Asap mesiu masih menguar di udara saat suara derap kaki terdengar dari segala penjuru. Kapten Satya Yudha Pratama berdiri di tengah reruntuhan desa kecil, dikepung puluhan pemberontak bersenjata lengkap.
Di sekelilingnya, para prajuritnya telah gugur atau tertangkap. Hanya dia seorang yang tersisa. Seorang pemberontak bertubuh besar melangkah mendekat, menyeringai puas. “Kapten besar dari Malaca jatuh ke perangkap kami seperti tikus bodoh.” Tawa mencemooh bergema. “Katanya kau legenda di medan perang. Nyatanya? Kau hanya manusia biasa.” Satya tetap diam, ekspresinya tak berubah. Matanya menyapu medan—reruntuhan, mayat bergelimpangan, senjata yang berserakan. Seorang pemberontak lain menodongkan senapan ke arahnya. “Menyerahlah. Pangeran Ardian pasti akan membayarmu mahal jika kami menyerahkanmu hidup-hidup.” Alih-alih takut, Satya tersenyum tipis. “Kalian pikir aku masuk perangkap?” Para pemberontak mengernyit. Saat itu juga—Satya bergerak. Dengan kecepatan luar biasa, ia merunduk, meraih pistol dari pinggangnya, dan— Dor! Dor! Dor! Tiga pemberontak tumbang sebelum mereka sempat bereaksi. Satya berputar, meraih granat asap dari saku rompinya, lalu melemparkannya ke tanah. Boom! Asap putih memenuhi udara, menciptakan kekacauan. Satya menerjang ke depan, melumpuhkan dua orang dengan serangan tangan kosong, merampas senjata mereka, lalu menghilang di balik reruntuhan. “Tangkap dia! Jangan biarkan dia kabur!” Namun, saat pemberontak mulai menembak secara membabi buta, Satya sudah melesat ke dalam kegelapan. Setelah berlari menerobos hutan dan medan berbatu, Satya akhirnya berhenti. Dadanya naik turun, keringat membasahi pelipisnya. Di depannya, hanya ada jurang terjal dengan sungai deras mengalir di bawahnya. Satya menyeringai pahit. “Sial.” Tak ada jalan lain. Pemberontak mulai muncul dari balik pepohonan. “Sudahlah, Kapten. Akui saja kekalahanmu!” Satya menoleh, memberikan senyum menantang. “Lebih baik mati sebagai pejuang daripada hidup sebagai tawanan.” Tanpa ragu, ia melompat. Tubuhnya melayang di udara sebelum akhirnya menghantam permukaan air yang dingin dan deras. Arus sungai menggulung tubuh Satya tanpa ampun. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya akibat benturan dengan bebatuan tajam. Napasnya pendek, kesadarannya mulai mengabur. Hingga akhirnya—tubuhnya tersangkut di batang pohon tumbang di tepian sungai. Di bawah rindangnya pepohonan, Letnan Satu Reina Wardhani sedang membersihkan lukanya dengan kain dari sobekan pakaiannya yang dibasahi air sungai. Awalnya, ia mengira hanya kayu atau hewan yang terjebak arus. Namun, saat mendekati tepian, matanya membelalak. Seorang pria tergeletak di sana—berlumuran darah, dengan luka-luka di tubuhnya. Naluri militernya langsung bekerja. Dengan sigap, Reina meraih pistol dan mendekati sosok itu dengan waspada. Begitu melihat wajah pria itu, matanya membesar. “Kamu siapa?” Ia berlutut, memeriksa denyut nadi di leher pria itu. Napasnya berat dan tidak teratur, tapi masih ada. Mata Reina beralih ke luka-lukanya—luka tembak di lengan yang sudah mengering tapi berbahaya, dahi sobek, lebam di mana-mana. “Sial, kau hampir mati.” Dengan cepat, Reina merobek kain dari pakaiannya, membalut luka di lengan Satya. Pria itu bergerak lemah, mengerang pelan. Reina menampar pipinya pelan, mencoba membangunkannya. “Jangan mati di sini.” Namun, Satya tetap tak memberi respons selain desahan pelan. Reina menggigit bibirnya, berpikir cepat. Mereka ada di tengah hutan, yang dia sendiri tidak tahu di mana. Tak ada alat komunikasi, tak ada tim medis. Satu-satunya pilihan adalah membawanya ke tempat yang lebih