Langit memilih diam, membiarkan Green hanyut dengan pikirannya. Bahkan wanita itu tak menyadari bahwa saat ini dirinya tengah bersama Langit di mobil lelaki itu. Terlalu asik mengenang memori bersama Alta membuat Green lupa bahwa ada manusia lain di sampingnya.
“Maaf, Pak,” tutur Green dengan nada tidak enak.
“Tidak apa-apa, Green.” Langit menanggapinya dengan santai.
Hening kembali menyelimuti keduanya, hujan belum juga reda, suara guntur kembali bersahut-sahutan. Orang-orang yang berlalu lalang berlarian mencari tempat berteduh, mereka yang awalnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pada akhirnya dikalahkan oleh hujan.
“Alta pasti sosok yang sangat berarti bagi kamu,” ucap Langit membuka obrolan.
Green menoleh sebentar kemudian kembali menatap lurus ke depan, tangannya memeluk tas ransel yang berada di pangkuannya. Sejak tadi ia belum menyentuh ponselnya, keinginannya untuk melihat benda itu sangat kuat namun ingatan tentang Alta yang melarangnya bermain ponsel saat hujan turun menghentikan niatnya.
“Bisa dibilang begitu, Pak,” jawab Green lirih.
Sesuatu dalam diri Green membuat Langit tertarik untuk mengenal Green lebih jauh, ia melihat Green tak seperti wanita kebanyakan saat bertemu dirinya. Wanita itu bahkan terkesan cuek dan tak peduli, padahal Langit yakin bahwa Green tahu siapa dirinya.
“Green...,” panggil Langit pelan, Langit sangat menyukai nama itu, sepertinya setelah ini nama Green akan menjadi favoritnya.
“Iya, Pak?” jawab Green.
“Sebaiknya jangan panggil saya bapak, saya masih terlalu muda untuk mendapat panggilan itu. Lagipula, selain di kampus saya bukan dosen kamu.”
Mendengar ucapan Langit, Green merasa tidak enak, pasalnya lelaki itu secara terang-terangan menolak panggilan yang ia sematkan, lantas apa panggilan yang diinginkan lelaki tersebut? Green bertanya-tanya dalam hati. Hal itu dipahami oleh Langit. “Panggil saya kak, seperti Cherry memanggil saya,” ujar Langit sambil tersenyum tipis.
Saat Langit tersenyum, lesung pipi lelaki itu tercetak meskipun tak cukup jelas. Lagi-lagi Green salah fokus dengan lesung pipi itu, buru-buru Green mengalihkan pandangan sebelum tertangkap basah oleh Langit.
“Bagaimana, Green? Kamu tidak keberatan, kan?” tanya Langit memastikan.
“Ti-tidak, Pak. Eh Kak,” ralat Green yang mendadak gelagapan.
“Ada apa, Green? Ada yang salah?” Langit bertanya demikian karena menangkap kegugupan dalam nada bicara Green.
“Tidak, Kak.”
“Boleh saya mengatakan sesuatu?”
“Silakan.”
“Kamu adalah satu-satunya orang yang saya kenal tapi tak meminta tanda tangan setelah membeli novel Kilas Balik karya saya.”
Green teringat akan novel yang berada di tasnya, novel yang dimaksud Langit. Jangankan meminta tanda tangan, ia saja baru mengetahui bahwa lelaki yang berada di sampingnya adalah penulis novel tersebut.
“Saya baru tahu Kak Langit penulisnya,” Green jujur pada Langit, menurutnya itu lebih baik daripada berbohong dan mengatakan omong kosong.
Reflek tangan Langit terangkat kemudian mengacak-acak rambut Green, dugannya ternyata salah. Langit merasa lucu dengan tingkah gadis polos disampingnya, sepertinya alasan Cherry menjadikannya teman kelompok adalah karena keduanya memiliki kesamaan, terlihat dari cara wanita itu saat berhadapan dan bertemu dengan dirinya di luar kampus. Green yang mendapatkan perlakuan itu segera menjauhkan diri, lagi-lagi pikirannya tertuju pada Alta. Rasa bersalahnya membuncah, ia menatap Langit dengan tatapan tak suka.
