“Kak Langitt….,” Cherry berteriak memanggil Langit di depan pintu kamar lelaki itu, Langit yang baru saja berhasil memejamkan mata terlonjak kaget mendengar teriakan adiknya.
“Kenapa?” tanya Langit panik, takut terjadi apa-apa pada Cherry.
“Hehe gak ada apa-apa,” jawab Cherry sambil terkekeh pelan.
“Ada apa?” tanya Langit lagi, ia yakin ada yang ingin disampaikan Cherry, kalau tidak mana mungkin ia berteriak.
“Hehe, Kak, Gue izin keluar ya.” Cherry mengatakannya dengan nada tidak enak, meskipun ia yakin Langit tidak akan mengizinkan, tapi tidak ada salahnya mencoba bukan?
“Gak.”
Benar saja dugaan Cherry, bahkan Langit langsung mengatakan tidak sebelum ia mengatakan alasannya izin keluar. Langit bersiap menutup pintu kamar dan hendak melanjutkan tidurnya yang terganggu akibat ulah Cherry, melihat hal itu Cherry segera mengatakan tujuannya keluar rumah.
“Gue mau jemput Green, Kak, dia mau nginep di sini, plis boleh yaa?” Cherry memohon pada Langit agar diizinkan keluar untuk menjemput Green di tempat kerja.
“Green?”
“Iya Green, dia masih di tempat kerja.”
Setelah kemarin melihat Green mengajari anak-anak jalanan, Langit menemukan fakta baru tentang Green yang ternyata kuliah sambil bekerja, Langit semakin dibuat kagum pada sosok itu.
“Kak..,” Cherry mengguncang lengan Langit, menunggu laki-laki itu membuat keputusan.
“Kamu di rumah aja, biar Kakak yang jemput Green.”
“Tapi Kak…”
“Gak ada tapi-tapian Cherry, ini sudah malam!” titah Langit tak ingin dibantah.
Bahu Cherry meluruh, padahal ia sangat ingin menjemput Green, tapi apa daya ia tidak bisa melawan Langit, laki-laki itu bisa marah dan mengembalikannya pada Kalila dan Jerry jika ia membantah, Cherry tak ingin hal itu terjadi.
“Oke, tapi emang Green mau dijemput sama lo?”
“Mau, kirim alamatnya, Kakak jalan sekarang.”
Langit masuk ke kamarnya, mengambil kunci mobil dan mengganti piama tidurnya dengan hoodie berwarna navy dan celana jeans hitam.
***
Langit dan Green sudah duduk di kursi masing-masing, Langit mengemudi dengan tenang, disampingnya tampak Green yang tengah berusaha menahan kantuk, hal itu tak lepas dari penglihatan Langit. Langit tersenyum tipis menyaksikan hal tersebut, ia segera memberikan bantal leher milik Cherry pada Green.
“Pake ini, supaya lehernya gak sakit.”
Green menoleh sejenak, tak langsung mengambil bantal leher tersebut. “Pake, kamu ngantuk, kan?” Langit menyodorkan benda itu agar Green menerimanya. Lagi-lagi Green hanya diam, dalam kondisi seperti ini pun ia masih memikirkan perasaan Alta dan curiga pada Langit.
“Jarak dari sini ke rumah saya sekitar 40 menit, kamu bisa tidur sebentar, kalau sudah sampai akan saya bangunkan.”
Mendengar penuturan itu, pandangan Green semakin menyelidik. Tangan yang semula ingin mengambil bantal tersebut ia tarik kembali, kecurigaannya pada Langit semakin menjadi, “Saya gak akan macam-macam, Green, kamu tenang aja.”
Langit mengubah gaya bahasanya menjadi lebih santai, ia berharap dengan begitu Green pun bisa bersikap santai padanya, tak selalu curiga dan berpikir buruk.
“Saya gak ngantuk,” tutur Green sambil menguap.
“Kamu tuh ya, jelas-jelas gesture sama ucapan gak sinkron.”
Langit memasangkan bantal tersebut pada leher Green, seketika tatapan Green berubah menjadi tajam. “Udah saya bilang─”
“Saya gak nyentuh kamu Green.”
“Dasar modus!” ujar Green sambil membuang muka, menatap ke arah jendela.
Langit memilih tak menanggapi, ia kembali fokus pada kemudi. Belum sampai lima menit sejak kejadian tadi, Langit dapat mendengar suara dengkuran halus yang bersumber dari sosok disampingnya. Sosok itu bersandar ke sebelah kiri, menggunakan bantal leher yang dipasangkan Langit.
