Reina melangkah ringan di lorong rumah sakit, senyumnya tak bisa ditahan. Hari ini adalah hari yang sudah lama ia nantikan. Setelah berbulan-bulan bertugas di luar pulau akhirnya ia mendapat cuti, setelah tiga hari bertemu keluarga kini dia bisa bertemu dengan Vino, kekasihnya.Ia membayangkan ekspresi terkejut Vino saat melihatnya tiba-tiba muncul di ruangannya. Mungkin pria itu akan memeluknya erat atau sekadar tersenyum lebar seperti biasa. Namun, senyumnya perlahan pudar saat mendapati ruangan dokter itu kosong. Tak ada tanda-tanda keberadaan Vino. Rasa cemas mulai merayap di benaknya.“Permisi, Dokter Vino ada?” tanya Reina pada seorang perawat yang kebetulan lewat.Perawat itu tampak ragu sejenak, lalu menjawab dengan nada hati-hati, “Dokter Vino sudah tidak bertugas di sini lagi, Mbak.”Reina mengernyit. “Maksudnya?”Perawat itu menghela napas. “Dokter Vino sudah pergi ke Amerika minggu lalu. Dia melanjutkan pendidikannya di sana.”Dunia Reina seketika terasa hampa. Suara-suar
Asap mesiu masih menguar di udara saat suara derap kaki terdengar dari segala penjuru. Kapten Satya Yudha Pratama berdiri di tengah reruntuhan desa kecil, dikepung puluhan pemberontak bersenjata lengkap.Di sekelilingnya, para prajuritnya telah gugur atau tertangkap. Hanya dia seorang yang tersisa.Seorang pemberontak bertubuh besar melangkah mendekat, menyeringai puas. “Kapten besar dari Malaca jatuh ke perangkap kami seperti tikus bodoh.”Tawa mencemooh bergema.“Katanya kau legenda di medan perang. Nyatanya? Kau hanya manusia biasa.”Satya tetap diam, ekspresinya tak berubah. Matanya menyapu medan—reruntuhan, mayat bergelimpangan, senjata yang berserakan.Seorang pemberontak lain menodongkan senapan ke arahnya. “Menyerahlah. Pangeran Ardian pasti akan membayarmu mahal jika kami menyerahkanmu hidup-hidup.”Alih-alih takut, Satya tersenyum tipis. “Kalian pikir aku masuk perangkap?”Para pemberontak mengernyit. Saat itu juga—Satya bergerak.Dengan kecepatan luar biasa, ia merunduk, me
Reina terbatuk, asap tebal masih membekas di tenggorokannya saat dia berjalan tertatih di antara pepohonan. Panas dari kebakaran semalam masih terasa di kulitnya, meski kini hanya ada kegelapan dan hawa lembab hutan yang menyelimutinya. Kakinya yang terluka berusaha melangkah stabil di atas tanah berlumpur. Tak ada tanda-tanda kehidupan, hanya suara serangga dan sesekali lolongan binatang buas yang menggema dari kejauhan.Dia tak tahu sudah berapa lama berjalan, mungkin berjam-jam, mungkin lebih. Yang dia tahu, dia harus terus bergerak. Berhenti berarti kematian, dan Reina bukan tipe orang yang menyerah begitu saja.Ketika sinar matahari mulai menembus celah dedaunan, Reina melihat sesuatu di kejauhan—gubuk-gubuk kayu yang berdiri di sepanjang sungai. Matanya menyipit, memperhatikan lebih jauh. Ada orang-orang di sana, sebagian berpakaian lusuh, sebagian bersenjata. Jantungnya berdegup lebih cepat saat dia menyadari bahwa dia telah tersesat di wilayah Ghana.Ini adalah daerah konflik.
