Home / Romansa / Antara Misi Dan Hati / Bab 35 Memperhatikan Tanpa Suara

Share

Bab 35 Memperhatikan Tanpa Suara

Author: Fei Adhista
last update Huling Na-update: 2025-04-23 23:19:08
Udara mulai sejuk saat matahari bergeser perlahan ke arah barat. Sinar emas menimpa jendela-jendela toko antik dan bangunan bergaya kolonial di distrik Kota Tua, membuat suasana sore itu seperti potongan lukisan klasik yang hangat dan hidup.

Pasar seni mingguan baru saja dibuka. Musik akustik mengalun dari arah pelataran taman, aroma karamel dan kopi panggang menyelinap dari deretan kedai kecil di sepanjang jalan berbatu. Orang-orang ramai berlalu-lalang, sebagian berfoto, sebagian duduk menikmati waktu di bangku taman yang teduh oleh pepohonan tua.

Satya berdiri di pinggir trotoar, tangan di saku, menatap Reina yang tengah sibuk memilih bunga kering dari stan kerajinan tangan. Wajah pria itu terlihat seperti biasa—dingin, tenang, nyaris bosan—tapi kenyataannya, ia sudah tak tahu berapa kali menghela napas sejak akhirnya menyerah pada rayuan Reina satu jam lalu.

Flashback singkat—di rumah Satya:

“Ayo, jalan sebentar aja… aku harus balik besok pagi,” ujar Reina dengan mata berbi
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Kaugnay na kabanata

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 36 Kamu Cemburu, ya?

    “Satya!” Langkahnya terhenti. Suara itu terlalu tajam untuk diabaikan. Ia menoleh—dan seperti yang ia duga, sosok anggun dengan sorot mata menyebalkan itu datang menghampiri dengan kepercayaan diri berlebih. Satya hanya sempat melirik ke arah Reina, yang dengan cekatan menyelinap ke balik meja pedagang kain. Reflek. Cepat. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Tapi Satya juga tahu—wanita itu akan melihat semuanya. Ia berbalik, tepat saat Naila berdiri hanya sejengkal darinya. “Aku kira kamu di perbatasan,” ucap Naila, menyentuh lengannya dengan cara yang terlalu akrab. “Ternyata kamu diam-diam kembali ke kota.” Satya tidak menepis sentuhan itu, tapi tubuhnya tetap kaku. “Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu, Naila.” “Oh, jadi sekarang kamu lebih suka menyelinap ke pasar seperti rakyat biasa?” tanyanya dengan senyum miring. “Romantis sekali... kau sendirian?” Satya tidak menjawab. Ia hanya melangkah pelan, menjauh dari meja tempat Reina bersembunyi. Naila ikut melangkah, tentu

    Huling Na-update : 2025-04-24
  • Antara Misi Dan Hati    Bab 37 Kita Hanya Tidur Seranjang

    Langit pagi masih abu-abu. Aroma kopi yang dibiarkan dingin di meja dapur menyatu dengan sunyi yang menggantung di antara mereka. Reina berdiri di ambang pintu, jaket sudah di tangan, ransel siap di punggungnya. Tapi tatapan Satya tetap menusuk, tajam dan dingin.“Kamu gak akan jelasin sama sekali?” tanya Satya akhirnya, suaranya rendah, penuh tekanan.Reina menghela napas, mengalihkan pandangan. “Sudah kubilang semalam, jangan tanya soal pekerjaanku.”“Kamu tinggal di rumah ini. Tidur di ranjang yang sama. Tapi masih bicara seolah aku orang asing.” Satya berjalan pelan, tubuhnya tegak, matanya tak berpaling.“Aku gak pernah suruh kamu ikut campur.” Suara Reina meninggi sedikit. “Justru kamu yang nikahin aku tanpa tahu siapa aku.”Satya menyipit. “Dan kamu gak pernah kasih aku kesempatan buat tahu.”Reina mendengus. “Kamu gak pernah nanya!”“Karena kamu selalu ngasih tembok setiap kali aku dekati.”Suasana mengeras. Udara di antara mereka seperti pecahan kaca—tajam dan siap melukai."

