“Green, maaf kita gak bisa sama-sama lagi.”
“Alta, kamu kenapa? Kamu udah janji gak akan tinggalin aku, sekarang kenapa begini? Aku salah apa, Al?” tanya Green dengan suara bergetar. Ia kaget dengan kehadiran Alta yang tiba-tiba dan ingin mengakhiri hubungan mereka.
“Kamu gak salah apa-apa, Green. Aku yang salah, aku yang gak bisa tepati janji,” suara Alta pun bergetar saat mengatakannya, sangat jelas terdengar bahwa lelaki itu menyesal karena mengingkari janjinya pada Green.
“Cerita dulu sama aku, ada apa sebenarnya?”
“Aku minta maaf, Green, aku harus pergi.”
“Alta, aku mohon jangan tinggalin aku.”
“Green, maaf.”
“Jangan pergi.”
Dalam mimpinya jelas sekali Green melihat Alta berbalik arah, pergi meninggalkannya tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Di belakang lelaki itu ada seorang wanita yang menanti, wajahnya samar, Green tak bisa melihat jelas siapa sosok tersebut.
Green berteriak memanggil nama Alta, menahannya agar tetap tinggal, namun laki-laki itu terus melangkah pergi tanpa menoleh ke arahnya lagi. Saat hendak menyusul, ada sebuah tangan yang menahannya sembari mengatakan, “Saya di sini, Green.”
Tangan itu, ya itu tangan besar seorang lelaki yang begitu hangat dan menenangkan. Seketika Green fokus pada pemilik tangan tersebut, senyumnya tulus, tatapannya hangat, namun bukan laki-laki itu yang Green mau, Green tidak ingin yang lain, ia hanya ingin Altanya. Green menepis tangan itu dengan kasar kemudian berlari mengejar Alta yang telah hilang dari pandangan.
Hingga akhirnya Green terbangun, matanya terbuka sempurna, keringat mengucur deras di kening dan pelipisnya, ini kedua kalinya ia bermimpi tentang Alta dan semuanya buruk. Tuhan apakah ini petunjuk bahwa hubungannya dan Alta akan segera berakhir? Green melihat ada tangan besar yang menggenggam jemarinya, pemandangan pertama yang ia lihat pun asing, ia baru sadar bahwa saat ini tengah berada di kamar Cherry. Lantas siapa pemilik tangan ini? Apakah ini…?
“Kamu mimpi buruk?” belum sempat Green selesai bertanya pada dirinya, pemilik tangan itu membuka suara.
Green mengelap keringat dan mengusap air mata yang tak sengaja menetes terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Langit. “Saya gak apa-apa.”
“Minum dulu.” Langit menyodorkan segelas air mineral pada Green yang langsung diterima tanpa pikir panjang, Green menenggak habis air tersebut dan mengembalikan gelasnya pada Langit.
“Terima kasih, Kak.”
Langit hanya membalasnya dengan anggukan singkat. Sadar bahwa tangannya masih menggenggam jemari Green, Langit langsung menariknya, takut Green merasa tidak nyaman.
“Maaf, Green, saya tidak bermaksud…”
“Saya mohon, Kak, tolong jaga jarak sama saya,” tutur Green dengan suara lirih sebelum Langit selesai menjelalaskan.
“Kenapa?” tanya Langit ingin tahu, ia mengatakannya dengan suara pelan karena tidak ingin mengganggu adiknya yang masih tertidur lelap.
“Kak, tolong…”
Green tak ingin mendengar apa pun lagi dari mulut Langit, baginya apa yang ia katakan tadi sudah sangat jelas, ia tak ingin terlalu dekat dengan Langit atau lelaki mana pun, fokusnya hanya pada Alta, Green ingin Alta menjadi satu-satunya lelaki dalam hidupnya sampai akhir nanti. Namun, apakah Alta menginginkan hal yang sama? Atau hanya Green saja yang berharap demikian?
Langit dapat melihat saat ini Green tengah tidak baik-baik saja sejak mimpi buruk yang dialaminya tadi. Langit memilih mengalah dan memberi jeda, ia keluar dari kamar Cherry tanpa mengatakan apa-apa.
