Green masih menarik Cherry menjauh dari tempat tersebut, Cherry merasa terharu karena Green benar-benar membelanya. Cherry tersenyum, rasa sakit hatinya masih ada belum benar-benar sembuh sepenuhnya. Meskipun yang dikatakan Green tadi benar, tak pantas baginya untuk bersedih karena Violet dan Zein. Tetapi semua tidak bisa terjadi begitu saja, patah hati tetap patah hati, tidak bisa langsung sembuh dengan kata-kata motivasi atau siraman rohani. Semua butuh proses, dan setelah ini Cherry bertekad akan menjalani proses itu.
“Green, makasih ya,” ucap Cherry tulus setelah mereka sampai di depan kelas.
“Setelah ini, lo jangan ngerasa sendiri ya, Cher,” ucap Green yang seperti melihat sosok Sera dalam diri Cherry.
Cherry mengangguk. “Sekali lagi makasih, Green.”
Green tersenyum tipis. Kelas masih sepi, padahal kuliah akan dimulai lima menit lagi. Green melihat Beni, KM di kelasnya menaiki tangga sambil menenteng tas laptop.
“Lo berdua masih di sini?” tanya Beni saat melihat Green dan Cherry.
“Iyalah, ‘kan sebentar lagi kelas, Ben. Lo lupa?” tanya Green sambil menatap Beni dengan tatapan heran.
“Kalian kudet banget, coba deh cek grup,” titah Beni.
Cherry bergegas membuka ponselnya, dan benar saja ada banyak notifikasi di grup kelasnya, rata-rata membahas tentang tugas yang diberikan karena dosen mereka—Pak Wiyoko berhalangan hadir.
“Kenapa, Cher?” tanya Green yang ponselnya telah mati sejak tadi.
“Pak Wiyoko gak masuk, beliau ngasih tugas dan paling telat dikumpul malam ini pukul 23.59,” terang Cherry dengan suara lemas.
“Udah tau, ‘kan? Gue duluan ya.” Beni berlalu begitu saja, meninggalkan Cherry dan Green yang masih di tempatnya.
“Kira-kira Pak Wiyoko kenapa ya gak masuk? Padahal gue udah semangat banget.”
“Cher, plis deh jangan pura-pura sedih, gue tahu lo seneng ‘kan Pak Wiyoko gak masuk?” Green menebak dan ternyata tepat sasaran, Cherry tertawa terbahak-bahak. “Hahahahaha, lo tau aja sih, Green, yaudah yuk pulang.”
Cherry dan Green berjalan bersama, mereka berpisah di depan gedung fakultas Sastra. “Lo mau bareng gue gak?” tanya Cherry yang memang membawa motor.
“Lo duluan aja, gue masih ada perlu,” ucap Green.
“Oke deh, gue duluan ya. Dadah, Green.” Cherry melambaikan tangan dan hilang di belokan parkiran.
Green membalas lambaian tangan Cherry kemudian berjalan ke depan kampus untuk mencari angkot. Karena hari ini free class ia berencana pergi ke suatu tempat, sesuai janjinya pada Sera. Ya, Green berencana untuk pergi ke pemakaman, ia sengaja membawa perlengkapan ziarah tadi pagi. Green memberhentikan angkot berwarna merah, kemudian berdesak-desakan dengan penumpang lainnya untuk menuju rumah terakhir Sera, sahabatnya.
***
Sepulang dari pemakaman Sera, Green melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, masih ada waktu beberapa jam lagi sebelum dirinya harus bekerja. Green memutuskan untuk berjalan ke suatu tempat, tempat yang selalu bisa membuatnya bahagia karena melihat orang-orang di sana pun bahagia karenanya.