    Huling Na-update : 2025-04-25
  • Antara Misi Dan Hati    Kejutan Tak Terduga

    Reina melangkah ringan di lorong rumah sakit, senyumnya tak bisa ditahan. Hari ini adalah hari yang sudah lama ia nantikan. Setelah berbulan-bulan bertugas di luar pulau akhirnya ia mendapat cuti, setelah tiga hari bertemu keluarga kini dia bisa bertemu dengan Vino, kekasihnya.Ia membayangkan ekspresi terkejut Vino saat melihatnya tiba-tiba muncul di ruangannya. Mungkin pria itu akan memeluknya erat atau sekadar tersenyum lebar seperti biasa. Namun, senyumnya perlahan pudar saat mendapati ruangan dokter itu kosong. Tak ada tanda-tanda keberadaan Vino. Rasa cemas mulai merayap di benaknya.“Permisi, Dokter Vino ada?” tanya Reina pada seorang perawat yang kebetulan lewat.Perawat itu tampak ragu sejenak, lalu menjawab dengan nada hati-hati, “Dokter Vino sudah tidak bertugas di sini lagi, Mbak.”Reina mengernyit. “Maksudnya?”Perawat itu menghela napas. “Dokter Vino sudah pergi ke Amerika minggu lalu. Dia melanjutkan pendidikannya di sana.”Dunia Reina seketika terasa hampa. Suara-suar

    Huling Na-update : 2025-03-05
  • Antara Misi Dan Hati    Pertemuan tak Terduga

    Asap mesiu masih menguar di udara saat suara derap kaki terdengar dari segala penjuru. Kapten Satya Yudha Pratama berdiri di tengah reruntuhan desa kecil, dikepung puluhan pemberontak bersenjata lengkap.Di sekelilingnya, para prajuritnya telah gugur atau tertangkap. Hanya dia seorang yang tersisa.Seorang pemberontak bertubuh besar melangkah mendekat, menyeringai puas. “Kapten besar dari Malaca jatuh ke perangkap kami seperti tikus bodoh.”Tawa mencemooh bergema.“Katanya kau legenda di medan perang. Nyatanya? Kau hanya manusia biasa.”Satya tetap diam, ekspresinya tak berubah. Matanya menyapu medan—reruntuhan, mayat bergelimpangan, senjata yang berserakan.Seorang pemberontak lain menodongkan senapan ke arahnya. “Menyerahlah. Pangeran Ardian pasti akan membayarmu mahal jika kami menyerahkanmu hidup-hidup.”Alih-alih takut, Satya tersenyum tipis. “Kalian pikir aku masuk perangkap?”Para pemberontak mengernyit. Saat itu juga—Satya bergerak.Dengan kecepatan luar biasa, ia merunduk, me

    Huling Na-update : 2025-03-05
  • Antara Misi Dan Hati    Tersesat di Tanah Asing

    Reina terbatuk, asap tebal masih membekas di tenggorokannya saat dia berjalan tertatih di antara pepohonan. Panas dari kebakaran semalam masih terasa di kulitnya, meski kini hanya ada kegelapan dan hawa lembab hutan yang menyelimutinya. Kakinya yang terluka berusaha melangkah stabil di atas tanah berlumpur. Tak ada tanda-tanda kehidupan, hanya suara serangga dan sesekali lolongan binatang buas yang menggema dari kejauhan.Dia tak tahu sudah berapa lama berjalan, mungkin berjam-jam, mungkin lebih. Yang dia tahu, dia harus terus bergerak. Berhenti berarti kematian, dan Reina bukan tipe orang yang menyerah begitu saja.Ketika sinar matahari mulai menembus celah dedaunan, Reina melihat sesuatu di kejauhan—gubuk-gubuk kayu yang berdiri di sepanjang sungai. Matanya menyipit, memperhatikan lebih jauh. Ada orang-orang di sana, sebagian berpakaian lusuh, sebagian bersenjata. Jantungnya berdegup lebih cepat saat dia menyadari bahwa dia telah tersesat di wilayah Ghana.Ini adalah daerah konflik.

