Share

Hukuman Menikah

Penulis: Fei Adhista
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-05 21:46:23

Reina sudah merasa ada yang aneh sejak latihan pagi tadi.

 

Sejak tiba di kamp pelatihan ini, ia telah berusaha menyamar dengan baik—mengenakan pakaian longgar, merendahkan suaranya, dan menahan diri agar tidak menunjukkan reaksi mencolok. Namun, entah kenapa, sejak pertemuan pertamanya dengan Satya, pria itu memperlakukannya dengan berbeda.

 

Latihan fisik yang seharusnya biasa tiba-tiba menjadi lebih berat. Dan yang paling menyebalkan, setiap kali ia mulai kelelahan, Satya hanya akan menatapnya dengan ekspresi datar, seolah mengamati sesuatu yang tidak ia mengerti.

 

Apa pria itu sengaja menyiksanya?

 

Reina mendengus kesal. Ia telah berhasil menyusup ke berbagai tempat sebelumnya, jadi kenapa sekarang justru merasa seperti tikus percobaan di tangan  dingin itu? Ketika akhirnya latihan berakhir, Reina merasa cukup.

 

Ia menuju barak perwira, mengabaikan tatapan heran dari beberapa prajurit. Langkahnya cepat, penuh tekad, dan begitu ia sampai di depan kamar Satya, ia mengetuk pintu tanpa basa-basi.

 

Tidak ada jawaban.

 

Reina mengernyit. Ia mengetuk lebih keras, tapi tetap sunyi.

 

Merasa makin kesal, ia menarik napas dalam dan bersiap mengetuk sekali lagi—namun sebelum tangannya menyentuh pintu, pintu itu terbuka.

 

Dan di sanalah Satya berdiri, hanya dengan handuk melilit di pinggangnya.

 

Reina langsung membeku. Uap masih mengepul dari tubuhnya, rambutnya yang biasanya tertata rapi kini sedikit basah dan berantakan. Cahaya lampu dari dalam kamar menerangi kulitnya yang masih lembap, memperjelas otot-ototnya yang terlihat lebih tajam dalam pencahayaan redup.

 

Untuk pertama kalinya sejak tiba di tempat ini, Reina kehilangan kata-kata.

 

Satya menatapnya datar. “Kalau kau datang untuk marah-marah, sebaiknya pilih waktu yang lebih baik.”

 

Reina mengedip, berusaha mengembalikan fokusnya. Ia mengabaikan panas yang merambat ke wajahnya dan berusaha tetap tenang. “Aku ingin tahu kenapa Anda terus memperlakukanku berbeda dari yang lain.”

 

Satya tidak menjawab. Ia justru mencondongkan tubuhnya sedikit, menatap Reina dengan sorot mata tajam.

 

Lalu, tanpa peringatan, ia mengulurkan tangan dan menarik kerah baju Reina dengan cepat.

 

Reina tersentak, tapi sebelum sempat mundur, Satya sudah berbisik di telinganya. “Kau ingin tahu kenapa?”

 

Jantung Reina berdebar.

 

Satya melepaskannya dan melangkah mundur, ekspresinya tetap setenang sebelumnya. “Karena aku tahu sejak awal bahwa kau perempuan.”

 

Dunia Reina seakan berhenti.

 

“A—apa?”

 

Satya menyeringai tipis, tapi tatapannya tetap tajam. “Aku sudah tahu sejak pertama kali melihatmu. Tapi aku ingin melihat sejauh mana kau bisa bertahan dengan penyamaran konyol itu.”

 

Reina merasa wajahnya memanas—bukan karena malu, tapi karena marah. Sementara Satya kembali ke kamar mandi untuk mengenakan bajunya.

 

Di dalam kamar yang remang-remang, Reina dan Satya duduk berhadapan. Meja di antara mereka terasa seperti garis tak kasatmata yang memisahkan dua pihak yang saling menilai.

