Hujan mulai turun saat tim Reina masih sibuk mencari tempat berlindung. Awalnya hanya gerimis kecil, tetapi dalam hitungan menit, hujan berubah menjadi badai yang menggila. "Aduh, celanaku basah semua!" keluh Daniel sambil memeluk dirinya sendiri, menggigil. "Kamu pikir aku kering?" sahut Malik, mencoba mengibaskan air dari bajunya yang sudah melekat di tubuh. "Kita semua basah kuyup!" Reina menghela napas panjang, mencoba tetap fokus di tengah situasi yang semakin sulit. "Kita harus segera mencari tempat berlindung sebelum badai semakin parah. Ada gua atau pohon besar di sekitar sini?" Tio menunjuk ke arah bebatuan di kejauhan. "Di sana ada cekungan batu! Mungkin bisa kita pakai untuk berteduh!" Mereka segera bergerak ke sana, tetapi tanah di bawah kaki mereka semakin licin. Adit terpeleset, hampir jatuh ke kubangan lumpur, tetapi Reina dengan sigap menarik kerah bajunya sebelum ia terjerembab. "Aku hampir mati barusan," desis Adit dengan napas terengah. "Kamu baru hampi
Tanah di lereng bukit mulai longsor, Reina dan kawan-kawan mulai panik. "HATI-HATI!" teriak Reina sekuat tenaga.Namun, sudah terlambat. Longsoran tanah dan bebatuan meluncur deras, memisahkan mereka dalam sekejap. Reina hanya bisa melihat sekilas bayangan teman-temannya sebelum semuanya tertelan oleh tanah dan lumpur.Saat debu dan lumpur mereda, Reina merangkak keluar dari timbunan tanah. Napasnya terengah-engah, jantungnya masih berdebar kencang."Daniel? Malik? Adit?" serunya, namun hanya suara hujan yang menjawabnya.Hutan terasa lebih mencekam dari sebelumnya. Reina berdiri perlahan, mencoba memahami situasinya. Ia sendirian.Sementara itu, di sisi lain...Malik dan Tio terbatuk-batuk, berusaha menghapus lumpur dari wajah mereka. "Sial! Rei? Daniel?" teriak Malik."Aku di sini!" sahut Daniel, muncul dari balik semak-semak dengan Adit yang masih gemetaran di belakangnya. "Tapi Reina tidak ada."Mereka saling bertukar pandang dengan wajah penuh kecemasan.Sementara itu, Reina ber
Satya menatap jalanan di depan mobilnya yang basah kuyup oleh hujan. Sejak menerima telepon darurat tentang bencana longsor di daerah latihan, hatinya tidak bisa tenang. Wajahnya tetap datar, tetapi di dalam, kekhawatirannya semakin membuncah.Ia hampir sampai di gerbang istana ketika suara telepon di tangannya kembali berbunyi, laporan terbaru dari pos pelatihan yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang.“Mayor Satya, beberapa siswa masih terjebak di hutan. Ada yang belum ditemukan, dan kondisi medan semakin memburuk. Kami membutuhkan bantuan segera!”“Lanjutkan pencarian!” jawab Satya tegas. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa mereka tidak cukup cepat. Waktu telah terbuang terlalu banyak.Setibanya di pos pelatihan, Satya langsung meminta untuk turun dan bergabung dengan tim pencarian. Namun, komandan yang ada di sana menahannya dengan suara keras.“Mayor, ini bukan tugas Anda! Kami sudah menyiapkan tim profesional. Anda harus kembali ke istana. Ada masalah lain yang menunggu.”
