Share

Petunjuk

Penulis: Danea
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Hujan yang mengguyur bumi telah reda, Green sudah menyembunyikan seluruh tubuhnya di balik selimut sejak tadi. Jika tengah merasa gundah, Green akan melakukan hal demikian, tidur berjam-jam lamanya. Sampai hari berganti, Green belum juga beranjak dari kasur kesayangannya, ia masih bermalas-malasan.

Suara derap langkah mendekat ke arah jendela kamar, Green menajamkan pendengarannya, menerka-nerka siapa sosok di balik jendela itu.

“Siapa?” tanya Green memberanikan diri.

Green melihat jam dinding menunjukkan pukul 01.00 dini hari, sudah lebih dari 4 jam ia tertidur. Green memberanikan diri membuka jendela, namun ia tak melihat siapa pun.

“Siapa di sana?” tanya Green lagi sambil membuka jendela kamar. Sejak kepergian ibunya, ia tinggal sendiri dan seringkali mengalami kejadian serupa, Green tak pernah takut karena ketakutan terbesar dalam hidupnya adalah kehilangan Melan—sang mama, dan ia telah melewati hari-hari berat itu.

“Green, ini gue,” ujar sosok di balik jendela.

“Ser, lo ngapain di sini malem-malem? Ayo masuk.”

“Enggak Green, gue cuma sebentar, ada hal penting yang perlu gue omongin.”

“Omonginnya di dalem aja ya, ayo masuk,” ajak Green lagi. Green hendak beranjak dari kamar untuk membuka pintu ruang tamu, namun Sera menolak.

“Di sini aja, Green.” Akhirnya Green mengalah, ia membiarkan Sera berbicara padanya lewat jendela, seperti permintaan wanita itu.

“Green, Alta yang sekarang bukan Alta yang dulu,” tutur Sera tiba-tiba.

Green dapat melihat ekspresi serius Sera saat mengatakannya. “Sera, apa maksud lo ngomong gitu?” tanya Green yang belum mengerti maksud Sera.

“Jangan terlalu mudah percaya, bahkan sama orang terdekat lo sekalipun.”

“Sera, gue gak ngerti maksud lo.” Green semakin bingung, ia belum memahami makna ucapan Sera.

“Setelah ini, banyak hal yang akan lo lalui, lo harus kuat.”

“Sera…”

“Gue cuma mau bilang itu, gue pamit, Green.”

“Sera…” Green berteriak, ia terbangun dari tidurnya. Keringat mengucur deras di leher dan pelipis wanita itu. Sera—sahabatnya yang telah meninggal karena mengidap gagal ginjal itu datang ke mimpinya, sudah lama Sera tak menyapanya lewat mimpi, dan kali ini Sera datang mengatakan sesuatu yang tidak Green pahami. Green mengambil segelas air mineral di atas nakas kemudian meneguknya sampai habis. Setelah itu, ia menoleh ke arah jendela yang masih tertutup. Berbeda dengan jam di mimpinya yang menunjukkan pukul 01.00 dini hari, Green dapat melihat jarum jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul 03.00 pagi.

“Sera…” Green memanggil nama itu dengan suara lirih.

Dulu, Green dan Sera bersahabat. Sera tinggal tak jauh dari rumahnya, sejak kecil mereka selalu bermain dan bersekolah di tempat yang sama sampai SMA. Sera merupakan satu-satunya orang yang tahu cinta terpendam Green pada Alta. Green selalu bercerita apa pun pada Sera, termasuk tentang ketertarikannya pada Alta. Namun, sejak Alta memiliki kekasih, Green mengubur dalam-dalam cintanya pada lelaki itu. Sampai pada akhirnya, Alta mendekati Green beberapa bulan sebelum Melan meninggal dunia.