aman. Ia menarik napas dalam. “Sial, kau berat.” Dengan susah payah, Reina menarik tubuh Satya ke punggungnya. Kress… Kress… Suara langkah kaki di kejauhan membuat Reina membeku. “Lapor! Tidak ada jejak di sebelah barat!” Reina menahan napas. Musuh masih mencari. Tak ada pilihan lain. Dengan langkah cepat tapi senyap, Reina menyelinap di antara pepohonan. Di punggungnya, Satya bergerak sedikit, mengerang pelan. “K-kamu... siapa?” “Diam.” “K-kenapa... aku di sini?” “Kau hampir mati,” sahut Reina tajam. “Jangan banyak bicara.” Satya ingin protes, tapi tubuhnya terlalu lemah. Ia hanya bisa pasrah. Setelah perjalanan panjang, Reina akhirnya melihat sesuatu—sebuah perkampungan kecil yang tampak ditinggalkan. Tanpa pikir panjang, ia memasuki kampung itu, memastikan tidak ada ancaman sebelum membawa Satya masuk ke rumah kosong. Rumah itu berantakan, seperti sudah lama ditinggalkan. Reina membaringkan Satya di atas lantai kayu yang berdebu, lalu bergegas mencari sesuatu yang bisa digunakan. Ia menemukan beberapa pakaian tua di lemari yang setengah terbuka. “Lumayan.” Dengan cepat, Reina mengganti pakaiannya yang basah dan kotor. Kemudian, ia kembali ke Satya yang mulai sadar dan mengganti pakaiannya. Mata pria itu samar-samar menatapnya. “Kamu... siapa?” Reina tak menjawab. Alih-alih, ia berlutut, menatapnya tajam dan mengganti pakaiannya. “Dengar, di luar sana sepertinya mereka masih mencarimu. Aku tidak tahu kamu siapa dan ini di mana, tapi kamu terhanyut di hadapanku dan aku harus menolongmu. Sekarang aku harus mengecoh mereka.” Satya berusaha berbicara, tapi Reina menekan bahunya lembut. “Jangan khawatir. Aku pasti kembali.” Tanpa sadar, liontin milik Reina terjatuh. Satya, yang masih lemah, melihat benda itu berkilau di lantai. Ia mencoba mengangkat tangannya, tapi kekuatannya belum kembali. Reina tak menyadari liontin itu jatuh. Ia sudah menyelinap keluar, meninggalkan Satya seorang diri di rumah itu. Di luar, bayangan Reina menghilang di antara rumah-rumah kosong. Satya hanya bisa berbaring, menatap langit-langit rumah yang mulai retak. Di pikirannya, hanya satu pertanyaan yang mengganggu. Siapa sebenarnya wanita itu? Di tengah hutan, Reina bergerak cepat di antara pepohonan. Dia sengaja menimbulkan sedikit suara, membuat jejak yang bisa menarik perhatian musuh. “Lapor, ada jejak di timur!” teriak salah satu pemberontak. Senyum tipis terukir di bibir Reina. Mereka terpancing. Ia terus bergerak, menembakkan satu peluru ke udara untuk memastikan perhatian mereka tetap tertuju padanya. “Kejar dia!” Reina berlari lebih dalam ke hutan, menghindari tembakan yang mulai dilepaskan ke arahnya. Dia menahan napas, menekan tubuhnya ke tanah saat sebuah peluru hampir mengenainya. Pemberontak semakin mendekat. Reina harus berpikir cepat. Ia melihat sebuah batu besar di dekatnya dan segera bersembunyi. Saat seorang pemberontak melewatinya, Reina menyergap, menjatuhkan pria itu dengan cekatan sebelum melumpuhkannya. Namun, peluru di senjatanya semakin menipis. Jika dia tetap di sini terlalu lama, dia bisa mati sebelum berhasil kembali ke desa. Maka, dengan strategi terakhirnya, ia menembakkan peluru terakhirnya ke arah yang berlawanan—membuat seolah-olah dia bergerak ke arah lain—lalu menyelinap ke jalur lain yang lebih aman. Saat suara langkah kaki musuh menjauh, Reina tahu ia berhasil. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera bergegas kembali ke desa. Namun, begitu ia tiba, dunia seakan berhenti berputar. Asap hitam membubung tinggi, menyelimuti langit dengan warna kelam. Api masih menyala, melalap sisa-sisa rumah yang kini hanya tinggal puing-puing. Desa itu... sudah hancur. Reina berdiri mematung, matanya membelalak. Ia menelan ludah, lalu berlari ke arah rumah tempat ia meninggalkan pria yang belum sempat ia tanya namanya. Langkahnya terhenti begitu melihat mayat-mayat bergelimpangan, hangus terbakar. Dan di bawah reruntuhan rumah yang telah ambruk, ia melihat sesuatu. Sebuah tangan menjulur dari bawah kayu yang terbakar. Tangannya bergetar saat ia mendekat. Tidak... Reina menarik puing-puing yang menutupi tubuh itu. Wajahnya membeku. Dadanya terasa sesak. Di sana, tergeletak tubuh pria tak bernyawa, hangus terbakar. Reina tersentak mundur, napasnya memburu. Pikirannya menolak untuk menerima kenyataan. “Tidak... ini tidak mungkin...” Tangannya terangkat, gemetar, saat menyentuh wajah pria yang kini tak lagi bernyawa dan sudah tak bisa dikenali lagi. “Aku...” Suaranya tercekat. Air matanya jatuh, menetes di pipinya yang berdebu. “Aku yang meninggalkanmu...” Tangisnya pecah. Ia menutup wajah dengan tangannya, bahunya bergetar hebat. Jika saja ia tidak pergi... jika saja ia bertahan sedikit lebih lama... Ini salahnya. Semuanya... salahnya.Reina terbatuk, asap tebal masih membekas di tenggorokannya saat dia berjalan tertatih di antara pepohonan. Panas dari kebakaran semalam masih terasa di kulitnya, meski kini hanya ada kegelapan dan hawa lembab hutan yang menyelimutinya. Kakinya yang terluka berusaha melangkah stabil di atas tanah berlumpur. Tak ada tanda-tanda kehidupan, hanya suara serangga dan sesekali lolongan binatang buas yang menggema dari kejauhan.Dia tak tahu sudah berapa lama berjalan, mungkin berjam-jam, mungkin lebih. Yang dia tahu, dia harus terus bergerak. Berhenti berarti kematian, dan Reina bukan tipe orang yang menyerah begitu saja.Ketika sinar matahari mulai menembus celah dedaunan, Reina melihat sesuatu di kejauhan—gubuk-gubuk kayu yang berdiri di sepanjang sungai. Matanya menyipit, memperhatikan lebih jauh. Ada orang-orang di sana, sebagian berpakaian lusuh, sebagian bersenjata. Jantungnya berdegup lebih cepat saat dia menyadari bahwa dia telah tersesat di wilayah Ghana.Ini adalah daerah konflik.
Suasana lapangan akademi terasa menegangkan. Semua siswa berdiri tegap di bawah terik matahari, menunggu kedatangan instruktur baru yang kabarnya seorang veteran perang. Desas-desus menyebar bahwa pria ini bukan hanya sekadar tentara biasa—dia seseorang yang selamat dari neraka perang dan kembali dengan reputasi mengerikan.Reina berdiri di barisan tengah, berusaha tetap tenang seperti siswa lain. Namun, begitu seorang perwira memasuki lapangan dengan langkah tegap dan penuh wibawa, tubuhnya langsung menegang.Pria itu…Wajah yang selama tiga bulan ini ia kira sudah mati, kini berdiri di hadapannya dalam balutan seragam militer dengan pangkat Mayor Jantung Reina berdegup kencang. ‘Tidak mungkin….’ Ia mengira pria itu mati dalam kebakaran. Pria yang seharusnya sudah tiada, berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam yang menembus barisan para siswa. Reina menelan ludah.Mayor itu menatap sekeliling sebelum berbicara. “Nama saya Satya. Mulai hari ini, saya akan menjadi instruktur kali