Setelah beberapa menit menaiki angkot, Green tiba di tempat tersebut, ia dapat melihat kurang lebih 10 anak tengah berkumpul, ada yang duduk, tidur, maupun membaca buku-buku bekas yang sepertinya ditemukan saat tengah memulung, semuanya beralaskan kardus. Mereka adalah anak-anak jalanan yang tinggal di kolong jembatan, yang berjuang untuk hidup dengan kesempatan yang diberikan Tuhan.
“Kak Green…,” panggil salah satu dari mereka, seorang anak berambut panjang tidak tertata berlari dan memeluk Green kala melihat wanita itu.
“Kakak….,” pelukan itu disusul dengan sembilan anak lainnya, di antara mereka tak ada yang terlihat sedih, semuanya ceria meskipun tak tahu besok makan apa.
“Hai.., kalian apa kabar?” tanya Green memandang satu persatu wajah bocah tersebut.
Rata-rata bocah yang saat ini berada di hadapan Green berusia 6-12 tahun, nasib mereka tak seperti anak seusianya. Tak ada seragam sekolah, maupun perlengkapan lainnya, yang ada hanya buku-buku bekas yang mereka kumpulkan.
“Kita semua baik, Kak Green,” jawab Rubi, bocah berbada gempal sambil tersenyum, menampakkan gigi kelincinya yang terlihat menggemaskan di mata Green.
“Kalian sudah makan?” tanya Green lagi.
Anak-anak tersebut kompak menggelang dengan raut wajah polosnya, Green mengusap pucuk kepala mereka dengan sayang seraya menunjukan kantong plastik berukuran cukup besar yang berisi nasi bungkus dan beberapa camilan. “Kakak bawa sesuatu untuk kalian.” Green memberikan kantong plastik tersebut kepada Rubi, anak paling besar di antara anak-anak lainnya.
Rubi melihat kantong plastik yang kini telah berpindah ke tangannya dan melihat isi kantong plastik tersebut. Setelah mengetahui isinya, Rubi bersorak riang. “Horeee, terima kasih Kak Green. Temen-temen, Kak Green bawain kita makanan lagi,” seru Rubi memberitahu teman-temannya yang lain.
“Horeeeeeee.” Mereka bersorak-sorak gembira.
“Terima kasih, Kak Green,” ujar mereka bersamaan.”
“Sama-sama, ya sudah kalian makan gih. Pasti pada laper, kan?” Semuanya mengangguk sebagai jawaban, kemudian Rubi membagikan nasi bungkus yang tadi diberikan Green kepada teman-temannya, mereka makan bersama dengan lahap.
Tanpa terasa Green menitikkan air mata melihat pemandangan itu, rasanya ingin sekali ia mengajak mereka tinggal bersama dan memberikan pendidikan yang layak, namun apa daya keterbatasan ekonomi membuatnya harus menekan keinginannya. Dibanding mereka, Green merasa hidupnya lebih beruntung, ia masih bisa makan dengan kenyang, mengenyam pendidikan bahkan sesekali jalan-jalan. Dari merekalah Green belajar untuk selalu bersyukur atas apa yang dimiliki, karena ada banyak orang yang bisa jadi ingin berada di posisinya saat ini.
Pertemuan pertama Green dengan Rubi dan teman-temannya adalah satu tahun lalu, kala Green tak sengaja melihat salah satu dari mereka tengah mengorek-ngorek tumpukan kardus yang berisi buku-buku bekas. Kala itu Green bertanya tentang keinginan terbesar mereka, dan hampir semuanya menjawab ingin bersekolah. Cita-cita mereka pun beragam, ada yang ingin menjadi guru, dokter, abdi negara, bahkan presiden. Green bahagia melihat semangat mereka, karena meskipun sangat susah mereka masih memiliki keinginan yang besar untuk belajar dan mewujudkan cita-citanya.
Sejak saat itu Green sering datang paling tidak satu minggu sekali untuk memberikan buku-buku cerita, atau pun buku-buku pelajaran lainnya. Bahkan Green tak sungkan mengajari mereka, dan hal itu berlanjut hingga sekarang.