    Huling Na-update : 2025-03-05
  • Antara Misi Dan Hati    Aku Mengenalnya

    Suasana lapangan akademi terasa menegangkan. Semua siswa berdiri tegap di bawah terik matahari, menunggu kedatangan instruktur baru yang kabarnya seorang veteran perang. Desas-desus menyebar bahwa pria ini bukan hanya sekadar tentara biasa—dia seseorang yang selamat dari neraka perang dan kembali dengan reputasi mengerikan.Reina berdiri di barisan tengah, berusaha tetap tenang seperti siswa lain. Namun, begitu seorang perwira memasuki lapangan dengan langkah tegap dan penuh wibawa, tubuhnya langsung menegang.Pria itu…Wajah yang selama tiga bulan ini ia kira sudah mati, kini berdiri di hadapannya dalam balutan seragam militer dengan pangkat Mayor Jantung Reina berdegup kencang. ‘Tidak mungkin….’ Ia mengira pria itu mati dalam kebakaran. Pria yang seharusnya sudah tiada, berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam yang menembus barisan para siswa. Reina menelan ludah.Mayor itu menatap sekeliling sebelum berbicara. “Nama saya Satya. Mulai hari ini, saya akan menjadi instruktur kali

    Huling Na-update : 2025-03-05
  • Antara Misi Dan Hati    Hukuman Menikah

    Reina sudah merasa ada yang aneh sejak latihan pagi tadi.Sejak tiba di kamp pelatihan ini, ia telah berusaha menyamar dengan baik—mengenakan pakaian longgar, merendahkan suaranya, dan menahan diri agar tidak menunjukkan reaksi mencolok. Namun, entah kenapa, sejak pertemuan pertamanya dengan Satya, pria itu memperlakukannya dengan berbeda.Latihan fisik yang seharusnya biasa tiba-tiba menjadi lebih berat. Dan yang paling menyebalkan, setiap kali ia mulai kelelahan, Satya hanya akan menatapnya dengan ekspresi datar, seolah mengamati sesuatu yang tidak ia mengerti.Apa pria itu sengaja menyiksanya?Reina mendengus kesal. Ia telah berhasil menyusup ke berbagai tempat sebelumnya, jadi kenapa sekarang justru merasa seperti tikus percobaan di tangan dingin itu? Ketika akhirnya latihan berakhir, Reina merasa cukup.Ia menuju barak perwira, mengabaikan tatapan heran dari beberapa prajurit. Langkahnya cepat, penuh tekad, dan begitu ia sampai di depan kamar Satya, ia mengetuk pintu tanpa basa-

    Huling Na-update : 2025-03-05
  • Antara Misi Dan Hati    Tiga Syarat

    Malam itu, Reina tak bisa memejamkan mata. Ia berguling ke sana kemari, memikirkan dua pilihan yang diberikan kepadanya—menerima hukuman atau menikah dengan Mayor Satya. Baginya, keduanya sama-sama tidak menyenangkan. Namun, saat mengingat keluarga Reihardi yang telah menerimanya, hatinya goyah. Ia harus membuat keputusan sebelum fajar.Pagi datang lebih cepat dari yang ia harapkan. Setelah apel pagi, Reina melangkah dengan hati berat menuju kamar Satya. Ia memastikan tak ada orang yang melihat sebelum mengetuk pintu. Begitu pintu terbuka, ia langsung masuk tanpa menunggu undangan, membuat Satya sedikit terkejut."Kau mau apa?" Satya bertanya dengan suara dingin.Reina menelan ludah, berdiri tegak di hadapan pria itu. "Aku setuju menikah denganmu. Tapi ada tiga syarat."Alis Satya sedikit terangkat, tapi ia tetap mempertahankan ekspresinya yang datar. "Syarat?""Pertama, kau harus menjamin keselamatan keluarga Reihardi, dan aku tidak mau kamu memaksaku melayanimu secara... fisik," uja