“Green, Green, katanya gak ngantuk,” ujar Langit menatap Green sambil tersenyum.
Perjalanan menuju rumah Langit memakan waktu 40 menit, seperti yang dikatakan lelaki itu pada Green tadi, namun sebuah kecelakaan lalu lintas membuat perjalanan mereka menjadi lebih lambat. Dengan sabar, Langit menunggu sambil sesekali memperhatikan Green.
“Maaf ya, Green, saya sentuh kamu. Posisi kamu harus dibenerin, kalau enggak pas bangun nanti leher kamu sakit.” Langit berbicara seolah Green membuka mata, padahal yang diajak bicara sudah terlelap atau mungkin sudah sampai ke alam mimpi. Langit membenarkan posisi Green agar tidak terlalu miring ke sebelah kiri.
Tampak mobil polisi dan ambulance beriring-iringan mengevakuasi korban kecelakaan yang sepertinya berjumlah lebih dari satu. Green masih memejamkan mata, sama sekali tak terganggu dengan suara sirene yang memekakan telinga.
“Green, saya salut sama kamu,” tutur Langit sambil menatap Green yang tengah memejamkan mata.
“Semoga dengan berteman sama kamu, adik saya bisa lebih menghargai hidup.” Langit terus berbicara, hingga perlahan lalu lintas kembali normal.
***
Saat tiba di rumah, waktu sudah menunjukkan pukul 23.15 wib. Langit menatap Green, memanggil-manggil namanya sambil menepuk-nepuk pipi Green secara perlahan, berharap Green membuka mata dan terjaga dari tidurnya.
“Green, kita sudah sampai.” Langit berbisik tepat di telinga wanita itu, namun tak ada respon, Green masih memejamkan mata. Sampai percobaan ke lima, Green tak kunjung memberi respon, bahkan tak ada tanda-tanda wanita itu akan membuka mata, matanya terpejam sempurna.
“Kalau gue gendong, nanti dia marah, kalau gue tinggal pasti lebih marah,” tutur Langit pada dirinya sendiri. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Langit menggendong Green, membawa wanita itu menuju kamar Cherry.
“Cher..,” panggil Langit saat berada di depan pintu kamar adiknya.
“Masuk, Kak,” jawab Cherry dari dalam dengan suara serak, sepertinya Cherry pun telah terlelap.
Langit masuk ke dalam kamar bernuansa kuning sambil menggendong Green yang tak terusik sedikitpun. “Green udah tidur?” tanya Cherry sambil mengucek-ucek matanya.
“Udah, dari tadi.”
Langit merebahkan Green di sebelah Cherry dengan hati-hati. “Tolong sepatunya Green dilepas, Cher,” ujar Langit setelah meletakkan Green.
“Lo aja, gue ngantuk banget.”
Mau tidak mau Langit melakukan hal tersebut, ia melepas sepatu Green beserta kaus kaki pink yang digunakan wanita itu, setelahnya meletakkan tas ransel yang juga berwarna pink di meja belajar Cherry.
“Kalau keluar, lampunya tolong dimatiin, Kak. ” pinta Cherry.
Sebelum benar-benar keluar, Langit mengamati wajah polos Green yang tengah tertidur sekali lagi, wajah lelahnya sangat kentara, Langit memberanikan diri mengelus pipi Green dengan lembut. “Selamat tidur.”
Cherry yang belum memejamkan mata dengan sempurna melihat hal tidak biasa yang dilakukan Langit, sebenarnya ia sangat ingin menggoda Langit namun rasa kantuk mengalahkan niatnya.
Langit bergegas keluar dari kamar Cherry setelah mematikan lampu, saat hendak menutup pintu, Green mengatakan sesuatu yang membuat langkahnya terhenti. “Alta, jangan tinggalin aku.”
“Siapa sebenarnya Alta? Dan di mana laki-laki itu? mengapa Green selalu menyebut namanya?” Langit bertanya dalam hati, ingin sekali bertanya pada Green secara langsung, namun apakah Green akan memberikan jawaban? Sepertinya tidak, wanita itu sangat sulit didekati dan sepertinya juga sangat tertutup sekali, terlebih jika menyangkut urusan pribadi.
