Reina dan Satya saling pandang. Langkah mereka terhenti sejenak di antara kabut yang menyelimuti hutan. Hening. Hanya napas mereka yang terdengar berat.Reina merasa detak jantungnya berpacu tak karuan. “Tio...” tanyanya hati-hati. “Kamu... tadi denger apa, ya?”Tio yang dipapah Satya dan duduk setengah nyandar di tanah, tersenyum miring meski wajahnya masih pucat. “Hmm... nggak banyak sih. Cuma... aku sempat denger Pak Satya bilang sesuatu kayak... ‘istri’?”Reina langsung membeku. “Itu... mungkin kamu salah denger,” ujarnya cepat, terlalu cepat.Satya menoleh pelan. Tatapannya ke Tio datar tapi ada kilat waspada. “Kamu lagi luka, jangan terlalu mikir yang nggak penting.”Tio menaikkan alis, kepalanya sedikit miring. “Ooo... rahasia ya? Wah, aku suka nih suasana kayak sinetron malam Jumat.”Reina memukul pelan lututnya. “Tio! Fokus ke kakimu, bukan drama hidup orang.”Satya menapaki lereng perlahan, membawa Tio di punggungnya. Nafasnya teratur, langkahnya mantap meski medan masih lic
Helikopter kembali berguncang halus sebelum akhirnya stabil. Di dalam kabin, suasana mulai sedikit tenang. Beberapa perawat memeriksa kondisi para peserta, sementara Satya duduk diam di sisi Reina, matanya tetap waspada. Tio duduk tidak jauh dari mereka, berbalut selimut dan infus di tangan. Ia melirik ke arah Reina... untuk kesekian kalinya. Reina mencoba menghindari tatapan itu, memalingkan wajah ke jendela kecil helikopter, pura-pura tertarik pada lanskap hutan yang kini terlihat seperti guratan hijau kelam di bawah awan. Namun Tio tetap memperhatikan. Akhirnya, ketika perawat meninggalkan sisi mereka sebentar, Tio bersuara—pelan, hanya untuk Reina. "Rei." Reina menoleh sedikit. “Apa?” Tio menyipitkan mata. “Aku cuma mau tanya... kamu tuh sebenernya... cowok kan?” Reina terdiam. Napasnya sempat tertahan. “Kenapa nanyanya gitu?” suaranya nyaris normal, tapi ada ketegangan halus. Tio mengangkat bahu, masih dengan senyum santainya. “Gak tahu. Feeling aja. Pas kamu jatuh tadi
Di aula utama istana kerajaan Ghana, deretan kursi dipenuhi oleh para pejabat tinggi negara. Dinding-dinding marmer putih dipenuhi lambang kerajaan, dan di ujung ruangan, Raja Mahesa duduk dengan tenang di singgasananya, namun aura ketegangan jelas terasa.“Pangeran Ardian sudah bergerak terlalu jauh,” ujar Menteri Dalam Negeri dengan nada serius. “Aliansi mereka dengan negeri Malaca tak bisa dianggap remeh.”“Dia bukan lagi seorang pangeran,” sahut Menteri Pertahanan, Jenderal Wiratma. “Dia pengkhianat. Kita tidak bisa terus menahan diri.”Suara-suara mulai meninggi. Sebagian besar pejabat sepakat bahwa langkah tegas harus segera diambil.Kepala Badan Keamanan Nasional, Marsekal Raka, maju ke tengah ruangan dan memberi hormat. “Paduka, dengan segala hormat, kami meminta izin agar Mayor Satya segera diturunkan ke garis depan. Hanya dia yang cukup cakap dan disegani di medan seperti ini.”“Apakah Mayor Satya sudah kembali dari misi penyelamatan?” tanya Raja Mahesa, nadanya tetap tenang