Suasana lapangan akademi terasa menegangkan. Semua siswa berdiri tegap di bawah terik matahari, menunggu kedatangan instruktur baru yang kabarnya seorang veteran perang. Desas-desus menyebar bahwa pria ini bukan hanya sekadar tentara biasa—dia seseorang yang selamat dari neraka perang dan kembali dengan reputasi mengerikan.Reina berdiri di barisan tengah, berusaha tetap tenang seperti siswa lain. Namun, begitu seorang perwira memasuki lapangan dengan langkah tegap dan penuh wibawa, tubuhnya langsung menegang.Pria itu…Wajah yang selama tiga bulan ini ia kira sudah mati, kini berdiri di hadapannya dalam balutan seragam militer dengan pangkat Mayor Jantung Reina berdegup kencang. ‘Tidak mungkin….’ Ia mengira pria itu mati dalam kebakaran. Pria yang seharusnya sudah tiada, berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam yang menembus barisan para siswa. Reina menelan ludah.Mayor itu menatap sekeliling sebelum berbicara. “Nama saya Satya. Mulai hari ini, saya akan menjadi instruktur kali
Reina sudah merasa ada yang aneh sejak latihan pagi tadi.Sejak tiba di kamp pelatihan ini, ia telah berusaha menyamar dengan baik—mengenakan pakaian longgar, merendahkan suaranya, dan menahan diri agar tidak menunjukkan reaksi mencolok. Namun, entah kenapa, sejak pertemuan pertamanya dengan Satya, pria itu memperlakukannya dengan berbeda.Latihan fisik yang seharusnya biasa tiba-tiba menjadi lebih berat. Dan yang paling menyebalkan, setiap kali ia mulai kelelahan, Satya hanya akan menatapnya dengan ekspresi datar, seolah mengamati sesuatu yang tidak ia mengerti.Apa pria itu sengaja menyiksanya?Reina mendengus kesal. Ia telah berhasil menyusup ke berbagai tempat sebelumnya, jadi kenapa sekarang justru merasa seperti tikus percobaan di tangan dingin itu? Ketika akhirnya latihan berakhir, Reina merasa cukup.Ia menuju barak perwira, mengabaikan tatapan heran dari beberapa prajurit. Langkahnya cepat, penuh tekad, dan begitu ia sampai di depan kamar Satya, ia mengetuk pintu tanpa basa-
Malam itu, Reina tak bisa memejamkan mata. Ia berguling ke sana kemari, memikirkan dua pilihan yang diberikan kepadanya—menerima hukuman atau menikah dengan Mayor Satya. Baginya, keduanya sama-sama tidak menyenangkan. Namun, saat mengingat keluarga Reihardi yang telah menerimanya, hatinya goyah. Ia harus membuat keputusan sebelum fajar.Pagi datang lebih cepat dari yang ia harapkan. Setelah apel pagi, Reina melangkah dengan hati berat menuju kamar Satya. Ia memastikan tak ada orang yang melihat sebelum mengetuk pintu. Begitu pintu terbuka, ia langsung masuk tanpa menunggu undangan, membuat Satya sedikit terkejut."Kau mau apa?" Satya bertanya dengan suara dingin.Reina menelan ludah, berdiri tegak di hadapan pria itu. "Aku setuju menikah denganmu. Tapi ada tiga syarat."Alis Satya sedikit terangkat, tapi ia tetap mempertahankan ekspresinya yang datar. "Syarat?""Pertama, kau harus menjamin keselamatan keluarga Reihardi, dan aku tidak mau kamu memaksaku melayanimu secara... fisik," uja