 

Satya bersandar di kursinya, matanya dingin dan penuh perhitungan. Tatapan tajamnya seperti menembus kedalaman pikiran Reina, menuntut jawaban. Reina, yang tadinya sempat tersulut amarah, kini duduk dengan sikap lebih terkendali. Napasnya teratur, ekspresinya datar, seolah telah mengubur emosinya jauh di dalam.

 

“Jelaskan,” perintah Satya dengan nada datar. Reina tetap terdiam.

Satya tidak terburu-buru. Ia menatapnya beberapa saat, lalu dengan tenang, ia mengambil sebuah map dari laci mejanya. Dengan gerakan lambat yang disengaja, ia meletakkannya di atas meja dan membukanya.

 

Di dalamnya, terdapat berkas seseorang—Reihardi. Reina menajamkan matanya, tetapi tidak bereaksi.

 

Satya menyilangkan tangan di dadanya. “Kau ingin tetap diam? Baik. Tapi aku harap kau tahu, dengan menyamar seperti ini, kau telah melanggar banyak aturan. Dan bukan hanya kau yang akan menerima hukuman.”

 

Jari Satya mengetuk berkas itu, menciptakan bunyi yang bergema di kamar yang sunyi. “Aku bisa menghukum kalian berdua. Reihardi, karena bersekongkol denganmu, kau, dan orang tuanya, karena memalsukan identitas.”

 

Reina tetap tenang, meskipun di dalam dirinya, ia sudah memperhitungkan berbagai kemungkinan.

 

Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa panjang, ia berbicara. “Aku tidak bersekongkol dengan Reihardi.”

 

Satya menaikkan satu alis. “Jadi?”

 

Reina menarik napas, lalu menatap Satya dengan mata penuh keyakinan. “Aku adalah kakak sepupunya.”

Satya tetap diam, menunggu.

“Saat kecil, aku hampir kehilangan nyawa. Keluargaku tidak mampu membiayai pengobatan. Tapi keluarga Reihardi mengambilku, merawatku, dan memastikan aku bertahan.” Reina menegakkan punggungnya. “Aku berhutang nyawa pada mereka.”

 

Satya mengamati setiap kata yang keluar dari mulut Reina, mencoba mencari kebohongan di sana.

 

“Reihardi tidak cukup kuat untuk mengikuti pelatihan ini,” lanjut Reina. “Aku tidak bisa diam saja melihatnya dipaksa menjalani sesuatu yang tidak sanggup ia tanggung. Jadi aku menggantikannya.”

 

Satya tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Tidak ada kejutan, tidak ada amarah. Yang ada hanyalah tatapan tajam yang seolah masih menimbang-nimbang kata-kata Reina.

 

Hening menyelimuti ruangan.

 

Setelah beberapa saat, Satya menghela napas pelan. “Kau pikir tindakanmu bisa dibenarkan?”

 

Reina tidak menghindari tatapannya. “Aku tahu ini melanggar aturan, tapi jika harus memilih, aku tetap akan melakukan hal yang sama.”

 

Mata mereka bertemu, dan kali ini, Reina merasa sesuatu yang berbeda dari tatapan Satya.

 

Reina menatap Satya dengan mata yang penuh harap. “Jangan libatkan mereka. Aku yang bertanggung jawab. Aku yang seharusnya dihukum, bukan mereka.”

 

Satya tetap duduk dengan tenang di kursinya, tatapannya dingin dan tajam. Ia tak tergerak oleh permohonan Reina. “Aturan tetap aturan, Nona. Tidak ada pengecualian.”

 

Reina mengepalkan tangannya di atas meja, napasnya terasa berat. “Mereka tidak tahu apa-apa! Jika kau menghukum mereka, itu tidak adil!”

 

Satya menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatapnya tanpa belas kasihan. “Keadilan bukan soal perasaan. Ini tentang aturan. Reihardi dan keluarganya akan menerima konsekuensinya, karena dia telah menyelundupkanmu di sini.”

