Green dan Cherry memiliki kemiripan, sama-sama suka makanan manis dan tidak suka kesepian. Lucu memang, Green tinggal sendiri dan Cherry hanya berdua saja dengan Langit yang juga sering meninggalkannya. Keduanya berteman dengan sepi, dan tentunya merasa kesepian. Kesepian yang dirasakan Green perlahan sirna karena kehadiran Alta, begitupun Cherry yang merasa harinya menjadi berwarna sejak berpacaran dengan Zein. Baik Green maupun Cherry, keduanya tak memiliki banyak teman namun mengenal banyak orang, bukan karena sombong atau apa, melainkan keduanya memiliki prinsip berkenalan dengan siapa saja namun tak semuanya bisa dijadikan teman.
Dua wanita itu kini tengah berada di taman kampus sambil membaca novel untuk bahan tugas mereka, Green menatap mata Cherry yang sembab, sejak tadi pun wanita itu tak banyak bicara, tak seperti biasanya. Green awalnya tak penasaran, namun ia melihat mata Cherry seperti tengah menahan tangis.
“Cher…” Green menyentuh punggung tangan wanita itu.
Cherry yang memang periang dan cenderung ekspresif akan sangat kentara jika tengah memiliki masalah. Cherry tak bisa lagi menahan kesedihannya, ia segera memeluk Green dan menumpahkan semua rasa sakitnya.
Green mengelus pundak Cherry dengan lembut. “Keluarin semuanya, jangan di tahan.”
Setelah Green mengatakan itu, semua sesak di dada dan rasa sakit yang berusaha ia tutupi sejak pagi meluap begitu saja. Cherry menangis sesenggukan di balik dekapan Green, tanpa bertanya lebih jauh Green merelakan bajunya basah oleh air mata Cherry.
Sampai beberapa menit, Cherry masih menangis, entah seberapa sakit hati wanita itu sampai membuatnya terlihat begitu rapuh. “Minum dulu.” Green memberikan sebotol air mineral pada Cherry agar ia bisa sedikit lebih tenang, kemudian meletakkan tisu di hadapannya.
Cherry mengambil botol dan tisu, meminumnya sedikit kemudian mengelap sisa-sisa air yang menggantung di pelupuk matanya. “Thanks Green.”
Green mengangguk singkat sambil tersenyum tipis kemudian mengatakan sesuatu, “Kalau ada yang bikin hati lo sakit banget sampe ngerasa gak kuat, gak apa-apa nangis aja. Setiap orang punya masalahnya masing-masing, dan setiap orang juga punya hak yang sama untuk mengeluarkan air mata atas masalahnya.”
Senyum terlukis dari bibir Cherry setelah mendengar nasihat Green, dalam hatinya ia membenarkan apa yang dikatakan Green. Green berbeda dengan orang-orang yang pernah ia temui, sebelum ini Cherry selalu bertemu dengan orang yang ketika dirinya menangis mereka akan mengatakan kata-kata motivasi yang sebenarnya tidak diperlukan atau bahkan ada yang terang-terangan melarangnya melakukan itu, menganggap bahwa menangis adalah tanda lemahnya seseorang. Sepertinya ia tidak salah mengklaim Green sebagai temannya mulai hari ini.
“Green, malam ini nginep di rumah gue yuk,” ajak Cherry spontan.
Dengan cepat Green menggeleng. “Gak bisa Cher, gue harus kerja.”
“Lo pulang jam berapa?” tanya Cherry yang masih berusaha agar Green mau menginap di rumahnya.
Ini salah satu alasan yang membuat Cherry mengagumi sosok Green, selain sederhana dan apa adanya, wanita itu juga mandiri, Green bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan ia tak pernah malu melakukan pekerjaan apa pun selagi itu halal dan tidak merugikan orang lain.
“Jam 10.”