“Biar aku yang bawa,” suara Satya dingin dan tak terbantahkan. Sersan Hendra terkejut ketika Satya tiba-tiba mengulurkan tangan, mencegahnya membopong Reina.Hendra mengerutkan kening, ragu sejenak, tapi ia tak berani membantah. Dengan cekatan, Satya mengangkat Reina ke dalam gendongannya dan berjalan cepat menuju mobilnya.Perjalanan berlangsung dalam diam. Satya mengemudi tanpa ekspresi, sementara Reina yang masih setengah sadar hanya bisa menggeliat lemah.Namun, saat kesadarannya perlahan kembali, Reina merasakan sesuatu yang aneh. Bau antiseptik rumah sakit yang seharusnya tercium, tidak ada. Sebaliknya, ia merasakan aroma bunga dan udara yang lebih hangat.Matanya terbuka perlahan, dan yang pertama kali dilihatnya adalah langit-langit kayu berukir serta lampu gantung klasik.Ini… bukan rumah sakit.Dengan cepat, Reina mencoba bangkit, tapi tubuhnya masih terlalu lemah. Ia menoleh ke samping dan langsung terkejut melihat sosok Satya duduk di kursi, membaca dokumen dengan ekspresi
Reina duduk di sofa hotel dengan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya. Ia masih tidak percaya bahwa pernikahan itu benar-benar terjadi. Satya yang duduk di seberangnya tampak serius berbicara dengan Letnan Dito.Reina yang awalnya malas mendengarkan, tiba-tiba merasa penasaran. Perlahan, ia bangkit dan berusaha mendekat tanpa suara. Ia merapatkan tubuh ke tembok di dekat mereka, memasang telinga sebaik mungkin."Kau yakin ini keputusan yang tepat?" suara Dito terdengar serius."Aku tak punya pilihan lain. Ini harus dilakukan," jawab Satya tegas."Kalau begitu, aku akan mengurus dokumen-dokumennya."Reina semakin menajamkan pendengarannya. Apa yang harus dilakukan? Dokumen apa? Jangan-jangan Satya sedang merencanakan sesuatu yang buruk?Ia berjinjit lebih dekat, namun sialnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan karena gaun pengantinnya dan...Bruk! Reina jatuh ke lantai dengan posisi tengkurap.Dito dan Satya langsung menoleh. Dito menahan tawa sementara Satya hanya menatapnya d
Satya berdiri tegak di depan peta besar yang terpampang di dinding markas. Suasana di ruang briefing terasa dingin, hampir sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki para perwira yang berkeliling dengan wajah serius. Satu tangan Satya menyentuh dagunya, sementara matanya mengikuti pergerakan pasukan yang terencana. Tapi pikirannya tidak sepenuhnya di sini. Di balik setiap keputusan yang ia buat—setiap arahan yang ia beri—ada Reina. Pesan samar yang disampaikan pagi tadi… "Mendaki gunung, gak ada sinyal"—kata-kata itu berputar-putar dalam kepalanya, tak bisa ia pahami sepenuhnya. Perasaan tidak tenang menggigitnya, sesuatu yang jarang ia rasakan dalam situasi perang atau medan tugas. Namun, ini bukan waktunya untuk melibatkan perasaan pribadi. Dia seorang prajurit, pemimpin, bukan suami yang tengah terluka karena ketidakpastian. Satya menarik napas panjang dan menatap peta di depannya lagi. "Komandan Satya," suara Mayor Irwan mengalihkan fokusnya. "Rencana serangan di sektor timur su
Satya membuka pintu dengan satu tarikan pelan. Lampu temaram menyinari sudut ruangan, dan Reina duduk di ujung ranjang—mata waspada, tubuh pun kaku. Satya menarik napas. Bau antiseptik bercampur aroma lembut rambut Reina menyambutnya.Ia duduk tanpa suara di sebelahnya. Jarak itu cukup dekat untuk merasakan panas tubuh Reina, tapi cukup jauh untuk menyembunyikan detak jantungnya sendiri.“Lama banget, baru nongol,” suara Reina menyentak, tajam. Tapi Satya tahu—di balik sinisme itu, ada harap yang tak terucap.“Jangan terlalu dramatis,” jawabnya datar. “Aku tidak pernah menjanjikan apa-apa.”Reina mengangkat alis. “Oh, maaf komandan, aku lupa aku ini cuma figuran di sandiwara agungmu.”Satya menoleh perlahan, mengamati sorot matanya. “Tepat. Dan sebagai figuran, kau seharusnya tahu diri.”Wajah Reina memerah. Ia menggigit bibirnya, lalu menggerutu, “Baru juga kukira kau bakal datang bawa oleh-oleh... ternyata datang-datang langsung ngegas. Gak salah kamar, Mayor?”Satya berdiri. Melepa