***
Ini adalah hari Minggu terbaik dalam hidup Cherry. Bagaimana tidak, pagi ini Green berada di rumahnya, ia tidak kesepian meskipun mereka hanya mengisi hari libur dengan mengerjakan tugas kuliah, tapi tidak apa-apa setidaknya itu lebih baik daripada harus menggalau di kamar sendirian.
“Green, tadi malem gue kaya denger lo sama kak Langit ngobrol soal mimpi buruk, bener gak, sih?" tanya Cherry ketika mereka baru selesai sarapan.
“Gak bener, kamu salah denger.”
Itu bukan suara Green, melainkan suara Langit yang tiba-tiba datang. Sepertinya lelaki itu baru saja selesai berolahraga, terlihat dari bajunya yang basah karena keringat. Mata Langit dan Green bertemu, namun Green segera mengalihkan pandangan.
“Beneran, Green?” tanya Cherry memastikan.
“Iya, Cher, bener. Lagian lo kan tidur, orang tidur biasanya suka salah denger,” jawab Green asal.
Langit duduk dengan tenang sambil mengunyah roti tawar selai coklat, matanya tak lepas dari ponsel di tangan, laki-laki itu tengah mengotak-atik ponselnya. Entah lah sepertinya dalam hidup Langit semua hari adalah Senin.
“Oke, mungkin emang gue yang salah denger,” ujar Cherry akhirnya.
“Habis ini kakak mau keluar, kamu jaga rumah ya.” Langit telah selesai dengan sarapannya, ia menggeser kursi dan berlalu dari hadapan Green dan Cherry.
“Kakak mau ke mana?” tanya Cherry setengah berteriak.
“Ada kerjaan.”
“Kerja terus, ini Minggu, Kak.”
Tak ada sahutan, Langit terus melangkah menuju kamarnya, mengabaikan perkataan Cherry. Green yang menyaksikan hal tersebut memilih diam, tak ingin ikut campur dengan urusan kakak beradik itu.
“Gue berasa tinggal sendirian di rumah ini, Green,” adu Cherry pada Green yang sejak tadi tak banyak bicara.
“Lo sabar ya, mungkin emang pak Langit lagi sibuk.”
“Dalam hidup kak Langit itu kayak gak ada hari Minggu, semua Senin, heran!” Gerutu Cherry yang kesal karena sang kakak jarang sekali berada di rumah dan menemaninya.
Green tak memberikan tanggapan, sejak mimpi buruk tadi malam pikirannya tak tenang, bahkan ia tak tidur sampai pagi. Terlebih sampai hari ini pun Alta belum juga menghubunginya, hal tersebut membuat Green semakin cemas dan khawatir. Hal itu disadari oleh Cherry. “Green, ada masalah?” tanya Cherry yang melihat raut wajah Green yang tak santai.
“Gak ada Cher, yaudah yuk kerjain tugas,” ajak Green sambil tersenyum menutupi kegundahan hatinya.
Cherry tahu Green sedang tidak baik-baik saja, namun lagi-lagi wanita itu memilih menyimpan sendirian daripada bercerita padanya. Jika sudah begitu, Cherry tak bisa memaksa, ia akan menunggu sampai Green mau bercerita dengan sendirinya.
“Ayuk, gue juga udah selesai baca.” Cherry mengajak Geen ke halaman belakang, hari ini mereka akan menyelesaikan tugas analisis novel karena tugas tersebut harus diserahkan dalam waktu dekat.
Green dan Cherry tiba di halaman belakang, mereka langsung membuka laptop dan mengerjakan tugas itu tanpa basa-basi. Keduanya tampak serius membaca kemudian menyalin kutipan yang berkaitan dengan pokok pembahasan, sesekali Cherry bertanya pada Green dan Green menjelaskan, begitupun sebaliknya. Langit yang melihat hal tersebut tersenyum, ia semakin yakin bahwa Cherry tidak salah memilih teman.
Setelah hampir tiga jam lamanya mereka berkutat dengan tugas tersebut, akhirnya Cherry dan Green dapat bernapas lega karena berhasil menyelesaikan tugas itu. “Akhirnya selesai juga.”
“Alhamdulillah,” ujar Green sambil meregangkan otot-ototnya yang semula tegang.
Green berbaring sejenak sambil memejamkan mata, ada banyak hal yang sudah terjadi dalam hidupnya, hal tersebut jugalah yang membuatnya bisa bertahan sampai hari ini. “Kamu hebat Green,” ia memuji dirinya dalam hati.