Itu menjadi alasan mengapa Rubi dan teman-temannya selalu bahagia saat Green datang berkunjung, karena selain mereka bisa belajar bersama Green, wanita itu juga selalu membawakan makanan yang membuat mereka kenyang sampai malam.
Setelah mereka semua menghabiskan makanan, Rubi mendekati Green. “Kak Green, waktu itu ada om yang nawarin Rubi dan temen-temen untuk tinggal di panti asuhan. Panti Asuhan itu apa sih, Kak?” tanya Rubi ingin tahu.
Green terkejut bercampur senang mendengar cerita itu, tapi sebisa mungkin ia menetralkan ekspresinya dan menjawab pertanyaan Rubi. “Panti Asuhan itu rumah sayang, kalian akan punya temen baru kalau tinggal di sana dan kemungkinan kalian juga akan sekolah. Kalau kakak boleh tahu, siapa nama om itu?” tanya Green penasaran.
Rubi tampak mengingat-ingat sesuatu yang tak lain adalah nama lelaki yang seminggu lalu mendatangi mereka, Rubi berpikir keras untuk mengingat nama lelaki itu, namun sepertinya ia gagal mengingatnya.
“Gak apa-apa kalau Rubi lupa. Tapi kakak yakin laki-laki itu pasti orang yang baik,” tutur Green sambil tersenyum.
“Laki-laki itu juga ngasih banyak baju baru, Kak, sekarang baju barunya kita simpen di rumah kardus.”
Rubi dan teman-temannya memang punya tempat tinggal lain selain kolong jembatan, yakni rumah kardus. Jika malam hari, mereka akan tinggal di sana, rumah itu mereka gunakan untuk tidur atau sekadar menyimpan barang-barang.
Green semakin penasaran dengan sosok laki-laki yang diceritakan Rubi, dan kalimat yang dilontarkan Rubi selanjutnya akhirnya menjawab tanda tanya besar dalam kepala Green. “Kak Green, sekarang Rubi inget siapa nama om itu.”
“Siapa?” tanya Green antusias
“Namanya Om Langit.”
“Langit?”
Sore itu Langit melajukan mobil dengan kecepatan sedang, mobil itu membelah jalanan menuju kediamannya, setelah seharian mengajar akhirnya ia bisa pulang dan beristirahat sejenak. Kantuk yang sejak tadi ia tahan, kembali menyerang. Akhirnya Langit memutuskan untuk berhenti sejenak, memilih meminum kopi di sebuah warung kecil untuk meredakan kantuk, akan berbahaya jika ia berkendara di tengah kantuk melanda.Langit membawa gelas cup yang berisi capucino. Perlu digaris bawahi, Langit adalah laki-laki sederhana, ia tak sungkan duduk dan minum kopi dipinggir jalan, seperti yang dilakukannya sore ini. Langit duduk di tempat yang disediakan sambil menyesap sebatang rokok, sebenarnya Langit bukanlah laki-laki yang selalu dan candu pada rokok, ia hanya melakukannya sesekali, jika ingin.Tanpa sengaja arah pandangnya tertuju pada seorang gadis yang sangat ia kenal, meskipun ia melihat gadis itu dari belakang, Langit sangat yakin bahwa gadis itu adalah sosok yang akhir-akhir ini
Rubi belum memberikan jawaban terkait ajakan Langit, terlebih Langit pun tidak menjelaskan apa itu panti asuhan kepada Rubi, yang dilakukan lelaki itu hanya mengatakan bahwa mereka bisa bersekolah jika berada di panti asuhan, Rubi yang saat itu belum paham berpikir apakah panti asuhan sama dengan sekolahan?“Besok Om akan ke sini lagi bawa baju barunya, sekarang Om Langit pulang dulu ya.” Langit kembali berdiri hendak berbalik meninggalkan Rubi, namun Rubi mengejarnya. “Om Langit hati-hati ya,” ujar Rubi sambil menyalami tangan Langit.Seketika Langit tak bisa berkata-kata melihat bagaimana Rubi mencium tangannya, anak itu santun sekali. Langit jarang menemukan ada anak jalanan sesantun Rubi, dan bisa dipastikan ini semua berkat Green, Langit tersenyum sambil merapikan rambut Rubi yang sedikit berantakan, “Iya Rubi, Om pamit ya, assalamualaikum.”“Waalaikumsalam.”Rubi berdiri menatap kepergian Lang