Sejak kelas 10 Sera sudah rutin cuci darah, Green tak henti menyemangati Sera, semangat hidup Sera pun sangat tinggi, bahkan Sera sangat ceria, tidak terlihat seperti tengah mengidap penyakit serius, Green dan Sera layaknya saudara yang saling menguatkan. Sampai akhirnya, dua bulan setelah kepergian Melan Sera menyusul. Tentu saja itu pukulan yang berat bagi Green, kehilangan seorang ibu dan sahabat di waktu berdekatan adalah hal yang paling menyakitkan.

Sebelum kepergiannya, Sera berpesan pada Alta agar menggantikan posisinya untuk selalu menjaga dan menemani Green, dan Alta pun setuju. Di sebuah kamar rumah sakit dengan berbagai alat bantu pernapasan di tubuh Sera, Alta berjanji untuk selalu menjaga Green, janji yang sampai saat ini masih Green ingat.

Green menangis histeris saat Sera mengembuskan napas terakhir tepat di depan matanya, dan saat itu Alta mendekapnya dengan erat. Dunia Green seolah berhenti kala itu, Green merasa hidupnya tak lagi bermakna. Green merasa beasiswa yang ia terima tak ada gunanya, karena Melan yang berjuang mati-matian agar Green bisa melanjutkan pendidikan dengan mendaftarkan Green les sana-sini telah tiada, ditambah Sera sahabatnya yang juga berjanji akan berkuliah di universitas yang sama turut meninggalkannya.  Saat itulah awal mula hubungan Green dengan Alta dimulai, Alta menepati janjinya pada Sera dan mereka berpacaran. Saat Alta memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di tempat yang berbeda dan menjalani hubungan jarak jauh, Green sempat menolak karena tidak ingin Alta pun sampai meninggalkannya. Butuh waktu cukup lama sampai Alta berhasil meyakinkan Green bahwa tidak akan ada yang berubah meskipun mereka berjauhan, akhirnya Green mengerti dan menerima keputusan Alta. Green  menjaga hatinya hanya untuk Alta, sampa saat ini.

Tanpa terasa air mata Green tumpah ketika mengingat kenangannya bersama Sera, sesuatu yang tadi dikatakan Sera membuat hatinya semakin gundah gulana. “Ser, apa itu petunjuk dari lo?” tanya Green sambil terisak.

Ucapan Sera dalam mimpinya terus berputar di kepala, bayangan tentang Alta yang mendekapnya dengan erat kala ia merasa sangat rapuh membuat Green ingin menampik semua hal negatif tentang Alta, termasuk apa yang dikatakan Sera.

“Ser, lo kangen ‘kan sama gue? Makanya tadi lo nemuin gue, besok gue janji bakal tengokin lo, tunggu gue ya,” ujar Green sambil tersenyum menatap fotonya bersama Sera menggunakan seragam SMA.

***

“Cherry, kamu pikir dengan kamu mabuk-mabukan begini semua masalah selesai?!” tanya Langit berapi-api saat mendapati Cherry diantar temannya dalam keadaan mabuk berat, sejak tinggal terpisah dengan kedua orang tuanya Cherry mulai sulit dikendalikan, terlebih saat wanita itu mulai mengenal dunia malam. Lelaki yang tadi mengantar Cherry diusir Langit begitu saja, Langit menggendong tubuh Cherry dan membawanya ke kamar.

“Lo gak usah munafik, gue tahu lo juga suka minum, ‘kan?” Cherry meracau, ia tertawa dan menatap Langit dengan tatapan meremehkan.

Langit membaringkan Cherry di ranjang, kemudian melepas high hells yang dikenakan wanita itu. “Kak, Zein selingkuh, dia duain gue.” Cherry masih meracau, Langit yang tadi hendak meninggalkan Cherry menghentikan langkahnya, memutuskan untuk mendengarkan.