Cherry ikut berbaring di samping Green sambil memainkan ponselnya, bertepatan dengan itu terdengar suara seseorang yang sangat ia kenal, suara riang yang sudah lama tak ia dengar.
“Cherry anak gadis bunda…,” teriak Kalila, langkahnya menuju taman belakang tempat Green dan Cherry berada.
Cherry yang menyadari bahwa itu suara bundanya menatap Green yang ternyata telah lebih dulu menatapnya.
“Bunda gue,” ujar Cherry yang paham arti tatapan Green.
Cherry berdiri disusul Green disampingnya, ia segera berlari menemui sang bunda. Green yang saat itu berstatus sebagai tamu tak tahu harus bereaksi bagaimana, alhasil ia hanya diam ditempat menyaksikan kehadiran seorang pria dan wanita paruh baya yang tengah memeluk Cherry dengan hangat, tak lupa ada Langit di belakangnya. Lagi-lagi mata mereka bertemu, dan lagi-lagi Greenlah yang menghentikan aksi tatap-menatap itu dengan mengalihkan pandangan.
Setelah saling melepas rindu, Kalila dan Jerry melihat ada manusia lain di tengah-tengah mereka, seorang wanita yang berada tak jauh dari posisi mereka saat ini.
“Itu siapa?” tanya Kalila menunjuk Green sambil melangkahkan kakinya mendekat kearah Green.
“Kenalin ini Green te─”
“Oh jadi ini calon mantu bunda,” ujar Kalila dengan nada gembira, ia memeluk Green dengan hangat.
Langit yang menyaksikan hal itu segera mendekat. “Bun.., “
“Pantes selama ini kamu gak mau bunda kenalin sama anak-anak temen bunda, ternyata calon mantu bunda cantik begini.” Kalila menatap Green dan Langit secara bergantian, saat melihat Green Kalila tak bisa menyembunyikan tatapan kagumnya.
“Kamu cantik sekali sayang, nama kamu siapa?” tanya Kalila lembut.
Green yang tak tahu apa yang sebenarnya terjadi hanya menjawab pertanyaan Kalila dengan singkat “Green, Tante.”
“Bunda, mulai sekarang kamu panggil saya bunda.”
Green merasa hidupnya dalam bahaya, terlebih wanita yang minta dipanggil bunda ini mengatakan calon mantu pada dirinya, siapa yang akan menikah dengan siapa? Dirinya dan Langit? Tidak tidak, itu tidak boleh terjadi, ia masih sangat mencintai Alta. Langit harus bertanggungjawab atas kekacauan ini, Green menatap Langit dengan tatapan meminta penjelasan, Langit yang mengerti tatapan itu segera mendekat kearah bundanya.
“Bunda, Bunda duduk dulu, dengerin penjelasan Langit.” Langit mengajak bundanya duduk, diikuti dengan seluruh manusia yang berada di sana termasuk Green.
“Bunda, Green ini satu kampus sama Cherry, mereka lagi kerja kelompok,” Langit memulai penjelasannya, “Dan yang terpenting, Langit sama Green─”
“Kalian akan segera menikah?” tanya Kalila memotong penjelasan Langit.
Langit menghela napas berat, akan sulit baginya menjelaskan jika sang bunda sudah bersikap demikian. Langit menatap Cherry untuk meminta bantuan, namun yang ditatap justru bungkam dan tersenyum menggoda.
“Bun, Langit belum selesai ngomong, biarin Langit selesaikan dulu,” ujar Jerry.
Kalila melengos, ia menatap Langit dan Jerry dengan tatapan kesal, dua laki-laki itu menurutnya sama saja, sama-sama sering mencari alasan.
“Sayang, kamu sudah makan? Bunda bawa banyak banget oleh-oleh khas Bandung, nanti kalau pulang kamu bawa ya, atau sekalian aja kamu tinggal di sini sama Cherry.”
Green sangat tidak nyaman ada di posisi saat ini, disatu sisi ia senang karena Kalila sangat baik padanya bahkan di hari pertama mereka bertemu. Tapi disisi lain Green merasa itu berlebihan, mengingat ia bukanlah siapa-siapa Langit. Green merasa tak berhak menerima perlakuan itu.