“Maaf Kak, sebaiknya tidak melakukan hal begitu lagi, saya permisi.” Setelah mengatakan itu, Green buru-buru keluar dan menerobos hujan. Persetan dengan basah kuyup dan sakit, yang terpenting dirinya dijauhkan dengan hal-hal yang membuat ia tanpa sengaja menyakiti Alta.
Langit yang belum sempat meminta maaf berusaha menahan kepergian Green, namun wanita itu terus berlari tanpa mengacuhkan panggilannya. Rasa bersalah akibat perlakuannya beberapa saat lalu membuat Langit kehilangan kesempatan untuk mengenal Green lebih jauh, wanita itu telah masuk ke dalam gang sempit dan hilang dari pandangan.
***
Sesampai di rumah, Green menangis sejadi-jadinya, merasa bersalah pada Alta atas apa yang ia lakukan hari ini. Diantar oleh Langit, bahkan Green mengizinkan lelaki itu mengacak-acak rambutnya, sebuah kebiasaan yang hanya boleh dilakukan oleh Alta.
Green menghapus air matanya dengan kasar, ia mengambil ponsel dan menyalakan ponsel tersebut. Tak ada panggilan ataupun pesan singkat dari kekasihnya, bahkan pesan yang ia kirimpun hanya sekadar dibaca. Green memutuskan untuk melihat pesan lain, matanya tertuju pada sebuah pesan yang berisi foto. Ia membuka foto yang dikirimkan Sindi— rival olimpiadenya semasa SMA dan berkuliah di tempat yang sama dengan Alta. Meskipun Sindi pernah menjadi rivalnya, komunikasi keduanya masih berlanjut hingga sekarang. Sesekali Green bercerita tentang Alta, dan sesekali juga Sindi menghubungi dirinya untuk sekadar haha hihi dan basa-basi.
Sembari menunggu foto tersebut terbuka, Green mengeringkan rambutnya dengan handuk pemberian Alta. Bahu Green meluruh kala melihat foto tersebut, setelahnya Sindi mengirimkan pesan.
‘Green, lo ke Jogja kok gak ngabarin gue? Parah lo, ya!’
Green mengabaikan pesan itu, ia segera melihat kumpulan status W******p. Perasaannya tidak enak, pikirannya berkecamuk namun ia berusaha untuk tenang. Ketenangan yang berusaha Green ciptakan lenyap seketika, ia tak melihat status Alta, padahal jelas sekali foto yang diberikan Sindi merupakan hasil tangkapan layar dari status Alta, sepertinya Alta memprivasi postingannya agar Green tak dapat melihat. Green mengamati foto yang dikirim oleh Sindi sekali lagi. Foto siluet dua manusia yang tengah menatap matahari terbenam, Green yakin lelaki dalam foto itu Alta, meskipun itu hanya siluet Green bisa mengenalinya. Namun, yang disebelah laki-laki itu bukan dirinya, siapa wanita itu?
Tanpa pikir panjang, Green segera menghubungi Alta, Green menunggu sampai Alta menjawab panggilannya. Pada dering ketiga, Alta mengangkat panggilan tersebut. Lelaki itu menyapa Green dengan suara khas orang bangun tidur.
“Hai sayang.”
“Al, kamu tidur?”
“Iya sayang, maaf ya aku ketiduran sebelum sempet bales teks dan angkat telepon kamu,” ujar Alta dengan nada bersalah.
Green mengabaikan ucapan Alta, ia justru bertanya hal lain. “Seharian ini kamu ngapain aja?” tanya Green.
“Seharian ini aku di kampus sayang, bareng temen-temen organisasi, kita lagi melakukan penggalangan dana buat bantu korban banjir.”
“Yakin cuma itu? Gak ke pantai?” tanya Green lagi, kali ini ia bertanya dengan nada curiga.
“Ke pantai? Enggak. Ngapain? Kamu boleh tanya Daren kalau gak percaya, aku barengan dia juga tadi.” Daren adalah teman SMA mereka yang juga berkuliah di tempat yang sama dengan Alta, namun sudah lama Green tak berkomunikasi dengan laki-laki itu.