“Kak Langitt….,” Cherry berteriak memanggil Langit di depan pintu kamar lelaki itu, Langit yang baru saja berhasil memejamkan mata terlonjak kaget mendengar teriakan adiknya.“Kenapa?” tanya Langit panik, takut terjadi apa-apa pada Cherry.“Hehe gak ada apa-apa,” jawab Cherry sambil terkekeh pelan.“Ada apa?” tanya Langit lagi, ia yakin ada yang ingin disampaikan Cherry, kalau tidak mana mungkin ia berteriak.“Hehe, Kak, Gue izin keluar ya.” Cherry mengatakannya dengan nada tidak enak, meskipun ia yakin Langit tidak akan mengizinkan, tapi tidak ada salahnya mencoba bukan?“Gak.”Benar saja dugaan Cherry, bahkan Langit langsung mengatakan tidak sebelum ia mengatakan alasannya izin keluar. Langit bersiap menutup pintu kamar dan hendak melanjutkan tidurnya yang terganggu akibat ulah Cherry, melihat hal itu Cherry segera mengatakan tujuannya keluar rumah.&ldqu
“Green, maaf kita gak bisa sama-sama lagi.”“Alta, kamu kenapa? Kamu udah janji gak akan tinggalin aku, sekarang kenapa begini? Aku salah apa, Al?” tanya Green dengan suara bergetar. Ia kaget dengan kehadiran Alta yang tiba-tiba dan ingin mengakhiri hubungan mereka.“Kamu gak salah apa-apa, Green. Aku yang salah, aku yang gak bisa tepati janji,” suara Alta pun bergetar saat mengatakannya, sangat jelas terdengar bahwa lelaki itu menyesal karena mengingkari janjinya pada Green.“Cerita dulu sama aku, ada apa sebenarnya?”“Aku minta maaf, Green, aku harus pergi.”“Alta, aku mohon jangan tinggalin aku.”“Green, maaf.”“Jangan pergi.”Dalam mimpinya jelas sekali Green melihat Alta berbalik arah, pergi meninggalkannya tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Di b
Green sudah kembali ke rumahnya setelah melewati berbagai macam drama keluarga, tadi Langit mengantarnya pulang dan menjelaskan sekaligus meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi, ucapan Langit masih terngiang-ngiang di kepala Green.“Green, saya tahu kamu gak nyaman sama saya. Tapi, terima kasih sudah mau menerima bunda dengan baik. Saya minta maaf atas semua kesalahpahaman ini, saya sama sekali gak bermaksud menyeret kamu dalam masalah saya.”“Saya harap ini yang terakhir, saya gak mau terlibat lagi.”“Saya janji ini yang terakhir, sekali lagi saya minta maaf.”Setelah itu baik Green dan Langit tak ada yang membuka suara, keduanya fokus pada pikiran masing-masing sampai motor yang dikendarai Langit berhenti tepat di depan rumah Green. Ya, Langit mengantarnya dengan motor, alhasil Laki-laki itu tahu dimana rumahnya sekarang.Sebelum Green pulang tentu saja Kalila membawakannya ber
“Kamu nginep, kan?” tanya Green sambil melepaskan pelukannya.Alta menatap Green dengan tatapan tidak enak sekaligus bersalah. “Maaf sayang, aku gak bisa nginep, nanti sore aku harus balik ke Jogja.”“Yahhhhh.., aku pikir kamu nginep, kita kan udah lama gak ketemu, Al, masa iya sekalinya ketemu cuma sebentar.” Green tak bisa menutupi kesedihannya saat Alta mengatakan harus kembali sore nanti, padahal ia sudah berharap Alta bisa tinggal setidaknya dalam dua hari ke depan.“Kamu tenang ya, nanti aku sempetin ke sini lagi, terus nginep.”“Kapan?” tanya Green meminta kepastian.“Secepatnya.”“Yaudah deh, tapi janji ya jangan ilang-ilangan terus?”“Iya sayang, janji.”Mereka kembali berpelukan, jika saja Green tahu tujuan Alta datang mungkin ia tak akan pernah meminta Alta untuk datang lagi, dan bisa jadi ini adalah terakhir kali ia membe
