Malam itu, Reina tak bisa memejamkan mata. Ia berguling ke sana kemari, memikirkan dua pilihan yang diberikan kepadanya—menerima hukuman atau menikah dengan Mayor Satya. Baginya, keduanya sama-sama tidak menyenangkan. Namun, saat mengingat keluarga Reihardi yang telah menerimanya, hatinya goyah. Ia harus membuat keputusan sebelum fajar.
Pagi datang lebih cepat dari yang ia harapkan. Setelah apel pagi, Reina melangkah dengan hati berat menuju kamar Satya. Ia memastikan tak ada orang yang melihat sebelum mengetuk pintu. Begitu pintu terbuka, ia langsung masuk tanpa menunggu undangan, membuat Satya sedikit terkejut. "Kau mau apa?" Satya bertanya dengan suara dingin. Reina menelan ludah, berdiri tegak di hadapan pria itu. "Aku setuju menikah denganmu. Tapi ada tiga syarat." Alis Satya sedikit terangkat, tapi ia tetap mempertahankan ekspresinya yang datar. "Syarat?" "Pertama, kau harus menjamin keselamatan keluarga Reihardi, dan aku tidak mau kamu memaksaku melayanimu secara... fisik," ujar Reina tegas. Sejenak mereka terdiam, seketika suasana menjadi hening. Lalu, yang tidak ia duga terjadi—Satya tersenyum. Bahkan, tak lama kemudian, ia tertawa kecil dan Reina menatapnya dengan penuh curiga. "Apa yang lucu?" Satya melipat tangannya di dada, menatapnya dengan sorot mata penuh misteri. "Kau pikir aku menginginkan tubuhmu? Tidak, Nona. Aku hanya membutuhkan surat nikah. Setelah semua yang kuinginkan tercapai, aku akan menceraikanmu." Reina masih terdiam di tempatnya, mencerna kata-kata Satya. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatnya merasa tak nyaman, seolah ia hanya alat dalam rencananya. Satya berjalan melewatinya, lalu berhenti tepat di belakangnya. Suara beratnya terdengar di dekat telinganya, dingin namun penuh keyakinan. “Aku hanya butuh pernikahan ini untuk kepentinganku, Rei. Tidak lebih.” Reina mengepalkan tangan. Ia sudah menduganya, tapi mendengar langsung dari mulut Satya membuat dadanya sedikit sesak. Ia menarik napas dalam, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil. “Baik. Tapi aku belum menyebutkan syarat kedua.” Satya berbalik menatapnya. “Apa lagi?” Reina menegakkan tubuhnya, menatap lurus ke mata pria itu. “Aku ingin kebebasan. Aku tidak mau hidup seperti tahanan setelah menikah denganmu.” Satya mengamati wajahnya sejenak sebelum tersenyum tipis. “Kebebasan, ya?” “Ya,” jawab Reina mantap. Lelaki itu mengangguk, lalu berjalan mendekatinya hingga jarak mereka hanya beberapa jengkal. Reina bisa merasakan hawa dingin yang selalu menyelimuti pria ini. “Baik. Aku terima syarat keduamu. Lantas syarat terakhir apa?” “Syarat ketiga akan kusampaikan nanti.” Satya pun mengangguk Reina sempat terkejut karena Satya tidak banyak berdebat. Ia mengira pria itu akan menolaknya atau setidaknya memberikan syarat balasan. “Tapi ingat satu hal, Rei,” lanjut Satya, nadanya terdengar lebih serius. “Meski kita menikah tanpa perasaan, begitu kau menyandang namaku, kau tetap istriku di mata dunia. Jangan pernah melakukan hal yang membuatku menyesali keputusanku. Lalu, ceritakan siapa dirimu?” Reina menatapnya tajam, lalu mengangguk. “Jangan khawatir, Mayor. Aku pun tidak ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu dari yang diperlukan.” Satya menyunggingkan senyum tipis. “Bagus.” Tanpa berkata apa-apa lagi, Reina hendak melangkah keluar, meninggalkan Satya yang masih berdiri di tempatnya. Hatinya terasa berat, tapi ia tahu ini adalah keputusan terbaik untuk saat ini. Saat Reina hendak melangkah pergi, tiba-tiba Satya menarik pergelangan tangannya. Tatapan pria itu tajam, penuh selidik. “Kau belum menjawab pertanyaanku,” katanya tenang. “Kamu belum memberitahuku siapa dirimu?” Reina mengangkat dagunya sedikit, berusaha