“Kemarin, kemarinnya, atau seminggu yang lalu gak ke pantai juga?” tanya Green memastikan dan mengabaikan soal Daren.
“Sayang, kamu kenapa? Aku gak ke pantai hari ini, kemarin, atau seminggu yang lalu. Kamu, kan, tau aku gak suka mainan air.”
“Bener? Kamu gak bohong, kan?”
“Enggak sayang, buat apa aku bohong sama kamu.”
“Aku percaya sama kamu.”
Meskipun dalam hatinya masih ada sedikit keraguan, Green memutuskan untuk percaya pada kekasihnya, mungkin itu hanya orang yang kebetulan mirip dengan Alta. Ia percaya Alta tidak akan berkhianat apalagi mengingkari janjinya.
“Ya udah, aku mau ngerjain tugas sayang, besok harus dikumpulin soalnya. Aku tutup dulu gak apa-apa, ya?”
“Iya, semangaat, Al.”
“Kamu juga semangat ya, jangan lupa istirahat, jangan terlalu capek.”
“Iya, aku cinta kamu.”
“Aku juga.” Alta mengakhiri panggilan teleponnya, sepertinya budaya Green yang harus selalu mematikan telepon akan benar-benar hilang, mengingat sudah dua kali Alta melakukannya. Green berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran buruk tentang Alta dan mengabaikan informasi dari Sindi, rasa percayanya pada Alta melebihi rasa percayanya pada siapapun.
Green kembali melanjutkan aktivitasnya mengeringkan rambut, tak lama kemudian Ponsel Green kembali berdering, nama Sindi memenuhi layar, Green segera mengangkat panggilan itu.
“Greennnnnnnnnnn.., lo keterlaluan banget, sih, kenapa ke Jogja gak ngasih tau gue? Gak mampir lagi!” teriakan Sindi cukup memekakkan, Green menjauhkan ponsel dari terlinganya.
“Sin, lo sok tau banget, sih,” ucap Green pura-pura kesal.
“Kemarin gue liat Alta ke pantai sama cewek, gue mau nyamperin karena gue pikir gak ada cewek lain dalam hidup Alta selain lo, tapi adek gue malah nangis minta pulang.”
Keyakinan dan kepercayaan yang tengah Green upayakan kembali berantakan setelah mendengar penjelasan Sindi, Green diam selama beberapa detik hingga Sindi kembali bersuara.
“Green, sumpah ya lo jahat banget. Pokoknya gue gak mau tau, kalau lo ke Jogja lagi, lo harus nginep di rumah gue, titik!”
“Iya Sin, nanti gue nginep. Ya udah, gue tutup dulu teleponnya ya, gue ada perlu.”
“Oke deh, see you, Green.”
“See you.”
Green meletakkan ponselnya dengan tatapan berkaca-kaca, siapa yang harus ia percaya? Jika Sindi benar, siapa sebenarnya wanita yang bersama Alta?
Langit masih berada di tempat terakhir ia bersama Green, belum berniat untuk kembali ke rumahnya, yang dilakukan Langit hanya menatap kursi penumpang di sampingnya dan membayangkan Green ada di sana. Selain karena Green berbeda dengan wanita kebanyakan, wajah dan sikap Green mengingatkannya pada seseorang di masalalu, seseorang yang pernah mengisi hatinya. Langit tersenyum membayangkan wajah Green, namun seketika senyum itu pudar digantikan dengan ekspresi datar.Alarm ponsel Langit berbunyi, sudah waktunya ia kembali ke rumah karena harus melanjutkan pekerjaannya. Langit mengemudikan mobil dan meninggalkan tempat tersebut, esok atau lusa ia berniat akan kembali ke tempat itu untuk sekadar meminta maaf pada Green karena telah membuat wanita tersebut tidak nyaman dan ketakutan.“Green.., nama yang indah, seindah pemiliknya.” Langit berbicara dengan dirinya sambil tersenyum membayangkan wajah Green.Bayangannya tentang wajah Green seketika hilang saat
Hujan yang mengguyur bumi telah reda, Green sudah menyembunyikan seluruh tubuhnya di balik selimut sejak tadi. Jika tengah merasa gundah, Green akan melakukan hal demikian, tidur berjam-jam lamanya. Sampai hari berganti, Green belum juga beranjak dari kasur kesayangannya, ia masih bermalas-malasan.Suara derap langkah mendekat ke arah jendela kamar, Green menajamkan pendengarannya, menerka-nerka siapa sosok di balik jendela itu.“Siapa?” tanya Green memberanikan diri.Green melihat jam dinding menunjukkan pukul 01.00 dini hari, sudah lebih dari 4 jam ia tertidur. Green memberanikan diri membuka jendela, namun ia tak melihat siapa pun.“Siapa di sana?” tanya Green lagi sambil membuka jendela kamar. Sejak kepergian ibunya, ia tinggal sendiri dan seringkali mengalami kejadian serupa, Green tak pernah takut karena ketakutan terbesar dalam hidupnya adalah kehilangan Melan—sang mama, dan ia telah melewati hari-hari berat itu.