Senin pagi merupakan hari yang paling menyebalkan bagi Cherry, setelah memanjakan diri di hari Minggu, ia tetap tidak bersemangat menjalani hari Senin. Sejak bangun tidur dan menyelesaikan ibadah salat subuh, Cherry sudah menggerutu karena pagi ini mata kuliah pertama akan diisi oleh sang kakak, moodnya benar-benar hancur mengingat bagaimana menyebalkannya Langit jika sudah berada di dalam kelas. Alhasil, setelah salat Cherry memilih tidur lagi, menutupi tubuhnya dengan selimut tebal berwarna kuning kesayangannya.“Cher..,” panggil Langit sembari mengetuk pintu kamar Cherry.Tak ada sahutan dari sang empunya kamar, Langit mengetuk pintu itu itu lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya. “Cher, udah jam 6, bangun!”Masih tak ada sahutan, Cherry menarik selimutnya sampai ke leher dan menutup kedua telinganya dengan bantal.“Cherry, bangun!” Langit sudah berada di kamar Cherry dan menarik selimut yang membalut tu
BAB 18 Cemburu?Dalam perjalanan pulang usai mengantar Green, Langit teringat sesuatu, ada hal penting yang harus ia bicarakan pada Green terkait peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu, musibah yang menimpa dirinya karena Kalila dan Jerry datang tiba-tiba, musibah yang juga membuat ia dan Green mau tak mau harus bersandiwara di hadapan keduanya.“Gue harus ngobrol sama Green,” tutur Langit pada dirinya sembari memutar arah, ia kembali mendatangi rumah Green.Di lain tempat, Green yang sedang memadu kasih dengan Alta saling memeluk dan berbalas senyum, rasa bahagia jelas terpancar dari wajah keduanya. Green dan Alta bertatapan, melalui mata itu keduanya seolah ingin membuktikan pada dunia bahwa tak ada yang lebih indah selain bersama orang tercinta. Jika saat ini mereka tengah menunjukkan pada dunia, maka sebentar lagi dunia yang akan menunjukkan pada mereka bahwa cinta tak selamanya indah.Cinta, keyakinan
Meskipun kemarin kedatangannya tak membuahkan hasil, Langit tak menyerah. Sore hari setelah pulang dari kampus, ia kembali mendatangi rumah Green. Namun, sudah satu jam menunggu Green tak kunjung datang. Langit mulai gelisah dan bertanya-tanya, apakah Green tak ada di sini? Lantas, kemana wanita itu pergi? Ponsel wanita tersebut tak bisa dihubungi, bahkan pesan yang ia kirimkan pun belum dibaca. Apa Green telah memblokir nomornya? Berbagai asumsi memenuhi kepala Langit. Rasa bersalah dan penyesalannya semakin besar, ia tak henti mengumpat pada diri sendiri, merutuki segala kebodohan yang berujung kepergian Green dari sisinya. Hari sudah mulai gelap, tak jua ada tanda-tanda kehadiran Green. Tiba-tiba, ponsel di saku celana Langit bergetar, menampilkan sebuah pengingat. Langit tersenyum, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima, hampir saja Langit melupakan momen itu.&n