Di ruang perawatan rumah sakit militer, Reina duduk di ranjang sambil memegang buku catatan medis yang sebenarnya tak ia pahami isinya. Rambutnya masih disembunyikan di balik topi rajut, wajahnya tampak lesu. Di sisi lain ruangan, Ditto bersandar santai di kursi dengan kaki disilangkan, mengenakan seragam ajudan, tampak terlalu tenang untuk seseorang yang sedang menjalankan tugas."Ini udah hari keberapa ya?" gumam Reina."Dua," jawab Ditto cepat, tanpa menoleh. "Tapi kalau kamu tanya 'udah berapa kali kamu ngeluh hari ini', itu udah lima kali.""Lucu banget." Reina pun mendengus. Ditto akhirnya menoleh, tersenyum jahil. "Kamu nggak biasa diurusin orang ya? Biasanya kamu nyamar dan kabur sebelum sempat luka, gitu?""Satya... dia ke ibu kota untuk urusan apa?""Saranku, lebih baik kamu jalanin tugasmu sebagai istri bayaran tanpa harus tahu apa yang dia lakukan. Ini lebih baik untuk dirimu."Reina terdiam. Baru akan menjawab, ketika pintu kamar terbuka sedikit—cukup untuk seorang kepal
Suara langkah sepatu hak tinggi memecah keheningan lorong. Para pelayan menunduk dengan gugup saat Putri Nayla, putri dari Menteri Militer tertinggi, melangkah cepat dengan wajah menegang. Kabar pernikahan diam-diam Mayor Satya telah sampai ke telinganya. Dan Nayla—yang pernah menjadi tunangannya—tak akan membiarkan harga dirinya diinjak begitu saja. Ia mendorong pintu paviliun tanpa mengetuk, hingga dua penjaga di luar bereaksi kaget. Satya berdiri di dalam, baru saja melepaskan sarung tangan kulit dan menaruhnya di atas meja. Tatapannya langsung bertemu dengan mata Nayla yang berkobar emosi. “Kau sudah menikah?” Suaranya tegas namun bergetar. “Tanpa izin, tanpa pengumuman, tanpa... penjelasan apa pun?” Satya tidak bergeming. “Pertunanganku denganmu telah dibatalkan sejak dewan kerajaan memilih calon pengantin dari Negeri Malaca. Bukankah kau sendiri yang mundur dari perjanjian itu?” Nayla tertawa getir. “Aku mundur karena aku tahu ini demi rakyat! Tapi bukan berarti aku bisa
Sudah seminggu sejak Satya pergi tanpa kabar, dan Reina merasa ada sesuatu yang aneh. Meskipun pernikahan mereka hanya pernikahan kontrak, namun di mata hukum dan agama, mereka sah sebagai suami istri. Tapi yang lebih mengejutkan adalah perasaan yang tumbuh di dalam dirinya, sesuatu yang lebih dari sekadar kewajiban. Kadang-kadang, Reina akan tersenyum sendiri, merasa aneh dengan dirinya yang semakin terikat pada Satya, meskipun mereka hanya sepasang suami istri di atas kertas.Saat itu, di atas ranjang, Malik tampak sedang tidur terbalik dengan kepala di bawah, benar-benar tampak seperti tidak tahu arah. Reina hanya memandangi tubuh Malik yang tergantung terbalik, agak gelisah. Dia tahu, selama seminggu ini, mereka sudah cukup dekat dalam hal percakapan, meskipun terkadang Malik bisa membuat suasana jadi canggung.Tiba-tiba, tanpa diduga, kepala Malik melongok dari atas ranjang, seperti kelinci keluar dari lubang. Reina yang sedang melamun langsung terkejut dan ha
Kereta telah tiba di stasiun Kota Ghana, dan suasana stasiun yang ramai dengan pedagang dan penumpang yang berlalu-lalang sedikit banyak menghilangkan kecanggungan Reina. Namun, dia tetap merasa ada sesuatu yang berbeda, terutama dengan keberadaan Ditto yang selalu mengawasi setiap gerakan mereka.Setelah turun dari kereta, mereka berjalan menuju area parkir, dan Malik, yang berada di samping Reina, segera memberi hormat kepada Letnan Ditto, yang lebih dulu berdiri tegak di depan mereka. Sikap Malik yang sungkan menunjukkan bahwa ia tahu betul posisi Ditto."Kalian mau ke mana, biar saya antar. Saya sendiri liburan sendiri di sini terasa jenuh!" "Terima kasih, Letnan," ujar Malik, mencoba bersikap ramah. "Tapi kami bisa naik taksi ke tempat tujuan."Ditto, dengan sikap yang tenang namun penuh kewaspadaan, tidak langsung menjawab. Ia menatap Malik sejenak, lalu dengan nada yang cukup santai namun penuh perhatian. Malik tampak sedikit ter