Green dan Cherry memiliki kemiripan, sama-sama suka makanan manis dan tidak suka kesepian. Lucu memang, Green tinggal sendiri dan Cherry hanya berdua saja dengan Langit yang juga sering meninggalkannya. Keduanya berteman dengan sepi, dan tentunya merasa kesepian. Kesepian yang dirasakan Green perlahan sirna karena kehadiran Alta, begitupun Cherry yang merasa harinya menjadi berwarna sejak berpacaran dengan Zein. Baik Green maupun Cherry, keduanya tak memiliki banyak teman namun mengenal banyak orang, bukan karena sombong atau apa, melainkan keduanya memiliki prinsip berkenalan dengan siapa saja namun tak semuanya bisa dijadikan teman.Dua wanita itu kini tengah berada di taman kampus sambil membaca novel untuk bahan tugas mereka, Green menatap mata Cherry yang sembab, sejak tadi pun wanita itu tak banyak bicara, tak seperti biasanya. Green awalnya tak penasaran, namun ia melihat mata Cherry seperti tengah menahan tangis.“Cher…” Green menyentuh pungg
Green masih menarik Cherry menjauh dari tempat tersebut, Cherry merasa terharu karena Green benar-benar membelanya. Cherry tersenyum, rasa sakit hatinya masih ada belum benar-benar sembuh sepenuhnya. Meskipun yang dikatakan Green tadi benar, tak pantas baginya untuk bersedih karena Violet dan Zein. Tetapi semua tidak bisa terjadi begitu saja, patah hati tetap patah hati, tidak bisa langsung sembuh dengan kata-kata motivasi atau siraman rohani. Semua butuh proses, dan setelah ini Cherry bertekad akan menjalani proses itu.“Green, makasih ya,” ucap Cherry tulus setelah mereka sampai di depan kelas.“Setelah ini, lo jangan ngerasa sendiri ya, Cher,” ucap Green yang seperti melihat sosok Sera dalam diri Cherry.Cherry mengangguk. “Sekali lagi makasih, Green.”Green tersenyum tipis. Kelas masih sepi, padahal kuliah akan dimulai lima menit lagi. Green melihat Beni, KM di kelasnya menaiki tangga sambil menenteng tas laptop.
