengenai pantai, ia menatap ponselnya dan melihat status W******p yang dibagikan beberapa jam lalu. Alta yakin ia telah memprivasi postingan tersebut agar Green tak bisa melihatnya, namun mengapa wanita itu tiba-tiba bertanya hal demikian? Siapakah yang memberitahu Green? Nanti ia akan mencari tahu, yang terpenting sekarang Green percaya padanya.
Alta beranjak dari kamar kemudian mendapati wanita yang telah bersamanya kurang dari satu tahun tengah memasak. Alta memeluk pinggang wanita itu dengan erat. “Sayang, kamu masak apa?” tanya Alta dengan suara mesra.
“Aku bikin sayur sup kesukaan kamu,” jawab wanita itu lembut sembari memeluk Alta.
“Makasih yaaa, aku sayang banget sama kamu,” Alta mengecup punggung tangan wanita itu dengan lembut.
“Sama-sama, aku juga sayang banget sama kamu. Al, ada yang mau aku omongin.” Nada bicara wanita itu mendadak serius, Alta merangkul pinggang wanita tersebut dan membawanya duduk di sofa.
Sudah sejak dua bulan yang lalu mereka memutuskan untuk tinggal bersama di rumah Reina, awalnya Alta menolak karena takut Green curiga. Namun karena Reina terus menerus membujuknya, Alta pun setuju. Alta dan Reina—telah menikah siri tentunya tanpa sepengetahuan Green.
Reina menatap Alta tepat di manik mata lelaki itu. “Green gimana? secepatnya dia harus tahu tentang kita, Al, aku gak mau begini terus. Hati aku sakit setiap denger kamu teleponan sama Green, belum lagi liat chat kalian. Aku gak tahan, Al.” Reina menangis dan Alta mendekapnya dengan erat.
“Kamu sabar ya, aku lagi cari waktu yang tepat buat ngasih tau Green.”
“Kamu cinta aku, Al?”
“Aku cinta banget sama kamu, Rei,” jawab Alta sambil menatap mata Reina dalam.
“Kamu cinta Green?”
Alta diam tak menjawab, sebelum ini Reina selalu menanyakan hal yang sama dan Alta tak pernah menjawabnya. Hari ini, Reina harus mendengar semuanya dari mulut Alta, ia ingin mendengar kejujuran lelaki itu terhadap perasaannya pada Green dan dirinya.
“Al…,” panggil Reina saat Alta tak merespon sama sekali.
“Please jawab.”
“Sayang, sebaiknya kamu istirahat, udah malam.”
Alta hendak meninggalkan Reina namun Reina menahan lengan lelaki itu. “Putusin Green secepatnya.”
Alta berbalik menghadap Reina, Reina dapat melihat raut wajah Alta yang seperti tidak rela jika harus melepas Green. “Rei, aku janji akan putusin Green, tapi gak segampang itu, kamu sabar dulu ya,” ujar Alta dengan suara lelahnya, sudah berkali-kali ia menjelaskan hal tersebut pada Reina, namun sampai saat ini Reina belum juga mengerti.
“Harus sabar sampai berapa lama lagi, Al? Sebenarnya apa yang kamu tunggu?”
“Reina sayang, aku nunggu waktu yang tepat, kasih aku waktu seenggaknya sampai Green ulang tahun, dua bulan lagi.”
“Jangan bilang kamu akan ke Jakarta nemuin Green?”
“Reina..,” Alta menyentuh punggung tangan Reina sambil menatap wanita itu dengan tatapan memohon. “Gak, jangan harap aku izinin kamu pergi,” ucap Reina tegas.
Setelahnya Reina menepis tangan Alta yang menyentuh punggung tangannya, Reina menatap mata lelaki itu dengan tatapan tajam. “Kalau kamu gak putusin Green secepatnya, aku yang akan temuin Green, aku bakal bilang semuanya. Aku yakin setelah tau semua kebenarannya, Gren akan ninggalin kamu.”
“Jangan, Rei, aku yang akan bilang semuanya sama Green.”
Setelah mengatakan hal itu, Reina pergi meninggalkan Alta. Alta mengacak rambutnya kasar, secepatnya ia harus menyudahi hubungannya dengan Green karena jika tidak Reina akan berbuat nekat.