Reina sudah merasa ada yang aneh sejak latihan pagi tadi.Sejak tiba di kamp pelatihan ini, ia telah berusaha menyamar dengan baik—mengenakan pakaian longgar, merendahkan suaranya, dan menahan diri agar tidak menunjukkan reaksi mencolok. Namun, entah kenapa, sejak pertemuan pertamanya dengan Satya, pria itu memperlakukannya dengan berbeda.Latihan fisik yang seharusnya biasa tiba-tiba menjadi lebih berat. Dan yang paling menyebalkan, setiap kali ia mulai kelelahan, Satya hanya akan menatapnya dengan ekspresi datar, seolah mengamati sesuatu yang tidak ia mengerti.Apa pria itu sengaja menyiksanya?Reina mendengus kesal. Ia telah berhasil menyusup ke berbagai tempat sebelumnya, jadi kenapa sekarang justru merasa seperti tikus percobaan di tangan dingin itu? Ketika akhirnya latihan berakhir, Reina merasa cukup.Ia menuju barak perwira, mengabaikan tatapan heran dari beberapa prajurit. Langkahnya cepat, penuh tekad, dan begitu ia sampai di depan kamar Satya, ia mengetuk pintu tanpa basa-
Malam itu, Reina tak bisa memejamkan mata. Ia berguling ke sana kemari, memikirkan dua pilihan yang diberikan kepadanya—menerima hukuman atau menikah dengan Mayor Satya. Baginya, keduanya sama-sama tidak menyenangkan. Namun, saat mengingat keluarga Reihardi yang telah menerimanya, hatinya goyah. Ia harus membuat keputusan sebelum fajar.Pagi datang lebih cepat dari yang ia harapkan. Setelah apel pagi, Reina melangkah dengan hati berat menuju kamar Satya. Ia memastikan tak ada orang yang melihat sebelum mengetuk pintu. Begitu pintu terbuka, ia langsung masuk tanpa menunggu undangan, membuat Satya sedikit terkejut."Kau mau apa?" Satya bertanya dengan suara dingin.Reina menelan ludah, berdiri tegak di hadapan pria itu. "Aku setuju menikah denganmu. Tapi ada tiga syarat."Alis Satya sedikit terangkat, tapi ia tetap mempertahankan ekspresinya yang datar. "Syarat?""Pertama, kau harus menjamin keselamatan keluarga Reihardi, dan aku tidak mau kamu memaksaku melayanimu secara... fisik," uja
“Biar aku yang bawa,” suara Satya dingin dan tak terbantahkan. Sersan Hendra terkejut ketika Satya tiba-tiba mengulurkan tangan, mencegahnya membopong Reina.Hendra mengerutkan kening, ragu sejenak, tapi ia tak berani membantah. Dengan cekatan, Satya mengangkat Reina ke dalam gendongannya dan berjalan cepat menuju mobilnya.Perjalanan berlangsung dalam diam. Satya mengemudi tanpa ekspresi, sementara Reina yang masih setengah sadar hanya bisa menggeliat lemah.Namun, saat kesadarannya perlahan kembali, Reina merasakan sesuatu yang aneh. Bau antiseptik rumah sakit yang seharusnya tercium, tidak ada. Sebaliknya, ia merasakan aroma bunga dan udara yang lebih hangat.Matanya terbuka perlahan, dan yang pertama kali dilihatnya adalah langit-langit kayu berukir serta lampu gantung klasik.Ini… bukan rumah sakit.Dengan cepat, Reina mencoba bangkit, tapi tubuhnya masih terlalu lemah. Ia menoleh ke samping dan langsung terkejut melihat sosok Satya duduk di kursi, membaca dokumen dengan ekspresi
Reina duduk di sofa hotel dengan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya. Ia masih tidak percaya bahwa pernikahan itu benar-benar terjadi. Satya yang duduk di seberangnya tampak serius berbicara dengan Letnan Dito.Reina yang awalnya malas mendengarkan, tiba-tiba merasa penasaran. Perlahan, ia bangkit dan berusaha mendekat tanpa suara. Ia merapatkan tubuh ke tembok di dekat mereka, memasang telinga sebaik mungkin."Kau yakin ini keputusan yang tepat?" suara Dito terdengar serius."Aku tak punya pilihan lain. Ini harus dilakukan," jawab Satya tegas."Kalau begitu, aku akan mengurus dokumen-dokumennya."Reina semakin menajamkan pendengarannya. Apa yang harus dilakukan? Dokumen apa? Jangan-jangan Satya sedang merencanakan sesuatu yang buruk?Ia berjinjit lebih dekat, namun sialnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan karena gaun pengantinnya dan...Bruk! Reina jatuh ke lantai dengan posisi tengkurap.Dito dan Satya langsung menoleh. Dito menahan tawa sementara Satya hanya menatapnya d
