Reina duduk di sofa hotel dengan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya. Ia masih tidak percaya bahwa pernikahan itu benar-benar terjadi. Satya yang duduk di seberangnya tampak serius berbicara dengan Letnan Dito.Reina yang awalnya malas mendengarkan, tiba-tiba merasa penasaran. Perlahan, ia bangkit dan berusaha mendekat tanpa suara. Ia merapatkan tubuh ke tembok di dekat mereka, memasang telinga sebaik mungkin."Kau yakin ini keputusan yang tepat?" suara Dito terdengar serius."Aku tak punya pilihan lain. Ini harus dilakukan," jawab Satya tegas."Kalau begitu, aku akan mengurus dokumen-dokumennya."Reina semakin menajamkan pendengarannya. Apa yang harus dilakukan? Dokumen apa? Jangan-jangan Satya sedang merencanakan sesuatu yang buruk?Ia berjinjit lebih dekat, namun sialnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan karena gaun pengantinnya dan...Bruk! Reina jatuh ke lantai dengan posisi tengkurap.Dito dan Satya langsung menoleh. Dito menahan tawa sementara Satya hanya menatapnya d
Tengah malam, Reina yang baru saja berusaha memejamkan mata dikejutkan oleh suara pintu yang terbuka pelan. Ia menoleh dan melihat Satya masuk ke dalam kamar tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dengan langkah tenang, pria itu langsung merebahkan diri di sisi tempat tidur, membelakangi Reina seolah kehadirannya bukan masalah besar.Reina yang masih dalam keadaan setengah mengantuk langsung terjaga sepenuhnya. Ia bangkit dan menatap Satya dengan tatapan tak percaya. “Hei, kau salah kamar!” bisiknya tajam.Tanpa mengubah posisi, Satya hanya menghela napas. “Tidur saja. Tak perlu cemas, aku tidak akan mengganggumu.”Mata Reina menyipit curiga. “Kau pikir aku akan percaya begitu saja?”“Sebagai siswa tentara, bukankah seharusnya kau lebih berani? Dan bukankah kamu di asrama terbiasa tidur dengan banyak pria,” balas Satya santai.Reina mendengus, tapi ia tidak bisa membantah. Benar, sebagai tentara, ia tidak boleh takut, apalagi hanya berbagi tempat tidur dengan pria yang—sialnya—sekarang ad
Reina berjalan-jalan untuk mencari cara agar bisa melarikan diri dari Satya dan kembali ke perbatasan. Namun, upayanya terasa sia-sia. Tidak ada celah untuk kabur, dan penjagaan di sekitar markas begitu ketat. Setiap sudut wilayah ini dijaga oleh tentara yang siap siaga, membuat Reina frustasi.Kesempatan datang ketika Letnan Dito menawarkan untuk menemaninya berjalan-jalan di sekitar markas. Dengan penuh perhitungan, Reina berusaha memanfaatkan situasi itu. Saat mereka sampai di tempat yang cukup sepi, Reina berpura-pura lelah dan meminta untuk meminjam ponsel Dito."Sebentar saja, aku hanya ingin mengecek sesuatu," katanya dengan wajah meyakinkan.Dito sempat ragu, tapi akhirnya menyerahkan ponselnya. Dengan cepat, Reina mengetik nomor Arian dan mencoba menghubunginya. Namun, setiap kali ia menelepon, panggilannya selalu gagal tersambung. Ia menghela napas panjang, lalu segera menghapus jejak panggilannya dari daftar riwayat."Tolong, jangan ber