Hujan yang mengguyur bumi telah reda, Green sudah menyembunyikan seluruh tubuhnya di balik selimut sejak tadi. Jika tengah merasa gundah, Green akan melakukan hal demikian, tidur berjam-jam lamanya. Sampai hari berganti, Green belum juga beranjak dari kasur kesayangannya, ia masih bermalas-malasan.Suara derap langkah mendekat ke arah jendela kamar, Green menajamkan pendengarannya, menerka-nerka siapa sosok di balik jendela itu.“Siapa?” tanya Green memberanikan diri.Green melihat jam dinding menunjukkan pukul 01.00 dini hari, sudah lebih dari 4 jam ia tertidur. Green memberanikan diri membuka jendela, namun ia tak melihat siapa pun.“Siapa di sana?” tanya Green lagi sambil membuka jendela kamar. Sejak kepergian ibunya, ia tinggal sendiri dan seringkali mengalami kejadian serupa, Green tak pernah takut karena ketakutan terbesar dalam hidupnya adalah kehilangan Melan—sang mama, dan ia telah melewati hari-hari berat itu.
Green dan Cherry memiliki kemiripan, sama-sama suka makanan manis dan tidak suka kesepian. Lucu memang, Green tinggal sendiri dan Cherry hanya berdua saja dengan Langit yang juga sering meninggalkannya. Keduanya berteman dengan sepi, dan tentunya merasa kesepian. Kesepian yang dirasakan Green perlahan sirna karena kehadiran Alta, begitupun Cherry yang merasa harinya menjadi berwarna sejak berpacaran dengan Zein. Baik Green maupun Cherry, keduanya tak memiliki banyak teman namun mengenal banyak orang, bukan karena sombong atau apa, melainkan keduanya memiliki prinsip berkenalan dengan siapa saja namun tak semuanya bisa dijadikan teman.Dua wanita itu kini tengah berada di taman kampus sambil membaca novel untuk bahan tugas mereka, Green menatap mata Cherry yang sembab, sejak tadi pun wanita itu tak banyak bicara, tak seperti biasanya. Green awalnya tak penasaran, namun ia melihat mata Cherry seperti tengah menahan tangis.“Cher…” Green menyentuh pungg
Green masih menarik Cherry menjauh dari tempat tersebut, Cherry merasa terharu karena Green benar-benar membelanya. Cherry tersenyum, rasa sakit hatinya masih ada belum benar-benar sembuh sepenuhnya. Meskipun yang dikatakan Green tadi benar, tak pantas baginya untuk bersedih karena Violet dan Zein. Tetapi semua tidak bisa terjadi begitu saja, patah hati tetap patah hati, tidak bisa langsung sembuh dengan kata-kata motivasi atau siraman rohani. Semua butuh proses, dan setelah ini Cherry bertekad akan menjalani proses itu.“Green, makasih ya,” ucap Cherry tulus setelah mereka sampai di depan kelas.“Setelah ini, lo jangan ngerasa sendiri ya, Cher,” ucap Green yang seperti melihat sosok Sera dalam diri Cherry.Cherry mengangguk. “Sekali lagi makasih, Green.”Green tersenyum tipis. Kelas masih sepi, padahal kuliah akan dimulai lima menit lagi. Green melihat Beni, KM di kelasnya menaiki tangga sambil menenteng tas laptop.
