“Ayo Green, saya antar pulang. Rumah kamu dimana?”
Green masih diam, bingung harus merespon bagaimana. Apakah menerima tawaran dosen sekaligus kakak temannya atau menolak niat baik itu. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Green memilih opsi kedua, ia memilih untuk pulang sendiri, lagipula Green telah berjanji pada Alta untuk tak dekat dengan lelaki mana pun.
“Gue pulang sendiri aja Cher, makasih Pak atas tawarannya,” tolak Green dengan nada sopan.
“Udah sore Green, di luar juga mendung. Lo mau naik apa emang?” tanya Cherry, matanya mengarah pada langit yang tiba-tiba berubah gelap.
Mata Green mengikuti arah pandang Cherry, memang benar apa yang dikatakan Cherry, sepertinya sebentar lagi hujan akan turun, namun Green tetap bersikeras untuk pulang sendiri.
“Gue bisa naik ojek online, Cher.”
“Udah ada yang gratis kenapa milih yang bayar sih, Green?” tanya Cherry tak paham dengan pemikiran Green.
“Cher, please gue gak enak sama Pak Langit,” ujar Green dengan suara berbisik agar Langit tak mendengar.
Langit mengamati interaksi dua wanita di hadapannya. Ia bisa melihat Green tengah berbicara pada Cherry dengan suara berbisik, namun ia masih mampu mendengar ucapan Green.
“Tidak apa-apa Green, ayo saya antar.” Langit membuka suara, melerai perdebatan yang terjadi diantara keduanya.
Green menatap Cherry dengan tatapan meminta bantuan, namun yang ditatap justru tak paham dengan kode yang diberikan. Dalam pikiran Green apa yang akan terjadi jika ia berada di dalam mobil berdua saja dengan dosennya, dan lagi bagaimana jika Alta tahu? Sudah bisa dipastikan lelaki itu akan marah besar atau bisa jadi akan memutuskanya, dan Green tak ingin hal itu terjadi, Green sangat mencintai Alta, ia akan melakukan apa saja untuk menjaga hubungannya dengan lelaki itu.
“Tapi Pak…” ucap Green masih berusaha menolak.
Suara guntur menggelegar, langit yang semula cerah berubah gelap. Hujan belum turun namun tanda-tandanya telah terlihat, hal itu digunakan Cherry untuk kembali membujuk Green.
“Lo denger suara barusan, kan? Bentar lagi hujan Green, atau lo mau nginep di sini?” tanya Cherry yang langsung dibalas gelengan oleh Green.
“Kalau gitu lo pulang sama Kak Langit, lo tenang aja Kak Langit udah jinak,” tutur Green sambil tertawa kecil.
Green tampak menimbang-nimbang, jika ia menerima tawaran Langit itu merupakan kali pertama dirinya diantar pulang oleh lelaki lain, dan bagaimana dengan janjinya pada Alta? Namun benar kata Cherry, langit telah gelap dan sepertinya hujan akan turun sebentar lagi, ia tak memiliki banyak waktu untuk berpikir. Akhirnya Green memutuskan untuk menerima tawaran Langit, setelah ini ia akan meminta maaf pada Alta dan menjelaskan semuanya, Green yakin Alta akan mengerti.
“Apa saya tidak merepotkan, Pak?” tanya Green hati-hati.
“Sama sekali tidak, ayo.”
Green menatap Cherry, yang ditatap mengangguk singkat. “Yaudah Cher, gue balik ya.”
“Lo hati-hati Green. Kak hati-hati loh ya, anterin temen gue sampe rumah, awas aja kalau sampe dia lecet!” Cherry mengancam Langit yang hanya dibalas dengan singkat.
“Iya bawel.”
Sebelum benar-benar berpisah, Cherry memeluk Green cukup erat, ia berbisik tepat di telinga wanita itu, “Kalau lo butuh apa-apa atau butuh temen cerita, lo bisa cari gue, mulai sekarang kita temen. Lo mau kan jadi temen gue?”