Hari mulai gelap dan hawa dingin semakin menusuk. Kabut tipis turun perlahan, bergulung di antara pepohonan, membawa udara lembah yang menggigit kulit. Reina memeluk dirinya sendiri, menggigil meski sudah mengenakan jaket tambahan yang diberikan Satya sebelumnya. Nafasnya terlihat samar dalam embusan dingin. Setelah menyusuri hutan lebih jauh, mereka akhirnya menemukan Malik dan Adit. Keduanya duduk meringkuk di bawah cekungan batu besar, wajah lelah dan mata nyaris tertutup karena kelelahan. Satya segera berlutut, mengecek kondisi mereka. “Kalian baik-baik saja?” tanyanya cepat. “Aku... kaki keseleo sedikit,” gumam Adit, sementara Malik hanya mengangguk lemah. “Tidak ada luka serius, syukurlah,” ujar Satya sambil membuka ransel. Ia mengeluarkan selimut termal, beberapa bungkus makanan darurat, dan radio kecil. “Kalian harus bertahan di sini malam ini,” katanya tegas. Ia menyerahkan selimut ke Malik, lalu beralih ke Reina, tatapannya serius dan dalam. “Tolong jaga mereka mala
Reina dan Satya saling pandang. Langkah mereka terhenti sejenak di antara kabut yang menyelimuti hutan. Hening. Hanya napas mereka yang terdengar berat.Reina merasa detak jantungnya berpacu tak karuan. “Tio...” tanyanya hati-hati. “Kamu... tadi denger apa, ya?”Tio yang dipapah Satya dan duduk setengah nyandar di tanah, tersenyum miring meski wajahnya masih pucat. “Hmm... nggak banyak sih. Cuma... aku sempat denger Pak Satya bilang sesuatu kayak... ‘istri’?”Reina langsung membeku. “Itu... mungkin kamu salah denger,” ujarnya cepat, terlalu cepat.Satya menoleh pelan. Tatapannya ke Tio datar tapi ada kilat waspada. “Kamu lagi luka, jangan terlalu mikir yang nggak penting.”Tio menaikkan alis, kepalanya sedikit miring. “Ooo... rahasia ya? Wah, aku suka nih suasana kayak sinetron malam Jumat.”Reina memukul pelan lututnya. “Tio! Fokus ke kakimu, bukan drama hidup orang.”Satya menapaki lereng perlahan, membawa Tio di punggungnya. Nafasnya teratur, langkahnya mantap meski medan masih lic
Helikopter kembali berguncang halus sebelum akhirnya stabil. Di dalam kabin, suasana mulai sedikit tenang. Beberapa perawat memeriksa kondisi para peserta, sementara Satya duduk diam di sisi Reina, matanya tetap waspada. Tio duduk tidak jauh dari mereka, berbalut selimut dan infus di tangan. Ia melirik ke arah Reina... untuk kesekian kalinya. Reina mencoba menghindari tatapan itu, memalingkan wajah ke jendela kecil helikopter, pura-pura tertarik pada lanskap hutan yang kini terlihat seperti guratan hijau kelam di bawah awan. Namun Tio tetap memperhatikan. Akhirnya, ketika perawat meninggalkan sisi mereka sebentar, Tio bersuara—pelan, hanya untuk Reina. "Rei." Reina menoleh sedikit. “Apa?” Tio menyipitkan mata. “Aku cuma mau tanya... kamu tuh sebenernya... cowok kan?” Reina terdiam. Napasnya sempat tertahan. “Kenapa nanyanya gitu?” suaranya nyaris normal, tapi ada ketegangan halus. Tio mengangkat bahu, masih dengan senyum santainya. “Gak tahu. Feeling aja. Pas kamu jatuh tadi
Di aula utama istana kerajaan Ghana, deretan kursi dipenuhi oleh para pejabat tinggi negara. Dinding-dinding marmer putih dipenuhi lambang kerajaan, dan di ujung ruangan, Raja Mahesa duduk dengan tenang di singgasananya, namun aura ketegangan jelas terasa.“Pangeran Ardian sudah bergerak terlalu jauh,” ujar Menteri Dalam Negeri dengan nada serius. “Aliansi mereka dengan negeri Malaca tak bisa dianggap remeh.”“Dia bukan lagi seorang pangeran,” sahut Menteri Pertahanan, Jenderal Wiratma. “Dia pengkhianat. Kita tidak bisa terus menahan diri.”Suara-suara mulai meninggi. Sebagian besar pejabat sepakat bahwa langkah tegas harus segera diambil.Kepala Badan Keamanan Nasional, Marsekal Raka, maju ke tengah ruangan dan memberi hormat. “Paduka, dengan segala hormat, kami meminta izin agar Mayor Satya segera diturunkan ke garis depan. Hanya dia yang cukup cakap dan disegani di medan seperti ini.”“Apakah Mayor Satya sudah kembali dari misi penyelamatan?” tanya Raja Mahesa, nadanya tetap tenang