Tengah malam, Reina yang baru saja berusaha memejamkan mata dikejutkan oleh suara pintu yang terbuka pelan. Ia menoleh dan melihat Satya masuk ke dalam kamar tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dengan langkah tenang, pria itu langsung merebahkan diri di sisi tempat tidur, membelakangi Reina seolah kehadirannya bukan masalah besar.Reina yang masih dalam keadaan setengah mengantuk langsung terjaga sepenuhnya. Ia bangkit dan menatap Satya dengan tatapan tak percaya. “Hei, kau salah kamar!” bisiknya tajam.Tanpa mengubah posisi, Satya hanya menghela napas. “Tidur saja. Tak perlu cemas, aku tidak akan mengganggumu.”Mata Reina menyipit curiga. “Kau pikir aku akan percaya begitu saja?”“Sebagai siswa tentara, bukankah seharusnya kau lebih berani? Dan bukankah kamu di asrama terbiasa tidur dengan banyak pria,” balas Satya santai.Reina mendengus, tapi ia tidak bisa membantah. Benar, sebagai tentara, ia tidak boleh takut, apalagi hanya berbagi tempat tidur dengan pria yang—sialnya—sekarang ad
Reina berjalan-jalan untuk mencari cara agar bisa melarikan diri dari Satya dan kembali ke perbatasan. Namun, upayanya terasa sia-sia. Tidak ada celah untuk kabur, dan penjagaan di sekitar markas begitu ketat. Setiap sudut wilayah ini dijaga oleh tentara yang siap siaga, membuat Reina frustasi.Kesempatan datang ketika Letnan Dito menawarkan untuk menemaninya berjalan-jalan di sekitar markas. Dengan penuh perhitungan, Reina berusaha memanfaatkan situasi itu. Saat mereka sampai di tempat yang cukup sepi, Reina berpura-pura lelah dan meminta untuk meminjam ponsel Dito."Sebentar saja, aku hanya ingin mengecek sesuatu," katanya dengan wajah meyakinkan.Dito sempat ragu, tapi akhirnya menyerahkan ponselnya. Dengan cepat, Reina mengetik nomor Arian dan mencoba menghubunginya. Namun, setiap kali ia menelepon, panggilannya selalu gagal tersambung. Ia menghela napas panjang, lalu segera menghapus jejak panggilannya dari daftar riwayat."Tolong, jangan ber
“Satya!” Langkahnya terhenti. Suara itu terlalu tajam untuk diabaikan. Ia menoleh—dan seperti yang ia duga, sosok anggun dengan sorot mata menyebalkan itu datang menghampiri dengan kepercayaan diri berlebih. Satya hanya sempat melirik ke arah Reina, yang dengan cekatan menyelinap ke balik meja pedagang kain. Reflek. Cepat. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Tapi Satya juga tahu—wanita itu akan melihat semuanya. Ia berbalik, tepat saat Naila berdiri hanya sejengkal darinya. “Aku kira kamu di perbatasan,” ucap Naila, menyentuh lengannya dengan cara yang terlalu akrab. “Ternyata kamu diam-diam kembali ke kota.” Satya tidak menepis sentuhan itu, tapi tubuhnya tetap kaku. “Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu, Naila.” “Oh, jadi sekarang kamu lebih suka menyelinap ke pasar seperti rakyat biasa?” tanyanya dengan senyum miring. “Romantis sekali... kau sendirian?” Satya tidak menjawab. Ia hanya melangkah pelan, menjauh dari meja tempat Reina bersembunyi. Naila ikut melangkah, tentu
Udara mulai sejuk saat matahari bergeser perlahan ke arah barat. Sinar emas menimpa jendela-jendela toko antik dan bangunan bergaya kolonial di distrik Kota Tua, membuat suasana sore itu seperti potongan lukisan klasik yang hangat dan hidup. Pasar seni mingguan baru saja dibuka. Musik akustik mengalun dari arah pelataran taman, aroma karamel dan kopi panggang menyelinap dari deretan kedai kecil di sepanjang jalan berbatu. Orang-orang ramai berlalu-lalang, sebagian berfoto, sebagian duduk menikmati waktu di bangku taman yang teduh oleh pepohonan tua. Satya berdiri di pinggir trotoar, tangan di saku, menatap Reina yang tengah sibuk memilih bunga kering dari stan kerajinan tangan. Wajah pria itu terlihat seperti biasa—dingin, tenang, nyaris bosan—tapi kenyataannya, ia sudah tak tahu berapa kali menghela napas sejak akhirnya menyerah pada rayuan Reina satu jam lalu. Flashback singkat—di rumah Satya: “Ayo, jalan sebentar aja… aku harus balik besok pagi,” ujar Reina dengan mata berbi