 

Reina merasa tubuhnya melemas. Ia telah memperkirakan segala kemungkinan, tetapi ia tidak menyangka bahwa Satya akan begitu tegas dan tanpa kompromi.

 

“Tidak, aku tidak bisa membiarkan ini terjadi,” batin Reina.

 

Matanya mulai berkabut, tetapi ia menolak menangis. Ia harus tetap kuat. Ia harus mencari jalan keluar.

 

Satya memperhatikannya dalam diam, lalu akhirnya ia berbicara lagi dengan suara yang lebih tenang, namun tetap tajam. “Namun, aku bisa memberimu satu pilihan.”

 

Reina mengangkat wajahnya, menatapnya penuh harapan. Namun, saat Satya melanjutkan, tubuhnya seketika membeku.

 

“Terima hukuman militer seperti yang seharusnya... atau menikah denganku.”

 

Ruangan itu tiba-tiba terasa begitu sunyi.

 

Reina menatap Satya dengan mata membelalak, pikirannya mendadak kosong. “Menikah?”

 

Tubuhnya melemas seketika. Napasnya tercekat. Ia ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar, tetapi dari ekspresi Satya, ia tahu pria itu benar-benar serius.

 

“Kenapa…?” suaranya nyaris tak terdengar.

 

Satya tetap menatapnya tanpa ekspresi. “Kau tidak perlu tahu alasannya. Pilih salah satu.”

 

Reina menggigit bibirnya, tangannya gemetar di pangkuannya. Ia tidak tahu apa yang lebih menakutkan—menghadapi hukuman militer yang kejam atau harus menikahi pria yang sama sekali tidak ia pahami.

 

Namun satu hal yang pasti, ia tidak bisa membiarkan keluarga Reihardi menanggung akibat dari kesalahannya.

 

Dan itu berarti… Ia harus memilih.

 

 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Antara Misi Dan Hati    Tiga Syarat

    Malam itu, Reina tak bisa memejamkan mata. Ia berguling ke sana kemari, memikirkan dua pilihan yang diberikan kepadanya—menerima hukuman atau menikah dengan Mayor Satya. Baginya, keduanya sama-sama tidak menyenangkan. Namun, saat mengingat keluarga Reihardi yang telah menerimanya, hatinya goyah. Ia harus membuat keputusan sebelum fajar.Pagi datang lebih cepat dari yang ia harapkan. Setelah apel pagi, Reina melangkah dengan hati berat menuju kamar Satya. Ia memastikan tak ada orang yang melihat sebelum mengetuk pintu. Begitu pintu terbuka, ia langsung masuk tanpa menunggu undangan, membuat Satya sedikit terkejut."Kau mau apa?" Satya bertanya dengan suara dingin.Reina menelan ludah, berdiri tegak di hadapan pria itu. "Aku setuju menikah denganmu. Tapi ada tiga syarat."Alis Satya sedikit terangkat, tapi ia tetap mempertahankan ekspresinya yang datar. "Syarat?""Pertama, kau harus menjamin keselamatan keluarga Reihardi, dan aku tidak mau kamu memaksaku melayanimu secara... fisik," uja

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-24
  • Antara Misi Dan Hati    Tak Terduga

    “Biar aku yang bawa,” suara Satya dingin dan tak terbantahkan. Sersan Hendra terkejut ketika Satya tiba-tiba mengulurkan tangan, mencegahnya membopong Reina.Hendra mengerutkan kening, ragu sejenak, tapi ia tak berani membantah. Dengan cekatan, Satya mengangkat Reina ke dalam gendongannya dan berjalan cepat menuju mobilnya.Perjalanan berlangsung dalam diam. Satya mengemudi tanpa ekspresi, sementara Reina yang masih setengah sadar hanya bisa menggeliat lemah.Namun, saat kesadarannya perlahan kembali, Reina merasakan sesuatu yang aneh. Bau antiseptik rumah sakit yang seharusnya tercium, tidak ada. Sebaliknya, ia merasakan aroma bunga dan udara yang lebih hangat.Matanya terbuka perlahan, dan yang pertama kali dilihatnya adalah langit-langit kayu berukir serta lampu gantung klasik.Ini… bukan rumah sakit.Dengan cepat, Reina mencoba bangkit, tapi tubuhnya masih terlalu lemah. Ia menoleh ke samping dan langsung terkejut melihat sosok Satya duduk di kursi, membaca dokumen dengan ekspresi