Dari balik dekapan itu, Green menganggukan kepala. “Makasih, Cher.”
“Sama-sama,” jawab Cherry sambil melepaskan pelukan itu.
Setelah pelukan yang berlangsung selama beberapa menit, Green dan Langit berjalan beriringan, hanya sebentar karena setelahnya Green memilih berjalan di belakang Langit.
“Sebentar, saya ambil mobil dulu ya.”
Green mengangguk singkat, Langit berjalan cepat untuk mengambil mobilnya yang terparkir rapi di garasi. Selama beberapa menit Green menunggu, akhirnya Langit kembali dengan mobil hitamnya. Lelaki itu turun sembari membukakan pintu untuk Green. “Ehh Pak, tidak usah repot-repot,” ujar Green dengan nada tidak enak.
“Sama sekali tidak repot.”
“Terima kasih, Pak.”
***
Kecanggungan menyelimuti perjalanan mereka, Green merasa canggung berada di sebelah Langit. Sementara Langit santai saja, ia mengemudi dengan tenang. Tak ada yang membuka suara, keheningan mendominasi keduanya, baik Green maupun Langit keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
Hujan turun dengan sempurna, tanda yang tadi diberikan langit bukan hanya sekadar tanda, melainkan sesuatu yang nyata, terbukti dengan hujan yang turun dengan derasnya.
Setelah beberapa menit mengemudi, Langit membuka suara, “Green, rumah kamu dimana?” tanya Langit yang tak tahu letak rumah Green.
“Lurus aja Pak, nanti belok kanan, masuk gang sempit.”
Langit mengangguk kemudian mengemudikan mobilnya sesuai petunjuk dari Green. “Gang ini?” tanya Langit lagi.
“Iya Pak, betul.”
Langit menepikan mobilnya, bersamaan dengan itu Green hendak bersiap turun, namun Langit mencegahnya. “Hujannya deres banget Green, tunggu agak reda gimana?”
“Saya bawa payung kok, Pak.” Green merogoh tasnya, mencari payung yang biasa ia letakkan di sana. Namun kali ini sepertinya ia lupa membawa payung, Green panik kemudian mengeluarkan seluruh isi tasnya, dan benar saja ia tak menemukan benda yang dicari.
Langit yang menyaksikan kepanikan Green hanya tersenyum tipis, sangat kentara bahwa wanita itu kurang nyaman berada di dekatnya, entah karena dirinya yang berstatus dosen di kampus tempat Green berkuliah atau ada hal lainnya.
“Payungnya ada?” tanya Langit yang menangkap ekspresi Green seperti tengah berusaha mengingat-ingat sesuatu.
“Harusnya ada Pak, tapi kayaknya ketinggalan di rumah, saya lupa masukkin,” terang Green.
“Ya sudah, tunggu di sini dulu saja sebentar. Kebetulan di mobil saya juga tidak ada payung,” Langit memberi saran.
Green melihat ke luar jendela, benar yang dikatakan Langit, hujan turun dengan derasnya. Green bisa saja menerobos hujan, namun jarak tempuh menuju rumahnya masih cukup jauh. Jika ia memaksa menerobos, bisa dipastikan baju dan seluruh tubuhnya akan basah kuyup, belum lagi bagaimana jika nanti ia sakit sementara ada banyak hal yang harus ia lakukan esok hari. Lagi-lagi, Green pasrah dengan keadaan, ia memutuskan untuk menunggu sejenak sampai hujan sedikit reda, seperti yang dikatakan Langit.
“Green..,” panggil Langit.
Green menoleh ke arah Langit. “Iya, Pak?” jawabnya setengah berteriak agar lelaki itu mendengarnya.
“Kenapa memilih menganalisis novel saya?” tanya Langit memancing obrolan. Menurutnya Green tipe wanita yang harus didahului, Green tidak akan memulai pembicaraan apalagi dengan orang baru.