“Zein selingkuh sama Violet, lo kenal Violet? Sahabat gue dari SMA, lo tau ‘kan gue bela-belain kuliah di sini, jauh sama mama papa itu supaya bisa bareng dia, tapi dia ambil pacar gue, Kak, pacar pertama gue. Seumur-umur gue belum pernah pacaran, Zein cinta pertama gue, dan sekarang dia selingkuh sama sahabat gue sendiri. Lo bisa bayangin gimana sedihnya gue sekarang?”

Langit mengelus kepala adiknya dengan lembut, ternyata ini yang membuat Cherry mabuk berat, dikhianati sahabat sekaligus kekasihnya.

“Gue frustasi Kak, Zein itu laki-laki yang gue suka sejak semester satu, gue udah kasih semuanya sama dia termasuk.., hoeekkkkk hoeeekkk.” Belum sempat Cherry melanjutkan kalimatnya, ia memuntahkan seluruh isi perutnya, dengan cepat Langit menggendong Cherry menuju kamar mandi, membiarkan sang adik menyelesaikannya muntahnya di sana.

Ditatapnya sprey yang kotor akibat ulah Cherry, dengan cekatan Langit mengganti sprey tersebut, berbagai pikiran buruk masuk ke kepalanya, Apa yang hendak dikatakan Cherry tadi? Termasuk apa? Apa Cherry dan Zein telah melakukan hal yang tidak seharusnya? Berbagai pertanyaan memenuhi kepala Langit, esok ia akan mencoba berbicara dan menanyakannya pada Cherry.

“Kak Langit..,” teriak Cherry dari balik kamar mandi.

Langit segera menuju kamar mandi, keadaan Cherry sangat memprihatinkan, wanita itu terduduk di lantai, rambut panjang yang biasanya selalu terlihat indah dibiarkan acak-acakan. Tanpa pikir panjang, Langit kembali menggendong adiknya.

“Kak mulai sekarang Violet bukan lagi temen apalagi sahabat gue, dia udah ngerebut Zein, temen gue sekarang cuma Green,” ujar Cherry dalam gendongan Langit.

“Green, sedang apa wanita itu?”

Disaat seperti ini bisa-bisanya Langit justru memikirkan Green, dengan cepat Langit menggeleng-gelengkan kepala dan merebahkan Cherry di tempat tidur. Langit menatap Cherry dengan tatapan iba, dalam hati ia bertanya, Apa yang telah dilakukan Zein pada Cherry? Saat ini juga Langit ingin sekali bertemu dan menghajar laki-laki yang telah menyakiti adiknya. Namun, ia tak tega jika harus meninggalkan Cherry sendirian. Langit menyelimuti tubuh Cherry, mengecup kening wanita itu dengan lembut kemudian mematikan lampu dan keluar dari kamar itu.

Langit kembali ke ruang kerjanya, menghabiskan waktu di sana sampai kantuk menyerang. Langit selalu menggunakan waktu malam hari untuk menulis, menurutnya itu adalah waktu-waktu tenang. Itu juga lah yang saat ini tengah dilakukan Langit, ia tengah mempersiapkan novel baru. Jemarinya mulai menari-nari di atas keyboard matanya fokus menatap layar, ia tengah berkonsentrasi penuh pada tulisannya ditemani secangkir kopi di atas meja.

Malam semakin larut, Langit masih bertahan pada posisinya sampai suara teriakan Cherry membuyarkan semuanya. “Tolongg jangannnnn, jangannnn.”

Sontak saja Langit segera berlari menuju kamar adiknya, ia buru-buru menyalakan lampu kamar Cherry, dilihatnya Cherry masih tertidur dengan keringat membasahi kening. Langit segera mendekat dan menepuk-nepuk pipi Cherry lembut. “Cher, ini kakak.”

Cherry membuka mata dan terlonjak kaget. “Kak Langit.” Napasnya menderu menandakan wanita itu baru saja bermimpi buruk, Cherry segera memeluk Langit dengan erat.

“Gue mimpi buruk, Kak.”