“Alta, jangan pergi…”
Nama itu lagi, Green menyebut nama itu lagi sebelum Langit benar-benar keluar dari kamar tersebut. Akhirnya ia berbalik, menghampiri Green yang telah berkeringat dalam keadaan mata terpejam, sepertinya wanita itu tengah bermimpi buruk, Langit menggenggam jemari Green dengan lembut. “Saya, di sini Green.”
“Jangan pergi.”
“Green, maaf kita gak bisa sama-sama lagi.”“Alta, kamu kenapa? Kamu udah janji gak akan tinggalin aku, sekarang kenapa begini? Aku salah apa, Al?” tanya Green dengan suara bergetar. Ia kaget dengan kehadiran Alta yang tiba-tiba dan ingin mengakhiri hubungan mereka.“Kamu gak salah apa-apa, Green. Aku yang salah, aku yang gak bisa tepati janji,” suara Alta pun bergetar saat mengatakannya, sangat jelas terdengar bahwa lelaki itu menyesal karena mengingkari janjinya pada Green.“Cerita dulu sama aku, ada apa sebenarnya?”“Aku minta maaf, Green, aku harus pergi.”“Alta, aku mohon jangan tinggalin aku.”“Green, maaf.”“Jangan pergi.”Dalam mimpinya jelas sekali Green melihat Alta berbalik arah, pergi meninggalkannya tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Di b
Green sudah kembali ke rumahnya setelah melewati berbagai macam drama keluarga, tadi Langit mengantarnya pulang dan menjelaskan sekaligus meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi, ucapan Langit masih terngiang-ngiang di kepala Green.“Green, saya tahu kamu gak nyaman sama saya. Tapi, terima kasih sudah mau menerima bunda dengan baik. Saya minta maaf atas semua kesalahpahaman ini, saya sama sekali gak bermaksud menyeret kamu dalam masalah saya.”“Saya harap ini yang terakhir, saya gak mau terlibat lagi.”“Saya janji ini yang terakhir, sekali lagi saya minta maaf.”Setelah itu baik Green dan Langit tak ada yang membuka suara, keduanya fokus pada pikiran masing-masing sampai motor yang dikendarai Langit berhenti tepat di depan rumah Green. Ya, Langit mengantarnya dengan motor, alhasil Laki-laki itu tahu dimana rumahnya sekarang.Sebelum Green pulang tentu saja Kalila membawakannya ber
“Kamu nginep, kan?” tanya Green sambil melepaskan pelukannya.Alta menatap Green dengan tatapan tidak enak sekaligus bersalah. “Maaf sayang, aku gak bisa nginep, nanti sore aku harus balik ke Jogja.”“Yahhhhh.., aku pikir kamu nginep, kita kan udah lama gak ketemu, Al, masa iya sekalinya ketemu cuma sebentar.” Green tak bisa menutupi kesedihannya saat Alta mengatakan harus kembali sore nanti, padahal ia sudah berharap Alta bisa tinggal setidaknya dalam dua hari ke depan.“Kamu tenang ya, nanti aku sempetin ke sini lagi, terus nginep.”“Kapan?” tanya Green meminta kepastian.“Secepatnya.”“Yaudah deh, tapi janji ya jangan ilang-ilangan terus?”“Iya sayang, janji.”Mereka kembali berpelukan, jika saja Green tahu tujuan Alta datang mungkin ia tak akan pernah meminta Alta untuk datang lagi, dan bisa jadi ini adalah terakhir kali ia membe
Senin pagi merupakan hari yang paling menyebalkan bagi Cherry, setelah memanjakan diri di hari Minggu, ia tetap tidak bersemangat menjalani hari Senin. Sejak bangun tidur dan menyelesaikan ibadah salat subuh, Cherry sudah menggerutu karena pagi ini mata kuliah pertama akan diisi oleh sang kakak, moodnya benar-benar hancur mengingat bagaimana menyebalkannya Langit jika sudah berada di dalam kelas. Alhasil, setelah salat Cherry memilih tidur lagi, menutupi tubuhnya dengan selimut tebal berwarna kuning kesayangannya.“Cher..,” panggil Langit sembari mengetuk pintu kamar Cherry.Tak ada sahutan dari sang empunya kamar, Langit mengetuk pintu itu itu lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya. “Cher, udah jam 6, bangun!”Masih tak ada sahutan, Cherry menarik selimutnya sampai ke leher dan menutup kedua telinganya dengan bantal.“Cherry, bangun!” Langit sudah berada di kamar Cherry dan menarik selimut yang membalut tu