tetap tenang meskipun hatinya berdebar. “Namaku Reina Wardhani.” “Asalmu?” Sekilas, Reina ragu. Ia tak mungkin mengaku sebagai tentara perdamaian, apalagi di daerah konflik seperti ini. Akhirnya, ia memutuskan untuk tetap memakai identitas yang lebih aman. “Aku tidak punya asal,” jawabnya. “Sejak kecil aku hanyalah seorang pengemis. Aku diselamatkan oleh keluarga Reihardi dan mereka merawatku, di sana aku menggunakan identitas anak perempuanya yang sudah meninggal.” Satya menyipitkan mata, menatapnya dengan tajam. “Tidak punya identitas, ya?” Reina mengangguk. “Bagaimana kita bisa mendapatkan surat nikah jika aku bahkan tidak memiliki dokumen resmi?” Satya menyeringai, seolah itu bukan masalah besar baginya. Namun, sebelum pria itu sempat berbicara, Reina menambahkan sesuatu yang membuatnya terdiam. “Tapi kalau kita menikah, aku ingin pernikahan ini dilakukan sesuai agamaku. Meskipun pernikahan kita hanyalah formalitas, dan sah di mata hukum tetap aku harus kaunikahi secara agama. Ijab Qabul” Satya menatapnya dalam diam. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil, entah mengejek atau benar-benar tertarik dengan permintaan itu. “Jadi kau ingin dinikahkan oleh seorang naib?” tanyanya. Reina mengangguk tegas. “Ya.” Tawa kecil lolos dari bibir Satya. “Aku pikir kau akan meminta sesuatu yang lebih sulit. Itu artinya kau akan benar – benar menjadi istriku baik di mata hukum atau agama.” Reina mengerutkan kening, tidak mengerti kenapa pria itu tiba-tiba tersenyum seperti itu. “Satu hal lagi, setelah kita menikah izinkan aku tetap di sini mengikuti pelatihan dan ikut ke perbatasan.” “Apakah ini syarat ketiga?” “Tidak.” Satya menyandarkan tubuhnya ke dinding, menatapnya penuh arti. “Baiklah, Reina. Aku akan memenuhi permintaanmu.” Meskipun nadanya ringan, ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuat Reina tahu—ini bukan hanya sekadar pernikahan palsu bagi Satya. Pria itu jelas punya rencana sendiri. Dan ia harus siap menghadapinya. Sudah dua hari berlalu sejak perjanjian pernikahan mereka, tetapi Satya sama sekali tak pernah menyapa Reina. Pria itu memperlakukannya seolah mereka adalah dua orang asing yang tak saling mengenal. Reina sebenarnya tidak peduli. Ia tahu pernikahan ini hanya formalitas. Namun, tetap saja, sikap Satya yang seolah tak peduli membuatnya sedikit kesal. Hari ini pun sama. Satya berlalu begitu saja tanpa kata, tanpa lirikan. Namun, sesuatu yang berbeda terjadi. Saat Reina sedang duduk sendirian di taman belakang asrama, tiba-tiba sebuah botol jus dingin diletakkan di sampingnya. Tanpa suara. Tanpa sepatah kata. Reina melirik ke arah tangan yang meletakkan jus itu, lalu mendongak menatap pemiliknya. Satya. Pria itu hanya berdiri di sana selama beberapa detik sebelum melengos pergi begitu saja. Diam-diam. Reina menghela napas, menatap botol jus itu dengan bingung. “Apa-apaan ini?” gumamnya. Meski heran, ia tetap mengambil botolnya dan membuka tutupnya. Ia tak mau terlalu memikirkan maksud Satya. Lagipula, ia memang haus. Tanpa ragu, Reina menenggak jus itu dalam beberapa tegukan. Rasa dingin segar langsung mengalir ke tenggorokannya. Namun, hanya dalam hitungan menit, sesuatu terasa aneh. Perutnya mual. Kepalanya mulai berputar. Tangan Reina bergetar saat memegang botol jus itu. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. “Ugh…” Ia buru-buru berdiri, tetapi tubuhnya goyah. Dunia terasa berputar. Napasnya memburu, dan sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, pandangannya mulai kabur. Suara panik dari orang-orang di sekitarnya terdengar samar. Seseorang meraih tubuhnya yang hampir ambruk. Lalu segalanya menjadi gelap. Bisa dibuat jika fokus di pemeran pria alias Satya“Biar aku yang bawa,” suara Satya dingin dan tak terbantahkan. Sersan Hendra terkejut ketika Satya tiba-tiba mengulurkan tangan, mencegahnya membopong Reina.Hendra mengerutkan kening, ragu sejenak, tapi ia tak berani membantah. Dengan cekatan, Satya mengangkat Reina ke dalam gendongannya dan berjalan cepat menuju mobilnya.Perjalanan berlangsung dalam diam. Satya mengemudi tanpa ekspresi, sementara Reina yang masih setengah sadar hanya bisa menggeliat lemah.Namun, saat kesadarannya perlahan kembali, Reina merasakan sesuatu yang aneh. Bau antiseptik rumah sakit yang seharusnya tercium, tidak ada. Sebaliknya, ia merasakan aroma bunga dan udara yang lebih hangat.Matanya terbuka perlahan, dan yang pertama kali dilihatnya adalah langit-langit kayu berukir serta lampu gantung klasik.Ini… bukan rumah sakit.Dengan cepat, Reina mencoba bangkit, tapi tubuhnya masih terlalu lemah. Ia menoleh ke samping dan langsung terkejut melihat sosok Satya duduk di kursi, membaca dokumen dengan ekspresi
Reina duduk di sofa hotel dengan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya. Ia masih tidak percaya bahwa pernikahan itu benar-benar terjadi. Satya yang duduk di seberangnya tampak serius berbicara dengan Letnan Dito.Reina yang awalnya malas mendengarkan, tiba-tiba merasa penasaran. Perlahan, ia bangkit dan berusaha mendekat tanpa suara. Ia merapatkan tubuh ke tembok di dekat mereka, memasang telinga sebaik mungkin."Kau yakin ini keputusan yang tepat?" suara Dito terdengar serius."Aku tak punya pilihan lain. Ini harus dilakukan," jawab Satya tegas."Kalau begitu, aku akan mengurus dokumen-dokumennya."Reina semakin menajamkan pendengarannya. Apa yang harus dilakukan? Dokumen apa? Jangan-jangan Satya sedang merencanakan sesuatu yang buruk?Ia berjinjit lebih dekat, namun sialnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan karena gaun pengantinnya dan...Bruk! Reina jatuh ke lantai dengan posisi tengkurap.Dito dan Satya langsung menoleh. Dito menahan tawa sementara Satya hanya menatapnya d
Tengah malam, Reina yang baru saja berusaha memejamkan mata dikejutkan oleh suara pintu yang terbuka pelan. Ia menoleh dan melihat Satya masuk ke dalam kamar tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dengan langkah tenang, pria itu langsung merebahkan diri di sisi tempat tidur, membelakangi Reina seolah kehadirannya bukan masalah besar.Reina yang masih dalam keadaan setengah mengantuk langsung terjaga sepenuhnya. Ia bangkit dan menatap Satya dengan tatapan tak percaya. “Hei, kau salah kamar!” bisiknya tajam.Tanpa mengubah posisi, Satya hanya menghela napas. “Tidur saja. Tak perlu cemas, aku tidak akan mengganggumu.”Mata Reina menyipit curiga. “Kau pikir aku akan percaya begitu saja?”“Sebagai siswa tentara, bukankah seharusnya kau lebih berani? Dan bukankah kamu di asrama terbiasa tidur dengan banyak pria,” balas Satya santai.Reina mendengus, tapi ia tidak bisa membantah. Benar, sebagai tentara, ia tidak boleh takut, apalagi hanya berbagi tempat tidur dengan pria yang—sialnya—sekarang ad
Reina berjalan-jalan untuk mencari cara agar bisa melarikan diri dari Satya dan kembali ke perbatasan. Namun, upayanya terasa sia-sia. Tidak ada celah untuk kabur, dan penjagaan di sekitar markas begitu ketat. Setiap sudut wilayah ini dijaga oleh tentara yang siap siaga, membuat Reina frustasi.Kesempatan datang ketika Letnan Dito menawarkan untuk menemaninya berjalan-jalan di sekitar markas. Dengan penuh perhitungan, Reina berusaha memanfaatkan situasi itu. Saat mereka sampai di tempat yang cukup sepi, Reina berpura-pura lelah dan meminta untuk meminjam ponsel Dito."Sebentar saja, aku hanya ingin mengecek sesuatu," katanya dengan wajah meyakinkan.Dito sempat ragu, tapi akhirnya menyerahkan ponselnya. Dengan cepat, Reina mengetik nomor Arian dan mencoba menghubunginya. Namun, setiap kali ia menelepon, panggilannya selalu gagal tersambung. Ia menghela napas panjang, lalu segera menghapus jejak panggilannya dari daftar riwayat."Tolong, jangan ber