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-25
  • Antara Misi Dan Hati    Rasa Penasaran

    Reina duduk di sofa hotel dengan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya. Ia masih tidak percaya bahwa pernikahan itu benar-benar terjadi. Satya yang duduk di seberangnya tampak serius berbicara dengan Letnan Dito.Reina yang awalnya malas mendengarkan, tiba-tiba merasa penasaran. Perlahan, ia bangkit dan berusaha mendekat tanpa suara. Ia merapatkan tubuh ke tembok di dekat mereka, memasang telinga sebaik mungkin."Kau yakin ini keputusan yang tepat?" suara Dito terdengar serius."Aku tak punya pilihan lain. Ini harus dilakukan," jawab Satya tegas."Kalau begitu, aku akan mengurus dokumen-dokumennya."Reina semakin menajamkan pendengarannya. Apa yang harus dilakukan? Dokumen apa? Jangan-jangan Satya sedang merencanakan sesuatu yang buruk?Ia berjinjit lebih dekat, namun sialnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan karena gaun pengantinnya dan...Bruk! Reina jatuh ke lantai dengan posisi tengkurap.Dito dan Satya langsung menoleh. Dito menahan tawa sementara Satya hanya menatapnya d

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-26
  • Antara Misi Dan Hati    Bab 9

    Tengah malam, Reina yang baru saja berusaha memejamkan mata dikejutkan oleh suara pintu yang terbuka pelan. Ia menoleh dan melihat Satya masuk ke dalam kamar tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dengan langkah tenang, pria itu langsung merebahkan diri di sisi tempat tidur, membelakangi Reina seolah kehadirannya bukan masalah besar.Reina yang masih dalam keadaan setengah mengantuk langsung terjaga sepenuhnya. Ia bangkit dan menatap Satya dengan tatapan tak percaya. “Hei, kau salah kamar!” bisiknya tajam.Tanpa mengubah posisi, Satya hanya menghela napas. “Tidur saja. Tak perlu cemas, aku tidak akan mengganggumu.”Mata Reina menyipit curiga. “Kau pikir aku akan percaya begitu saja?”“Sebagai siswa tentara, bukankah seharusnya kau lebih berani? Dan bukankah kamu di asrama terbiasa tidur dengan banyak pria,” balas Satya santai.Reina mendengus, tapi ia tidak bisa membantah. Benar, sebagai tentara, ia tidak boleh takut, apalagi hanya berbagi tempat tidur dengan pria yang—sialnya—sekarang ad

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-27
  • Antara Misi Dan Hati    bab 10

    Reina berjalan-jalan untuk mencari cara agar bisa melarikan diri dari Satya dan kembali ke perbatasan. Namun, upayanya terasa sia-sia. Tidak ada celah untuk kabur, dan penjagaan di sekitar markas begitu ketat. Setiap sudut wilayah ini dijaga oleh tentara yang siap siaga, membuat Reina frustasi.Kesempatan datang ketika Letnan Dito menawarkan untuk menemaninya berjalan-jalan di sekitar markas. Dengan penuh perhitungan, Reina berusaha memanfaatkan situasi itu. Saat mereka sampai di tempat yang cukup sepi, Reina berpura-pura lelah dan meminta untuk meminjam ponsel Dito."Sebentar saja, aku hanya ingin mengecek sesuatu," katanya dengan wajah meyakinkan.Dito sempat ragu, tapi akhirnya menyerahkan ponselnya. Dengan cepat, Reina mengetik nomor Arian dan mencoba menghubunginya. Namun, setiap kali ia menelepon, panggilannya selalu gagal tersambung. Ia menghela napas panjang, lalu segera menghapus jejak panggilannya dari daftar riwayat."Tolong, jangan ber