Reina melangkah ringan di lorong rumah sakit, senyumnya tak bisa ditahan. Hari ini adalah hari yang sudah lama ia nantikan. Setelah berbulan-bulan bertugas di luar pulau akhirnya ia mendapat cuti, setelah tiga hari bertemu keluarga kini dia bisa bertemu dengan Vino, kekasihnya.Ia membayangkan ekspresi terkejut Vino saat melihatnya tiba-tiba muncul di ruangannya. Mungkin pria itu akan memeluknya erat atau sekadar tersenyum lebar seperti biasa. Namun, senyumnya perlahan pudar saat mendapati ruangan dokter itu kosong. Tak ada tanda-tanda keberadaan Vino. Rasa cemas mulai merayap di benaknya.“Permisi, Dokter Vino ada?” tanya Reina pada seorang perawat yang kebetulan lewat.Perawat itu tampak ragu sejenak, lalu menjawab dengan nada hati-hati, “Dokter Vino sudah tidak bertugas di sini lagi, Mbak.”Reina mengernyit. “Maksudnya?”Perawat itu menghela napas. “Dokter Vino sudah pergi ke Amerika minggu lalu. Dia melanjutkan pendidikannya di sana.”Dunia Reina seketika terasa hampa. Suara-suar
Asap mesiu masih menguar di udara saat suara derap kaki terdengar dari segala penjuru. Kapten Satya Yudha Pratama berdiri di tengah reruntuhan desa kecil, dikepung puluhan pemberontak bersenjata lengkap.Di sekelilingnya, para prajuritnya telah gugur atau tertangkap. Hanya dia seorang yang tersisa.Seorang pemberontak bertubuh besar melangkah mendekat, menyeringai puas. “Kapten besar dari Malaca jatuh ke perangkap kami seperti tikus bodoh.”Tawa mencemooh bergema.“Katanya kau legenda di medan perang. Nyatanya? Kau hanya manusia biasa.”Satya tetap diam, ekspresinya tak berubah. Matanya menyapu medan—reruntuhan, mayat bergelimpangan, senjata yang berserakan.Seorang pemberontak lain menodongkan senapan ke arahnya. “Menyerahlah. Pangeran Ardian pasti akan membayarmu mahal jika kami menyerahkanmu hidup-hidup.”Alih-alih takut, Satya tersenyum tipis. “Kalian pikir aku masuk perangkap?”Para pemberontak mengernyit. Saat itu juga—Satya bergerak.Dengan kecepatan luar biasa, ia merunduk, me
Reina terbatuk, asap tebal masih membekas di tenggorokannya saat dia berjalan tertatih di antara pepohonan. Panas dari kebakaran semalam masih terasa di kulitnya, meski kini hanya ada kegelapan dan hawa lembab hutan yang menyelimutinya. Kakinya yang terluka berusaha melangkah stabil di atas tanah berlumpur. Tak ada tanda-tanda kehidupan, hanya suara serangga dan sesekali lolongan binatang buas yang menggema dari kejauhan.Dia tak tahu sudah berapa lama berjalan, mungkin berjam-jam, mungkin lebih. Yang dia tahu, dia harus terus bergerak. Berhenti berarti kematian, dan Reina bukan tipe orang yang menyerah begitu saja.Ketika sinar matahari mulai menembus celah dedaunan, Reina melihat sesuatu di kejauhan—gubuk-gubuk kayu yang berdiri di sepanjang sungai. Matanya menyipit, memperhatikan lebih jauh. Ada orang-orang di sana, sebagian berpakaian lusuh, sebagian bersenjata. Jantungnya berdegup lebih cepat saat dia menyadari bahwa dia telah tersesat di wilayah Ghana.Ini adalah daerah konflik.