“Karena quotes di depan sampul novel itu,” jawab Green singkat.
“Hanya karena itu?”
Green mengangguk. Memang benar, ia tak berbohong perihal jawaban tersebut. Quotes di sampul depan novel itu memang menarik minatnya untuk membaca novel Kilas Balik secara keseluruhan. Dari sudut matanya, Green dapat melihat Langit tersenyum tipis, ia tak sengaja melihat lesung pipi lelaki itu. Menyadari bahwa apa yang ia lakukan tidak benar, Green segera mengalihkan pandangan, ia menatap ke depan menatap rintik air yang jatuh dari langit, ia selalu suka pemandangan itu. Melihat tetes demi tetes air yang jatuh dari langit mampu membuatnya tenang, tanpa sengaja pikirannya kembali tertuju pada Alta. Ia ingat betapa lelaki itu sangat membenci hujan, sangat berbanding terbalik dengan dirinya.
“Sayang hujan, ayo neduh di sana.” Alta menarik tangan Green dan mengajaknya berlari, sementara Green menghentikan langkahnya, menikmati setiap tetes air yang membasahi wajah.
“Sayang ayo cepet, nanti kamu sakit.”
“Kamu khawatir kalau aku sakit?” tanya Green dengan senyum mengembang.
“Tentu aja aku khawatir sayang.” Alta kembali menarik tangan Green, menutupi kepala wanita itu dengan jaket miliknya agar hujan tak membasahi kepala wanita yang dicintainya.
Momen yang terjadi saat dirinya dan Alta masih SMA tiba-tiba hadir memenuhi kepala, Green tersenyum mengingat momen itu, rasanya baru kemarin dirinya dan Alta memutuskan untuk berpacaran, dan saat ini hubungan mereka sudah memasuki 4 tahun, sungguh waktu berjalan sangat cepat.
“Kamu baik-baik saja, Green?” tanya Langit memecah lamunan Green.
“Alta, aku kangen kamu.”
Langit memilih diam, membiarkan Green hanyut dengan pikirannya. Bahkan wanita itu tak menyadari bahwa saat ini dirinya tengah bersama Langit di mobil lelaki itu. Terlalu asik mengenang memori bersama Alta membuat Green lupa bahwa ada manusia lain di sampingnya.“Maaf, Pak,” tutur Green dengan nada tidak enak.“Tidak apa-apa, Green.” Langit menanggapinya dengan santai.Hening kembali menyelimuti keduanya, hujan belum juga reda, suara guntur kembali bersahut-sahutan. Orang-orang yang berlalu lalang berlarian mencari tempat berteduh, mereka yang awalnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pada akhirnya dikalahkan oleh hujan.“Alta pasti sosok yang sangat berarti bagi kamu,” ucap Langit membuka obrolan.Green menoleh sebentar kemudian kembali menatap lurus ke depan, tangannya memeluk tas ransel yang berada di pangkuannya. Sejak tadi ia belum menyentuh ponselnya, keinginannya untuk melihat benda itu sangat kuat na
Langit masih berada di tempat terakhir ia bersama Green, belum berniat untuk kembali ke rumahnya, yang dilakukan Langit hanya menatap kursi penumpang di sampingnya dan membayangkan Green ada di sana. Selain karena Green berbeda dengan wanita kebanyakan, wajah dan sikap Green mengingatkannya pada seseorang di masalalu, seseorang yang pernah mengisi hatinya. Langit tersenyum membayangkan wajah Green, namun seketika senyum itu pudar digantikan dengan ekspresi datar.Alarm ponsel Langit berbunyi, sudah waktunya ia kembali ke rumah karena harus melanjutkan pekerjaannya. Langit mengemudikan mobil dan meninggalkan tempat tersebut, esok atau lusa ia berniat akan kembali ke tempat itu untuk sekadar meminta maaf pada Green karena telah membuat wanita tersebut tidak nyaman dan ketakutan.“Green.., nama yang indah, seindah pemiliknya.” Langit berbicara dengan dirinya sambil tersenyum membayangkan wajah Green.Bayangannya tentang wajah Green seketika hilang saat