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-28
  • Antara Misi Dan Hati    Bab 11 Rumah Sakit

    Satya membawa Reina ke dalam kamar begitu mereka tiba. Tanpa banyak bicara, dia membuka laci meja dan mengambil kotak P3K. Gerakannya cepat dan efisien, seperti seseorang yang sudah terbiasa menangani luka di medan tempur."Duduk," perintahnya, suaranya tetap tegas, tapi ada nada lembut yang sulit ia sembunyikan.Reina menurut, duduk di tepi ranjang. Satya berlutut di hadapannya, membuka botol antiseptik dan menuangkannya ke kapas. Dia tidak terburu-buru, memastikan setiap gerakannya tidak menambah rasa sakit.Saat kapas menyentuh luka di lengan Reina, Satya bisa merasakan tubuh perempuan itu menegang sesaat."Sakit?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan."Enggak," jawab Reina cepat, tapi wajahnya jelas berkata lain.Satya hanya mendesah pelan. Dia tahu Reina selalu berusaha terlihat kuat, tapi itu tidak mengurangi kepeduliannya. Dengan cekatan, dia mulai membalut luka itu. Namun, gerakannya tiba-tiba terhenti saat matanya menangkap sesuatu—sebuah bekas luka lama di lengan Reina. Suda

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-29
  • Antara Misi Dan Hati    Bab 12 Alam Bebas

    Sersan Hendra menggerutu sepanjang perjalanan menuju akademi. Sudah seminggu ini ia tidak diizinkan menjenguk Reina di rumah sakit. “Mayor Satya benar-benar aneh. Dia menahan seorang siswa di rumah sakit hanya karena pingsan. Apa dia pikir Rei itu siapa?” Di sampingnya, Reina hanya tersenyum tipis sambil melihat ke luar jendela. Dalam hati, ia justru lega karena drama ini akhirnya selesai. Setibanya di akademi, Reina langsung menuju kamarnya. Teman-temannya yang sudah lama tak melihatnya segera menyambut dengan antusias. “Reihardi! Akhirnya kamu kembali! Kami pikir kamu diculik alien!” seru Daniel sambil berusaha memeluknya, tapi Reina dengan lincah menghindar. Reina terkekeh. “Rasanya lebih parah daripada diculik alien. Aku sendirian di rumah sakit tanpa boleh dijenguk siapa pun!” Teman-temannya mendekat, penasaran ingin tahu lebih banyak. “Jadi kenapa kamu sampai pingsan? Apa benar karena kelelahan?” tanya salah satu dari mereka. Reina mengangkat bahu. “Mungkin. Aku jug

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-30
  • Antara Misi Dan Hati    Bab 13

    Reina menarik napas panjang sebelum melangkah keluar menuju lapangan. Ia merasa pandangan Satya kembali tertuju padanya, tapi ia tetap menatap lurus ke depan, bergabung dengan barisan siswa lain."Baik, dengarkan baik-baik!" suara lantang Mayor Satya menggema di lapangan, membuat semua siswa terdiam. "Latihan bertahan hidup ini akan berlangsung selama tujuh hari. Kalian akan dikelompokkan dalam tim kecil, dan setiap tim harus mampu bertahan di hutan tanpa bantuan eksternal. Siapa pun yang tidak mampu mengikuti aturan, akan dievaluasi lebih lanjut dan akan menjadi tentara barusan terdepan."Suasana semakin tegang. Beberapa siswa menelan ludah, sementara yang lain tampak berusaha tetap tenang. Reina tetap diam, tetapi pikirannya berputar cepat. Ia harus tetap fokus, tidak boleh menunjukkan tanda-tanda kelemahan.Satya melanjutkan, "Setiap tim akan mendapatkan satu kompas, satu pisau, dan satu kantong air. Tidak ada makanan. Kalian harus mencari sendiri. Jangan lupa, dalam kondisi darura