“Kamu tenang ya, ada kakak di sini,” ujar Langit seraya mengelus lembut rambut panjang adiknya.

“Kak, boleh gak malam ini Green nginep di sini? Gue takut tidur sendirian,” pinta Cherry.

Langit tak langsung menjawab, ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Lain kali aja ya, ini udah jam tiga pagi, Cher. Green pasti udah tidur,”

Arah pandang Chery tertuju pada jam weker yang berada di atas meja belajarnya, benar apa yang dikatakan Langit, ini sudah pagi dan sepertinya Green pun sudah tertidur.

“Besok gue mau ajak Green nginep di sini ya, Kak, sekalian ngerjain tugas. Boleh, kan?”

Bab terkait

  • Aster [Indonesia Ver.]   Green dan Cherry

    Green dan Cherry memiliki kemiripan, sama-sama suka makanan manis dan tidak suka kesepian. Lucu memang, Green tinggal sendiri dan Cherry hanya berdua saja dengan Langit yang juga sering meninggalkannya. Keduanya berteman dengan sepi, dan tentunya merasa kesepian. Kesepian yang dirasakan Green perlahan sirna karena kehadiran Alta, begitupun Cherry yang merasa harinya menjadi berwarna sejak berpacaran dengan Zein. Baik Green maupun Cherry, keduanya tak memiliki banyak teman namun mengenal banyak orang, bukan karena sombong atau apa, melainkan keduanya memiliki prinsip berkenalan dengan siapa saja namun tak semuanya bisa dijadikan teman.Dua wanita itu kini tengah berada di taman kampus sambil membaca novel untuk bahan tugas mereka, Green menatap mata Cherry yang sembab, sejak tadi pun wanita itu tak banyak bicara, tak seperti biasanya. Green awalnya tak penasaran, namun ia melihat mata Cherry seperti tengah menahan tangis.“Cher…” Green menyentuh pungg

  • Aster [Indonesia Ver.]   Langit

    Green masih menarik Cherry menjauh dari tempat tersebut, Cherry merasa terharu karena Green benar-benar membelanya. Cherry tersenyum, rasa sakit hatinya masih ada belum benar-benar sembuh sepenuhnya. Meskipun yang dikatakan Green tadi benar, tak pantas baginya untuk bersedih karena Violet dan Zein. Tetapi semua tidak bisa terjadi begitu saja, patah hati tetap patah hati, tidak bisa langsung sembuh dengan kata-kata motivasi atau siraman rohani. Semua butuh proses, dan setelah ini Cherry bertekad akan menjalani proses itu.“Green, makasih ya,” ucap Cherry tulus setelah mereka sampai di depan kelas.“Setelah ini, lo jangan ngerasa sendiri ya, Cher,” ucap Green yang seperti melihat sosok Sera dalam diri Cherry.Cherry mengangguk. “Sekali lagi makasih, Green.”Green tersenyum tipis. Kelas masih sepi, padahal kuliah akan dimulai lima menit lagi. Green melihat Beni, KM di kelasnya menaiki tangga sambil menenteng tas laptop.

  • Aster [Indonesia Ver.]   Mau?

    Sore itu Langit melajukan mobil dengan kecepatan sedang, mobil itu membelah jalanan menuju kediamannya, setelah seharian mengajar akhirnya ia bisa pulang dan beristirahat sejenak. Kantuk yang sejak tadi ia tahan, kembali menyerang. Akhirnya Langit memutuskan untuk berhenti sejenak, memilih meminum kopi di sebuah warung kecil untuk meredakan kantuk, akan berbahaya jika ia berkendara di tengah kantuk melanda.Langit membawa gelas cup yang berisi capucino. Perlu digaris bawahi, Langit adalah laki-laki sederhana, ia tak sungkan duduk dan minum kopi dipinggir jalan, seperti yang dilakukannya sore ini. Langit duduk di tempat yang disediakan sambil menyesap sebatang rokok, sebenarnya Langit bukanlah laki-laki yang selalu dan candu pada rokok, ia hanya melakukannya sesekali, jika ingin.Tanpa sengaja arah pandangnya tertuju pada seorang gadis yang sangat ia kenal, meskipun ia melihat gadis itu dari belakang, Langit sangat yakin bahwa gadis itu adalah sosok yang akhir-akhir ini