Hujan yang mengguyur bumi telah reda, Green sudah menyembunyikan seluruh tubuhnya di balik selimut sejak tadi. Jika tengah merasa gundah, Green akan melakukan hal demikian, tidur berjam-jam lamanya. Sampai hari berganti, Green belum juga beranjak dari kasur kesayangannya, ia masih bermalas-malasan.Suara derap langkah mendekat ke arah jendela kamar, Green menajamkan pendengarannya, menerka-nerka siapa sosok di balik jendela itu.“Siapa?” tanya Green memberanikan diri.Green melihat jam dinding menunjukkan pukul 01.00 dini hari, sudah lebih dari 4 jam ia tertidur. Green memberanikan diri membuka jendela, namun ia tak melihat siapa pun.“Siapa di sana?” tanya Green lagi sambil membuka jendela kamar. Sejak kepergian ibunya, ia tinggal sendiri dan seringkali mengalami kejadian serupa, Green tak pernah takut karena ketakutan terbesar dalam hidupnya adalah kehilangan Melan—sang mama, dan ia telah melewati hari-hari berat itu.
Green dan Cherry memiliki kemiripan, sama-sama suka makanan manis dan tidak suka kesepian. Lucu memang, Green tinggal sendiri dan Cherry hanya berdua saja dengan Langit yang juga sering meninggalkannya. Keduanya berteman dengan sepi, dan tentunya merasa kesepian. Kesepian yang dirasakan Green perlahan sirna karena kehadiran Alta, begitupun Cherry yang merasa harinya menjadi berwarna sejak berpacaran dengan Zein. Baik Green maupun Cherry, keduanya tak memiliki banyak teman namun mengenal banyak orang, bukan karena sombong atau apa, melainkan keduanya memiliki prinsip berkenalan dengan siapa saja namun tak semuanya bisa dijadikan teman.Dua wanita itu kini tengah berada di taman kampus sambil membaca novel untuk bahan tugas mereka, Green menatap mata Cherry yang sembab, sejak tadi pun wanita itu tak banyak bicara, tak seperti biasanya. Green awalnya tak penasaran, namun ia melihat mata Cherry seperti tengah menahan tangis.“Cher…” Green menyentuh pungg
Green masih menarik Cherry menjauh dari tempat tersebut, Cherry merasa terharu karena Green benar-benar membelanya. Cherry tersenyum, rasa sakit hatinya masih ada belum benar-benar sembuh sepenuhnya. Meskipun yang dikatakan Green tadi benar, tak pantas baginya untuk bersedih karena Violet dan Zein. Tetapi semua tidak bisa terjadi begitu saja, patah hati tetap patah hati, tidak bisa langsung sembuh dengan kata-kata motivasi atau siraman rohani. Semua butuh proses, dan setelah ini Cherry bertekad akan menjalani proses itu.“Green, makasih ya,” ucap Cherry tulus setelah mereka sampai di depan kelas.“Setelah ini, lo jangan ngerasa sendiri ya, Cher,” ucap Green yang seperti melihat sosok Sera dalam diri Cherry.Cherry mengangguk. “Sekali lagi makasih, Green.”Green tersenyum tipis. Kelas masih sepi, padahal kuliah akan dimulai lima menit lagi. Green melihat Beni, KM di kelasnya menaiki tangga sambil menenteng tas laptop.