Jerry dapat melihat ketidaknyamanan Green dan Langit, sepertinya apa yang terjadi saat ini adalah kesalahpahaman. Namun ia memilih diam, membiarkan Kalila melakukan apa yang ia mau terlebih dahulu. Sementara Cherry hanya tertawa, seolah tak menganggap kesalahpahaman ini masalah.
Kalila mengajak Cherry dan Green untuk duduk di ruang tamu, menggandeng kedua tangan wanita itu dengan lembut. Jerry dan Langit mengikutinya dari belakang. “Lang, ada apa?” tanya Jerry berbisik.
Langit diam saja, ia berpikir akan menjelaskan semuanya pada Jerry nanti saja saat Green sudah kembali ke rumahnya.
“Nak, kapan bunda bisa bertemu orang tua kamu?” tanya Kalila pada Green yang berada di hadapannya.
“Bunda mau ngapain ketemu orang tua Green?” tanya Langit cepat.
“Lang, kamu diem aja, bunda lagi ngobrol sama Green,” ucap bundanya sembari menatap Langit dengan tatapan tajam.
Green diam sejenak, kesedihan terpancar jelas di matanya. Hal tersebut membuat Kalila bingung, “Sayang..,” panggil Kalila pelan sambil menyentuh punggung tangan Green.
“Green udah gak punya orang tua, Bun. Mama udah meninggal, ayah udah nikah lagi, sekarang gak tahu dimana.”
Kalila terkejut, ia merasa bersalah telah bertanya hal itu. Kalila mendekat dan memeluk Green. “Maaf sayang, bunda gak bermaksud.”
Sejenak Green merasa hangat. Dekapan itu, dekapan yang tak pernah ia terima sejak 4 tahun terakhir, selama ini ia selalu kedinginan. Satu-satunya kehangatan yang ia rasakan adalah kehadiran Alta yang kini tak sehangat dulu.
“Gak apa-apa, Bun.”
Langit yang melihat interaksi keduanya tersenyum tipis, bahkan Green sudah memanggil bundanya dengan panggilan bunda juga. Ya setidaknya wanita itu tidak menjaga jarak pada bundanya.
“Lang..,” panggil Kalila pada Langit.
“Iya, Bun.”
“Kamu dan Green harus segera menikah.”
“Bunda, Langit sama Green baru kenal, biarin kita nikmatin masa-masa perkenalan kita dulu,” terang Langit berusaha menjelaskan pada bundanya.
“Lebih cepat lebih baik, Lang.”
“Kasih waktu Langit sama Green untuk ngobrolin hal itu dulu, Bun,” ujar Langit tegas.
Mereka sudah terlalu jauh masuk ke dalam kesalahpahaman itu, Green berusaha untuk menolak secara halus. “Bun, Green masih kuliah, Green juga belum mau nikah.”
“Sayang, bunda cuma mau Langit menjaga kamu sepenuhnya.”
“Bunda, mereka sudah dewasa, biarkan mereka bicarakan ini berdua.” Jerry menyampaikan pendapatnya yang langsung dijawab dengan nada kesal oleh Kalila. “Ayah sama Langit itu sama, sama-sama suka menunda.”
Jerry menghela napas, jika sudah begini Kalila akan tetap pada pendiriannya, wanita itu memang sedikit keras kepala, namun hatinya sangat lembut.
“Gak gitu, Bun,” tutur Langit.
“Sayang, maafkan anak bunda ya, pasti sulit ya menjalin hubungan dengan Langit.”
“Enggak kok, Bun, Kak Langit baik banget sama Green.”
Langit kaget mendengar penuturan Green tentang dirinya, matanya terpana saat melihat interaksi Green dengan bundanya. Green tersenyum hangat pada Kalila, keduanya tampak sudah sangat akrab, layaknya dua manusia yang sempat berpisah kemudian dipertemukan kembali. Bolehkah Langit berharap ia dan Green nantinya akan bersama karena saling cinta? Bukan hanya sekadar rekayasa atau demi kebahagiaan Kalila?