Mentari pagi menyusup lewat celah-celah jendela rumah dinas yang tenang. Aroma roti panggang dan telur orak-arik menyatu dengan udara sejuk khas distrik Selatan. Di dapur, Satya berdiri tegak di depan kompor, mengenakan kaus polos dan celana taktikal yang belum sempat diganti. Ia tampak sibuk, tapi tidak benar-benar tergesa. Setiap gerakannya tenang dan terukur—seperti biasa. Tapi, tidak ada yang benar-benar biasa pagi itu. Reina berdiri di ambang pintu, menatap punggung suaminya yang tampak enggan menyapanya. Ia masih mengenakan pakaian kasual yang sama—hoodie abu-abu dan jeans gelap. Tas kecil masih tersampir di bahu. Langkahnya ragu-ragu, seolah udara di dalam rumah ini lebih berat dari di luar. “Aku bisa bantu goreng roti kalau kamu…” katanya mencoba membuka percakapan. “Duduk saja.” Suaranya datar, nyaris tanpa nada. Reina menuruti, perlahan duduk di kursi dekat meja makan. Matanya sesekali melirik ke arah Satya, mencari-cari isyarat. Tapi yang ia temukan hanyalah punggung
Halte tua di ujung jalan distrik Istana Selatan, siang menjelang sore.Langit cerah, tapi hawa kota terasa lengang tak biasa. Reina duduk di bangku halte, mengenakan hoodie abu-abu dan celana jeans gelap. Rambutnya digerai, membuatnya tampak seperti gadis biasa—jauh dari sosok 'putri' yang selama ini disandangnya. Di sampingnya, Malik berdiri sambil mengunyah permen karet, mengenakan kaus putih dan jaket denim.“Putri Alliya, yakin nggak salah naik bus umum?” goda Malik sambil melirik kiri-kanan.Reina memutar bola mata dan menegur jahil, “Ssst! Kalau di luar, panggil aku Rei. Masa penyamaranmu gagal total kalau ngomong gitu keras-keras.”Malik terkekeh. “Baiklah, Rei. Tapi maaf ya, tetap gak bisa lupa kamu itu tentara pria ... yang nyamar jadi putri lain... dan sekarang nyamar jadi rakyat jelata. Multitalenta banget.”Reina meninju lengan Malik pelan. “Mulutmu itu, lho.”Mereka tertawa kecil. Tak ada satu pun kendaraan lewat selama hampir lima belas menit. Hanya angin yang sesekali m
Langkah Reina terhenti di depan pintu besar berukir emas. Dua penjaga membukakan jalan, dan ia melangkah masuk dengan hati sedikit berdebar. Gaun pastel yang ia kenakan malam itu terasa ringan di tubuh, tapi berat di hati. Bukan karena bahan, tapi karena identitas yang melekat padanya—Putri Alliya.Di ujung aula, Raja Mahesa duduk di kursi singgasananya, tidak mengenakan mahkota, hanya pakaian santai berwarna gading. Sorot matanya tajam, namun tidak mengintimidasi. Seperti seorang ayah yang memanggil anaknya setelah sekian lama.Reina menunduk dalam-dalam. “Hamba menghadap, Paduka.”Raja memandangi wajahnya dengan seksama, lalu tersenyum samar. “Reihardi... atau harusnya kupanggil Putri Alliya?”Reina menahan napas sejenak. Ia tidak tahu harus menjawab yang mana.Raja lalu berdiri perlahan dan berjalan mendekatinya. “Kau tahu, ketika Kolonel Bima menyerahkan laporanmu padaku, aku sempat ragu. Tapi melihatmu sekarang... aku bahkan lupa bahwa kau bukan wanita sesungguhnya.”Reina tersen