Suasana lapangan akademi terasa menegangkan. Semua siswa berdiri tegap di bawah terik matahari, menunggu kedatangan instruktur baru yang kabarnya seorang veteran perang. Desas-desus menyebar bahwa pria ini bukan hanya sekadar tentara biasa—dia seseorang yang selamat dari neraka perang dan kembali dengan reputasi mengerikan.Reina berdiri di barisan tengah, berusaha tetap tenang seperti siswa lain. Namun, begitu seorang perwira memasuki lapangan dengan langkah tegap dan penuh wibawa, tubuhnya langsung menegang.Pria itu…Wajah yang selama tiga bulan ini ia kira sudah mati, kini berdiri di hadapannya dalam balutan seragam militer dengan pangkat Mayor Jantung Reina berdegup kencang. ‘Tidak mungkin….’ Ia mengira pria itu mati dalam kebakaran. Pria yang seharusnya sudah tiada, berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam yang menembus barisan para siswa. Reina menelan ludah.Mayor itu menatap sekeliling sebelum berbicara. “Nama saya Satya. Mulai hari ini, saya akan menjadi instruktur kali
Reina sudah merasa ada yang aneh sejak latihan pagi tadi.Sejak tiba di kamp pelatihan ini, ia telah berusaha menyamar dengan baik—mengenakan pakaian longgar, merendahkan suaranya, dan menahan diri agar tidak menunjukkan reaksi mencolok. Namun, entah kenapa, sejak pertemuan pertamanya dengan Satya, pria itu memperlakukannya dengan berbeda.Latihan fisik yang seharusnya biasa tiba-tiba menjadi lebih berat. Dan yang paling menyebalkan, setiap kali ia mulai kelelahan, Satya hanya akan menatapnya dengan ekspresi datar, seolah mengamati sesuatu yang tidak ia mengerti.Apa pria itu sengaja menyiksanya?Reina mendengus kesal. Ia telah berhasil menyusup ke berbagai tempat sebelumnya, jadi kenapa sekarang justru merasa seperti tikus percobaan di tangan dingin itu? Ketika akhirnya latihan berakhir, Reina merasa cukup.Ia menuju barak perwira, mengabaikan tatapan heran dari beberapa prajurit. Langkahnya cepat, penuh tekad, dan begitu ia sampai di depan kamar Satya, ia mengetuk pintu tanpa basa-
Reina berjalan-jalan untuk mencari cara agar bisa melarikan diri dari Satya dan kembali ke perbatasan. Namun, upayanya terasa sia-sia. Tidak ada celah untuk kabur, dan penjagaan di sekitar markas begitu ketat. Setiap sudut wilayah ini dijaga oleh tentara yang siap siaga, membuat Reina frustasi.Kesempatan datang ketika Letnan Dito menawarkan untuk menemaninya berjalan-jalan di sekitar markas. Dengan penuh perhitungan, Reina berusaha memanfaatkan situasi itu. Saat mereka sampai di tempat yang cukup sepi, Reina berpura-pura lelah dan meminta untuk meminjam ponsel Dito."Sebentar saja, aku hanya ingin mengecek sesuatu," katanya dengan wajah meyakinkan.Dito sempat ragu, tapi akhirnya menyerahkan ponselnya. Dengan cepat, Reina mengetik nomor Arian dan mencoba menghubunginya. Namun, setiap kali ia menelepon, panggilannya selalu gagal tersambung. Ia menghela napas panjang, lalu segera menghapus jejak panggilannya dari daftar riwayat."Tolong, jangan ber
Tengah malam, Reina yang baru saja berusaha memejamkan mata dikejutkan oleh suara pintu yang terbuka pelan. Ia menoleh dan melihat Satya masuk ke dalam kamar tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dengan langkah tenang, pria itu langsung merebahkan diri di sisi tempat tidur, membelakangi Reina seolah kehadirannya bukan masalah besar.Reina yang masih dalam keadaan setengah mengantuk langsung terjaga sepenuhnya. Ia bangkit dan menatap Satya dengan tatapan tak percaya. “Hei, kau salah kamar!” bisiknya tajam.Tanpa mengubah posisi, Satya hanya menghela napas. “Tidur saja. Tak perlu cemas, aku tidak akan mengganggumu.”Mata Reina menyipit curiga. “Kau pikir aku akan percaya begitu saja?”“Sebagai siswa tentara, bukankah seharusnya kau lebih berani? Dan bukankah kamu di asrama terbiasa tidur dengan banyak pria,” balas Satya santai.Reina mendengus, tapi ia tidak bisa membantah. Benar, sebagai tentara, ia tidak boleh takut, apalagi hanya berbagi tempat tidur dengan pria yang—sialnya—sekarang ad