Green sudah kembali ke rumahnya setelah melewati berbagai macam drama keluarga, tadi Langit mengantarnya pulang dan menjelaskan sekaligus meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi, ucapan Langit masih terngiang-ngiang di kepala Green.“Green, saya tahu kamu gak nyaman sama saya. Tapi, terima kasih sudah mau menerima bunda dengan baik. Saya minta maaf atas semua kesalahpahaman ini, saya sama sekali gak bermaksud menyeret kamu dalam masalah saya.”“Saya harap ini yang terakhir, saya gak mau terlibat lagi.”“Saya janji ini yang terakhir, sekali lagi saya minta maaf.”Setelah itu baik Green dan Langit tak ada yang membuka suara, keduanya fokus pada pikiran masing-masing sampai motor yang dikendarai Langit berhenti tepat di depan rumah Green. Ya, Langit mengantarnya dengan motor, alhasil Laki-laki itu tahu dimana rumahnya sekarang.Sebelum Green pulang tentu saja Kalila membawakannya ber
“Kamu nginep, kan?” tanya Green sambil melepaskan pelukannya.Alta menatap Green dengan tatapan tidak enak sekaligus bersalah. “Maaf sayang, aku gak bisa nginep, nanti sore aku harus balik ke Jogja.”“Yahhhhh.., aku pikir kamu nginep, kita kan udah lama gak ketemu, Al, masa iya sekalinya ketemu cuma sebentar.” Green tak bisa menutupi kesedihannya saat Alta mengatakan harus kembali sore nanti, padahal ia sudah berharap Alta bisa tinggal setidaknya dalam dua hari ke depan.“Kamu tenang ya, nanti aku sempetin ke sini lagi, terus nginep.”“Kapan?” tanya Green meminta kepastian.“Secepatnya.”“Yaudah deh, tapi janji ya jangan ilang-ilangan terus?”“Iya sayang, janji.”Mereka kembali berpelukan, jika saja Green tahu tujuan Alta datang mungkin ia tak akan pernah meminta Alta untuk datang lagi, dan bisa jadi ini adalah terakhir kali ia membe
Senin pagi merupakan hari yang paling menyebalkan bagi Cherry, setelah memanjakan diri di hari Minggu, ia tetap tidak bersemangat menjalani hari Senin. Sejak bangun tidur dan menyelesaikan ibadah salat subuh, Cherry sudah menggerutu karena pagi ini mata kuliah pertama akan diisi oleh sang kakak, moodnya benar-benar hancur mengingat bagaimana menyebalkannya Langit jika sudah berada di dalam kelas. Alhasil, setelah salat Cherry memilih tidur lagi, menutupi tubuhnya dengan selimut tebal berwarna kuning kesayangannya.“Cher..,” panggil Langit sembari mengetuk pintu kamar Cherry.Tak ada sahutan dari sang empunya kamar, Langit mengetuk pintu itu itu lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya. “Cher, udah jam 6, bangun!”Masih tak ada sahutan, Cherry menarik selimutnya sampai ke leher dan menutup kedua telinganya dengan bantal.“Cherry, bangun!” Langit sudah berada di kamar Cherry dan menarik selimut yang membalut tu
BAB 18 Cemburu?Dalam perjalanan pulang usai mengantar Green, Langit teringat sesuatu, ada hal penting yang harus ia bicarakan pada Green terkait peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu, musibah yang menimpa dirinya karena Kalila dan Jerry datang tiba-tiba, musibah yang juga membuat ia dan Green mau tak mau harus bersandiwara di hadapan keduanya.“Gue harus ngobrol sama Green,” tutur Langit pada dirinya sembari memutar arah, ia kembali mendatangi rumah Green.Di lain tempat, Green yang sedang memadu kasih dengan Alta saling memeluk dan berbalas senyum, rasa bahagia jelas terpancar dari wajah keduanya. Green dan Alta bertatapan, melalui mata itu keduanya seolah ingin membuktikan pada dunia bahwa tak ada yang lebih indah selain bersama orang tercinta. Jika saat ini mereka tengah menunjukkan pada dunia, maka sebentar lagi dunia yang akan menunjukkan pada mereka bahwa cinta tak selamanya indah.Cinta, keyakinan
Cherry tertawa terbahak-bahak melihat wajah kakaknya yang sudah seperti kepiting rebus, sementara Green tak menganggap serius ucapan Cherry, ia masih berusaha agar Langit mengembalikan ponselnya.“Saya akan kembalikan ini nanti, sekarang saya buru-buru!” Langit melenggang pergi, mengabaikan Green yang masih berusaha mengambil ponsel.Setelah Langit hilang dari pandangan, Green mencak-mencak pada Cherry. “Sumpah ya, kakak lo ngeselin bangett. Hp lo disita gak?” tanya Green dengan raut kesal.Dengan polosnya Cherry menggeleng, sontak hal itu membuat Green bertambah kesal. “Hp lo gak diambil, sementara Hp butut gue malah dikantongin, heran deh!” ujar Green sembari meninggalkan Cherry.Cherry segera mengejar Green yang sudah mendahuluinya. “Maklumin aja, namanya juga om-om,” tutur Cherry sambil merangkul Green.“Dasar om-om gila.” Green memaki Langit di depan adiknya tanpa rasa bersalah.