BAB 18 Cemburu?Dalam perjalanan pulang usai mengantar Green, Langit teringat sesuatu, ada hal penting yang harus ia bicarakan pada Green terkait peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu, musibah yang menimpa dirinya karena Kalila dan Jerry datang tiba-tiba, musibah yang juga membuat ia dan Green mau tak mau harus bersandiwara di hadapan keduanya.“Gue harus ngobrol sama Green,” tutur Langit pada dirinya sembari memutar arah, ia kembali mendatangi rumah Green.Di lain tempat, Green yang sedang memadu kasih dengan Alta saling memeluk dan berbalas senyum, rasa bahagia jelas terpancar dari wajah keduanya. Green dan Alta bertatapan, melalui mata itu keduanya seolah ingin membuktikan pada dunia bahwa tak ada yang lebih indah selain bersama orang tercinta. Jika saat ini mereka tengah menunjukkan pada dunia, maka sebentar lagi dunia yang akan menunjukkan pada mereka bahwa cinta tak selamanya indah.Cinta, keyakinan
Cherry tertawa terbahak-bahak melihat wajah kakaknya yang sudah seperti kepiting rebus, sementara Green tak menganggap serius ucapan Cherry, ia masih berusaha agar Langit mengembalikan ponselnya.“Saya akan kembalikan ini nanti, sekarang saya buru-buru!” Langit melenggang pergi, mengabaikan Green yang masih berusaha mengambil ponsel.Setelah Langit hilang dari pandangan, Green mencak-mencak pada Cherry. “Sumpah ya, kakak lo ngeselin bangett. Hp lo disita gak?” tanya Green dengan raut kesal.Dengan polosnya Cherry menggeleng, sontak hal itu membuat Green bertambah kesal. “Hp lo gak diambil, sementara Hp butut gue malah dikantongin, heran deh!” ujar Green sembari meninggalkan Cherry.Cherry segera mengejar Green yang sudah mendahuluinya. “Maklumin aja, namanya juga om-om,” tutur Cherry sambil merangkul Green.“Dasar om-om gila.” Green memaki Langit di depan adiknya tanpa rasa bersalah.
Seminggu telah berlalu sejak Alta mengunjungi Green, sejak itu pula Langit menjaga jarak dan membatasi komunikasinya dengan Green. Pertemuan terakhir mereka adalah saat Langit datang ke rumah Green untuk mengembalikan ponsel wanita itu, itu adalah pertemuan sekaligus komunikasi terakhir mereka. Karena setelahnya Langit pergi ke luar kota untuk road show guna mempromosikan buku barunya. Green tak pernah peduli dengan apa yang dilakukan Langit, namun ada satu hal yang terkadang memaksanya untuk peduli. Kalila, wanita itu selalu membuatnya ada di posisi sulit, Kalila selalu berusaha melakukan segala cara agar Green dan Langit semakin dekat, mau menolak pun Green tidak enak, akhirnya ia hanya bisa pasrah dan menerima. Seperti hari ini, Sabtu malam sekitar pukul 19.00 wib, Kalila menghubungi dirinya. “Halo sayang, kamu sedang apa?” “Halo Bunda, Green baru pulang kerja, Bunda sehat?” tanya Green dengan nada dibuat seriang mungkin, ia tak ingin orang lain
“Ha? Maksudnya Kakak mau nginep di sini?”“Iya.”“Kakak udah gila?”Langit menatap Green dengan tatapan penuh arti. “Kenapa, ada masalah?” tanya Langit tanpa beban.Malam ini Langit seperti sudah hilang kesadaran. Ia abai pada semua hal dan memutuskan untuk menginap di rumah Green, Green memberikan tatapan datar dan menusuk. “Jelas ada. Kakak itu laki-laki, dan saya perempuan. Kita gak boleh satu ruangan, sebaiknya sekarang Kakak pulang. Saya bisa kena masalah kalau Kakak di sini.”“Gak usah berlebihan, lagian kita tidur di kamar yang beda,” jawab Langit tanpa santai. “Atau kamu ingin….,” timpalnya.“Stop, gak usah diterusin, dasar om-om mesum!” Green pergi meninggalkan Langit dengan menghentak-hentakkan kaki, darah tingginya bisa naik jika terus meladeni laki-laki itu.“Om-om lebih menggoda, mau bukti?” Langit bersuara s