Di ruang perawatan rumah sakit militer, Reina duduk di ranjang sambil memegang buku catatan medis yang sebenarnya tak ia pahami isinya. Rambutnya masih disembunyikan di balik topi rajut, wajahnya tampak lesu. Di sisi lain ruangan, Ditto bersandar santai di kursi dengan kaki disilangkan, mengenakan seragam ajudan, tampak terlalu tenang untuk seseorang yang sedang menjalankan tugas."Ini udah hari keberapa ya?" gumam Reina."Dua," jawab Ditto cepat, tanpa menoleh. "Tapi kalau kamu tanya 'udah berapa kali kamu ngeluh hari ini', itu udah lima kali.""Lucu banget." Reina pun mendengus. Ditto akhirnya menoleh, tersenyum jahil. "Kamu nggak biasa diurusin orang ya? Biasanya kamu nyamar dan kabur sebelum sempat luka, gitu?""Satya... dia ke ibu kota untuk urusan apa?""Saranku, lebih baik kamu jalanin tugasmu sebagai istri bayaran tanpa harus tahu apa yang dia lakukan. Ini lebih baik untuk dirimu."Reina terdiam. Baru akan menjawab, ketika pintu kamar terbuka sedikit—cukup untuk seorang kepal
Suasana sore di paviliun timur istana Ghana diselimuti cahaya keemasan. Angin membawa aroma khas dari taman kerajaan—melati, kayu manis, dan debu halus dari tanah yang hangat. Para pelayan sibuk menyusun perjamuan penyambutan tamu kehormatan yang baru tiba dari kerajaan sekutu. Pangeran Arvid berdiri tegak di ujung balkon, mengenakan jubah biru tua yang kontras dengan kulitnya yang kecokelatan. Tatapannya menelusuri taman—bukan untuk mencari sesuatu, lebih untuk mengalihkan pikirannya dari kekakuan protokol kerajaan yang mulai membuatnya bosan. Hingga matanya tertumbuk pada seorang wanita di sisi danau buatan. Ia belum pernah melihatnya. Gaun emas lembut yang dikenakan wanita itu menyatu dengan warna senja. Langkahnya ringan, tapi penuh keyakinan. Sesekali wanita itu menunduk, berbicara ramah pada pelayan taman yang tengah menata bunga. Tidak ada gestur sombong. Tidak ada upaya mencuri perhatian. Namun justru karena itulah—ia mencuri perhatian. Pangeran Arvid terdiam cukup lama s
Langit pagi masih abu-abu. Aroma kopi yang dibiarkan dingin di meja dapur menyatu dengan sunyi yang menggantung di antara mereka. Reina berdiri di ambang pintu, jaket sudah di tangan, ransel siap di punggungnya. Tapi tatapan Satya tetap menusuk, tajam dan dingin.“Kamu gak akan jelasin sama sekali?” tanya Satya akhirnya, suaranya rendah, penuh tekanan.Reina menghela napas, mengalihkan pandangan. “Sudah kubilang semalam, jangan tanya soal pekerjaanku.”“Kamu tinggal di rumah ini. Tidur di ranjang yang sama. Tapi masih bicara seolah aku orang asing.” Satya berjalan pelan, tubuhnya tegak, matanya tak berpaling.“Aku gak pernah suruh kamu ikut campur.” Suara Reina meninggi sedikit. “Justru kamu yang nikahin aku tanpa tahu siapa aku.”Satya menyipit. “Dan kamu gak pernah kasih aku kesempatan buat tahu.”Reina mendengus. “Kamu gak pernah nanya!”“Karena kamu selalu ngasih tembok setiap kali aku dekati.”Suasana mengeras. Udara di antara mereka seperti pecahan kaca—tajam dan siap melukai."