Sore itu Langit melajukan mobil dengan kecepatan sedang, mobil itu membelah jalanan menuju kediamannya, setelah seharian mengajar akhirnya ia bisa pulang dan beristirahat sejenak. Kantuk yang sejak tadi ia tahan, kembali menyerang. Akhirnya Langit memutuskan untuk berhenti sejenak, memilih meminum kopi di sebuah warung kecil untuk meredakan kantuk, akan berbahaya jika ia berkendara di tengah kantuk melanda.Langit membawa gelas cup yang berisi capucino. Perlu digaris bawahi, Langit adalah laki-laki sederhana, ia tak sungkan duduk dan minum kopi dipinggir jalan, seperti yang dilakukannya sore ini. Langit duduk di tempat yang disediakan sambil menyesap sebatang rokok, sebenarnya Langit bukanlah laki-laki yang selalu dan candu pada rokok, ia hanya melakukannya sesekali, jika ingin.Tanpa sengaja arah pandangnya tertuju pada seorang gadis yang sangat ia kenal, meskipun ia melihat gadis itu dari belakang, Langit sangat yakin bahwa gadis itu adalah sosok yang akhir-akhir ini
Rubi belum memberikan jawaban terkait ajakan Langit, terlebih Langit pun tidak menjelaskan apa itu panti asuhan kepada Rubi, yang dilakukan lelaki itu hanya mengatakan bahwa mereka bisa bersekolah jika berada di panti asuhan, Rubi yang saat itu belum paham berpikir apakah panti asuhan sama dengan sekolahan?“Besok Om akan ke sini lagi bawa baju barunya, sekarang Om Langit pulang dulu ya.” Langit kembali berdiri hendak berbalik meninggalkan Rubi, namun Rubi mengejarnya. “Om Langit hati-hati ya,” ujar Rubi sambil menyalami tangan Langit.Seketika Langit tak bisa berkata-kata melihat bagaimana Rubi mencium tangannya, anak itu santun sekali. Langit jarang menemukan ada anak jalanan sesantun Rubi, dan bisa dipastikan ini semua berkat Green, Langit tersenyum sambil merapikan rambut Rubi yang sedikit berantakan, “Iya Rubi, Om pamit ya, assalamualaikum.”“Waalaikumsalam.”Rubi berdiri menatap kepergian Lang
“Kak Langitt….,” Cherry berteriak memanggil Langit di depan pintu kamar lelaki itu, Langit yang baru saja berhasil memejamkan mata terlonjak kaget mendengar teriakan adiknya.“Kenapa?” tanya Langit panik, takut terjadi apa-apa pada Cherry.“Hehe gak ada apa-apa,” jawab Cherry sambil terkekeh pelan.“Ada apa?” tanya Langit lagi, ia yakin ada yang ingin disampaikan Cherry, kalau tidak mana mungkin ia berteriak.“Hehe, Kak, Gue izin keluar ya.” Cherry mengatakannya dengan nada tidak enak, meskipun ia yakin Langit tidak akan mengizinkan, tapi tidak ada salahnya mencoba bukan?“Gak.”Benar saja dugaan Cherry, bahkan Langit langsung mengatakan tidak sebelum ia mengatakan alasannya izin keluar. Langit bersiap menutup pintu kamar dan hendak melanjutkan tidurnya yang terganggu akibat ulah Cherry, melihat hal itu Cherry segera mengatakan tujuannya keluar rumah.&ldqu
“Green, maaf kita gak bisa sama-sama lagi.”“Alta, kamu kenapa? Kamu udah janji gak akan tinggalin aku, sekarang kenapa begini? Aku salah apa, Al?” tanya Green dengan suara bergetar. Ia kaget dengan kehadiran Alta yang tiba-tiba dan ingin mengakhiri hubungan mereka.“Kamu gak salah apa-apa, Green. Aku yang salah, aku yang gak bisa tepati janji,” suara Alta pun bergetar saat mengatakannya, sangat jelas terdengar bahwa lelaki itu menyesal karena mengingkari janjinya pada Green.“Cerita dulu sama aku, ada apa sebenarnya?”“Aku minta maaf, Green, aku harus pergi.”“Alta, aku mohon jangan tinggalin aku.”“Green, maaf.”“Jangan pergi.”Dalam mimpinya jelas sekali Green melihat Alta berbalik arah, pergi meninggalkannya tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Di b