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-31

Bab terbaru

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 40 Aku Mencintaimu

    Sore itu, pesta kecil digelar di taman belakang istana. Musik lembut mengalun, para tamu berbaju mewah berbincang-bincang sambil menikmati anggur dan kudapan ringan. Suasana hangat, penuh gelak tawa sopan khas para bangsawan. Aliya berdiri beberapa langkah di belakang Putri Salima, menjaga jarak sesuai protokol. Gaun putih sederhana membalut tubuh rampingnya, membuatnya mencolok di tengah keramaian yang gemerlap. Tanpa ia sadari, banyak mata melirik ke arahnya, terpikat pada kecantikan yang bersinar dalam kesederhanaan. Sementara itu, Putri Salima berjalan dengan langkah angkuh ke tengah kerumunan, kipas emas di tangan kanannya berkibar-kibar. Suara cemprengnya menggema tanpa rasa sungkan. "Tempat ini terlalu kecil untuk pesta! Seharusnya taman depan dipakai!" keluhnya keras, menghentakkan sepatunya di atas jalan berbatu. Beberapa bangsawan saling berpandangan canggung, sementara Aliya hanya menghela napas pelan. Kalau saja kau bukan putri kerajaan, Salima... mungkin sudah ada ya

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 39 Sabar Aliya

    Bandara Internasional Ghana sore itu sibuk seperti biasa. Para pelayan istana berdiri berbaris di dekat pintu kedatangan VIP, menunggu sosok penting yang akan tiba. Putri Alliya—dengan anggun dalam balutan gaun putih berpotongan sederhana namun mewah—berdiri di depan, membawa bunga penyambutan. Wajahnya tenang, tatapannya penuh kesabaran. Ini adalah tugas barunya, menjemput Putri Salima, satu-satunya putri Kerajaan Malaca, yang baru kembali dari liburan panjangnya di luar negeri. Beberapa menit kemudian, terdengar suara hak tinggi yang berderap tergesa-gesa. Seorang gadis muda berambut cokelat keemasan, mengenakan kacamata hitam besar, rok mini bermerek, dan koper berwarna merah mencolok, melenggang keluar dengan gaya yang sangat... berlebihan. Putri Salima. "Aduh, panas sekali tempat ini! Mana para pelayan? Kenapa aku harus jalan sendiri begini?!” keluh Salima keras, tak peduli banyak orang melihatnya. Aliya melangkah maju dengan senyum anggun. "Selamat datang, Yang Mulia Putri

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 38 Tamu Kehormatan

    Suasana sore di paviliun timur istana Ghana diselimuti cahaya keemasan. Angin membawa aroma khas dari taman kerajaan—melati, kayu manis, dan debu halus dari tanah yang hangat. Para pelayan sibuk menyusun perjamuan penyambutan tamu kehormatan yang baru tiba dari kerajaan sekutu. Pangeran Arvid berdiri tegak di ujung balkon, mengenakan jubah biru tua yang kontras dengan kulitnya yang kecokelatan. Tatapannya menelusuri taman—bukan untuk mencari sesuatu, lebih untuk mengalihkan pikirannya dari kekakuan protokol kerajaan yang mulai membuatnya bosan. Hingga matanya tertumbuk pada seorang wanita di sisi danau buatan. Ia belum pernah melihatnya. Gaun emas lembut yang dikenakan wanita itu menyatu dengan warna senja. Langkahnya ringan, tapi penuh keyakinan. Sesekali wanita itu menunduk, berbicara ramah pada pelayan taman yang tengah menata bunga. Tidak ada gestur sombong. Tidak ada upaya mencuri perhatian. Namun justru karena itulah—ia mencuri perhatian. Pangeran Arvid terdiam cukup lama s