“Gak apa-apa Green, nanti lo pulangnya ke rumah gue. Mau yaaaaaa, plissssss.” Cherry memohon pada Green agar wanita itu setuju untuk menginap di rumahnya.
Sejujurnya Green enggan menginap di rumah Cherry, karena dengan begitu ia akan bertemu Langit, ia masih kesal pada laki-laki itu atas kejadian minggu lalu. Seenaknya saja Langit menyentuh dirinya disaat ia menjaga semuanya. Tapi mau menolak pun tidak enak, jika menolak pasti Cherry akan kecewa, terlebih ia baru saja melihat Cherry menangis tanpa suara tadi, bagaimana jika karena penolakannya Cherry kembali bersedih? Ia tidak ingin membuat siapa pun sedih karena dirinya. Alhasil, Green menyetujui ajakan Cherry. “Oke, nanti pulangnya gue ke rumah lo.”
“Yeayyyyyy, makasihhh Green, gue seneng banget lo mau nginep.” Cherry memeluk Green dengan erat. “Akhirnya gue gak sendirian,” lanjut Cherry dengan suara riang.
Seketika senyum Cherry hilang ketika melihat dua manusia yang tak lain dan tak bukan adalah Violet dan Zein tengah berjalan bergandengan sambil tertawa lepas.
“Cher..,” panggil Green, ia tahu bahwa Violet adalah wanita yang sebelumnya sering terlihat bersama Cherry dan Zein adalah kekasih Cherry.
“Ayok ke kelas, sebentar lagi mau mulai, ‘kan?” Cherry menarik tangan Green agar meninggalkan tempat tersebut, mata dan hatinya belum benar-benar baik-baik saja melihat Violet dan Zein bersama.
Green menurut saja, karena tanpa dijelaskan pun ia paham bagaimana perasaan Cherry saat ini meskipun dirinya tak tahu secara detail apa yang tengah terjadi di antara mereka bertiga.
***
“Zein, aku gak enak sama Cherry,” ujar Violet dengan wajah bersalah. Jauh di dalam lubuk hatinya ia menyadari bahwa apa yang ia lakukan saat ini salah, namun hatinya pun tak bisa dibohongi. Ia telah tertarik pada Zein sejak Cherry mengenalkan Zein pada dirinya.
“Cuek aja, Vi, lagian aku juga udah males sama cewek toxic kaya dia.”
Berbeda dengan Violet yang merasa tidak enak dan amat bersalah, Zein justru sebaliknya, ia tak merasakan hal serupa. Justru yang ia rasakan saat ini adalah lega karena terbebas dari Cherry.
“Zein..,” rengek Violet sambil merangkul lengan lelaki itu.
“Vi, aku udah suka sama kamu dari lama, dari waktu kita nonton bertiga. Cuma baru sekarang aku berani ambil sikap. Selama ini aku selalu dikekang sama dia, dilarang ini itu, ke mana-mana harus ngasih tahu. Aku bosen lama-lama begitu, Vi, sama kamu aku merasa jadi diri sendiri karena kamu gak pernah menuntut banyak hal dari aku.” Sebenarnya Violet sudah tahu akan hal itu, karena jauh sebelum hari ini, keduanya telah memiliki hubungan di belakang Cherry dan Zein sering berkeluh kesah mengenai itu.
“Tapi biar gimanapun Cherry itu sahabat aku, Zein, dan biar gimanapun juga aku yang jahat.”
“Enggak, Vi, kamu gak jahat. Kamu bisa liat ‘kan tadi, Cherry udah punya temen lain, jadi kamu gak perlu merasa bersalah apalagi merasa jahat,” ujar Zein menenangkan kekasihnya yang masih dilanda rasa bersalah.
Violet meletakkan kepalanya di bahu Zein, sementara lelaki itu mengelus pucuk kepala Violet dengan lembut. “Kamu itu beda, Vi, kamu mandiri sementara Cherry manja. Aku muak setiap kali dia minta diantar jemput, aku enek setiap kali dia ngerengek minta dibantuin ngelakuin ini itu. Dan kamu tahu apa yang aku rasain sekarang?”