    Huling Na-update : 2025-03-24

Pinakabagong kabanata

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 37 Kita Hanya Tidur Seranjang

    Langit pagi masih abu-abu. Aroma kopi yang dibiarkan dingin di meja dapur menyatu dengan sunyi yang menggantung di antara mereka. Reina berdiri di ambang pintu, jaket sudah di tangan, ransel siap di punggungnya. Tapi tatapan Satya tetap menusuk, tajam dan dingin.“Kamu gak akan jelasin sama sekali?” tanya Satya akhirnya, suaranya rendah, penuh tekanan.Reina menghela napas, mengalihkan pandangan. “Sudah kubilang semalam, jangan tanya soal pekerjaanku.”“Kamu tinggal di rumah ini. Tidur di ranjang yang sama. Tapi masih bicara seolah aku orang asing.” Satya berjalan pelan, tubuhnya tegak, matanya tak berpaling.“Aku gak pernah suruh kamu ikut campur.” Suara Reina meninggi sedikit. “Justru kamu yang nikahin aku tanpa tahu siapa aku.”Satya menyipit. “Dan kamu gak pernah kasih aku kesempatan buat tahu.”Reina mendengus. “Kamu gak pernah nanya!”“Karena kamu selalu ngasih tembok setiap kali aku dekati.”Suasana mengeras. Udara di antara mereka seperti pecahan kaca—tajam dan siap melukai."

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 36 Kamu Cemburu, ya?

    “Satya!” Langkahnya terhenti. Suara itu terlalu tajam untuk diabaikan. Ia menoleh—dan seperti yang ia duga, sosok anggun dengan sorot mata menyebalkan itu datang menghampiri dengan kepercayaan diri berlebih. Satya hanya sempat melirik ke arah Reina, yang dengan cekatan menyelinap ke balik meja pedagang kain. Reflek. Cepat. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Tapi Satya juga tahu—wanita itu akan melihat semuanya. Ia berbalik, tepat saat Naila berdiri hanya sejengkal darinya. “Aku kira kamu di perbatasan,” ucap Naila, menyentuh lengannya dengan cara yang terlalu akrab. “Ternyata kamu diam-diam kembali ke kota.” Satya tidak menepis sentuhan itu, tapi tubuhnya tetap kaku. “Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu, Naila.” “Oh, jadi sekarang kamu lebih suka menyelinap ke pasar seperti rakyat biasa?” tanyanya dengan senyum miring. “Romantis sekali... kau sendirian?” Satya tidak menjawab. Ia hanya melangkah pelan, menjauh dari meja tempat Reina bersembunyi. Naila ikut melangkah, tentu

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 35 Memperhatikan Tanpa Suara

    Udara mulai sejuk saat matahari bergeser perlahan ke arah barat. Sinar emas menimpa jendela-jendela toko antik dan bangunan bergaya kolonial di distrik Kota Tua, membuat suasana sore itu seperti potongan lukisan klasik yang hangat dan hidup. Pasar seni mingguan baru saja dibuka. Musik akustik mengalun dari arah pelataran taman, aroma karamel dan kopi panggang menyelinap dari deretan kedai kecil di sepanjang jalan berbatu. Orang-orang ramai berlalu-lalang, sebagian berfoto, sebagian duduk menikmati waktu di bangku taman yang teduh oleh pepohonan tua. Satya berdiri di pinggir trotoar, tangan di saku, menatap Reina yang tengah sibuk memilih bunga kering dari stan kerajinan tangan. Wajah pria itu terlihat seperti biasa—dingin, tenang, nyaris bosan—tapi kenyataannya, ia sudah tak tahu berapa kali menghela napas sejak akhirnya menyerah pada rayuan Reina satu jam lalu. Flashback singkat—di rumah Satya: “Ayo, jalan sebentar aja… aku harus balik besok pagi,” ujar Reina dengan mata berbi