Pikiran Langit benar-benar kalut. Berhari-hari ia tak pulang dan selama itu pula tak berkomunikasi dengan Green. Langit benar-benar mengabaikan wanita yang dahulu mati-matian ia perjuangkan. Saat ini, tujuan Langit hanya satu, mencari dalang dibalik kematian Cherry. Ia tak lagi memikirkan tentang Green, bertanya soal kabar wanita itu saja tidak. Sebulan telah berlalu, Langit berhasil memecahkan teka-teki itu dengan bantuan beberapa teman yang memang ahli di bidangnya. Dugaan Langit benar, Cherry tidak bunuh diri, melainkan dibunuh. Semua data yang ditemukan polisi dan pihak rumah sakit adalah sesuatu yang sudah disusun dan direncanakan dengan matang. Hari ini, Langit datang ke kantor polisi untuk bertemu pelaku sebenarnya, Zein dan Violet. Mereka ditangkap atas tuduhan pembunuhan berencana. Langit puas saat
“Green, tolong kamu jawab semua pertanyaan saya dengan jujur,” ujar Langit begitu mereka sampai di rumah. Disaksikan oleh Kalila dan Jerry, ia berniat menginterogasi Green. Kalau benar Green menjadi penyebab kematian Cherry, Langit tak akan segan menjebloskan wanita itu ke dalam penjara sekalipun mereka masih terikat hubungan pernikahan. Green merasa diperlakukan seperti penjahat oleh Langit. Ia duduk di depan Langit, di samping kanan dan kirinya ada Jerry dan Kalila yang juga tengah menatap intens ke arahnya.. “Sebenarnya ada apa, Lang?” tanya Kalila tak paham. Pasalnya, Langit terlihat begitu marah pada Green. “Kata Violet, Green ke kost Cherry di malam terakhir sebelum dia meninggal,” terang Langit. “Jangan bilang kamu mencurigai Green? Sudah lah Lang, polisi bahkan rumah sakit bilang Cherry meninggal karena bunuh diri, bukan dibunuh,” ujar Kalila yang perlahan mulai ikhals dan menerima kepergian Cherry. “Gak Bun, Langit masih belum percaya
Sepulang dari mengajar, Langit teringat pada Cherry. Sudah lama sekali ia tak bertemu adiknya. Karena hal itu, Langit memutar arah mobilnya menuju indekos sang adik, tiba-tiba ia sangat ingin bertemu untuk sekadar menyapa dan memasikan Cherry baik-baik saja. Jalanan yang padat membuat Langit membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di sana. Ia memutuskan memberi tahu Green akan pulang terlambat, sekaligus menghubungi Cherry perihal kedatangannya. Sampai beberapa kali panggilan, tak ada satu pun yang mendapat jawaban. Langit menerka-nerka, kemana adiknya hingga tak menjawab telepon? Apa mungkin masih bekerja? Sepertinya tidak, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib. Langit mengemudi secepat yang ia bisa. Perasaanya tidak enak entah karena alasan apa, yang jelas saat ini keinginannya untuk melihat wajah sang adik amat besar. “Semoga kamu baik-baik aja,” lirih Langit sembari terus mengemudi. Langit tiba di indekos Cherry saat matahari sudah r
Keesokan harinya, Green benar-benar tak keluar kamar. Tak menjawab telepon dan chat, tak juga menggubris saat Langit mengajaknya sarapan. Emosi Green masih belum reda, hatinya belum menerima saat tahu bahwa Langit menikahi dirinya hanya karena wajah dan sifat serta kebiasaannya mirip dengan Keira.Green masih berbaring dengan posisi terlentang, matanya menatap langit-langit. Raganya memang di kamar, namun pikirannya bercabang. Ia tak bisa berhenti memikirkan Cherry. Bagaimana kabarnya hari ini? Apakah wanita itu sudah menemukan solusi terbaik dari permasalahan yang menimpanya?“Cher, semoga lo baik-baik aja,” batinnya.Tak ada lagi suara ketukan pintu dan Langit yang memanggilnya. Tampaknya, lelaki itu sudah berangkat ke kampus. Green memanfaatkan situasi itu untuk mengisi perut dan kerongkongannya yang terasa kering. Hari ini, ia sengaja meminta izin tidak mengajar dengan alasan sakit.Green berjalan dengan langkah pelan. Wajah dan m