Suara langkah para pengawal menggema di sepanjang lorong marmer istana, membawa hawa kegelisahan yang menyeruak ke seisi ruangan. Di dalam ruang kerja sang raja, Raja Mahesa duduk dengan mata tajam menatap selembar foto yang baru saja dilemparkan ke atas meja. Foto itu buram, hanya menampilkan sisi wajah seorang perempuan muda yang tersenyum samar, mengenakan gaun pengantin sederhana. Di sisi lain meja, Pangeran Arvid berdiri kaku. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi, namun jemarinya yang saling menggenggam di balik punggungnya memperlihatkan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan. Raja Mahesa tiba-tiba bangkit dari duduknya. Suara kayu kursi yang bergesek dengan lantai bergema tajam, disusul oleh suara benda berat yang dilemparkannya ke dinding. Sebuah hiasan logam pecah menghantam lantai, serpihannya memantulkan cahaya lampu gantung yang gemetar. "Apa yang Satya pikirkan?!" suara Raja Mahesa meledak. "Berani-beraninya dia menikah secara sembunyi-sembunyi?! Menyembunyikan istri
Kereta telah tiba di stasiun Kota Ghana, dan suasana stasiun yang ramai dengan pedagang dan penumpang yang berlalu-lalang sedikit banyak menghilangkan kecanggungan Reina. Namun, dia tetap merasa ada sesuatu yang berbeda, terutama dengan keberadaan Ditto yang selalu mengawasi setiap gerakan mereka.Setelah turun dari kereta, mereka berjalan menuju area parkir, dan Malik, yang berada di samping Reina, segera memberi hormat kepada Letnan Ditto, yang lebih dulu berdiri tegak di depan mereka. Sikap Malik yang sungkan menunjukkan bahwa ia tahu betul posisi Ditto."Kalian mau ke mana, biar saya antar. Saya sendiri liburan sendiri di sini terasa jenuh!" "Terima kasih, Letnan," ujar Malik, mencoba bersikap ramah. "Tapi kami bisa naik taksi ke tempat tujuan."Ditto, dengan sikap yang tenang namun penuh kewaspadaan, tidak langsung menjawab. Ia menatap Malik sejenak, lalu dengan nada yang cukup santai namun penuh perhatian. Malik tampak sedikit ter
Sudah seminggu sejak Satya pergi tanpa kabar, dan Reina merasa ada sesuatu yang aneh. Meskipun pernikahan mereka hanya pernikahan kontrak, namun di mata hukum dan agama, mereka sah sebagai suami istri. Tapi yang lebih mengejutkan adalah perasaan yang tumbuh di dalam dirinya, sesuatu yang lebih dari sekadar kewajiban. Kadang-kadang, Reina akan tersenyum sendiri, merasa aneh dengan dirinya yang semakin terikat pada Satya, meskipun mereka hanya sepasang suami istri di atas kertas.Saat itu, di atas ranjang, Malik tampak sedang tidur terbalik dengan kepala di bawah, benar-benar tampak seperti tidak tahu arah. Reina hanya memandangi tubuh Malik yang tergantung terbalik, agak gelisah. Dia tahu, selama seminggu ini, mereka sudah cukup dekat dalam hal percakapan, meskipun terkadang Malik bisa membuat suasana jadi canggung.Tiba-tiba, tanpa diduga, kepala Malik melongok dari atas ranjang, seperti kelinci keluar dari lubang. Reina yang sedang melamun langsung terkejut dan ha