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 37 Kita Hanya Tidur Seranjang

    Langit pagi masih abu-abu. Aroma kopi yang dibiarkan dingin di meja dapur menyatu dengan sunyi yang menggantung di antara mereka. Reina berdiri di ambang pintu, jaket sudah di tangan, ransel siap di punggungnya. Tapi tatapan Satya tetap menusuk, tajam dan dingin.“Kamu gak akan jelasin sama sekali?” tanya Satya akhirnya, suaranya rendah, penuh tekanan.Reina menghela napas, mengalihkan pandangan. “Sudah kubilang semalam, jangan tanya soal pekerjaanku.”“Kamu tinggal di rumah ini. Tidur di ranjang yang sama. Tapi masih bicara seolah aku orang asing.” Satya berjalan pelan, tubuhnya tegak, matanya tak berpaling.“Aku gak pernah suruh kamu ikut campur.” Suara Reina meninggi sedikit. “Justru kamu yang nikahin aku tanpa tahu siapa aku.”Satya menyipit. “Dan kamu gak pernah kasih aku kesempatan buat tahu.”Reina mendengus. “Kamu gak pernah nanya!”“Karena kamu selalu ngasih tembok setiap kali aku dekati.”Suasana mengeras. Udara di antara mereka seperti pecahan kaca—tajam dan siap melukai."

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 36 Kamu Cemburu, ya?

    “Satya!” Langkahnya terhenti. Suara itu terlalu tajam untuk diabaikan. Ia menoleh—dan seperti yang ia duga, sosok anggun dengan sorot mata menyebalkan itu datang menghampiri dengan kepercayaan diri berlebih. Satya hanya sempat melirik ke arah Reina, yang dengan cekatan menyelinap ke balik meja pedagang kain. Reflek. Cepat. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Tapi Satya juga tahu—wanita itu akan melihat semuanya. Ia berbalik, tepat saat Naila berdiri hanya sejengkal darinya. “Aku kira kamu di perbatasan,” ucap Naila, menyentuh lengannya dengan cara yang terlalu akrab. “Ternyata kamu diam-diam kembali ke kota.” Satya tidak menepis sentuhan itu, tapi tubuhnya tetap kaku. “Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu, Naila.” “Oh, jadi sekarang kamu lebih suka menyelinap ke pasar seperti rakyat biasa?” tanyanya dengan senyum miring. “Romantis sekali... kau sendirian?” Satya tidak menjawab. Ia hanya melangkah pelan, menjauh dari meja tempat Reina bersembunyi. Naila ikut melangkah, tentu

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 35 Memperhatikan Tanpa Suara

    Udara mulai sejuk saat matahari bergeser perlahan ke arah barat. Sinar emas menimpa jendela-jendela toko antik dan bangunan bergaya kolonial di distrik Kota Tua, membuat suasana sore itu seperti potongan lukisan klasik yang hangat dan hidup. Pasar seni mingguan baru saja dibuka. Musik akustik mengalun dari arah pelataran taman, aroma karamel dan kopi panggang menyelinap dari deretan kedai kecil di sepanjang jalan berbatu. Orang-orang ramai berlalu-lalang, sebagian berfoto, sebagian duduk menikmati waktu di bangku taman yang teduh oleh pepohonan tua. Satya berdiri di pinggir trotoar, tangan di saku, menatap Reina yang tengah sibuk memilih bunga kering dari stan kerajinan tangan. Wajah pria itu terlihat seperti biasa—dingin, tenang, nyaris bosan—tapi kenyataannya, ia sudah tak tahu berapa kali menghela napas sejak akhirnya menyerah pada rayuan Reina satu jam lalu. Flashback singkat—di rumah Satya: “Ayo, jalan sebentar aja… aku harus balik besok pagi,” ujar Reina dengan mata berbi