Meskipun kemarin kedatangannya tak membuahkan hasil, Langit tak menyerah. Sore hari setelah pulang dari kampus, ia kembali mendatangi rumah Green. Namun, sudah satu jam menunggu Green tak kunjung datang. Langit mulai gelisah dan bertanya-tanya, apakah Green tak ada di sini? Lantas, kemana wanita itu pergi? Ponsel wanita tersebut tak bisa dihubungi, bahkan pesan yang ia kirimkan pun belum dibaca. Apa Green telah memblokir nomornya? Berbagai asumsi memenuhi kepala Langit. Rasa bersalah dan penyesalannya semakin besar, ia tak henti mengumpat pada diri sendiri, merutuki segala kebodohan yang berujung kepergian Green dari sisinya. Hari sudah mulai gelap, tak jua ada tanda-tanda kehadiran Green. Tiba-tiba, ponsel di saku celana Langit bergetar, menampilkan sebuah pengingat. Langit tersenyum, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima, hampir saja Langit melupakan momen itu.&n
Pikiran Langit benar-benar kalut. Berhari-hari ia tak pulang dan selama itu pula tak berkomunikasi dengan Green. Langit benar-benar mengabaikan wanita yang dahulu mati-matian ia perjuangkan. Saat ini, tujuan Langit hanya satu, mencari dalang dibalik kematian Cherry. Ia tak lagi memikirkan tentang Green, bertanya soal kabar wanita itu saja tidak. Sebulan telah berlalu, Langit berhasil memecahkan teka-teki itu dengan bantuan beberapa teman yang memang ahli di bidangnya. Dugaan Langit benar, Cherry tidak bunuh diri, melainkan dibunuh. Semua data yang ditemukan polisi dan pihak rumah sakit adalah sesuatu yang sudah disusun dan direncanakan dengan matang. Hari ini, Langit datang ke kantor polisi untuk bertemu pelaku sebenarnya, Zein dan Violet. Mereka ditangkap atas tuduhan pembunuhan berencana. Langit puas saat
“Green, tolong kamu jawab semua pertanyaan saya dengan jujur,” ujar Langit begitu mereka sampai di rumah. Disaksikan oleh Kalila dan Jerry, ia berniat menginterogasi Green. Kalau benar Green menjadi penyebab kematian Cherry, Langit tak akan segan menjebloskan wanita itu ke dalam penjara sekalipun mereka masih terikat hubungan pernikahan. Green merasa diperlakukan seperti penjahat oleh Langit. Ia duduk di depan Langit, di samping kanan dan kirinya ada Jerry dan Kalila yang juga tengah menatap intens ke arahnya.. “Sebenarnya ada apa, Lang?” tanya Kalila tak paham. Pasalnya, Langit terlihat begitu marah pada Green. “Kata Violet, Green ke kost Cherry di malam terakhir sebelum dia meninggal,” terang Langit. “Jangan bilang kamu mencurigai Green? Sudah lah Lang, polisi bahkan rumah sakit bilang Cherry meninggal karena bunuh diri, bukan dibunuh,” ujar Kalila yang perlahan mulai ikhals dan menerima kepergian Cherry. “Gak Bun, Langit masih belum percaya
Sepulang dari mengajar, Langit teringat pada Cherry. Sudah lama sekali ia tak bertemu adiknya. Karena hal itu, Langit memutar arah mobilnya menuju indekos sang adik, tiba-tiba ia sangat ingin bertemu untuk sekadar menyapa dan memasikan Cherry baik-baik saja. Jalanan yang padat membuat Langit membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di sana. Ia memutuskan memberi tahu Green akan pulang terlambat, sekaligus menghubungi Cherry perihal kedatangannya. Sampai beberapa kali panggilan, tak ada satu pun yang mendapat jawaban. Langit menerka-nerka, kemana adiknya hingga tak menjawab telepon? Apa mungkin masih bekerja? Sepertinya tidak, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib. Langit mengemudi secepat yang ia bisa. Perasaanya tidak enak entah karena alasan apa, yang jelas saat ini keinginannya untuk melihat wajah sang adik amat besar. “Semoga kamu baik-baik aja,” lirih Langit sembari terus mengemudi. Langit tiba di indekos Cherry saat matahari sudah r