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 34 Lebih Baik Aku Tidak Tahu

    Mentari pagi menyusup lewat celah-celah jendela rumah dinas yang tenang. Aroma roti panggang dan telur orak-arik menyatu dengan udara sejuk khas distrik Selatan. Di dapur, Satya berdiri tegak di depan kompor, mengenakan kaus polos dan celana taktikal yang belum sempat diganti. Ia tampak sibuk, tapi tidak benar-benar tergesa. Setiap gerakannya tenang dan terukur—seperti biasa. Tapi, tidak ada yang benar-benar biasa pagi itu. Reina berdiri di ambang pintu, menatap punggung suaminya yang tampak enggan menyapanya. Ia masih mengenakan pakaian kasual yang sama—hoodie abu-abu dan jeans gelap. Tas kecil masih tersampir di bahu. Langkahnya ragu-ragu, seolah udara di dalam rumah ini lebih berat dari di luar. “Aku bisa bantu goreng roti kalau kamu…” katanya mencoba membuka percakapan. “Duduk saja.” Suaranya datar, nyaris tanpa nada. Reina menuruti, perlahan duduk di kursi dekat meja makan. Matanya sesekali melirik ke arah Satya, mencari-cari isyarat. Tapi yang ia temukan hanyalah punggung

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 33 Diam Yang Tak Bisa Kutebus

    Halte tua di ujung jalan distrik Istana Selatan, siang menjelang sore.Langit cerah, tapi hawa kota terasa lengang tak biasa. Reina duduk di bangku halte, mengenakan hoodie abu-abu dan celana jeans gelap. Rambutnya digerai, membuatnya tampak seperti gadis biasa—jauh dari sosok 'putri' yang selama ini disandangnya. Di sampingnya, Malik berdiri sambil mengunyah permen karet, mengenakan kaus putih dan jaket denim.“Putri Alliya, yakin nggak salah naik bus umum?” goda Malik sambil melirik kiri-kanan.Reina memutar bola mata dan menegur jahil, “Ssst! Kalau di luar, panggil aku Rei. Masa penyamaranmu gagal total kalau ngomong gitu keras-keras.”Malik terkekeh. “Baiklah, Rei. Tapi maaf ya, tetap gak bisa lupa kamu itu tentara pria ... yang nyamar jadi putri lain... dan sekarang nyamar jadi rakyat jelata. Multitalenta banget.”Reina meninju lengan Malik pelan. “Mulutmu itu, lho.”Mereka tertawa kecil. Tak ada satu pun kendaraan lewat selama hampir lima belas menit. Hanya angin yang sesekali m

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 32

    Langkah Reina terhenti di depan pintu besar berukir emas. Dua penjaga membukakan jalan, dan ia melangkah masuk dengan hati sedikit berdebar. Gaun pastel yang ia kenakan malam itu terasa ringan di tubuh, tapi berat di hati. Bukan karena bahan, tapi karena identitas yang melekat padanya—Putri Alliya.Di ujung aula, Raja Mahesa duduk di kursi singgasananya, tidak mengenakan mahkota, hanya pakaian santai berwarna gading. Sorot matanya tajam, namun tidak mengintimidasi. Seperti seorang ayah yang memanggil anaknya setelah sekian lama.Reina menunduk dalam-dalam. “Hamba menghadap, Paduka.”Raja memandangi wajahnya dengan seksama, lalu tersenyum samar. “Reihardi... atau harusnya kupanggil Putri Alliya?”Reina menahan napas sejenak. Ia tidak tahu harus menjawab yang mana.Raja lalu berdiri perlahan dan berjalan mendekatinya. “Kau tahu, ketika Kolonel Bima menyerahkan laporanmu padaku, aku sempat ragu. Tapi melihatmu sekarang... aku bahkan lupa bahwa kau bukan wanita sesungguhnya.”Reina tersen