Suara langkah sepatu hak tinggi memecah keheningan lorong. Para pelayan menunduk dengan gugup saat Putri Nayla, putri dari Menteri Militer tertinggi, melangkah cepat dengan wajah menegang. Kabar pernikahan diam-diam Mayor Satya telah sampai ke telinganya. Dan Nayla—yang pernah menjadi tunangannya—tak akan membiarkan harga dirinya diinjak begitu saja. Ia mendorong pintu paviliun tanpa mengetuk, hingga dua penjaga di luar bereaksi kaget. Satya berdiri di dalam, baru saja melepaskan sarung tangan kulit dan menaruhnya di atas meja. Tatapannya langsung bertemu dengan mata Nayla yang berkobar emosi. “Kau sudah menikah?” Suaranya tegas namun bergetar. “Tanpa izin, tanpa pengumuman, tanpa... penjelasan apa pun?” Satya tidak bergeming. “Pertunanganku denganmu telah dibatalkan sejak dewan kerajaan memilih calon pengantin dari Negeri Malaca. Bukankah kau sendiri yang mundur dari perjanjian itu?” Nayla tertawa getir. “Aku mundur karena aku tahu ini demi rakyat! Tapi bukan berarti aku bisa
Di ruang perawatan rumah sakit militer, Reina duduk di ranjang sambil memegang buku catatan medis yang sebenarnya tak ia pahami isinya. Rambutnya masih disembunyikan di balik topi rajut, wajahnya tampak lesu. Di sisi lain ruangan, Ditto bersandar santai di kursi dengan kaki disilangkan, mengenakan seragam ajudan, tampak terlalu tenang untuk seseorang yang sedang menjalankan tugas."Ini udah hari keberapa ya?" gumam Reina."Dua," jawab Ditto cepat, tanpa menoleh. "Tapi kalau kamu tanya 'udah berapa kali kamu ngeluh hari ini', itu udah lima kali.""Lucu banget." Reina pun mendengus. Ditto akhirnya menoleh, tersenyum jahil. "Kamu nggak biasa diurusin orang ya? Biasanya kamu nyamar dan kabur sebelum sempat luka, gitu?""Satya... dia ke ibu kota untuk urusan apa?""Saranku, lebih baik kamu jalanin tugasmu sebagai istri bayaran tanpa harus tahu apa yang dia lakukan. Ini lebih baik untuk dirimu."Reina terdiam. Baru akan menjawab, ketika pintu kamar terbuka sedikit—cukup untuk seorang kepal
Di aula utama istana kerajaan Ghana, deretan kursi dipenuhi oleh para pejabat tinggi negara. Dinding-dinding marmer putih dipenuhi lambang kerajaan, dan di ujung ruangan, Raja Mahesa duduk dengan tenang di singgasananya, namun aura ketegangan jelas terasa.“Pangeran Ardian sudah bergerak terlalu jauh,” ujar Menteri Dalam Negeri dengan nada serius. “Aliansi mereka dengan negeri Malaca tak bisa dianggap remeh.”“Dia bukan lagi seorang pangeran,” sahut Menteri Pertahanan, Jenderal Wiratma. “Dia pengkhianat. Kita tidak bisa terus menahan diri.”Suara-suara mulai meninggi. Sebagian besar pejabat sepakat bahwa langkah tegas harus segera diambil.Kepala Badan Keamanan Nasional, Marsekal Raka, maju ke tengah ruangan dan memberi hormat. “Paduka, dengan segala hormat, kami meminta izin agar Mayor Satya segera diturunkan ke garis depan. Hanya dia yang cukup cakap dan disegani di medan seperti ini.”“Apakah Mayor Satya sudah kembali dari misi penyelamatan?” tanya Raja Mahesa, nadanya tetap tenang
Helikopter kembali berguncang halus sebelum akhirnya stabil. Di dalam kabin, suasana mulai sedikit tenang. Beberapa perawat memeriksa kondisi para peserta, sementara Satya duduk diam di sisi Reina, matanya tetap waspada. Tio duduk tidak jauh dari mereka, berbalut selimut dan infus di tangan. Ia melirik ke arah Reina... untuk kesekian kalinya. Reina mencoba menghindari tatapan itu, memalingkan wajah ke jendela kecil helikopter, pura-pura tertarik pada lanskap hutan yang kini terlihat seperti guratan hijau kelam di bawah awan. Namun Tio tetap memperhatikan. Akhirnya, ketika perawat meninggalkan sisi mereka sebentar, Tio bersuara—pelan, hanya untuk Reina. "Rei." Reina menoleh sedikit. “Apa?” Tio menyipitkan mata. “Aku cuma mau tanya... kamu tuh sebenernya... cowok kan?” Reina terdiam. Napasnya sempat tertahan. “Kenapa nanyanya gitu?” suaranya nyaris normal, tapi ada ketegangan halus. Tio mengangkat bahu, masih dengan senyum santainya. “Gak tahu. Feeling aja. Pas kamu jatuh tadi