Seminggu telah berlalu sejak Alta mengunjungi Green, sejak itu pula Langit menjaga jarak dan membatasi komunikasinya dengan Green. Pertemuan terakhir mereka adalah saat Langit datang ke rumah Green untuk mengembalikan ponsel wanita itu, itu adalah pertemuan sekaligus komunikasi terakhir mereka. Karena setelahnya Langit pergi ke luar kota untuk road show guna mempromosikan buku barunya. Green tak pernah peduli dengan apa yang dilakukan Langit, namun ada satu hal yang terkadang memaksanya untuk peduli. Kalila, wanita itu selalu membuatnya ada di posisi sulit, Kalila selalu berusaha melakukan segala cara agar Green dan Langit semakin dekat, mau menolak pun Green tidak enak, akhirnya ia hanya bisa pasrah dan menerima. Seperti hari ini, Sabtu malam sekitar pukul 19.00 wib, Kalila menghubungi dirinya. “Halo sayang, kamu sedang apa?” “Halo Bunda, Green baru pulang kerja, Bunda sehat?” tanya Green dengan nada dibuat seriang mungkin, ia tak ingin orang lain
“Ha? Maksudnya Kakak mau nginep di sini?”“Iya.”“Kakak udah gila?”Langit menatap Green dengan tatapan penuh arti. “Kenapa, ada masalah?” tanya Langit tanpa beban.Malam ini Langit seperti sudah hilang kesadaran. Ia abai pada semua hal dan memutuskan untuk menginap di rumah Green, Green memberikan tatapan datar dan menusuk. “Jelas ada. Kakak itu laki-laki, dan saya perempuan. Kita gak boleh satu ruangan, sebaiknya sekarang Kakak pulang. Saya bisa kena masalah kalau Kakak di sini.”“Gak usah berlebihan, lagian kita tidur di kamar yang beda,” jawab Langit tanpa santai. “Atau kamu ingin….,” timpalnya.“Stop, gak usah diterusin, dasar om-om mesum!” Green pergi meninggalkan Langit dengan menghentak-hentakkan kaki, darah tingginya bisa naik jika terus meladeni laki-laki itu.“Om-om lebih menggoda, mau bukti?” Langit bersuara s
Tepat pukul 19.00 wib, Langit tiba di rumahnya. Ia membuka pintu rumah dengan langkah gontai, beberapa hari kemarin cukup menyita waktu, menguras tenaga, emosi dan pikirannya. Satu-satunya yang ingin Langit lakukan saat ini adalah membersihkan dan merebahkan diri di kasur empuk kesayangannya, namun Cherry menghalangi niatnya. Wanita itu datang tiba-tiba kemudian menghadang Langit yang hendak membuka pintu kamar. “Apa-apaan, sih, Cher, minggir kakak capek banget, mau istirahat.”“Kak, gue punya informasi penting,” ujar Cherry serius.“Penting menurut kamu belum tentu penting buat kakak, udah ah minggir!” Langit menggeser tubuh Cherry agar tak menghalangi jalannya.Tubuhnya sangat lelah, meladeni Cherry hanya akan membuatnya semakin lelah. Lagipula Langit sangat yakin bahwa informasi yang dibawa Cherry tidak sepenting itu.“Kak.., minimal dengerin dulu, ihhhhh,” pinta Cherry dengan suara memohon.&ldquo
Meskipun kemarin kedatangannya tak membuahkan hasil, Langit tak menyerah. Sore hari setelah pulang dari kampus, ia kembali mendatangi rumah Green. Namun, sudah satu jam menunggu Green tak kunjung datang. Langit mulai gelisah dan bertanya-tanya, apakah Green tak ada di sini? Lantas, kemana wanita itu pergi? Ponsel wanita tersebut tak bisa dihubungi, bahkan pesan yang ia kirimkan pun belum dibaca. Apa Green telah memblokir nomornya? Berbagai asumsi memenuhi kepala Langit. Rasa bersalah dan penyesalannya semakin besar, ia tak henti mengumpat pada diri sendiri, merutuki segala kebodohan yang berujung kepergian Green dari sisinya. Hari sudah mulai gelap, tak jua ada tanda-tanda kehadiran Green. Tiba-tiba, ponsel di saku celana Langit bergetar, menampilkan sebuah pengingat. Langit tersenyum, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima, hampir saja Langit melupakan momen itu.&n