Violet mendongak, menatap Zein yang tengah mengelus pucuk kepalanya penuh tanya. “Apa?”
“Aku bahagia banget, akhirnya aku dan kamu bisa jadi kita dan aku terbebas dari cewek bernama Cherry Alexandra.”
Violet menatap Zein dengan tatapan meminta jawaban. “Zein, kamu gak bakal tinggalin aku, ‘kan?”
“Aku janji gak bakal tinggalin kamu, Vi. Cuma kamu yang aku mau.” Zein menggenggam jemari Violet sambil tersenyum hangat kemudian mencium jemari itu cukup lama, mata mereka berpandangan sebelum akhirnya berbalas senyuman.
Tanpa mereka sadari ada hati yang teriris melihat kebersamaan mereka, Cherry yang tadi berpamitan pada Green untuk membeli sesuatu di kantin tak sengaja mencuri dengar pembicaraan Zein dan Violet. Ada belati tak kasat mata yang menusuk relung hatinya, Cherry yang sebelumnya sudah merasa lebih baik kembali terluka setelah mendengar pengakuan Zein dan anggapan lelaki itu terhadap dirinya. Padahal selama menjadi kekasih Zein, Cherry selalu berusaha memberikan yang terbaik, menjadi wanita penurut sesuai kemauan lelaki itu. Tapi apa yang dikatakan Zein pada Violet justru sebaliknya, Cherry keluar dari persembunyiannya setelah menghapus air mata yang mengalir begitu saja.
“Pinter banget lo ya playing victimnya. Apa tadi kata lo? Toxic? Lo seharusnya ngaca, siapa yang toxic, lo atau gue? Lo itu posesif, tukang ngatur, temperament. Dan satu lagi, kalian berdua cocok, sama-sama pengkhianat!” Cherry mengatakannya penuh penekanan, amarahnya tak bisa lagi ditahan melihat kelakuan dua manusia yang sangat ia percaya.
Zein berdiri kemudian menatap Cherry dengan tatapan merendahkan. “Cewek kayak lo gak cocok bersanding sama gue!”
Cherry hendak melayangkan tamparannya pada pipi Zein, namun tertahan karena mendengar suara Violet. “Cher, gue minta maaf. Semua salah gue yang gak berani jujur dari awal, sebenernya gue dan Zein udah lama menjalin hubungan di belakang lo, lo jangan salahin dia ya, semua salah gue,” ujar Violet dengan mata berkaca-kaca.
Pandangan mata Cherry beralih pada Violet, sahabat yang dulu ia perkenalkan pada Zein, lelaki yang dicintainya. Cherry tak pernah punya pikiran negatif pada dua manusia di hadapannya, dua manusia yang kini membuatnya amat sangat kecewa. Terlebih Violet, Cherry tak yakin bisa memaafkan wanita itu setelah rasa sakit yang ia terima. “Gue gak bakal maafin lo Violet, dan mulai sekarang lo bukan lagi temen gue!” Cherry mengatakannya dengan nada tajam dan penuh penekanan.
Violet tak membalas ucapan Cherry, ia hanya menunduk tak bisa mengatakan apa-apa.
“Sekarang Violet punya gue, dia gak butuh lo jadi sahabatnya lagi. Gue sayang sama Violet, dan lo? Lo itu gak ada apa-apanya dibanding dia, lo cuma cewek manja yang apa-apa minta bantuan, Sementara Violet? Dia itu mandiri.” Cherry merasakan sesak di dadanya akibat penuturan Zein yang membandingkan dirinya dengan Violet. Tangannya terkepal, memandang dua manusia itu dengan penuh amarah.