Reina duduk di sofa hotel dengan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya. Ia masih tidak percaya bahwa pernikahan itu benar-benar terjadi. Satya yang duduk di seberangnya tampak serius berbicara dengan Letnan Dito.Reina yang awalnya malas mendengarkan, tiba-tiba merasa penasaran. Perlahan, ia bangkit dan berusaha mendekat tanpa suara. Ia merapatkan tubuh ke tembok di dekat mereka, memasang telinga sebaik mungkin."Kau yakin ini keputusan yang tepat?" suara Dito terdengar serius."Aku tak punya pilihan lain. Ini harus dilakukan," jawab Satya tegas."Kalau begitu, aku akan mengurus dokumen-dokumennya."Reina semakin menajamkan pendengarannya. Apa yang harus dilakukan? Dokumen apa? Jangan-jangan Satya sedang merencanakan sesuatu yang buruk?Ia berjinjit lebih dekat, namun sialnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan karena gaun pengantinnya dan...Bruk! Reina jatuh ke lantai dengan posisi tengkurap.Dito dan Satya langsung menoleh. Dito menahan tawa sementara Satya hanya menatapnya d
“Biar aku yang bawa,” suara Satya dingin dan tak terbantahkan. Sersan Hendra terkejut ketika Satya tiba-tiba mengulurkan tangan, mencegahnya membopong Reina.Hendra mengerutkan kening, ragu sejenak, tapi ia tak berani membantah. Dengan cekatan, Satya mengangkat Reina ke dalam gendongannya dan berjalan cepat menuju mobilnya.Perjalanan berlangsung dalam diam. Satya mengemudi tanpa ekspresi, sementara Reina yang masih setengah sadar hanya bisa menggeliat lemah.Namun, saat kesadarannya perlahan kembali, Reina merasakan sesuatu yang aneh. Bau antiseptik rumah sakit yang seharusnya tercium, tidak ada. Sebaliknya, ia merasakan aroma bunga dan udara yang lebih hangat.Matanya terbuka perlahan, dan yang pertama kali dilihatnya adalah langit-langit kayu berukir serta lampu gantung klasik.Ini… bukan rumah sakit.Dengan cepat, Reina mencoba bangkit, tapi tubuhnya masih terlalu lemah. Ia menoleh ke samping dan langsung terkejut melihat sosok Satya duduk di kursi, membaca dokumen dengan ekspresi
Malam itu, Reina tak bisa memejamkan mata. Ia berguling ke sana kemari, memikirkan dua pilihan yang diberikan kepadanya—menerima hukuman atau menikah dengan Mayor Satya. Baginya, keduanya sama-sama tidak menyenangkan. Namun, saat mengingat keluarga Reihardi yang telah menerimanya, hatinya goyah. Ia harus membuat keputusan sebelum fajar.Pagi datang lebih cepat dari yang ia harapkan. Setelah apel pagi, Reina melangkah dengan hati berat menuju kamar Satya. Ia memastikan tak ada orang yang melihat sebelum mengetuk pintu. Begitu pintu terbuka, ia langsung masuk tanpa menunggu undangan, membuat Satya sedikit terkejut."Kau mau apa?" Satya bertanya dengan suara dingin.Reina menelan ludah, berdiri tegak di hadapan pria itu. "Aku setuju menikah denganmu. Tapi ada tiga syarat."Alis Satya sedikit terangkat, tapi ia tetap mempertahankan ekspresinya yang datar. "Syarat?""Pertama, kau harus menjamin keselamatan keluarga Reihardi, dan aku tidak mau kamu memaksaku melayanimu secara... fisik," uja