Suara langkah para pengawal menggema di sepanjang lorong marmer istana, membawa hawa kegelisahan yang menyeruak ke seisi ruangan. Di dalam ruang kerja sang raja, Raja Mahesa duduk dengan mata tajam menatap selembar foto yang baru saja dilemparkan ke atas meja. Foto itu buram, hanya menampilkan sisi wajah seorang perempuan muda yang tersenyum samar, mengenakan gaun pengantin sederhana. Di sisi lain meja, Pangeran Arvid berdiri kaku. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi, namun jemarinya yang saling menggenggam di balik punggungnya memperlihatkan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan. Raja Mahesa tiba-tiba bangkit dari duduknya. Suara kayu kursi yang bergesek dengan lantai bergema tajam, disusul oleh suara benda berat yang dilemparkannya ke dinding. Sebuah hiasan logam pecah menghantam lantai, serpihannya memantulkan cahaya lampu gantung yang gemetar. "Apa yang Satya pikirkan?!" suara Raja Mahesa meledak. "Berani-beraninya dia menikah secara sembunyi-sembunyi?! Menyembunyikan istri
Udara mulai sejuk saat matahari bergeser perlahan ke arah barat. Sinar emas menimpa jendela-jendela toko antik dan bangunan bergaya kolonial di distrik Kota Tua, membuat suasana sore itu seperti potongan lukisan klasik yang hangat dan hidup. Pasar seni mingguan baru saja dibuka. Musik akustik mengalun dari arah pelataran taman, aroma karamel dan kopi panggang menyelinap dari deretan kedai kecil di sepanjang jalan berbatu. Orang-orang ramai berlalu-lalang, sebagian berfoto, sebagian duduk menikmati waktu di bangku taman yang teduh oleh pepohonan tua. Satya berdiri di pinggir trotoar, tangan di saku, menatap Reina yang tengah sibuk memilih bunga kering dari stan kerajinan tangan. Wajah pria itu terlihat seperti biasa—dingin, tenang, nyaris bosan—tapi kenyataannya, ia sudah tak tahu berapa kali menghela napas sejak akhirnya menyerah pada rayuan Reina satu jam lalu. Flashback singkat—di rumah Satya: “Ayo, jalan sebentar aja… aku harus balik besok pagi,” ujar Reina dengan mata berbinar
Mentari pagi menyusup lewat celah-celah jendela rumah dinas yang tenang. Aroma roti panggang dan telur orak-arik menyatu dengan udara sejuk khas distrik Selatan. Di dapur, Satya berdiri tegak di depan kompor, mengenakan kaus polos dan celana taktikal yang belum sempat diganti. Ia tampak sibuk, tapi tidak benar-benar tergesa. Setiap gerakannya tenang dan terukur—seperti biasa. Tapi, tidak ada yang benar-benar biasa pagi itu. Reina berdiri di ambang pintu, menatap punggung suaminya yang tampak enggan menyapanya. Ia masih mengenakan pakaian kasual yang sama—hoodie abu-abu dan jeans gelap. Tas kecil masih tersampir di bahu. Langkahnya ragu-ragu, seolah udara di dalam rumah ini lebih berat dari di luar. “Aku bisa bantu goreng roti kalau kamu…” katanya mencoba membuka percakapan. “Duduk saja.” Suaranya datar, nyaris tanpa nada. Reina menuruti, perlahan duduk di kursi dekat meja makan. Matanya sesekali melirik ke arah Satya, mencari-cari isyarat. Tapi yang ia temukan hanyalah punggung