Pikiran Langit benar-benar kalut. Berhari-hari ia tak pulang dan selama itu pula tak berkomunikasi dengan Green. Langit benar-benar mengabaikan wanita yang dahulu mati-matian ia perjuangkan. Saat ini, tujuan Langit hanya satu, mencari dalang dibalik kematian Cherry. Ia tak lagi memikirkan tentang Green, bertanya soal kabar wanita itu saja tidak. Sebulan telah berlalu, Langit berhasil memecahkan teka-teki itu dengan bantuan beberapa teman yang memang ahli di bidangnya. Dugaan Langit benar, Cherry tidak bunuh diri, melainkan dibunuh. Semua data yang ditemukan polisi dan pihak rumah sakit adalah sesuatu yang sudah disusun dan direncanakan dengan matang. Hari ini, Langit datang ke kantor polisi untuk bertemu pelaku sebenarnya, Zein dan Violet. Mereka ditangkap atas tuduhan pembunuhan berencana. Langit puas saat
“Green, tolong kamu jawab semua pertanyaan saya dengan jujur,” ujar Langit begitu mereka sampai di rumah. Disaksikan oleh Kalila dan Jerry, ia berniat menginterogasi Green. Kalau benar Green menjadi penyebab kematian Cherry, Langit tak akan segan menjebloskan wanita itu ke dalam penjara sekalipun mereka masih terikat hubungan pernikahan. Green merasa diperlakukan seperti penjahat oleh Langit. Ia duduk di depan Langit, di samping kanan dan kirinya ada Jerry dan Kalila yang juga tengah menatap intens ke arahnya.. “Sebenarnya ada apa, Lang?” tanya Kalila tak paham. Pasalnya, Langit terlihat begitu marah pada Green. “Kata Violet, Green ke kost Cherry di malam terakhir sebelum dia meninggal,” terang Langit. “Jangan bilang kamu mencurigai Green? Sudah lah Lang, polisi bahkan rumah sakit bilang Cherry meninggal karena bunuh diri, bukan dibunuh,” ujar Kalila yang perlahan mulai ikhals dan menerima kepergian Cherry. “Gak Bun, Langit masih belum percaya
Sepulang dari mengajar, Langit teringat pada Cherry. Sudah lama sekali ia tak bertemu adiknya. Karena hal itu, Langit memutar arah mobilnya menuju indekos sang adik, tiba-tiba ia sangat ingin bertemu untuk sekadar menyapa dan memasikan Cherry baik-baik saja. Jalanan yang padat membuat Langit membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di sana. Ia memutuskan memberi tahu Green akan pulang terlambat, sekaligus menghubungi Cherry perihal kedatangannya. Sampai beberapa kali panggilan, tak ada satu pun yang mendapat jawaban. Langit menerka-nerka, kemana adiknya hingga tak menjawab telepon? Apa mungkin masih bekerja? Sepertinya tidak, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib. Langit mengemudi secepat yang ia bisa. Perasaanya tidak enak entah karena alasan apa, yang jelas saat ini keinginannya untuk melihat wajah sang adik amat besar. “Semoga kamu baik-baik aja,” lirih Langit sembari terus mengemudi. Langit tiba di indekos Cherry saat matahari sudah r
Keesokan harinya, Green benar-benar tak keluar kamar. Tak menjawab telepon dan chat, tak juga menggubris saat Langit mengajaknya sarapan. Emosi Green masih belum reda, hatinya belum menerima saat tahu bahwa Langit menikahi dirinya hanya karena wajah dan sifat serta kebiasaannya mirip dengan Keira.Green masih berbaring dengan posisi terlentang, matanya menatap langit-langit. Raganya memang di kamar, namun pikirannya bercabang. Ia tak bisa berhenti memikirkan Cherry. Bagaimana kabarnya hari ini? Apakah wanita itu sudah menemukan solusi terbaik dari permasalahan yang menimpanya?“Cher, semoga lo baik-baik aja,” batinnya.Tak ada lagi suara ketukan pintu dan Langit yang memanggilnya. Tampaknya, lelaki itu sudah berangkat ke kampus. Green memanfaatkan situasi itu untuk mengisi perut dan kerongkongannya yang terasa kering. Hari ini, ia sengaja meminta izin tidak mengajar dengan alasan sakit.Green berjalan dengan langkah pelan. Wajah dan m