Reina sudah merasa ada yang aneh sejak latihan pagi tadi.Sejak tiba di kamp pelatihan ini, ia telah berusaha menyamar dengan baik—mengenakan pakaian longgar, merendahkan suaranya, dan menahan diri agar tidak menunjukkan reaksi mencolok. Namun, entah kenapa, sejak pertemuan pertamanya dengan Satya, pria itu memperlakukannya dengan berbeda.Latihan fisik yang seharusnya biasa tiba-tiba menjadi lebih berat. Dan yang paling menyebalkan, setiap kali ia mulai kelelahan, Satya hanya akan menatapnya dengan ekspresi datar, seolah mengamati sesuatu yang tidak ia mengerti.Apa pria itu sengaja menyiksanya?Reina mendengus kesal. Ia telah berhasil menyusup ke berbagai tempat sebelumnya, jadi kenapa sekarang justru merasa seperti tikus percobaan di tangan dingin itu? Ketika akhirnya latihan berakhir, Reina merasa cukup.Ia menuju barak perwira, mengabaikan tatapan heran dari beberapa prajurit. Langkahnya cepat, penuh tekad, dan begitu ia sampai di depan kamar Satya, ia mengetuk pintu tanpa basa-
Suasana lapangan akademi terasa menegangkan. Semua siswa berdiri tegap di bawah terik matahari, menunggu kedatangan instruktur baru yang kabarnya seorang veteran perang. Desas-desus menyebar bahwa pria ini bukan hanya sekadar tentara biasa—dia seseorang yang selamat dari neraka perang dan kembali dengan reputasi mengerikan.Reina berdiri di barisan tengah, berusaha tetap tenang seperti siswa lain. Namun, begitu seorang perwira memasuki lapangan dengan langkah tegap dan penuh wibawa, tubuhnya langsung menegang.Pria itu…Wajah yang selama tiga bulan ini ia kira sudah mati, kini berdiri di hadapannya dalam balutan seragam militer dengan pangkat Mayor Jantung Reina berdegup kencang. ‘Tidak mungkin….’ Ia mengira pria itu mati dalam kebakaran. Pria yang seharusnya sudah tiada, berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam yang menembus barisan para siswa. Reina menelan ludah.Mayor itu menatap sekeliling sebelum berbicara. “Nama saya Satya. Mulai hari ini, saya akan menjadi instruktur kali
Reina terbatuk, asap tebal masih membekas di tenggorokannya saat dia berjalan tertatih di antara pepohonan. Panas dari kebakaran semalam masih terasa di kulitnya, meski kini hanya ada kegelapan dan hawa lembab hutan yang menyelimutinya. Kakinya yang terluka berusaha melangkah stabil di atas tanah berlumpur. Tak ada tanda-tanda kehidupan, hanya suara serangga dan sesekali lolongan binatang buas yang menggema dari kejauhan.Dia tak tahu sudah berapa lama berjalan, mungkin berjam-jam, mungkin lebih. Yang dia tahu, dia harus terus bergerak. Berhenti berarti kematian, dan Reina bukan tipe orang yang menyerah begitu saja.Ketika sinar matahari mulai menembus celah dedaunan, Reina melihat sesuatu di kejauhan—gubuk-gubuk kayu yang berdiri di sepanjang sungai. Matanya menyipit, memperhatikan lebih jauh. Ada orang-orang di sana, sebagian berpakaian lusuh, sebagian bersenjata. Jantungnya berdegup lebih cepat saat dia menyadari bahwa dia telah tersesat di wilayah Ghana.Ini adalah daerah konflik.
Asap mesiu masih menguar di udara saat suara derap kaki terdengar dari segala penjuru. Kapten Satya Yudha Pratama berdiri di tengah reruntuhan desa kecil, dikepung puluhan pemberontak bersenjata lengkap.Di sekelilingnya, para prajuritnya telah gugur atau tertangkap. Hanya dia seorang yang tersisa.Seorang pemberontak bertubuh besar melangkah mendekat, menyeringai puas. “Kapten besar dari Malaca jatuh ke perangkap kami seperti tikus bodoh.”Tawa mencemooh bergema.“Katanya kau legenda di medan perang. Nyatanya? Kau hanya manusia biasa.”Satya tetap diam, ekspresinya tak berubah. Matanya menyapu medan—reruntuhan, mayat bergelimpangan, senjata yang berserakan.Seorang pemberontak lain menodongkan senapan ke arahnya. “Menyerahlah. Pangeran Ardian pasti akan membayarmu mahal jika kami menyerahkanmu hidup-hidup.”Alih-alih takut, Satya tersenyum tipis. “Kalian pikir aku masuk perangkap?”Para pemberontak mengernyit. Saat itu juga—Satya bergerak.Dengan kecepatan luar biasa, ia merunduk, me