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 34 Lebih Baik Aku Tidak Tahu

    Mentari pagi menyusup lewat celah-celah jendela rumah dinas yang tenang. Aroma roti panggang dan telur orak-arik menyatu dengan udara sejuk khas distrik Selatan. Di dapur, Satya berdiri tegak di depan kompor, mengenakan kaus polos dan celana taktikal yang belum sempat diganti. Ia tampak sibuk, tapi tidak benar-benar tergesa. Setiap gerakannya tenang dan terukur—seperti biasa. Tapi, tidak ada yang benar-benar biasa pagi itu. Reina berdiri di ambang pintu, menatap punggung suaminya yang tampak enggan menyapanya. Ia masih mengenakan pakaian kasual yang sama—hoodie abu-abu dan jeans gelap. Tas kecil masih tersampir di bahu. Langkahnya ragu-ragu, seolah udara di dalam rumah ini lebih berat dari di luar. “Aku bisa bantu goreng roti kalau kamu…” katanya mencoba membuka percakapan. “Duduk saja.” Suaranya datar, nyaris tanpa nada. Reina menuruti, perlahan duduk di kursi dekat meja makan. Matanya sesekali melirik ke arah Satya, mencari-cari isyarat. Tapi yang ia temukan hanyalah punggung

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 33 Diam Yang Tak Bisa Kutebus

    Halte tua di ujung jalan distrik Istana Selatan, siang menjelang sore.Langit cerah, tapi hawa kota terasa lengang tak biasa. Reina duduk di bangku halte, mengenakan hoodie abu-abu dan celana jeans gelap. Rambutnya digerai, membuatnya tampak seperti gadis biasa—jauh dari sosok 'putri' yang selama ini disandangnya. Di sampingnya, Malik berdiri sambil mengunyah permen karet, mengenakan kaus putih dan jaket denim.“Putri Alliya, yakin nggak salah naik bus umum?” goda Malik sambil melirik kiri-kanan.Reina memutar bola mata dan menegur jahil, “Ssst! Kalau di luar, panggil aku Rei. Masa penyamaranmu gagal total kalau ngomong gitu keras-keras.”Malik terkekeh. “Baiklah, Rei. Tapi maaf ya, tetap gak bisa lupa kamu itu tentara pria ... yang nyamar jadi putri lain... dan sekarang nyamar jadi rakyat jelata. Multitalenta banget.”Reina meninju lengan Malik pelan. “Mulutmu itu, lho.”Mereka tertawa kecil. Tak ada satu pun kendaraan lewat selama hampir lima belas menit. Hanya angin yang sesekali m

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 32

    Langkah Reina terhenti di depan pintu besar berukir emas. Dua penjaga membukakan jalan, dan ia melangkah masuk dengan hati sedikit berdebar. Gaun pastel yang ia kenakan malam itu terasa ringan di tubuh, tapi berat di hati. Bukan karena bahan, tapi karena identitas yang melekat padanya—Putri Alliya.Di ujung aula, Raja Mahesa duduk di kursi singgasananya, tidak mengenakan mahkota, hanya pakaian santai berwarna gading. Sorot matanya tajam, namun tidak mengintimidasi. Seperti seorang ayah yang memanggil anaknya setelah sekian lama.Reina menunduk dalam-dalam. “Hamba menghadap, Paduka.”Raja memandangi wajahnya dengan seksama, lalu tersenyum samar. “Reihardi... atau harusnya kupanggil Putri Alliya?”Reina menahan napas sejenak. Ia tidak tahu harus menjawab yang mana.Raja lalu berdiri perlahan dan berjalan mendekatinya. “Kau tahu, ketika Kolonel Bima menyerahkan laporanmu padaku, aku sempat ragu. Tapi melihatmu sekarang... aku bahkan lupa bahwa kau bukan wanita sesungguhnya.”Reina tersen

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status