Tanpa Cherry sadari, Green berjalan mendekat, sejak tadi ia memilih mengamati interaksi ketiganya, bukan karena tak ingin membantu Cherry, malainkan memberi waktu pada mereka sebagai manusia dewasa untuk menyelesaikan masalahnya. Green dapat melihat dari jarak tak terlalu jauh bagaimana Zein menyudutkan Cherry dan mengatai wanita itu, dengan langkah berani Green mendekat. Green berdiri di hadapan Zein, ia menatap Zein dengan tatapan tajam.
“Lo kalo putus, ya putus aja! Gak perlu, lah, jelek-jelekin mantan, lo laki bukan? Itu mulut apa sampah?!”
Cherry tak tahu Green akan seberani itu, setelah mengatakan hal tersebut, ia menarik tangan Cherry untuk segera menjauh dari dua manusia pengkhianat, mengabaikan Zein yang tengah meneriakinya. Sebelum benar-bear pergi Green menoleh ke arah Violet, ia menatap wanita itu dengan tatapan mengintimidasi. “Dan lo? lo denger ini baik-baik, bahagia lo itu hasil merebut kebahagiaan orang lain, lo itu pengkhianat! Semua gak akan bertahan lama, cepet atau lambat lo juga akan dicampakkin sama laki-laki bajingan ini!” ujar Green menekan kata bajingan sambil menunjuk wajah Zein, menatap lelaki itu dengan tatapan jijik.
“Gue gak kenal lo, sialan! Lo gak ada hak ngatain gue bajingan!” ujar Zein yang tak terima Green mengatainya.
“Bahkan gue gak butuh kenal sama lo untuk tahu lo itu bajingan, brengsek!” ujar Green berapi-api, ia paling tidak bisa melihat orang terdekatnya disakiti. Green akan membela orang tersebut, terlebih dalam hal ini Zein memang patut dimaki. “Ayo Cher, biarin sampah-sampah ini berkumpul! Air mata lo terlalu berharga buat nangisin orang kayak mereka.” Green kembali menarik Cherry, kali ini benar-benar menjauh.
Green masih menarik Cherry menjauh dari tempat tersebut, Cherry merasa terharu karena Green benar-benar membelanya. Cherry tersenyum, rasa sakit hatinya masih ada belum benar-benar sembuh sepenuhnya. Meskipun yang dikatakan Green tadi benar, tak pantas baginya untuk bersedih karena Violet dan Zein. Tetapi semua tidak bisa terjadi begitu saja, patah hati tetap patah hati, tidak bisa langsung sembuh dengan kata-kata motivasi atau siraman rohani. Semua butuh proses, dan setelah ini Cherry bertekad akan menjalani proses itu.“Green, makasih ya,” ucap Cherry tulus setelah mereka sampai di depan kelas.“Setelah ini, lo jangan ngerasa sendiri ya, Cher,” ucap Green yang seperti melihat sosok Sera dalam diri Cherry.Cherry mengangguk. “Sekali lagi makasih, Green.”Green tersenyum tipis. Kelas masih sepi, padahal kuliah akan dimulai lima menit lagi. Green melihat Beni, KM di kelasnya menaiki tangga sambil menenteng tas laptop.