“Darimana kamu? Kenapa telepon dan chat saya gak ada yang dijawab?” cecar Langit saat Green menginjakkan kaki di rumah mereka. Green melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan tersebut. “Green, saya ini suami kamu. Gak seharusnya kamu bersikap begini. Pergi gak ngasih kabar, pulang malem basah-basahan, kamu pikir saya gak khawatir?!” tanya Langit seraya mencekal pergelangan tangan Green agar wanita itu mau menatapnya. Green tak menggubris. Ia berusaha melepaskan tangan Langit. “Lepas!” titahnya dengan suara dingin. “Kamu kenapa? Tolong kasih tahu, salah saya dimana? Kalau kamu begini saya bingung. Dari tadi saya teleponin berkali-kali gak ada satupun yang diangkat. Marah?”&n
Green menunggu kedatangan Cherry dengan sabar. Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu ia berada di depan indekos seraya mencoba menghubungi ponsel wanita tersebut, namun tak mendapat jawaban. Tak lama berselang, ponsel Green berdering. Nama Langit tertera di layar, cukup lama ia membiarkan dering itu hingga mati dengan sendirinya. Hari ini, Green sudah putuskan untuk menginap. Ia perlu waktu untuk berpikir jernih lebih dulu. Karena jika langsung bertemu Langit, dirinya akan emosi dan perang dingin di antara mereka semakin menjadi. Hujan di luar sana masih belum reda. Green menatap rintik air yang kian deras membasahi bumi, sembari membiarkan pikirannya melanglangbuana. Benda pipih di tangannya kembali berdering, membuyarkan lamunan Green sore menjelang malam itu. Hatinya tak bergairah untuk menjawab panggilan tersebut. 
Tanda dua garis biru menjadi penyebab Cherry menangis tersedu-sedu. Ia mengamati benda di tangannya sekali lagi, menolak percaya bahwa apa yang dilihatnya benar sebuah tanda yang menyatakan dirinya positif hamil. “Gak, ini pasti gak bener.” Cherry mengambil taxpack terakhir kemudian menggunakan benda itu. Selang beberapa menit, hasilnya keluar. Cherry berharap dapat melihat garis satu di sana. Namun nihil, tandanya tetap sama. Tangisnya pecah begitu saja. Secepat kilat, Cherry menyambar ponselnya dan menghubungi orang yang paling bertanggungjawab atas semua hal yang terjadi hari ini. “Zein.., angkat dong,” gumam Cherry seraya menggigit bibir bawahnya. “K
“Hai, sori telat. Udah lama?” Green duduk di hadapann Regita dengan napas terengah.Regita tak langsung menjawab, ia menyodorkan jus jeruk miliknya kepada Green yang langsung diminum oleh wanita itu. Green masih mengenakan baju guru, keringat di keningnya tercetak jelas.“Gak apa-apa. Lo dari sekolah langsung ke sini?” tanya Regita basa-basi.Green mengangguk. “Jus lo?” Gelas berisi jus itu hanya tersisa setengah, ia menatap Regita tidak enak.“Santai, bisa pesen lagi.” Regita tersenyum, ia memanggil pelayan kafe yang kebetulan lewat. Keduanya memesan dua minuman dan makanan ringan yang berbeda.“Thanks udah mau dateng,” ucap Green saat pelayan kafe tersebut sudah pergi.“Sama-sama. Jadi, lo mau tanya apa?” tanya Regita.Green menghela napas berat. Ia bingung harus memulai darimana. Ada banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya saat ini.