Sore itu Langit melajukan mobil dengan kecepatan sedang, mobil itu membelah jalanan menuju kediamannya, setelah seharian mengajar akhirnya ia bisa pulang dan beristirahat sejenak. Kantuk yang sejak tadi ia tahan, kembali menyerang. Akhirnya Langit memutuskan untuk berhenti sejenak, memilih meminum kopi di sebuah warung kecil untuk meredakan kantuk, akan berbahaya jika ia berkendara di tengah kantuk melanda.Langit membawa gelas cup yang berisi capucino. Perlu digaris bawahi, Langit adalah laki-laki sederhana, ia tak sungkan duduk dan minum kopi dipinggir jalan, seperti yang dilakukannya sore ini. Langit duduk di tempat yang disediakan sambil menyesap sebatang rokok, sebenarnya Langit bukanlah laki-laki yang selalu dan candu pada rokok, ia hanya melakukannya sesekali, jika ingin.Tanpa sengaja arah pandangnya tertuju pada seorang gadis yang sangat ia kenal, meskipun ia melihat gadis itu dari belakang, Langit sangat yakin bahwa gadis itu adalah sosok yang akhir-akhir ini
Rubi belum memberikan jawaban terkait ajakan Langit, terlebih Langit pun tidak menjelaskan apa itu panti asuhan kepada Rubi, yang dilakukan lelaki itu hanya mengatakan bahwa mereka bisa bersekolah jika berada di panti asuhan, Rubi yang saat itu belum paham berpikir apakah panti asuhan sama dengan sekolahan?“Besok Om akan ke sini lagi bawa baju barunya, sekarang Om Langit pulang dulu ya.” Langit kembali berdiri hendak berbalik meninggalkan Rubi, namun Rubi mengejarnya. “Om Langit hati-hati ya,” ujar Rubi sambil menyalami tangan Langit.Seketika Langit tak bisa berkata-kata melihat bagaimana Rubi mencium tangannya, anak itu santun sekali. Langit jarang menemukan ada anak jalanan sesantun Rubi, dan bisa dipastikan ini semua berkat Green, Langit tersenyum sambil merapikan rambut Rubi yang sedikit berantakan, “Iya Rubi, Om pamit ya, assalamualaikum.”“Waalaikumsalam.”Rubi berdiri menatap kepergian Lang
“Kak Langitt….,” Cherry berteriak memanggil Langit di depan pintu kamar lelaki itu, Langit yang baru saja berhasil memejamkan mata terlonjak kaget mendengar teriakan adiknya.“Kenapa?” tanya Langit panik, takut terjadi apa-apa pada Cherry.“Hehe gak ada apa-apa,” jawab Cherry sambil terkekeh pelan.“Ada apa?” tanya Langit lagi, ia yakin ada yang ingin disampaikan Cherry, kalau tidak mana mungkin ia berteriak.“Hehe, Kak, Gue izin keluar ya.” Cherry mengatakannya dengan nada tidak enak, meskipun ia yakin Langit tidak akan mengizinkan, tapi tidak ada salahnya mencoba bukan?“Gak.”Benar saja dugaan Cherry, bahkan Langit langsung mengatakan tidak sebelum ia mengatakan alasannya izin keluar. Langit bersiap menutup pintu kamar dan hendak melanjutkan tidurnya yang terganggu akibat ulah Cherry, melihat hal itu Cherry segera mengatakan tujuannya keluar rumah.&ldqu
“Green, maaf kita gak bisa sama-sama lagi.”“Alta, kamu kenapa? Kamu udah janji gak akan tinggalin aku, sekarang kenapa begini? Aku salah apa, Al?” tanya Green dengan suara bergetar. Ia kaget dengan kehadiran Alta yang tiba-tiba dan ingin mengakhiri hubungan mereka.“Kamu gak salah apa-apa, Green. Aku yang salah, aku yang gak bisa tepati janji,” suara Alta pun bergetar saat mengatakannya, sangat jelas terdengar bahwa lelaki itu menyesal karena mengingkari janjinya pada Green.“Cerita dulu sama aku, ada apa sebenarnya?”“Aku minta maaf, Green, aku harus pergi.”“Alta, aku mohon jangan tinggalin aku.”“Green, maaf.”“Jangan pergi.”Dalam mimpinya jelas sekali Green melihat Alta berbalik arah, pergi meninggalkannya tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Di b
Green sudah kembali ke rumahnya setelah melewati berbagai macam drama keluarga, tadi Langit mengantarnya pulang dan menjelaskan sekaligus meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi, ucapan Langit masih terngiang-ngiang di kepala Green.“Green, saya tahu kamu gak nyaman sama saya. Tapi, terima kasih sudah mau menerima bunda dengan baik. Saya minta maaf atas semua kesalahpahaman ini, saya sama sekali gak bermaksud menyeret kamu dalam masalah saya.”“Saya harap ini yang terakhir, saya gak mau terlibat lagi.”“Saya janji ini yang terakhir, sekali lagi saya minta maaf.”Setelah itu baik Green dan Langit tak ada yang membuka suara, keduanya fokus pada pikiran masing-masing sampai motor yang dikendarai Langit berhenti tepat di depan rumah Green. Ya, Langit mengantarnya dengan motor, alhasil Laki-laki itu tahu dimana rumahnya sekarang.Sebelum Green pulang tentu saja Kalila membawakannya ber