Sore itu Langit melajukan mobil dengan kecepatan sedang, mobil itu membelah jalanan menuju kediamannya, setelah seharian mengajar akhirnya ia bisa pulang dan beristirahat sejenak. Kantuk yang sejak tadi ia tahan, kembali menyerang. Akhirnya Langit memutuskan untuk berhenti sejenak, memilih meminum kopi di sebuah warung kecil untuk meredakan kantuk, akan berbahaya jika ia berkendara di tengah kantuk melanda.Langit membawa gelas cup yang berisi capucino. Perlu digaris bawahi, Langit adalah laki-laki sederhana, ia tak sungkan duduk dan minum kopi dipinggir jalan, seperti yang dilakukannya sore ini. Langit duduk di tempat yang disediakan sambil menyesap sebatang rokok, sebenarnya Langit bukanlah laki-laki yang selalu dan candu pada rokok, ia hanya melakukannya sesekali, jika ingin.Tanpa sengaja arah pandangnya tertuju pada seorang gadis yang sangat ia kenal, meskipun ia melihat gadis itu dari belakang, Langit sangat yakin bahwa gadis itu adalah sosok yang akhir-akhir ini
Rubi belum memberikan jawaban terkait ajakan Langit, terlebih Langit pun tidak menjelaskan apa itu panti asuhan kepada Rubi, yang dilakukan lelaki itu hanya mengatakan bahwa mereka bisa bersekolah jika berada di panti asuhan, Rubi yang saat itu belum paham berpikir apakah panti asuhan sama dengan sekolahan?“Besok Om akan ke sini lagi bawa baju barunya, sekarang Om Langit pulang dulu ya.” Langit kembali berdiri hendak berbalik meninggalkan Rubi, namun Rubi mengejarnya. “Om Langit hati-hati ya,” ujar Rubi sambil menyalami tangan Langit.Seketika Langit tak bisa berkata-kata melihat bagaimana Rubi mencium tangannya, anak itu santun sekali. Langit jarang menemukan ada anak jalanan sesantun Rubi, dan bisa dipastikan ini semua berkat Green, Langit tersenyum sambil merapikan rambut Rubi yang sedikit berantakan, “Iya Rubi, Om pamit ya, assalamualaikum.”“Waalaikumsalam.”Rubi berdiri menatap kepergian Lang
“Kak Langitt….,” Cherry berteriak memanggil Langit di depan pintu kamar lelaki itu, Langit yang baru saja berhasil memejamkan mata terlonjak kaget mendengar teriakan adiknya.“Kenapa?” tanya Langit panik, takut terjadi apa-apa pada Cherry.“Hehe gak ada apa-apa,” jawab Cherry sambil terkekeh pelan.“Ada apa?” tanya Langit lagi, ia yakin ada yang ingin disampaikan Cherry, kalau tidak mana mungkin ia berteriak.“Hehe, Kak, Gue izin keluar ya.” Cherry mengatakannya dengan nada tidak enak, meskipun ia yakin Langit tidak akan mengizinkan, tapi tidak ada salahnya mencoba bukan?“Gak.”Benar saja dugaan Cherry, bahkan Langit langsung mengatakan tidak sebelum ia mengatakan alasannya izin keluar. Langit bersiap menutup pintu kamar dan hendak melanjutkan tidurnya yang terganggu akibat ulah Cherry, melihat hal itu Cherry segera mengatakan tujuannya keluar rumah.&ldqu
“Green, maaf kita gak bisa sama-sama lagi.”“Alta, kamu kenapa? Kamu udah janji gak akan tinggalin aku, sekarang kenapa begini? Aku salah apa, Al?” tanya Green dengan suara bergetar. Ia kaget dengan kehadiran Alta yang tiba-tiba dan ingin mengakhiri hubungan mereka.“Kamu gak salah apa-apa, Green. Aku yang salah, aku yang gak bisa tepati janji,” suara Alta pun bergetar saat mengatakannya, sangat jelas terdengar bahwa lelaki itu menyesal karena mengingkari janjinya pada Green.“Cerita dulu sama aku, ada apa sebenarnya?”“Aku minta maaf, Green, aku harus pergi.”“Alta, aku mohon jangan tinggalin aku.”“Green, maaf.”“Jangan pergi.”Dalam mimpinya jelas sekali Green melihat Alta berbalik arah, pergi meninggalkannya tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Di b