Halte tua di ujung jalan distrik Istana Selatan, siang menjelang sore.Langit cerah, tapi hawa kota terasa lengang tak biasa. Reina duduk di bangku halte, mengenakan hoodie abu-abu dan celana jeans gelap. Rambutnya digerai, membuatnya tampak seperti gadis biasa—jauh dari sosok 'putri' yang selama ini disandangnya. Di sampingnya, Malik berdiri sambil mengunyah permen karet, mengenakan kaus putih dan jaket denim.“Putri Alliya, yakin nggak salah naik bus umum?” goda Malik sambil melirik kiri-kanan.Reina memutar bola mata dan menegur jahil, “Ssst! Kalau di luar, panggil aku Rei. Masa penyamaranmu gagal total kalau ngomong gitu keras-keras.”Malik terkekeh. “Baiklah, Rei. Tapi maaf ya, tetap gak bisa lupa kamu itu tentara pria ... yang nyamar jadi putri lain... dan sekarang nyamar jadi rakyat jelata. Multitalenta banget.”Reina meninju lengan Malik pelan. “Mulutmu itu, lho.”Mereka tertawa kecil. Tak ada satu pun kendaraan lewat selama hampir lima belas menit. Hanya angin yang sesekali m
Langkah Reina terhenti di depan pintu besar berukir emas. Dua penjaga membukakan jalan, dan ia melangkah masuk dengan hati sedikit berdebar. Gaun pastel yang ia kenakan malam itu terasa ringan di tubuh, tapi berat di hati. Bukan karena bahan, tapi karena identitas yang melekat padanya—Putri Alliya.Di ujung aula, Raja Mahesa duduk di kursi singgasananya, tidak mengenakan mahkota, hanya pakaian santai berwarna gading. Sorot matanya tajam, namun tidak mengintimidasi. Seperti seorang ayah yang memanggil anaknya setelah sekian lama.Reina menunduk dalam-dalam. “Hamba menghadap, Paduka.”Raja memandangi wajahnya dengan seksama, lalu tersenyum samar. “Reihardi... atau harusnya kupanggil Putri Alliya?”Reina menahan napas sejenak. Ia tidak tahu harus menjawab yang mana.Raja lalu berdiri perlahan dan berjalan mendekatinya. “Kau tahu, ketika Kolonel Bima menyerahkan laporanmu padaku, aku sempat ragu. Tapi melihatmu sekarang... aku bahkan lupa bahwa kau bukan wanita sesungguhnya.”Reina tersen
MARKAS SEMENTARA PASUKAN PERDAMAIAN PBB Perbatasan Malaca – Ghana Langit mulai meremang keemasan saat Kapten Arian kembali dari pertemuannya dengan Mayor Satya. Debu perbatasan melekat di sepatu botnya, tapi wajahnya tetap tenang, meski pikirannya penuh dengan percakapan tegang yang baru saja terjadi. Di sisi markas, tiga prajurit Indonesia berdiri sambil duduk santai di peti-peti suplai. Mereka langsung berdiri dan memberi hormat saat melihat Arian mendekat. “Siap, Kapten!” sapa salah satu dari mereka, Letda Faiz. Arian mengangguk sambil membuka helmnya. “Tenang saja. Di sini bukan barak utama. Duduk.” Mereka kembali duduk, dan Arian ikut duduk di peti di samping mereka. Ada kopi instan di termos baja yang dibagikan. Aroma yang familiar menyambut mereka di tengah wilayah netral, namun penuh ketegangan. “Kalian sempat pantau wilayah timur?” tanya Arian, membuka obrolan. “Sempat, Kapten,” jawab Sersan Bayu. “Ada patroli Malaca yang agak agresif. Tapi Ghana tetap pasif, k
Hujan baru saja reda. Tanah merah masih basah, menempel di sepatu bot dan roda kendaraan tempur. Udara dipenuhi aroma mesiu, lumpur, dan ketegangan yang sudah terlalu lama menggantung. Satya berdiri di bawah tenda taktis, peta digital terbentang di meja komando. Beberapa perwira mengelilinginya, wajah mereka lelah tapi tetap menunggu instruksi. “Pos Delta dilaporkan diserang pukul 03.17,” kata Mayor Irwan sambil menunjuk sektor B7. “Dugaan kita, kelompok pemberontak menyelinap lewat jalur selatan yang belum ditambal ulang.” Satya mengangguk. Matanya menyipit menilai rute. “Berapa lama pasukan cadangan sampai ke Delta?” “Minimal dua jam. Medan berlumpur, jalan terputus. Tapi kita bisa kirim drone pengintai dulu.” “Lakukan.” Suara Satya tetap tenang, padat, dan tanpa keraguan. Ia lalu melangkah keluar tenda, menatap langit kelabu yang menggantung rendah. Di kejauhan, suara tembakan samar masih terdengar, jauh tapi terasa dekat di dadanya. Sebagai pemimpin, dia terbiasa dengan keka