Meskipun kemarin kedatangannya tak membuahkan hasil, Langit tak menyerah. Sore hari setelah pulang dari kampus, ia kembali mendatangi rumah Green. Namun, sudah satu jam menunggu Green tak kunjung datang. Langit mulai gelisah dan bertanya-tanya, apakah Green tak ada di sini? Lantas, kemana wanita itu pergi? Ponsel wanita tersebut tak bisa dihubungi, bahkan pesan yang ia kirimkan pun belum dibaca. Apa Green telah memblokir nomornya? Berbagai asumsi memenuhi kepala Langit. Rasa bersalah dan penyesalannya semakin besar, ia tak henti mengumpat pada diri sendiri, merutuki segala kebodohan yang berujung kepergian Green dari sisinya. Hari sudah mulai gelap, tak jua ada tanda-tanda kehadiran Green. Tiba-tiba, ponsel di saku celana Langit bergetar, menampilkan sebuah pengingat. Langit tersenyum, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima, hampir saja Langit melupakan momen itu.&n
Pikiran Langit benar-benar kalut. Berhari-hari ia tak pulang dan selama itu pula tak berkomunikasi dengan Green. Langit benar-benar mengabaikan wanita yang dahulu mati-matian ia perjuangkan. Saat ini, tujuan Langit hanya satu, mencari dalang dibalik kematian Cherry. Ia tak lagi memikirkan tentang Green, bertanya soal kabar wanita itu saja tidak. Sebulan telah berlalu, Langit berhasil memecahkan teka-teki itu dengan bantuan beberapa teman yang memang ahli di bidangnya. Dugaan Langit benar, Cherry tidak bunuh diri, melainkan dibunuh. Semua data yang ditemukan polisi dan pihak rumah sakit adalah sesuatu yang sudah disusun dan direncanakan dengan matang. Hari ini, Langit datang ke kantor polisi untuk bertemu pelaku sebenarnya, Zein dan Violet. Mereka ditangkap atas tuduhan pembunuhan berencana. Langit puas saat
“Green, tolong kamu jawab semua pertanyaan saya dengan jujur,” ujar Langit begitu mereka sampai di rumah. Disaksikan oleh Kalila dan Jerry, ia berniat menginterogasi Green. Kalau benar Green menjadi penyebab kematian Cherry, Langit tak akan segan menjebloskan wanita itu ke dalam penjara sekalipun mereka masih terikat hubungan pernikahan. Green merasa diperlakukan seperti penjahat oleh Langit. Ia duduk di depan Langit, di samping kanan dan kirinya ada Jerry dan Kalila yang juga tengah menatap intens ke arahnya.. “Sebenarnya ada apa, Lang?” tanya Kalila tak paham. Pasalnya, Langit terlihat begitu marah pada Green. “Kata Violet, Green ke kost Cherry di malam terakhir sebelum dia meninggal,” terang Langit. “Jangan bilang kamu mencurigai Green? Sudah lah Lang, polisi bahkan rumah sakit bilang Cherry meninggal karena bunuh diri, bukan dibunuh,” ujar Kalila yang perlahan mulai ikhals dan menerima kepergian Cherry. “Gak Bun, Langit masih belum percaya
Sepulang dari mengajar, Langit teringat pada Cherry. Sudah lama sekali ia tak bertemu adiknya. Karena hal itu, Langit memutar arah mobilnya menuju indekos sang adik, tiba-tiba ia sangat ingin bertemu untuk sekadar menyapa dan memasikan Cherry baik-baik saja. Jalanan yang padat membuat Langit membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di sana. Ia memutuskan memberi tahu Green akan pulang terlambat, sekaligus menghubungi Cherry perihal kedatangannya. Sampai beberapa kali panggilan, tak ada satu pun yang mendapat jawaban. Langit menerka-nerka, kemana adiknya hingga tak menjawab telepon? Apa mungkin masih bekerja? Sepertinya tidak, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib. Langit mengemudi secepat yang ia bisa. Perasaanya tidak enak entah karena alasan apa, yang jelas saat ini keinginannya untuk melihat wajah sang adik amat besar. “Semoga kamu baik-baik aja,” lirih Langit sembari terus mengemudi. Langit tiba di indekos Cherry saat matahari sudah r