Meskipun kemarin kedatangannya tak membuahkan hasil, Langit tak menyerah. Sore hari setelah pulang dari kampus, ia kembali mendatangi rumah Green. Namun, sudah satu jam menunggu Green tak kunjung datang. Langit mulai gelisah dan bertanya-tanya, apakah Green tak ada di sini? Lantas, kemana wanita itu pergi? Ponsel wanita tersebut tak bisa dihubungi, bahkan pesan yang ia kirimkan pun belum dibaca. Apa Green telah memblokir nomornya? Berbagai asumsi memenuhi kepala Langit. Rasa bersalah dan penyesalannya semakin besar, ia tak henti mengumpat pada diri sendiri, merutuki segala kebodohan yang berujung kepergian Green dari sisinya. Hari sudah mulai gelap, tak jua ada tanda-tanda kehadiran Green. Tiba-tiba, ponsel di saku celana Langit bergetar, menampilkan sebuah pengingat. Langit tersenyum, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima, hampir saja Langit melupakan momen itu.&n
Pikiran Langit benar-benar kalut. Berhari-hari ia tak pulang dan selama itu pula tak berkomunikasi dengan Green. Langit benar-benar mengabaikan wanita yang dahulu mati-matian ia perjuangkan. Saat ini, tujuan Langit hanya satu, mencari dalang dibalik kematian Cherry. Ia tak lagi memikirkan tentang Green, bertanya soal kabar wanita itu saja tidak. Sebulan telah berlalu, Langit berhasil memecahkan teka-teki itu dengan bantuan beberapa teman yang memang ahli di bidangnya. Dugaan Langit benar, Cherry tidak bunuh diri, melainkan dibunuh. Semua data yang ditemukan polisi dan pihak rumah sakit adalah sesuatu yang sudah disusun dan direncanakan dengan matang. Hari ini, Langit datang ke kantor polisi untuk bertemu pelaku sebenarnya, Zein dan Violet. Mereka ditangkap atas tuduhan pembunuhan berencana. Langit puas saat
“Green, tolong kamu jawab semua pertanyaan saya dengan jujur,” ujar Langit begitu mereka sampai di rumah. Disaksikan oleh Kalila dan Jerry, ia berniat menginterogasi Green. Kalau benar Green menjadi penyebab kematian Cherry, Langit tak akan segan menjebloskan wanita itu ke dalam penjara sekalipun mereka masih terikat hubungan pernikahan. Green merasa diperlakukan seperti penjahat oleh Langit. Ia duduk di depan Langit, di samping kanan dan kirinya ada Jerry dan Kalila yang juga tengah menatap intens ke arahnya.. “Sebenarnya ada apa, Lang?” tanya Kalila tak paham. Pasalnya, Langit terlihat begitu marah pada Green. “Kata Violet, Green ke kost Cherry di malam terakhir sebelum dia meninggal,” terang Langit. “Jangan bilang kamu mencurigai Green? Sudah lah Lang, polisi bahkan rumah sakit bilang Cherry meninggal karena bunuh diri, bukan dibunuh,” ujar Kalila yang perlahan mulai ikhals dan menerima kepergian Cherry. “Gak Bun, Langit masih belum percaya
Sepulang dari mengajar, Langit teringat pada Cherry. Sudah lama sekali ia tak bertemu adiknya. Karena hal itu, Langit memutar arah mobilnya menuju indekos sang adik, tiba-tiba ia sangat ingin bertemu untuk sekadar menyapa dan memasikan Cherry baik-baik saja. Jalanan yang padat membuat Langit membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di sana. Ia memutuskan memberi tahu Green akan pulang terlambat, sekaligus menghubungi Cherry perihal kedatangannya. Sampai beberapa kali panggilan, tak ada satu pun yang mendapat jawaban. Langit menerka-nerka, kemana adiknya hingga tak menjawab telepon? Apa mungkin masih bekerja? Sepertinya tidak, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib. Langit mengemudi secepat yang ia bisa. Perasaanya tidak enak entah karena alasan apa, yang jelas saat ini keinginannya untuk melihat wajah sang adik amat besar. “Semoga kamu baik-baik aja,” lirih Langit sembari terus mengemudi. Langit tiba di indekos Cherry saat matahari sudah r