Sore itu Langit melajukan mobil dengan kecepatan sedang, mobil itu membelah jalanan menuju kediamannya, setelah seharian mengajar akhirnya ia bisa pulang dan beristirahat sejenak. Kantuk yang sejak tadi ia tahan, kembali menyerang. Akhirnya Langit memutuskan untuk berhenti sejenak, memilih meminum kopi di sebuah warung kecil untuk meredakan kantuk, akan berbahaya jika ia berkendara di tengah kantuk melanda.Langit membawa gelas cup yang berisi capucino. Perlu digaris bawahi, Langit adalah laki-laki sederhana, ia tak sungkan duduk dan minum kopi dipinggir jalan, seperti yang dilakukannya sore ini. Langit duduk di tempat yang disediakan sambil menyesap sebatang rokok, sebenarnya Langit bukanlah laki-laki yang selalu dan candu pada rokok, ia hanya melakukannya sesekali, jika ingin.Tanpa sengaja arah pandangnya tertuju pada seorang gadis yang sangat ia kenal, meskipun ia melihat gadis itu dari belakang, Langit sangat yakin bahwa gadis itu adalah sosok yang akhir-akhir ini
Rubi belum memberikan jawaban terkait ajakan Langit, terlebih Langit pun tidak menjelaskan apa itu panti asuhan kepada Rubi, yang dilakukan lelaki itu hanya mengatakan bahwa mereka bisa bersekolah jika berada di panti asuhan, Rubi yang saat itu belum paham berpikir apakah panti asuhan sama dengan sekolahan?“Besok Om akan ke sini lagi bawa baju barunya, sekarang Om Langit pulang dulu ya.” Langit kembali berdiri hendak berbalik meninggalkan Rubi, namun Rubi mengejarnya. “Om Langit hati-hati ya,” ujar Rubi sambil menyalami tangan Langit.Seketika Langit tak bisa berkata-kata melihat bagaimana Rubi mencium tangannya, anak itu santun sekali. Langit jarang menemukan ada anak jalanan sesantun Rubi, dan bisa dipastikan ini semua berkat Green, Langit tersenyum sambil merapikan rambut Rubi yang sedikit berantakan, “Iya Rubi, Om pamit ya, assalamualaikum.”“Waalaikumsalam.”Rubi berdiri menatap kepergian Lang
“Kak Langitt….,” Cherry berteriak memanggil Langit di depan pintu kamar lelaki itu, Langit yang baru saja berhasil memejamkan mata terlonjak kaget mendengar teriakan adiknya.“Kenapa?” tanya Langit panik, takut terjadi apa-apa pada Cherry.“Hehe gak ada apa-apa,” jawab Cherry sambil terkekeh pelan.“Ada apa?” tanya Langit lagi, ia yakin ada yang ingin disampaikan Cherry, kalau tidak mana mungkin ia berteriak.“Hehe, Kak, Gue izin keluar ya.” Cherry mengatakannya dengan nada tidak enak, meskipun ia yakin Langit tidak akan mengizinkan, tapi tidak ada salahnya mencoba bukan?“Gak.”Benar saja dugaan Cherry, bahkan Langit langsung mengatakan tidak sebelum ia mengatakan alasannya izin keluar. Langit bersiap menutup pintu kamar dan hendak melanjutkan tidurnya yang terganggu akibat ulah Cherry, melihat hal itu Cherry segera mengatakan tujuannya keluar rumah.&ldqu
Meskipun kemarin kedatangannya tak membuahkan hasil, Langit tak menyerah. Sore hari setelah pulang dari kampus, ia kembali mendatangi rumah Green. Namun, sudah satu jam menunggu Green tak kunjung datang. Langit mulai gelisah dan bertanya-tanya, apakah Green tak ada di sini? Lantas, kemana wanita itu pergi? Ponsel wanita tersebut tak bisa dihubungi, bahkan pesan yang ia kirimkan pun belum dibaca. Apa Green telah memblokir nomornya? Berbagai asumsi memenuhi kepala Langit. Rasa bersalah dan penyesalannya semakin besar, ia tak henti mengumpat pada diri sendiri, merutuki segala kebodohan yang berujung kepergian Green dari sisinya. Hari sudah mulai gelap, tak jua ada tanda-tanda kehadiran Green. Tiba-tiba, ponsel di saku celana Langit bergetar, menampilkan sebuah pengingat. Langit tersenyum, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima, hampir saja Langit melupakan momen itu.&n