“Satya!” Langkahnya terhenti. Suara itu terlalu tajam untuk diabaikan. Ia menoleh—dan seperti yang ia duga, sosok anggun dengan sorot mata menyebalkan itu datang menghampiri dengan kepercayaan diri berlebih. Satya hanya sempat melirik ke arah Reina, yang dengan cekatan menyelinap ke balik meja pedagang kain. Reflek. Cepat. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Tapi Satya juga tahu—wanita itu akan melihat semuanya. Ia berbalik, tepat saat Naila berdiri hanya sejengkal darinya. “Aku kira kamu di perbatasan,” ucap Naila, menyentuh lengannya dengan cara yang terlalu akrab. “Ternyata kamu diam-diam kembali ke kota.” Satya tidak menepis sentuhan itu, tapi tubuhnya tetap kaku. “Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu, Naila.” “Oh, jadi sekarang kamu lebih suka menyelinap ke pasar seperti rakyat biasa?” tanyanya dengan senyum miring. “Romantis sekali... kau sendirian?” Satya tidak menjawab. Ia hanya melangkah pelan, menjauh dari meja tempat Reina bersembunyi. Naila ikut melangkah, tentu
Udara mulai sejuk saat matahari bergeser perlahan ke arah barat. Sinar emas menimpa jendela-jendela toko antik dan bangunan bergaya kolonial di distrik Kota Tua, membuat suasana sore itu seperti potongan lukisan klasik yang hangat dan hidup. Pasar seni mingguan baru saja dibuka. Musik akustik mengalun dari arah pelataran taman, aroma karamel dan kopi panggang menyelinap dari deretan kedai kecil di sepanjang jalan berbatu. Orang-orang ramai berlalu-lalang, sebagian berfoto, sebagian duduk menikmati waktu di bangku taman yang teduh oleh pepohonan tua. Satya berdiri di pinggir trotoar, tangan di saku, menatap Reina yang tengah sibuk memilih bunga kering dari stan kerajinan tangan. Wajah pria itu terlihat seperti biasa—dingin, tenang, nyaris bosan—tapi kenyataannya, ia sudah tak tahu berapa kali menghela napas sejak akhirnya menyerah pada rayuan Reina satu jam lalu. Flashback singkat—di rumah Satya: “Ayo, jalan sebentar aja… aku harus balik besok pagi,” ujar Reina dengan mata berbi
Mentari pagi menyusup lewat celah-celah jendela rumah dinas yang tenang. Aroma roti panggang dan telur orak-arik menyatu dengan udara sejuk khas distrik Selatan. Di dapur, Satya berdiri tegak di depan kompor, mengenakan kaus polos dan celana taktikal yang belum sempat diganti. Ia tampak sibuk, tapi tidak benar-benar tergesa. Setiap gerakannya tenang dan terukur—seperti biasa. Tapi, tidak ada yang benar-benar biasa pagi itu. Reina berdiri di ambang pintu, menatap punggung suaminya yang tampak enggan menyapanya. Ia masih mengenakan pakaian kasual yang sama—hoodie abu-abu dan jeans gelap. Tas kecil masih tersampir di bahu. Langkahnya ragu-ragu, seolah udara di dalam rumah ini lebih berat dari di luar. “Aku bisa bantu goreng roti kalau kamu…” katanya mencoba membuka percakapan. “Duduk saja.” Suaranya datar, nyaris tanpa nada. Reina menuruti, perlahan duduk di kursi dekat meja makan. Matanya sesekali melirik ke arah Satya, mencari-cari isyarat. Tapi yang ia temukan hanyalah punggung