  • Aster [Indonesia Ver.]   Harapan

    Rubi belum memberikan jawaban terkait ajakan Langit, terlebih Langit pun tidak menjelaskan apa itu panti asuhan kepada Rubi, yang dilakukan lelaki itu hanya mengatakan bahwa mereka bisa bersekolah jika berada di panti asuhan, Rubi yang saat itu belum paham berpikir apakah panti asuhan sama dengan sekolahan?“Besok Om akan ke sini lagi bawa baju barunya, sekarang Om Langit pulang dulu ya.” Langit kembali berdiri hendak berbalik meninggalkan Rubi, namun Rubi mengejarnya. “Om Langit hati-hati ya,” ujar Rubi sambil menyalami tangan Langit.Seketika Langit tak bisa berkata-kata melihat bagaimana Rubi mencium tangannya, anak itu santun sekali. Langit jarang menemukan ada anak jalanan sesantun Rubi, dan bisa dipastikan ini semua berkat Green, Langit tersenyum sambil merapikan rambut Rubi yang sedikit berantakan, “Iya Rubi, Om pamit ya, assalamualaikum.”“Waalaikumsalam.”Rubi berdiri menatap kepergian Lang

  • Aster [Indonesia Ver.]   Jangan Pergi

    “Kak Langitt….,” Cherry berteriak memanggil Langit di depan pintu kamar lelaki itu, Langit yang baru saja berhasil memejamkan mata terlonjak kaget mendengar teriakan adiknya.“Kenapa?” tanya Langit panik, takut terjadi apa-apa pada Cherry.“Hehe gak ada apa-apa,” jawab Cherry sambil terkekeh pelan.“Ada apa?” tanya Langit lagi, ia yakin ada yang ingin disampaikan Cherry, kalau tidak mana mungkin ia berteriak.“Hehe, Kak, Gue izin keluar ya.” Cherry mengatakannya dengan nada tidak enak, meskipun ia yakin Langit tidak akan mengizinkan, tapi tidak ada salahnya mencoba bukan?“Gak.”Benar saja dugaan Cherry, bahkan Langit langsung mengatakan tidak sebelum ia mengatakan alasannya izin keluar. Langit bersiap menutup pintu kamar dan hendak melanjutkan tidurnya yang terganggu akibat ulah Cherry, melihat hal itu Cherry segera mengatakan tujuannya keluar rumah.&ldqu

  • Aster [Indonesia Ver.]   Bertemu (1)

    “Green, maaf kita gak bisa sama-sama lagi.”“Alta, kamu kenapa? Kamu udah janji gak akan tinggalin aku, sekarang kenapa begini? Aku salah apa, Al?” tanya Green dengan suara bergetar. Ia kaget dengan kehadiran Alta yang tiba-tiba dan ingin mengakhiri hubungan mereka.“Kamu gak salah apa-apa, Green. Aku yang salah, aku yang gak bisa tepati janji,” suara Alta pun bergetar saat mengatakannya, sangat jelas terdengar bahwa lelaki itu menyesal karena mengingkari janjinya pada Green.“Cerita dulu sama aku, ada apa sebenarnya?”“Aku minta maaf, Green, aku harus pergi.”“Alta, aku mohon jangan tinggalin aku.”“Green, maaf.”“Jangan pergi.”Dalam mimpinya jelas sekali Green melihat Alta berbalik arah, pergi meninggalkannya tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Di b

  • Aster [Indonesia Ver.]   Bertemu (2)