Satya membawa Reina ke dalam kamar begitu mereka tiba. Tanpa banyak bicara, dia membuka laci meja dan mengambil kotak P3K. Gerakannya cepat dan efisien, seperti seseorang yang sudah terbiasa menangani luka di medan tempur."Duduk," perintahnya, suaranya tetap tegas, tapi ada nada lembut yang sulit ia sembunyikan.Reina menurut, duduk di tepi ranjang. Satya berlutut di hadapannya, membuka botol antiseptik dan menuangkannya ke kapas. Dia tidak terburu-buru, memastikan setiap gerakannya tidak menambah rasa sakit.Saat kapas menyentuh luka di lengan Reina, Satya bisa merasakan tubuh perempuan itu menegang sesaat."Sakit?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan."Enggak," jawab Reina cepat, tapi wajahnya jelas berkata lain.Satya hanya mendesah pelan. Dia tahu Reina selalu berusaha terlihat kuat, tapi itu tidak mengurangi kepeduliannya. Dengan cekatan, dia mulai membalut luka itu. Namun, gerakannya tiba-tiba terhenti saat matanya menangkap sesuatu—sebuah bekas luka lama di lengan Reina. Suda
Sersan Hendra menggerutu sepanjang perjalanan menuju akademi. Sudah seminggu ini ia tidak diizinkan menjenguk Reina di rumah sakit. “Mayor Satya benar-benar aneh. Dia menahan seorang siswa di rumah sakit hanya karena pingsan. Apa dia pikir Rei itu siapa?” Di sampingnya, Reina hanya tersenyum tipis sambil melihat ke luar jendela. Dalam hati, ia justru lega karena drama ini akhirnya selesai. Setibanya di akademi, Reina langsung menuju kamarnya. Teman-temannya yang sudah lama tak melihatnya segera menyambut dengan antusias. “Reihardi! Akhirnya kamu kembali! Kami pikir kamu diculik alien!” seru Daniel sambil berusaha memeluknya, tapi Reina dengan lincah menghindar. Reina terkekeh. “Rasanya lebih parah daripada diculik alien. Aku sendirian di rumah sakit tanpa boleh dijenguk siapa pun!” Teman-temannya mendekat, penasaran ingin tahu lebih banyak. “Jadi kenapa kamu sampai pingsan? Apa benar karena kelelahan?” tanya salah satu dari mereka. Reina mengangkat bahu. “Mungkin. Aku jug
Reina menarik napas panjang sebelum melangkah keluar menuju lapangan. Ia merasa pandangan Satya kembali tertuju padanya, tapi ia tetap menatap lurus ke depan, bergabung dengan barisan siswa lain."Baik, dengarkan baik-baik!" suara lantang Mayor Satya menggema di lapangan, membuat semua siswa terdiam. "Latihan bertahan hidup ini akan berlangsung selama tujuh hari. Kalian akan dikelompokkan dalam tim kecil, dan setiap tim harus mampu bertahan di hutan tanpa bantuan eksternal. Siapa pun yang tidak mampu mengikuti aturan, akan dievaluasi lebih lanjut dan akan menjadi tentara barusan terdepan."Suasana semakin tegang. Beberapa siswa menelan ludah, sementara yang lain tampak berusaha tetap tenang. Reina tetap diam, tetapi pikirannya berputar cepat. Ia harus tetap fokus, tidak boleh menunjukkan tanda-tanda kelemahan.Satya melanjutkan, "Setiap tim akan mendapatkan satu kompas, satu pisau, dan satu kantong air. Tidak ada makanan. Kalian harus mencari sendiri. Jangan lupa, dalam kondisi darura