Reina berdiri tegak di depan gerbang belakang istana. Udara pagi masih basah oleh embun, tapi keringat dingin sudah merembes di pelipisnya. Di balik gerbang itu, identitas lamanya akan dikubur. Di dalamnya, bukan Reina, bukan Serda Reihardi, tapi seseorang yang harus ia mainkan dengan sempurna, Putri Alliya—darah bangsawan Ghana yang sudah lama dikabarkan wafat. "Gerbang akan dibuka. Identifikasi," suara datar penjaga menghentikan pikirannya. Reina menunjukkan kartu kode merah yang tadi pagi diberikan kapten Jian. Sidik jarinya dipindai. Sepuluh detik menegangkan sebelum lampu indikator berubah hijau. Pintu besi terbuka pelan. Sambutan pertama bukan karpet merah, tapi lorong batu sunyi dan kamera tersembunyi di setiap sudut. Di ujung lorong, seorang wanita berusia sekitar empat puluhan menunggunya. Tegas. Dingin. Mengenakan seragam pelatih istana berwarna hitam. “Namaku, Marise. Mulai detik ini, kau adalah Alliya. Bukan Reihardi. Kau bukan siapa-siapa selain dia. Lupakan semua k
Langkah-langkah sepatu bot berdenting di atas lantai marmer putih. Reina mengikuti Malik masuk ke ruang rapat istana. Interiornya megah, tapi tidak ada waktu untuk mengagumi detail. Semua orang di ruangan itu adalah perwira tinggi, dan tidak satu pun dari mereka terlihat santai.Ia mengambil tempat di barisan belakang. Malik duduk di sebelah kiri, dua prajurit senior yang tidak dikenalnya ada di kanan. Reina tidak menunjukkan apa-apa di wajahnya, tapi tetap saja—ini aneh. Seorang lulusan baru dipanggil ke rapat rahasia di lingkungan istana?Kolonel Bram membuka rapat dengan nada berat.“Mandat langsung dari kerajaan. Pangeran Satya akan dijodohkan dengan Putri Salima dari Kerajaan Malaca. Pengamanan akan ditingkatkan secara besar-besaran.”Reina nyaris tak bereaksi, tapi nama itu... Satya. Terlalu familiar. Otaknya mulai bekerja. Tak mungkin. Mayor Satya? Nama itu tidak pernah disebut dengan gelar.“Kendala utama,” Bram melanjutkan, “Putri Salima menolak dikawal oleh tentara pria. Sed
Satya berdiri tegak di depan peta besar yang terpampang di dinding markas. Suasana di ruang briefing terasa dingin, hampir sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki para perwira yang berkeliling dengan wajah serius. Satu tangan Satya menyentuh dagunya, sementara matanya mengikuti pergerakan pasukan yang terencana. Tapi pikirannya tidak sepenuhnya di sini. Di balik setiap keputusan yang ia buat—setiap arahan yang ia beri—ada Reina. Pesan samar yang disampaikan pagi tadi… "Mendaki gunung, gak ada sinyal"—kata-kata itu berputar-putar dalam kepalanya, tak bisa ia pahami sepenuhnya. Perasaan tidak tenang menggigitnya, sesuatu yang jarang ia rasakan dalam situasi perang atau medan tugas. Namun, ini bukan waktunya untuk melibatkan perasaan pribadi. Dia seorang prajurit, pemimpin, bukan suami yang tengah terluka karena ketidakpastian. Satya menarik napas panjang dan menatap peta di depannya lagi. "Komandan Satya," suara Mayor Irwan mengalihkan fokusnya. "Rencana serangan di sektor timur su