    Green sudah kembali ke rumahnya setelah melewati berbagai macam drama keluarga, tadi Langit mengantarnya pulang dan menjelaskan sekaligus meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi, ucapan Langit masih terngiang-ngiang di kepala Green.“Green, saya tahu kamu gak nyaman sama saya. Tapi, terima kasih sudah mau menerima bunda dengan baik. Saya minta maaf atas semua kesalahpahaman ini, saya sama sekali gak bermaksud menyeret kamu dalam masalah saya.”“Saya harap ini yang terakhir, saya gak mau terlibat lagi.”“Saya janji ini yang terakhir, sekali lagi saya minta maaf.”Setelah itu baik Green dan Langit tak ada yang membuka suara, keduanya fokus pada pikiran masing-masing sampai motor yang dikendarai Langit berhenti tepat di depan rumah Green. Ya, Langit mengantarnya dengan motor, alhasil Laki-laki itu tahu dimana rumahnya sekarang.Sebelum Green pulang tentu saja Kalila membawakannya ber

  • Aster [Indonesia Ver.]   Yakin

    “Kamu nginep, kan?” tanya Green sambil melepaskan pelukannya.Alta menatap Green dengan tatapan tidak enak sekaligus bersalah. “Maaf sayang, aku gak bisa nginep, nanti sore aku harus balik ke Jogja.”“Yahhhhh.., aku pikir kamu nginep, kita kan udah lama gak ketemu, Al, masa iya sekalinya ketemu cuma sebentar.” Green tak bisa menutupi kesedihannya saat Alta mengatakan harus kembali sore nanti, padahal ia sudah berharap Alta bisa tinggal setidaknya dalam dua hari ke depan.“Kamu tenang ya, nanti aku sempetin ke sini lagi, terus nginep.”“Kapan?” tanya Green meminta kepastian.“Secepatnya.”“Yaudah deh, tapi janji ya jangan ilang-ilangan terus?”“Iya sayang, janji.”Mereka kembali berpelukan, jika saja Green tahu tujuan Alta datang mungkin ia tak akan pernah meminta Alta untuk datang lagi, dan bisa jadi ini adalah terakhir kali ia membe

Bab terbaru

  • Aster [Indonesia Ver.]   End

    Meskipun kemarin kedatangannya tak membuahkan hasil, Langit tak menyerah. Sore hari setelah pulang dari kampus, ia kembali mendatangi rumah Green. Namun, sudah satu jam menunggu Green tak kunjung datang. Langit mulai gelisah dan bertanya-tanya, apakah Green tak ada di sini? Lantas, kemana wanita itu pergi? Ponsel wanita tersebut tak bisa dihubungi, bahkan pesan yang ia kirimkan pun belum dibaca. Apa Green telah memblokir nomornya? Berbagai asumsi memenuhi kepala Langit. Rasa bersalah dan penyesalannya semakin besar, ia tak henti mengumpat pada diri sendiri, merutuki segala kebodohan yang berujung kepergian Green dari sisinya. Hari sudah mulai gelap, tak jua ada tanda-tanda kehadiran Green. Tiba-tiba, ponsel di saku celana Langit bergetar, menampilkan sebuah pengingat. Langit tersenyum, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima, hampir saja Langit melupakan momen itu.&n

  • Aster [Indonesia Ver.]   Kehilangan (lagi)

    Pikiran Langit benar-benar kalut. Berhari-hari ia tak pulang dan selama itu pula tak berkomunikasi dengan Green. Langit benar-benar mengabaikan wanita yang dahulu mati-matian ia perjuangkan. Saat ini, tujuan Langit hanya satu, mencari dalang dibalik kematian Cherry. Ia tak lagi memikirkan tentang Green, bertanya soal kabar wanita itu saja tidak. Sebulan telah berlalu, Langit berhasil memecahkan teka-teki itu dengan bantuan beberapa teman yang memang ahli di bidangnya. Dugaan Langit benar, Cherry tidak bunuh diri, melainkan dibunuh. Semua data yang ditemukan polisi dan pihak rumah sakit adalah sesuatu yang sudah disusun dan direncanakan dengan matang. Hari ini, Langit datang ke kantor polisi untuk bertemu pelaku sebenarnya, Zein dan Violet. Mereka ditangkap atas tuduhan pembunuhan berencana. Langit puas saat