Keesokan harinya, Green benar-benar tak keluar kamar. Tak menjawab telepon dan chat, tak juga menggubris saat Langit mengajaknya sarapan. Emosi Green masih belum reda, hatinya belum menerima saat tahu bahwa Langit menikahi dirinya hanya karena wajah dan sifat serta kebiasaannya mirip dengan Keira.Green masih berbaring dengan posisi terlentang, matanya menatap langit-langit. Raganya memang di kamar, namun pikirannya bercabang. Ia tak bisa berhenti memikirkan Cherry. Bagaimana kabarnya hari ini? Apakah wanita itu sudah menemukan solusi terbaik dari permasalahan yang menimpanya?“Cher, semoga lo baik-baik aja,” batinnya.Tak ada lagi suara ketukan pintu dan Langit yang memanggilnya. Tampaknya, lelaki itu sudah berangkat ke kampus. Green memanfaatkan situasi itu untuk mengisi perut dan kerongkongannya yang terasa kering. Hari ini, ia sengaja meminta izin tidak mengajar dengan alasan sakit.Green berjalan dengan langkah pelan. Wajah dan m
“Darimana kamu? Kenapa telepon dan chat saya gak ada yang dijawab?” cecar Langit saat Green menginjakkan kaki di rumah mereka. Green melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan tersebut. “Green, saya ini suami kamu. Gak seharusnya kamu bersikap begini. Pergi gak ngasih kabar, pulang malem basah-basahan, kamu pikir saya gak khawatir?!” tanya Langit seraya mencekal pergelangan tangan Green agar wanita itu mau menatapnya. Green tak menggubris. Ia berusaha melepaskan tangan Langit. “Lepas!” titahnya dengan suara dingin. “Kamu kenapa? Tolong kasih tahu, salah saya dimana? Kalau kamu begini saya bingung. Dari tadi saya teleponin berkali-kali gak ada satupun yang diangkat. Marah?”&n
Green menunggu kedatangan Cherry dengan sabar. Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu ia berada di depan indekos seraya mencoba menghubungi ponsel wanita tersebut, namun tak mendapat jawaban. Tak lama berselang, ponsel Green berdering. Nama Langit tertera di layar, cukup lama ia membiarkan dering itu hingga mati dengan sendirinya. Hari ini, Green sudah putuskan untuk menginap. Ia perlu waktu untuk berpikir jernih lebih dulu. Karena jika langsung bertemu Langit, dirinya akan emosi dan perang dingin di antara mereka semakin menjadi. Hujan di luar sana masih belum reda. Green menatap rintik air yang kian deras membasahi bumi, sembari membiarkan pikirannya melanglangbuana. Benda pipih di tangannya kembali berdering, membuyarkan lamunan Green sore menjelang malam itu. Hatinya tak bergairah untuk menjawab panggilan tersebut. 
Tanda dua garis biru menjadi penyebab Cherry menangis tersedu-sedu. Ia mengamati benda di tangannya sekali lagi, menolak percaya bahwa apa yang dilihatnya benar sebuah tanda yang menyatakan dirinya positif hamil. “Gak, ini pasti gak bener.” Cherry mengambil taxpack terakhir kemudian menggunakan benda itu. Selang beberapa menit, hasilnya keluar. Cherry berharap dapat melihat garis satu di sana. Namun nihil, tandanya tetap sama. Tangisnya pecah begitu saja. Secepat kilat, Cherry menyambar ponselnya dan menghubungi orang yang paling bertanggungjawab atas semua hal yang terjadi hari ini. “Zein.., angkat dong,” gumam Cherry seraya menggigit bibir bawahnya. “K
“Hai, sori telat. Udah lama?” Green duduk di hadapann Regita dengan napas terengah.Regita tak langsung menjawab, ia menyodorkan jus jeruk miliknya kepada Green yang langsung diminum oleh wanita itu. Green masih mengenakan baju guru, keringat di keningnya tercetak jelas.“Gak apa-apa. Lo dari sekolah langsung ke sini?” tanya Regita basa-basi.Green mengangguk. “Jus lo?” Gelas berisi jus itu hanya tersisa setengah, ia menatap Regita tidak enak.“Santai, bisa pesen lagi.” Regita tersenyum, ia memanggil pelayan kafe yang kebetulan lewat. Keduanya memesan dua minuman dan makanan ringan yang berbeda.“Thanks udah mau dateng,” ucap Green saat pelayan kafe tersebut sudah pergi.“Sama-sama. Jadi, lo mau tanya apa?” tanya Regita.Green menghela napas berat. Ia bingung harus memulai darimana. Ada banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya saat ini.