Green sudah kembali ke rumahnya setelah melewati berbagai macam drama keluarga, tadi Langit mengantarnya pulang dan menjelaskan sekaligus meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi, ucapan Langit masih terngiang-ngiang di kepala Green.“Green, saya tahu kamu gak nyaman sama saya. Tapi, terima kasih sudah mau menerima bunda dengan baik. Saya minta maaf atas semua kesalahpahaman ini, saya sama sekali gak bermaksud menyeret kamu dalam masalah saya.”“Saya harap ini yang terakhir, saya gak mau terlibat lagi.”“Saya janji ini yang terakhir, sekali lagi saya minta maaf.”Setelah itu baik Green dan Langit tak ada yang membuka suara, keduanya fokus pada pikiran masing-masing sampai motor yang dikendarai Langit berhenti tepat di depan rumah Green. Ya, Langit mengantarnya dengan motor, alhasil Laki-laki itu tahu dimana rumahnya sekarang.Sebelum Green pulang tentu saja Kalila membawakannya ber
“Kamu nginep, kan?” tanya Green sambil melepaskan pelukannya.Alta menatap Green dengan tatapan tidak enak sekaligus bersalah. “Maaf sayang, aku gak bisa nginep, nanti sore aku harus balik ke Jogja.”“Yahhhhh.., aku pikir kamu nginep, kita kan udah lama gak ketemu, Al, masa iya sekalinya ketemu cuma sebentar.” Green tak bisa menutupi kesedihannya saat Alta mengatakan harus kembali sore nanti, padahal ia sudah berharap Alta bisa tinggal setidaknya dalam dua hari ke depan.“Kamu tenang ya, nanti aku sempetin ke sini lagi, terus nginep.”“Kapan?” tanya Green meminta kepastian.“Secepatnya.”“Yaudah deh, tapi janji ya jangan ilang-ilangan terus?”“Iya sayang, janji.”Mereka kembali berpelukan, jika saja Green tahu tujuan Alta datang mungkin ia tak akan pernah meminta Alta untuk datang lagi, dan bisa jadi ini adalah terakhir kali ia membe
Senin pagi merupakan hari yang paling menyebalkan bagi Cherry, setelah memanjakan diri di hari Minggu, ia tetap tidak bersemangat menjalani hari Senin. Sejak bangun tidur dan menyelesaikan ibadah salat subuh, Cherry sudah menggerutu karena pagi ini mata kuliah pertama akan diisi oleh sang kakak, moodnya benar-benar hancur mengingat bagaimana menyebalkannya Langit jika sudah berada di dalam kelas. Alhasil, setelah salat Cherry memilih tidur lagi, menutupi tubuhnya dengan selimut tebal berwarna kuning kesayangannya.“Cher..,” panggil Langit sembari mengetuk pintu kamar Cherry.Tak ada sahutan dari sang empunya kamar, Langit mengetuk pintu itu itu lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya. “Cher, udah jam 6, bangun!”Masih tak ada sahutan, Cherry menarik selimutnya sampai ke leher dan menutup kedua telinganya dengan bantal.“Cherry, bangun!” Langit sudah berada di kamar Cherry dan menarik selimut yang membalut tu
Meskipun kemarin kedatangannya tak membuahkan hasil, Langit tak menyerah. Sore hari setelah pulang dari kampus, ia kembali mendatangi rumah Green. Namun, sudah satu jam menunggu Green tak kunjung datang. Langit mulai gelisah dan bertanya-tanya, apakah Green tak ada di sini? Lantas, kemana wanita itu pergi? Ponsel wanita tersebut tak bisa dihubungi, bahkan pesan yang ia kirimkan pun belum dibaca. Apa Green telah memblokir nomornya? Berbagai asumsi memenuhi kepala Langit. Rasa bersalah dan penyesalannya semakin besar, ia tak henti mengumpat pada diri sendiri, merutuki segala kebodohan yang berujung kepergian Green dari sisinya. Hari sudah mulai gelap, tak jua ada tanda-tanda kehadiran Green. Tiba-tiba, ponsel di saku celana Langit bergetar, menampilkan sebuah pengingat. Langit tersenyum, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima, hampir saja Langit melupakan momen itu.&n