Keesokan harinya, Green benar-benar tak keluar kamar. Tak menjawab telepon dan chat, tak juga menggubris saat Langit mengajaknya sarapan. Emosi Green masih belum reda, hatinya belum menerima saat tahu bahwa Langit menikahi dirinya hanya karena wajah dan sifat serta kebiasaannya mirip dengan Keira.Green masih berbaring dengan posisi terlentang, matanya menatap langit-langit. Raganya memang di kamar, namun pikirannya bercabang. Ia tak bisa berhenti memikirkan Cherry. Bagaimana kabarnya hari ini? Apakah wanita itu sudah menemukan solusi terbaik dari permasalahan yang menimpanya?“Cher, semoga lo baik-baik aja,” batinnya.Tak ada lagi suara ketukan pintu dan Langit yang memanggilnya. Tampaknya, lelaki itu sudah berangkat ke kampus. Green memanfaatkan situasi itu untuk mengisi perut dan kerongkongannya yang terasa kering. Hari ini, ia sengaja meminta izin tidak mengajar dengan alasan sakit.Green berjalan dengan langkah pelan. Wajah dan m
“Darimana kamu? Kenapa telepon dan chat saya gak ada yang dijawab?” cecar Langit saat Green menginjakkan kaki di rumah mereka. Green melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan tersebut. “Green, saya ini suami kamu. Gak seharusnya kamu bersikap begini. Pergi gak ngasih kabar, pulang malem basah-basahan, kamu pikir saya gak khawatir?!” tanya Langit seraya mencekal pergelangan tangan Green agar wanita itu mau menatapnya. Green tak menggubris. Ia berusaha melepaskan tangan Langit. “Lepas!” titahnya dengan suara dingin. “Kamu kenapa? Tolong kasih tahu, salah saya dimana? Kalau kamu begini saya bingung. Dari tadi saya teleponin berkali-kali gak ada satupun yang diangkat. Marah?”&n
Green menunggu kedatangan Cherry dengan sabar. Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu ia berada di depan indekos seraya mencoba menghubungi ponsel wanita tersebut, namun tak mendapat jawaban. Tak lama berselang, ponsel Green berdering. Nama Langit tertera di layar, cukup lama ia membiarkan dering itu hingga mati dengan sendirinya. Hari ini, Green sudah putuskan untuk menginap. Ia perlu waktu untuk berpikir jernih lebih dulu. Karena jika langsung bertemu Langit, dirinya akan emosi dan perang dingin di antara mereka semakin menjadi. Hujan di luar sana masih belum reda. Green menatap rintik air yang kian deras membasahi bumi, sembari membiarkan pikirannya melanglangbuana. Benda pipih di tangannya kembali berdering, membuyarkan lamunan Green sore menjelang malam itu. Hatinya tak bergairah untuk menjawab panggilan tersebut. 
Tanda dua garis biru menjadi penyebab Cherry menangis tersedu-sedu. Ia mengamati benda di tangannya sekali lagi, menolak percaya bahwa apa yang dilihatnya benar sebuah tanda yang menyatakan dirinya positif hamil. “Gak, ini pasti gak bener.” Cherry mengambil taxpack terakhir kemudian menggunakan benda itu. Selang beberapa menit, hasilnya keluar. Cherry berharap dapat melihat garis satu di sana. Namun nihil, tandanya tetap sama. Tangisnya pecah begitu saja. Secepat kilat, Cherry menyambar ponselnya dan menghubungi orang yang paling bertanggungjawab atas semua hal yang terjadi hari ini. “Zein.., angkat dong,” gumam Cherry seraya menggigit bibir bawahnya. “K
“Hai, sori telat. Udah lama?” Green duduk di hadapann Regita dengan napas terengah.Regita tak langsung menjawab, ia menyodorkan jus jeruk miliknya kepada Green yang langsung diminum oleh wanita itu. Green masih mengenakan baju guru, keringat di keningnya tercetak jelas.“Gak apa-apa. Lo dari sekolah langsung ke sini?” tanya Regita basa-basi.Green mengangguk. “Jus lo?” Gelas berisi jus itu hanya tersisa setengah, ia menatap Regita tidak enak.“Santai, bisa pesen lagi.” Regita tersenyum, ia memanggil pelayan kafe yang kebetulan lewat. Keduanya memesan dua minuman dan makanan ringan yang berbeda.“Thanks udah mau dateng,” ucap Green saat pelayan kafe tersebut sudah pergi.“Sama-sama. Jadi, lo mau tanya apa?” tanya Regita.Green menghela napas berat. Ia bingung harus memulai darimana. Ada banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya saat ini.