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 31 Sepucuk Surat Untuk Alliya

    MARKAS SEMENTARA PASUKAN PERDAMAIAN PBB Perbatasan Malaca – Ghana Langit mulai meremang keemasan saat Kapten Arian kembali dari pertemuannya dengan Mayor Satya. Debu perbatasan melekat di sepatu botnya, tapi wajahnya tetap tenang, meski pikirannya penuh dengan percakapan tegang yang baru saja terjadi. Di sisi markas, tiga prajurit Indonesia berdiri sambil duduk santai di peti-peti suplai. Mereka langsung berdiri dan memberi hormat saat melihat Arian mendekat. “Siap, Kapten!” sapa salah satu dari mereka, Letda Faiz. Arian mengangguk sambil membuka helmnya. “Tenang saja. Di sini bukan barak utama. Duduk.” Mereka kembali duduk, dan Arian ikut duduk di peti di samping mereka. Ada kopi instan di termos baja yang dibagikan. Aroma yang familiar menyambut mereka di tengah wilayah netral, namun penuh ketegangan. “Kalian sempat pantau wilayah timur?” tanya Arian, membuka obrolan. “Sempat, Kapten,” jawab Sersan Bayu. “Ada patroli Malaca yang agak agresif. Tapi Ghana tetap pasif, k

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 30 Koalisi Pasukan Perdamaian

    Hujan baru saja reda. Tanah merah masih basah, menempel di sepatu bot dan roda kendaraan tempur. Udara dipenuhi aroma mesiu, lumpur, dan ketegangan yang sudah terlalu lama menggantung. Satya berdiri di bawah tenda taktis, peta digital terbentang di meja komando. Beberapa perwira mengelilinginya, wajah mereka lelah tapi tetap menunggu instruksi. “Pos Delta dilaporkan diserang pukul 03.17,” kata Mayor Irwan sambil menunjuk sektor B7. “Dugaan kita, kelompok pemberontak menyelinap lewat jalur selatan yang belum ditambal ulang.” Satya mengangguk. Matanya menyipit menilai rute. “Berapa lama pasukan cadangan sampai ke Delta?” “Minimal dua jam. Medan berlumpur, jalan terputus. Tapi kita bisa kirim drone pengintai dulu.” “Lakukan.” Suara Satya tetap tenang, padat, dan tanpa keraguan. Ia lalu melangkah keluar tenda, menatap langit kelabu yang menggantung rendah. Di kejauhan, suara tembakan samar masih terdengar, jauh tapi terasa dekat di dadanya. Sebagai pemimpin, dia terbiasa dengan keka

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 29 Pelatihan Intensif

    Reina berdiri tegak di depan gerbang belakang istana. Udara pagi masih basah oleh embun, tapi keringat dingin sudah merembes di pelipisnya. Di balik gerbang itu, identitas lamanya akan dikubur. Di dalamnya, bukan Reina, bukan Serda Reihardi, tapi seseorang yang harus ia mainkan dengan sempurna, Putri Alliya—darah bangsawan Ghana yang sudah lama dikabarkan wafat. "Gerbang akan dibuka. Identifikasi," suara datar penjaga menghentikan pikirannya. Reina menunjukkan kartu kode merah yang tadi pagi diberikan kapten Jian. Sidik jarinya dipindai. Sepuluh detik menegangkan sebelum lampu indikator berubah hijau. Pintu besi terbuka pelan. Sambutan pertama bukan karpet merah, tapi lorong batu sunyi dan kamera tersembunyi di setiap sudut. Di ujung lorong, seorang wanita berusia sekitar empat puluhan menunggunya. Tegas. Dingin. Mengenakan seragam pelatih istana berwarna hitam. “Namaku, Marise. Mulai detik ini, kau adalah Alliya. Bukan Reihardi. Kau bukan siapa-siapa selain dia. Lupakan semua k

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status