  • Aster [Indonesia Ver.]   Bertengkar

    “Green, tolong kamu jawab semua pertanyaan saya dengan jujur,” ujar Langit begitu mereka sampai di rumah. Disaksikan oleh Kalila dan Jerry, ia berniat menginterogasi Green. Kalau benar Green menjadi penyebab kematian Cherry, Langit tak akan segan menjebloskan wanita itu ke dalam penjara sekalipun mereka masih terikat hubungan pernikahan. Green merasa diperlakukan seperti penjahat oleh Langit. Ia duduk di depan Langit, di samping kanan dan kirinya ada Jerry dan Kalila yang juga tengah menatap intens ke arahnya.. “Sebenarnya ada apa, Lang?” tanya Kalila tak paham. Pasalnya, Langit terlihat begitu marah pada Green. “Kata Violet, Green ke kost Cherry di malam terakhir sebelum dia meninggal,” terang Langit. “Jangan bilang kamu mencurigai Green? Sudah lah Lang, polisi bahkan rumah sakit bilang Cherry meninggal karena bunuh diri, bukan dibunuh,” ujar Kalila yang perlahan mulai ikhals dan menerima kepergian Cherry. “Gak Bun, Langit masih belum percaya

  • Aster [Indonesia Ver.]   Duka

    Sepulang dari mengajar, Langit teringat pada Cherry. Sudah lama sekali ia tak bertemu adiknya. Karena hal itu, Langit memutar arah mobilnya menuju indekos sang adik, tiba-tiba ia sangat ingin bertemu untuk sekadar menyapa dan memasikan Cherry baik-baik saja. Jalanan yang padat membuat Langit membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di sana. Ia memutuskan memberi tahu Green akan pulang terlambat, sekaligus menghubungi Cherry perihal kedatangannya. Sampai beberapa kali panggilan, tak ada satu pun yang mendapat jawaban. Langit menerka-nerka, kemana adiknya hingga tak menjawab telepon? Apa mungkin masih bekerja? Sepertinya tidak, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib. Langit mengemudi secepat yang ia bisa. Perasaanya tidak enak entah karena alasan apa, yang jelas saat ini keinginannya untuk melihat wajah sang adik amat besar. “Semoga kamu baik-baik aja,” lirih Langit sembari terus mengemudi. Langit tiba di indekos Cherry saat matahari sudah r

  • Aster [Indonesia Ver.]   Obat Penggugur Kandungan

    Keesokan harinya, Green benar-benar tak keluar kamar. Tak menjawab telepon dan chat, tak juga menggubris saat Langit mengajaknya sarapan. Emosi Green masih belum reda, hatinya belum menerima saat tahu bahwa Langit menikahi dirinya hanya karena wajah dan sifat serta kebiasaannya mirip dengan Keira.Green masih berbaring dengan posisi terlentang, matanya menatap langit-langit. Raganya memang di kamar, namun pikirannya bercabang. Ia tak bisa berhenti memikirkan Cherry. Bagaimana kabarnya hari ini? Apakah wanita itu sudah menemukan solusi terbaik dari permasalahan yang menimpanya?“Cher, semoga lo baik-baik aja,” batinnya.Tak ada lagi suara ketukan pintu dan Langit yang memanggilnya. Tampaknya, lelaki itu sudah berangkat ke kampus. Green memanfaatkan situasi itu untuk mengisi perut dan kerongkongannya yang terasa kering. Hari ini, ia sengaja meminta izin tidak mengajar dengan alasan sakit.Green berjalan dengan langkah pelan. Wajah dan m