Keesokan harinya, Green benar-benar tak keluar kamar. Tak menjawab telepon dan chat, tak juga menggubris saat Langit mengajaknya sarapan. Emosi Green masih belum reda, hatinya belum menerima saat tahu bahwa Langit menikahi dirinya hanya karena wajah dan sifat serta kebiasaannya mirip dengan Keira.Green masih berbaring dengan posisi terlentang, matanya menatap langit-langit. Raganya memang di kamar, namun pikirannya bercabang. Ia tak bisa berhenti memikirkan Cherry. Bagaimana kabarnya hari ini? Apakah wanita itu sudah menemukan solusi terbaik dari permasalahan yang menimpanya?“Cher, semoga lo baik-baik aja,” batinnya.Tak ada lagi suara ketukan pintu dan Langit yang memanggilnya. Tampaknya, lelaki itu sudah berangkat ke kampus. Green memanfaatkan situasi itu untuk mengisi perut dan kerongkongannya yang terasa kering. Hari ini, ia sengaja meminta izin tidak mengajar dengan alasan sakit.Green berjalan dengan langkah pelan. Wajah dan m
“Darimana kamu? Kenapa telepon dan chat saya gak ada yang dijawab?” cecar Langit saat Green menginjakkan kaki di rumah mereka. Green melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan tersebut. “Green, saya ini suami kamu. Gak seharusnya kamu bersikap begini. Pergi gak ngasih kabar, pulang malem basah-basahan, kamu pikir saya gak khawatir?!” tanya Langit seraya mencekal pergelangan tangan Green agar wanita itu mau menatapnya. Green tak menggubris. Ia berusaha melepaskan tangan Langit. “Lepas!” titahnya dengan suara dingin. “Kamu kenapa? Tolong kasih tahu, salah saya dimana? Kalau kamu begini saya bingung. Dari tadi saya teleponin berkali-kali gak ada satupun yang diangkat. Marah?”&n
Green menunggu kedatangan Cherry dengan sabar. Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu ia berada di depan indekos seraya mencoba menghubungi ponsel wanita tersebut, namun tak mendapat jawaban. Tak lama berselang, ponsel Green berdering. Nama Langit tertera di layar, cukup lama ia membiarkan dering itu hingga mati dengan sendirinya. Hari ini, Green sudah putuskan untuk menginap. Ia perlu waktu untuk berpikir jernih lebih dulu. Karena jika langsung bertemu Langit, dirinya akan emosi dan perang dingin di antara mereka semakin menjadi. Hujan di luar sana masih belum reda. Green menatap rintik air yang kian deras membasahi bumi, sembari membiarkan pikirannya melanglangbuana. Benda pipih di tangannya kembali berdering, membuyarkan lamunan Green sore menjelang malam itu. Hatinya tak bergairah untuk menjawab panggilan tersebut. 
Tanda dua garis biru menjadi penyebab Cherry menangis tersedu-sedu. Ia mengamati benda di tangannya sekali lagi, menolak percaya bahwa apa yang dilihatnya benar sebuah tanda yang menyatakan dirinya positif hamil. “Gak, ini pasti gak bener.” Cherry mengambil taxpack terakhir kemudian menggunakan benda itu. Selang beberapa menit, hasilnya keluar. Cherry berharap dapat melihat garis satu di sana. Namun nihil, tandanya tetap sama. Tangisnya pecah begitu saja. Secepat kilat, Cherry menyambar ponselnya dan menghubungi orang yang paling bertanggungjawab atas semua hal yang terjadi hari ini. “Zein.., angkat dong,” gumam Cherry seraya menggigit bibir bawahnya. “K
“Hai, sori telat. Udah lama?” Green duduk di hadapann Regita dengan napas terengah.Regita tak langsung menjawab, ia menyodorkan jus jeruk miliknya kepada Green yang langsung diminum oleh wanita itu. Green masih mengenakan baju guru, keringat di keningnya tercetak jelas.“Gak apa-apa. Lo dari sekolah langsung ke sini?” tanya Regita basa-basi.Green mengangguk. “Jus lo?” Gelas berisi jus itu hanya tersisa setengah, ia menatap Regita tidak enak.“Santai, bisa pesen lagi.” Regita tersenyum, ia memanggil pelayan kafe yang kebetulan lewat. Keduanya memesan dua minuman dan makanan ringan yang berbeda.“Thanks udah mau dateng,” ucap Green saat pelayan kafe tersebut sudah pergi.“Sama-sama. Jadi, lo mau tanya apa?” tanya Regita.Green menghela napas berat. Ia bingung harus memulai darimana. Ada banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya saat ini.