Hujan mulai turun saat tim Reina masih sibuk mencari tempat berlindung. Awalnya hanya gerimis kecil, tetapi dalam hitungan menit, hujan berubah menjadi badai yang menggila. "Aduh, celanaku basah semua!" keluh Daniel sambil memeluk dirinya sendiri, menggigil. "Kamu pikir aku kering?" sahut Malik, mencoba mengibaskan air dari bajunya yang sudah melekat di tubuh. "Kita semua basah kuyup!" Reina menghela napas panjang, mencoba tetap fokus di tengah situasi yang semakin sulit. "Kita harus segera mencari tempat berlindung sebelum badai semakin parah. Ada gua atau pohon besar di sekitar sini?" Tio menunjuk ke arah bebatuan di kejauhan. "Di sana ada cekungan batu! Mungkin bisa kita pakai untuk berteduh!" Mereka segera bergerak ke sana, tetapi tanah di bawah kaki mereka semakin licin. Adit terpeleset, hampir jatuh ke kubangan lumpur, tetapi Reina dengan sigap menarik kerah bajunya sebelum ia terjerembab. "Aku hampir mati barusan," desis Adit dengan napas terengah. "Kamu baru hampi
Suasana sore di paviliun timur istana Ghana diselimuti cahaya keemasan. Angin membawa aroma khas dari taman kerajaan—melati, kayu manis, dan debu halus dari tanah yang hangat. Para pelayan sibuk menyusun perjamuan penyambutan tamu kehormatan yang baru tiba dari kerajaan sekutu. Pangeran Arvid berdiri tegak di ujung balkon, mengenakan jubah biru tua yang kontras dengan kulitnya yang kecokelatan. Tatapannya menelusuri taman—bukan untuk mencari sesuatu, lebih untuk mengalihkan pikirannya dari kekakuan protokol kerajaan yang mulai membuatnya bosan. Hingga matanya tertumbuk pada seorang wanita di sisi danau buatan. Ia belum pernah melihatnya. Gaun emas lembut yang dikenakan wanita itu menyatu dengan warna senja. Langkahnya ringan, tapi penuh keyakinan. Sesekali wanita itu menunduk, berbicara ramah pada pelayan taman yang tengah menata bunga. Tidak ada gestur sombong. Tidak ada upaya mencuri perhatian. Namun justru karena itulah—ia mencuri perhatian. Pangeran Arvid terdiam cukup lama s
Langit pagi masih abu-abu. Aroma kopi yang dibiarkan dingin di meja dapur menyatu dengan sunyi yang menggantung di antara mereka. Reina berdiri di ambang pintu, jaket sudah di tangan, ransel siap di punggungnya. Tapi tatapan Satya tetap menusuk, tajam dan dingin.“Kamu gak akan jelasin sama sekali?” tanya Satya akhirnya, suaranya rendah, penuh tekanan.Reina menghela napas, mengalihkan pandangan. “Sudah kubilang semalam, jangan tanya soal pekerjaanku.”“Kamu tinggal di rumah ini. Tidur di ranjang yang sama. Tapi masih bicara seolah aku orang asing.” Satya berjalan pelan, tubuhnya tegak, matanya tak berpaling.“Aku gak pernah suruh kamu ikut campur.” Suara Reina meninggi sedikit. “Justru kamu yang nikahin aku tanpa tahu siapa aku.”Satya menyipit. “Dan kamu gak pernah kasih aku kesempatan buat tahu.”Reina mendengus. “Kamu gak pernah nanya!”“Karena kamu selalu ngasih tembok setiap kali aku dekati.”Suasana mengeras. Udara di antara mereka seperti pecahan kaca—tajam dan siap melukai."
“Satya!” Langkahnya terhenti. Suara itu terlalu tajam untuk diabaikan. Ia menoleh—dan seperti yang ia duga, sosok anggun dengan sorot mata menyebalkan itu datang menghampiri dengan kepercayaan diri berlebih. Satya hanya sempat melirik ke arah Reina, yang dengan cekatan menyelinap ke balik meja pedagang kain. Reflek. Cepat. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Tapi Satya juga tahu—wanita itu akan melihat semuanya. Ia berbalik, tepat saat Naila berdiri hanya sejengkal darinya. “Aku kira kamu di perbatasan,” ucap Naila, menyentuh lengannya dengan cara yang terlalu akrab. “Ternyata kamu diam-diam kembali ke kota.” Satya tidak menepis sentuhan itu, tapi tubuhnya tetap kaku. “Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu, Naila.” “Oh, jadi sekarang kamu lebih suka menyelinap ke pasar seperti rakyat biasa?” tanyanya dengan senyum miring. “Romantis sekali... kau sendirian?” Satya tidak menjawab. Ia hanya melangkah pelan, menjauh dari meja tempat Reina bersembunyi. Naila ikut melangkah, tentu