  • Aster [Indonesia Ver.]   Kenyataan

    “Darimana kamu? Kenapa telepon dan chat saya gak ada yang dijawab?” cecar Langit saat Green menginjakkan kaki di rumah mereka. Green melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan tersebut. “Green, saya ini suami kamu. Gak seharusnya kamu bersikap begini. Pergi gak ngasih kabar, pulang malem basah-basahan, kamu pikir saya gak khawatir?!” tanya Langit seraya mencekal pergelangan tangan Green agar wanita itu mau menatapnya. Green tak menggubris. Ia berusaha melepaskan tangan Langit. “Lepas!” titahnya dengan suara dingin. “Kamu kenapa? Tolong kasih tahu, salah saya dimana? Kalau kamu begini saya bingung. Dari tadi saya teleponin berkali-kali gak ada satupun yang diangkat. Marah?”&n

  • Aster [Indonesia Ver.]   Rapuh

    Green menunggu kedatangan Cherry dengan sabar. Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu ia berada di depan indekos seraya mencoba menghubungi ponsel wanita tersebut, namun tak mendapat jawaban. Tak lama berselang, ponsel Green berdering. Nama Langit tertera di layar, cukup lama ia membiarkan dering itu hingga mati dengan sendirinya. Hari ini, Green sudah putuskan untuk menginap. Ia perlu waktu untuk berpikir jernih lebih dulu. Karena jika langsung bertemu Langit, dirinya akan emosi dan perang dingin di antara mereka semakin menjadi. Hujan di luar sana masih belum reda. Green menatap rintik air yang kian deras membasahi bumi, sembari membiarkan pikirannya melanglangbuana. Benda pipih di tangannya kembali berdering, membuyarkan lamunan Green sore menjelang malam itu. Hatinya tak bergairah untuk menjawab panggilan tersebut. 

  • Aster [Indonesia Ver.]   Runtuh

    Tanda dua garis biru menjadi penyebab Cherry menangis tersedu-sedu. Ia mengamati benda di tangannya sekali lagi, menolak percaya bahwa apa yang dilihatnya benar sebuah tanda yang menyatakan dirinya positif hamil. “Gak, ini pasti gak bener.” Cherry mengambil taxpack terakhir kemudian menggunakan benda itu. Selang beberapa menit, hasilnya keluar. Cherry berharap dapat melihat garis satu di sana. Namun nihil, tandanya tetap sama. Tangisnya pecah begitu saja. Secepat kilat, Cherry menyambar ponselnya dan menghubungi orang yang paling bertanggungjawab atas semua hal yang terjadi hari ini. “Zein.., angkat dong,” gumam Cherry seraya menggigit bibir bawahnya. “K

  • Aster [Indonesia Ver.]   Terungkap (2)

    “Hai, sori telat. Udah lama?” Green duduk di hadapann Regita dengan napas terengah.Regita tak langsung menjawab, ia menyodorkan jus jeruk miliknya kepada Green yang langsung diminum oleh wanita itu. Green masih mengenakan baju guru, keringat di keningnya tercetak jelas.“Gak apa-apa. Lo dari sekolah langsung ke sini?” tanya Regita basa-basi.Green mengangguk. “Jus lo?” Gelas berisi jus itu hanya tersisa setengah, ia menatap Regita tidak enak.“Santai, bisa pesen lagi.” Regita tersenyum, ia memanggil pelayan kafe yang kebetulan lewat. Keduanya memesan dua minuman dan makanan ringan yang berbeda.“Thanks udah mau dateng,” ucap Green saat pelayan kafe tersebut sudah pergi.“Sama-sama. Jadi, lo mau tanya apa?” tanya Regita.Green menghela napas berat. Ia bingung harus memulai darimana. Ada banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya saat ini.

DMCA.com Protection Status