Pikiran Langit benar-benar kalut. Berhari-hari ia tak pulang dan selama itu pula tak berkomunikasi dengan Green. Langit benar-benar mengabaikan wanita yang dahulu mati-matian ia perjuangkan. Saat ini, tujuan Langit hanya satu, mencari dalang dibalik kematian Cherry. Ia tak lagi memikirkan tentang Green, bertanya soal kabar wanita itu saja tidak. Sebulan telah berlalu, Langit berhasil memecahkan teka-teki itu dengan bantuan beberapa teman yang memang ahli di bidangnya. Dugaan Langit benar, Cherry tidak bunuh diri, melainkan dibunuh. Semua data yang ditemukan polisi dan pihak rumah sakit adalah sesuatu yang sudah disusun dan direncanakan dengan matang. Hari ini, Langit datang ke kantor polisi untuk bertemu pelaku sebenarnya, Zein dan Violet. Mereka ditangkap atas tuduhan pembunuhan berencana. Langit puas saat
“Green, tolong kamu jawab semua pertanyaan saya dengan jujur,” ujar Langit begitu mereka sampai di rumah. Disaksikan oleh Kalila dan Jerry, ia berniat menginterogasi Green. Kalau benar Green menjadi penyebab kematian Cherry, Langit tak akan segan menjebloskan wanita itu ke dalam penjara sekalipun mereka masih terikat hubungan pernikahan. Green merasa diperlakukan seperti penjahat oleh Langit. Ia duduk di depan Langit, di samping kanan dan kirinya ada Jerry dan Kalila yang juga tengah menatap intens ke arahnya.. “Sebenarnya ada apa, Lang?” tanya Kalila tak paham. Pasalnya, Langit terlihat begitu marah pada Green. “Kata Violet, Green ke kost Cherry di malam terakhir sebelum dia meninggal,” terang Langit. “Jangan bilang kamu mencurigai Green? Sudah lah Lang, polisi bahkan rumah sakit bilang Cherry meninggal karena bunuh diri, bukan dibunuh,” ujar Kalila yang perlahan mulai ikhals dan menerima kepergian Cherry. “Gak Bun, Langit masih belum percaya
Sepulang dari mengajar, Langit teringat pada Cherry. Sudah lama sekali ia tak bertemu adiknya. Karena hal itu, Langit memutar arah mobilnya menuju indekos sang adik, tiba-tiba ia sangat ingin bertemu untuk sekadar menyapa dan memasikan Cherry baik-baik saja. Jalanan yang padat membuat Langit membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di sana. Ia memutuskan memberi tahu Green akan pulang terlambat, sekaligus menghubungi Cherry perihal kedatangannya. Sampai beberapa kali panggilan, tak ada satu pun yang mendapat jawaban. Langit menerka-nerka, kemana adiknya hingga tak menjawab telepon? Apa mungkin masih bekerja? Sepertinya tidak, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib. Langit mengemudi secepat yang ia bisa. Perasaanya tidak enak entah karena alasan apa, yang jelas saat ini keinginannya untuk melihat wajah sang adik amat besar. “Semoga kamu baik-baik aja,” lirih Langit sembari terus mengemudi. Langit tiba di indekos Cherry saat matahari sudah r
Keesokan harinya, Green benar-benar tak keluar kamar. Tak menjawab telepon dan chat, tak juga menggubris saat Langit mengajaknya sarapan. Emosi Green masih belum reda, hatinya belum menerima saat tahu bahwa Langit menikahi dirinya hanya karena wajah dan sifat serta kebiasaannya mirip dengan Keira.Green masih berbaring dengan posisi terlentang, matanya menatap langit-langit. Raganya memang di kamar, namun pikirannya bercabang. Ia tak bisa berhenti memikirkan Cherry. Bagaimana kabarnya hari ini? Apakah wanita itu sudah menemukan solusi terbaik dari permasalahan yang menimpanya?“Cher, semoga lo baik-baik aja,” batinnya.Tak ada lagi suara ketukan pintu dan Langit yang memanggilnya. Tampaknya, lelaki itu sudah berangkat ke kampus. Green memanfaatkan situasi itu untuk mengisi perut dan kerongkongannya yang terasa kering. Hari ini, ia sengaja meminta izin tidak mengajar dengan alasan sakit.Green berjalan dengan langkah pelan. Wajah dan m