Pikiran Langit benar-benar kalut. Berhari-hari ia tak pulang dan selama itu pula tak berkomunikasi dengan Green. Langit benar-benar mengabaikan wanita yang dahulu mati-matian ia perjuangkan. Saat ini, tujuan Langit hanya satu, mencari dalang dibalik kematian Cherry. Ia tak lagi memikirkan tentang Green, bertanya soal kabar wanita itu saja tidak. Sebulan telah berlalu, Langit berhasil memecahkan teka-teki itu dengan bantuan beberapa teman yang memang ahli di bidangnya. Dugaan Langit benar, Cherry tidak bunuh diri, melainkan dibunuh. Semua data yang ditemukan polisi dan pihak rumah sakit adalah sesuatu yang sudah disusun dan direncanakan dengan matang. Hari ini, Langit datang ke kantor polisi untuk bertemu pelaku sebenarnya, Zein dan Violet. Mereka ditangkap atas tuduhan pembunuhan berencana. Langit puas saat
“Green, tolong kamu jawab semua pertanyaan saya dengan jujur,” ujar Langit begitu mereka sampai di rumah. Disaksikan oleh Kalila dan Jerry, ia berniat menginterogasi Green. Kalau benar Green menjadi penyebab kematian Cherry, Langit tak akan segan menjebloskan wanita itu ke dalam penjara sekalipun mereka masih terikat hubungan pernikahan. Green merasa diperlakukan seperti penjahat oleh Langit. Ia duduk di depan Langit, di samping kanan dan kirinya ada Jerry dan Kalila yang juga tengah menatap intens ke arahnya.. “Sebenarnya ada apa, Lang?” tanya Kalila tak paham. Pasalnya, Langit terlihat begitu marah pada Green. “Kata Violet, Green ke kost Cherry di malam terakhir sebelum dia meninggal,” terang Langit. “Jangan bilang kamu mencurigai Green? Sudah lah Lang, polisi bahkan rumah sakit bilang Cherry meninggal karena bunuh diri, bukan dibunuh,” ujar Kalila yang perlahan mulai ikhals dan menerima kepergian Cherry. “Gak Bun, Langit masih belum percaya
Sepulang dari mengajar, Langit teringat pada Cherry. Sudah lama sekali ia tak bertemu adiknya. Karena hal itu, Langit memutar arah mobilnya menuju indekos sang adik, tiba-tiba ia sangat ingin bertemu untuk sekadar menyapa dan memasikan Cherry baik-baik saja. Jalanan yang padat membuat Langit membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di sana. Ia memutuskan memberi tahu Green akan pulang terlambat, sekaligus menghubungi Cherry perihal kedatangannya. Sampai beberapa kali panggilan, tak ada satu pun yang mendapat jawaban. Langit menerka-nerka, kemana adiknya hingga tak menjawab telepon? Apa mungkin masih bekerja? Sepertinya tidak, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib. Langit mengemudi secepat yang ia bisa. Perasaanya tidak enak entah karena alasan apa, yang jelas saat ini keinginannya untuk melihat wajah sang adik amat besar. “Semoga kamu baik-baik aja,” lirih Langit sembari terus mengemudi. Langit tiba di indekos Cherry saat matahari sudah r
Keesokan harinya, Green benar-benar tak keluar kamar. Tak menjawab telepon dan chat, tak juga menggubris saat Langit mengajaknya sarapan. Emosi Green masih belum reda, hatinya belum menerima saat tahu bahwa Langit menikahi dirinya hanya karena wajah dan sifat serta kebiasaannya mirip dengan Keira.Green masih berbaring dengan posisi terlentang, matanya menatap langit-langit. Raganya memang di kamar, namun pikirannya bercabang. Ia tak bisa berhenti memikirkan Cherry. Bagaimana kabarnya hari ini? Apakah wanita itu sudah menemukan solusi terbaik dari permasalahan yang menimpanya?“Cher, semoga lo baik-baik aja,” batinnya.Tak ada lagi suara ketukan pintu dan Langit yang memanggilnya. Tampaknya, lelaki itu sudah berangkat ke kampus. Green memanfaatkan situasi itu untuk mengisi perut dan kerongkongannya yang terasa kering. Hari ini, ia sengaja meminta izin tidak mengajar dengan alasan sakit.Green berjalan dengan langkah pelan. Wajah dan m