Halte tua di ujung jalan distrik Istana Selatan, siang menjelang sore.Langit cerah, tapi hawa kota terasa lengang tak biasa. Reina duduk di bangku halte, mengenakan hoodie abu-abu dan celana jeans gelap. Rambutnya digerai, membuatnya tampak seperti gadis biasa—jauh dari sosok 'putri' yang selama ini disandangnya. Di sampingnya, Malik berdiri sambil mengunyah permen karet, mengenakan kaus putih dan jaket denim.“Putri Alliya, yakin nggak salah naik bus umum?” goda Malik sambil melirik kiri-kanan.Reina memutar bola mata dan menegur jahil, “Ssst! Kalau di luar, panggil aku Rei. Masa penyamaranmu gagal total kalau ngomong gitu keras-keras.”Malik terkekeh. “Baiklah, Rei. Tapi maaf ya, tetap gak bisa lupa kamu itu tentara pria ... yang nyamar jadi putri lain... dan sekarang nyamar jadi rakyat jelata. Multitalenta banget.”Reina meninju lengan Malik pelan. “Mulutmu itu, lho.”Mereka tertawa kecil. Tak ada satu pun kendaraan lewat selama hampir lima belas menit. Hanya angin yang sesekali m
Langkah Reina terhenti di depan pintu besar berukir emas. Dua penjaga membukakan jalan, dan ia melangkah masuk dengan hati sedikit berdebar. Gaun pastel yang ia kenakan malam itu terasa ringan di tubuh, tapi berat di hati. Bukan karena bahan, tapi karena identitas yang melekat padanya—Putri Alliya.Di ujung aula, Raja Mahesa duduk di kursi singgasananya, tidak mengenakan mahkota, hanya pakaian santai berwarna gading. Sorot matanya tajam, namun tidak mengintimidasi. Seperti seorang ayah yang memanggil anaknya setelah sekian lama.Reina menunduk dalam-dalam. “Hamba menghadap, Paduka.”Raja memandangi wajahnya dengan seksama, lalu tersenyum samar. “Reihardi... atau harusnya kupanggil Putri Alliya?”Reina menahan napas sejenak. Ia tidak tahu harus menjawab yang mana.Raja lalu berdiri perlahan dan berjalan mendekatinya. “Kau tahu, ketika Kolonel Bima menyerahkan laporanmu padaku, aku sempat ragu. Tapi melihatmu sekarang... aku bahkan lupa bahwa kau bukan wanita sesungguhnya.”Reina tersen
MARKAS SEMENTARA PASUKAN PERDAMAIAN PBB Perbatasan Malaca – Ghana Langit mulai meremang keemasan saat Kapten Arian kembali dari pertemuannya dengan Mayor Satya. Debu perbatasan melekat di sepatu botnya, tapi wajahnya tetap tenang, meski pikirannya penuh dengan percakapan tegang yang baru saja terjadi. Di sisi markas, tiga prajurit Indonesia berdiri sambil duduk santai di peti-peti suplai. Mereka langsung berdiri dan memberi hormat saat melihat Arian mendekat. “Siap, Kapten!” sapa salah satu dari mereka, Letda Faiz. Arian mengangguk sambil membuka helmnya. “Tenang saja. Di sini bukan barak utama. Duduk.” Mereka kembali duduk, dan Arian ikut duduk di peti di samping mereka. Ada kopi instan di termos baja yang dibagikan. Aroma yang familiar menyambut mereka di tengah wilayah netral, namun penuh ketegangan. “Kalian sempat pantau wilayah timur?” tanya Arian, membuka obrolan. “Sempat, Kapten,” jawab Sersan Bayu. “Ada patroli Malaca yang agak agresif. Tapi Ghana tetap pasif, k
Hujan baru saja reda. Tanah merah masih basah, menempel di sepatu bot dan roda kendaraan tempur. Udara dipenuhi aroma mesiu, lumpur, dan ketegangan yang sudah terlalu lama menggantung. Satya berdiri di bawah tenda taktis, peta digital terbentang di meja komando. Beberapa perwira mengelilinginya, wajah mereka lelah tapi tetap menunggu instruksi. “Pos Delta dilaporkan diserang pukul 03.17,” kata Mayor Irwan sambil menunjuk sektor B7. “Dugaan kita, kelompok pemberontak menyelinap lewat jalur selatan yang belum ditambal ulang.” Satya mengangguk. Matanya menyipit menilai rute. “Berapa lama pasukan cadangan sampai ke Delta?” “Minimal dua jam. Medan berlumpur, jalan terputus. Tapi kita bisa kirim drone pengintai dulu.” “Lakukan.” Suara Satya tetap tenang, padat, dan tanpa keraguan. Ia lalu melangkah keluar tenda, menatap langit kelabu yang menggantung rendah. Di kejauhan, suara tembakan samar masih terdengar, jauh tapi terasa dekat di dadanya. Sebagai pemimpin, dia terbiasa dengan keka