“Darimana kamu? Kenapa telepon dan chat saya gak ada yang dijawab?” cecar Langit saat Green menginjakkan kaki di rumah mereka. Green melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan tersebut. “Green, saya ini suami kamu. Gak seharusnya kamu bersikap begini. Pergi gak ngasih kabar, pulang malem basah-basahan, kamu pikir saya gak khawatir?!” tanya Langit seraya mencekal pergelangan tangan Green agar wanita itu mau menatapnya. Green tak menggubris. Ia berusaha melepaskan tangan Langit. “Lepas!” titahnya dengan suara dingin. “Kamu kenapa? Tolong kasih tahu, salah saya dimana? Kalau kamu begini saya bingung. Dari tadi saya teleponin berkali-kali gak ada satupun yang diangkat. Marah?”&n
Green menunggu kedatangan Cherry dengan sabar. Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu ia berada di depan indekos seraya mencoba menghubungi ponsel wanita tersebut, namun tak mendapat jawaban. Tak lama berselang, ponsel Green berdering. Nama Langit tertera di layar, cukup lama ia membiarkan dering itu hingga mati dengan sendirinya. Hari ini, Green sudah putuskan untuk menginap. Ia perlu waktu untuk berpikir jernih lebih dulu. Karena jika langsung bertemu Langit, dirinya akan emosi dan perang dingin di antara mereka semakin menjadi. Hujan di luar sana masih belum reda. Green menatap rintik air yang kian deras membasahi bumi, sembari membiarkan pikirannya melanglangbuana. Benda pipih di tangannya kembali berdering, membuyarkan lamunan Green sore menjelang malam itu. Hatinya tak bergairah untuk menjawab panggilan tersebut. 
Tanda dua garis biru menjadi penyebab Cherry menangis tersedu-sedu. Ia mengamati benda di tangannya sekali lagi, menolak percaya bahwa apa yang dilihatnya benar sebuah tanda yang menyatakan dirinya positif hamil. “Gak, ini pasti gak bener.” Cherry mengambil taxpack terakhir kemudian menggunakan benda itu. Selang beberapa menit, hasilnya keluar. Cherry berharap dapat melihat garis satu di sana. Namun nihil, tandanya tetap sama. Tangisnya pecah begitu saja. Secepat kilat, Cherry menyambar ponselnya dan menghubungi orang yang paling bertanggungjawab atas semua hal yang terjadi hari ini. “Zein.., angkat dong,” gumam Cherry seraya menggigit bibir bawahnya. “K
“Hai, sori telat. Udah lama?” Green duduk di hadapann Regita dengan napas terengah.Regita tak langsung menjawab, ia menyodorkan jus jeruk miliknya kepada Green yang langsung diminum oleh wanita itu. Green masih mengenakan baju guru, keringat di keningnya tercetak jelas.“Gak apa-apa. Lo dari sekolah langsung ke sini?” tanya Regita basa-basi.Green mengangguk. “Jus lo?” Gelas berisi jus itu hanya tersisa setengah, ia menatap Regita tidak enak.“Santai, bisa pesen lagi.” Regita tersenyum, ia memanggil pelayan kafe yang kebetulan lewat. Keduanya memesan dua minuman dan makanan ringan yang berbeda.“Thanks udah mau dateng,” ucap Green saat pelayan kafe tersebut sudah pergi.“Sama-sama. Jadi, lo mau tanya apa?” tanya Regita.Green menghela napas berat. Ia bingung harus memulai darimana. Ada banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya saat ini.