“Darimana kamu? Kenapa telepon dan chat saya gak ada yang dijawab?” cecar Langit saat Green menginjakkan kaki di rumah mereka. Green melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan tersebut. “Green, saya ini suami kamu. Gak seharusnya kamu bersikap begini. Pergi gak ngasih kabar, pulang malem basah-basahan, kamu pikir saya gak khawatir?!” tanya Langit seraya mencekal pergelangan tangan Green agar wanita itu mau menatapnya. Green tak menggubris. Ia berusaha melepaskan tangan Langit. “Lepas!” titahnya dengan suara dingin. “Kamu kenapa? Tolong kasih tahu, salah saya dimana? Kalau kamu begini saya bingung. Dari tadi saya teleponin berkali-kali gak ada satupun yang diangkat. Marah?”&n
Green menunggu kedatangan Cherry dengan sabar. Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu ia berada di depan indekos seraya mencoba menghubungi ponsel wanita tersebut, namun tak mendapat jawaban. Tak lama berselang, ponsel Green berdering. Nama Langit tertera di layar, cukup lama ia membiarkan dering itu hingga mati dengan sendirinya. Hari ini, Green sudah putuskan untuk menginap. Ia perlu waktu untuk berpikir jernih lebih dulu. Karena jika langsung bertemu Langit, dirinya akan emosi dan perang dingin di antara mereka semakin menjadi. Hujan di luar sana masih belum reda. Green menatap rintik air yang kian deras membasahi bumi, sembari membiarkan pikirannya melanglangbuana. Benda pipih di tangannya kembali berdering, membuyarkan lamunan Green sore menjelang malam itu. Hatinya tak bergairah untuk menjawab panggilan tersebut. 
Tanda dua garis biru menjadi penyebab Cherry menangis tersedu-sedu. Ia mengamati benda di tangannya sekali lagi, menolak percaya bahwa apa yang dilihatnya benar sebuah tanda yang menyatakan dirinya positif hamil. “Gak, ini pasti gak bener.” Cherry mengambil taxpack terakhir kemudian menggunakan benda itu. Selang beberapa menit, hasilnya keluar. Cherry berharap dapat melihat garis satu di sana. Namun nihil, tandanya tetap sama. Tangisnya pecah begitu saja. Secepat kilat, Cherry menyambar ponselnya dan menghubungi orang yang paling bertanggungjawab atas semua hal yang terjadi hari ini. “Zein.., angkat dong,” gumam Cherry seraya menggigit bibir bawahnya. “K
“Hai, sori telat. Udah lama?” Green duduk di hadapann Regita dengan napas terengah.Regita tak langsung menjawab, ia menyodorkan jus jeruk miliknya kepada Green yang langsung diminum oleh wanita itu. Green masih mengenakan baju guru, keringat di keningnya tercetak jelas.“Gak apa-apa. Lo dari sekolah langsung ke sini?” tanya Regita basa-basi.Green mengangguk. “Jus lo?” Gelas berisi jus itu hanya tersisa setengah, ia menatap Regita tidak enak.“Santai, bisa pesen lagi.” Regita tersenyum, ia memanggil pelayan kafe yang kebetulan lewat. Keduanya memesan dua minuman dan makanan ringan yang berbeda.“Thanks udah mau dateng,” ucap Green saat pelayan kafe tersebut sudah pergi.“Sama-sama. Jadi, lo mau tanya apa?” tanya Regita.Green menghela napas berat. Ia bingung harus memulai darimana. Ada banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya saat ini.