MARKAS SEMENTARA PASUKAN PERDAMAIAN PBB Perbatasan Malaca – Ghana Langit mulai meremang keemasan saat Kapten Arian kembali dari pertemuannya dengan Mayor Satya. Debu perbatasan melekat di sepatu botnya, tapi wajahnya tetap tenang, meski pikirannya penuh dengan percakapan tegang yang baru saja terjadi. Di sisi markas, tiga prajurit Indonesia berdiri sambil duduk santai di peti-peti suplai. Mereka langsung berdiri dan memberi hormat saat melihat Arian mendekat. “Siap, Kapten!” sapa salah satu dari mereka, Letda Faiz. Arian mengangguk sambil membuka helmnya. “Tenang saja. Di sini bukan barak utama. Duduk.” Mereka kembali duduk, dan Arian ikut duduk di peti di samping mereka. Ada kopi instan di termos baja yang dibagikan. Aroma yang familiar menyambut mereka di tengah wilayah netral, namun penuh ketegangan. “Kalian sempat pantau wilayah timur?” tanya Arian, membuka obrolan. “Sempat, Kapten,” jawab Sersan Bayu. “Ada patroli Malaca yang agak agresif. Tapi Ghana tetap pasif, k
Hujan baru saja reda. Tanah merah masih basah, menempel di sepatu bot dan roda kendaraan tempur. Udara dipenuhi aroma mesiu, lumpur, dan ketegangan yang sudah terlalu lama menggantung. Satya berdiri di bawah tenda taktis, peta digital terbentang di meja komando. Beberapa perwira mengelilinginya, wajah mereka lelah tapi tetap menunggu instruksi. “Pos Delta dilaporkan diserang pukul 03.17,” kata Mayor Irwan sambil menunjuk sektor B7. “Dugaan kita, kelompok pemberontak menyelinap lewat jalur selatan yang belum ditambal ulang.” Satya mengangguk. Matanya menyipit menilai rute. “Berapa lama pasukan cadangan sampai ke Delta?” “Minimal dua jam. Medan berlumpur, jalan terputus. Tapi kita bisa kirim drone pengintai dulu.” “Lakukan.” Suara Satya tetap tenang, padat, dan tanpa keraguan. Ia lalu melangkah keluar tenda, menatap langit kelabu yang menggantung rendah. Di kejauhan, suara tembakan samar masih terdengar, jauh tapi terasa dekat di dadanya. Sebagai pemimpin, dia terbiasa dengan keka
Reina berdiri tegak di depan gerbang belakang istana. Udara pagi masih basah oleh embun, tapi keringat dingin sudah merembes di pelipisnya. Di balik gerbang itu, identitas lamanya akan dikubur. Di dalamnya, bukan Reina, bukan Serda Reihardi, tapi seseorang yang harus ia mainkan dengan sempurna, Putri Alliya—darah bangsawan Ghana yang sudah lama dikabarkan wafat. "Gerbang akan dibuka. Identifikasi," suara datar penjaga menghentikan pikirannya. Reina menunjukkan kartu kode merah yang tadi pagi diberikan kapten Jian. Sidik jarinya dipindai. Sepuluh detik menegangkan sebelum lampu indikator berubah hijau. Pintu besi terbuka pelan. Sambutan pertama bukan karpet merah, tapi lorong batu sunyi dan kamera tersembunyi di setiap sudut. Di ujung lorong, seorang wanita berusia sekitar empat puluhan menunggunya. Tegas. Dingin. Mengenakan seragam pelatih istana berwarna hitam. “Namaku, Marise. Mulai detik ini, kau adalah Alliya. Bukan Reihardi. Kau bukan siapa-siapa selain dia. Lupakan semua k
Langkah-langkah sepatu bot berdenting di atas lantai marmer putih. Reina mengikuti Malik masuk ke ruang rapat istana. Interiornya megah, tapi tidak ada waktu untuk mengagumi detail. Semua orang di ruangan itu adalah perwira tinggi, dan tidak satu pun dari mereka terlihat santai.Ia mengambil tempat di barisan belakang. Malik duduk di sebelah kiri, dua prajurit senior yang tidak dikenalnya ada di kanan. Reina tidak menunjukkan apa-apa di wajahnya, tapi tetap saja—ini aneh. Seorang lulusan baru dipanggil ke rapat rahasia di lingkungan istana?Kolonel Bram membuka rapat dengan nada berat.“Mandat langsung dari kerajaan. Pangeran Satya akan dijodohkan dengan Putri Salima dari Kerajaan Malaca. Pengamanan akan ditingkatkan secara besar-besaran.”Reina nyaris tak bereaksi, tapi nama itu... Satya. Terlalu familiar. Otaknya mulai bekerja. Tak mungkin. Mayor Satya? Nama itu tidak pernah disebut dengan gelar.“Kendala utama,” Bram melanjutkan, “Putri Salima menolak dikawal oleh tentara pria. Sed