“Darimana kamu? Kenapa telepon dan chat saya gak ada yang dijawab?” cecar Langit saat Green menginjakkan kaki di rumah mereka. Green melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan tersebut. “Green, saya ini suami kamu. Gak seharusnya kamu bersikap begini. Pergi gak ngasih kabar, pulang malem basah-basahan, kamu pikir saya gak khawatir?!” tanya Langit seraya mencekal pergelangan tangan Green agar wanita itu mau menatapnya. Green tak menggubris. Ia berusaha melepaskan tangan Langit. “Lepas!” titahnya dengan suara dingin. “Kamu kenapa? Tolong kasih tahu, salah saya dimana? Kalau kamu begini saya bingung. Dari tadi saya teleponin berkali-kali gak ada satupun yang diangkat. Marah?”&n
Green menunggu kedatangan Cherry dengan sabar. Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu ia berada di depan indekos seraya mencoba menghubungi ponsel wanita tersebut, namun tak mendapat jawaban. Tak lama berselang, ponsel Green berdering. Nama Langit tertera di layar, cukup lama ia membiarkan dering itu hingga mati dengan sendirinya. Hari ini, Green sudah putuskan untuk menginap. Ia perlu waktu untuk berpikir jernih lebih dulu. Karena jika langsung bertemu Langit, dirinya akan emosi dan perang dingin di antara mereka semakin menjadi. Hujan di luar sana masih belum reda. Green menatap rintik air yang kian deras membasahi bumi, sembari membiarkan pikirannya melanglangbuana. Benda pipih di tangannya kembali berdering, membuyarkan lamunan Green sore menjelang malam itu. Hatinya tak bergairah untuk menjawab panggilan tersebut. 
Tanda dua garis biru menjadi penyebab Cherry menangis tersedu-sedu. Ia mengamati benda di tangannya sekali lagi, menolak percaya bahwa apa yang dilihatnya benar sebuah tanda yang menyatakan dirinya positif hamil. “Gak, ini pasti gak bener.” Cherry mengambil taxpack terakhir kemudian menggunakan benda itu. Selang beberapa menit, hasilnya keluar. Cherry berharap dapat melihat garis satu di sana. Namun nihil, tandanya tetap sama. Tangisnya pecah begitu saja. Secepat kilat, Cherry menyambar ponselnya dan menghubungi orang yang paling bertanggungjawab atas semua hal yang terjadi hari ini. “Zein.., angkat dong,” gumam Cherry seraya menggigit bibir bawahnya. “K
“Hai, sori telat. Udah lama?” Green duduk di hadapann Regita dengan napas terengah.Regita tak langsung menjawab, ia menyodorkan jus jeruk miliknya kepada Green yang langsung diminum oleh wanita itu. Green masih mengenakan baju guru, keringat di keningnya tercetak jelas.“Gak apa-apa. Lo dari sekolah langsung ke sini?” tanya Regita basa-basi.Green mengangguk. “Jus lo?” Gelas berisi jus itu hanya tersisa setengah, ia menatap Regita tidak enak.“Santai, bisa pesen lagi.” Regita tersenyum, ia memanggil pelayan kafe yang kebetulan lewat. Keduanya memesan dua minuman dan makanan ringan yang berbeda.“Thanks udah mau dateng,” ucap Green saat pelayan kafe tersebut sudah pergi.“Sama-sama. Jadi, lo mau tanya apa?” tanya Regita.Green menghela napas berat. Ia bingung harus memulai darimana. Ada banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya saat ini.