Udara mulai sejuk saat matahari bergeser perlahan ke arah barat. Sinar emas menimpa jendela-jendela toko antik dan bangunan bergaya kolonial di distrik Kota Tua, membuat suasana sore itu seperti potongan lukisan klasik yang hangat dan hidup. Pasar seni mingguan baru saja dibuka. Musik akustik mengalun dari arah pelataran taman, aroma karamel dan kopi panggang menyelinap dari deretan kedai kecil di sepanjang jalan berbatu. Orang-orang ramai berlalu-lalang, sebagian berfoto, sebagian duduk menikmati waktu di bangku taman yang teduh oleh pepohonan tua. Satya berdiri di pinggir trotoar, tangan di saku, menatap Reina yang tengah sibuk memilih bunga kering dari stan kerajinan tangan. Wajah pria itu terlihat seperti biasa—dingin, tenang, nyaris bosan—tapi kenyataannya, ia sudah tak tahu berapa kali menghela napas sejak akhirnya menyerah pada rayuan Reina satu jam lalu. Flashback singkat—di rumah Satya: “Ayo, jalan sebentar aja… aku harus balik besok pagi,” ujar Reina dengan mata berbi
Mentari pagi menyusup lewat celah-celah jendela rumah dinas yang tenang. Aroma roti panggang dan telur orak-arik menyatu dengan udara sejuk khas distrik Selatan. Di dapur, Satya berdiri tegak di depan kompor, mengenakan kaus polos dan celana taktikal yang belum sempat diganti. Ia tampak sibuk, tapi tidak benar-benar tergesa. Setiap gerakannya tenang dan terukur—seperti biasa. Tapi, tidak ada yang benar-benar biasa pagi itu. Reina berdiri di ambang pintu, menatap punggung suaminya yang tampak enggan menyapanya. Ia masih mengenakan pakaian kasual yang sama—hoodie abu-abu dan jeans gelap. Tas kecil masih tersampir di bahu. Langkahnya ragu-ragu, seolah udara di dalam rumah ini lebih berat dari di luar. “Aku bisa bantu goreng roti kalau kamu…” katanya mencoba membuka percakapan. “Duduk saja.” Suaranya datar, nyaris tanpa nada. Reina menuruti, perlahan duduk di kursi dekat meja makan. Matanya sesekali melirik ke arah Satya, mencari-cari isyarat. Tapi yang ia temukan hanyalah punggung
Halte tua di ujung jalan distrik Istana Selatan, siang menjelang sore.Langit cerah, tapi hawa kota terasa lengang tak biasa. Reina duduk di bangku halte, mengenakan hoodie abu-abu dan celana jeans gelap. Rambutnya digerai, membuatnya tampak seperti gadis biasa—jauh dari sosok 'putri' yang selama ini disandangnya. Di sampingnya, Malik berdiri sambil mengunyah permen karet, mengenakan kaus putih dan jaket denim.“Putri Alliya, yakin nggak salah naik bus umum?” goda Malik sambil melirik kiri-kanan.Reina memutar bola mata dan menegur jahil, “Ssst! Kalau di luar, panggil aku Rei. Masa penyamaranmu gagal total kalau ngomong gitu keras-keras.”Malik terkekeh. “Baiklah, Rei. Tapi maaf ya, tetap gak bisa lupa kamu itu tentara pria ... yang nyamar jadi putri lain... dan sekarang nyamar jadi rakyat jelata. Multitalenta banget.”Reina meninju lengan Malik pelan. “Mulutmu itu, lho.”Mereka tertawa kecil. Tak ada satu pun kendaraan lewat selama hampir lima belas menit. Hanya angin yang sesekali m
Langkah Reina terhenti di depan pintu besar berukir emas. Dua penjaga membukakan jalan, dan ia melangkah masuk dengan hati sedikit berdebar. Gaun pastel yang ia kenakan malam itu terasa ringan di tubuh, tapi berat di hati. Bukan karena bahan, tapi karena identitas yang melekat padanya—Putri Alliya.Di ujung aula, Raja Mahesa duduk di kursi singgasananya, tidak mengenakan mahkota, hanya pakaian santai berwarna gading. Sorot matanya tajam, namun tidak mengintimidasi. Seperti seorang ayah yang memanggil anaknya setelah sekian lama.Reina menunduk dalam-dalam. “Hamba menghadap, Paduka.”Raja memandangi wajahnya dengan seksama, lalu tersenyum samar. “Reihardi... atau harusnya kupanggil Putri Alliya?”Reina menahan napas sejenak. Ia tidak tahu harus menjawab yang mana.Raja lalu berdiri perlahan dan berjalan mendekatinya. “Kau tahu, ketika Kolonel Bima menyerahkan laporanmu padaku, aku sempat ragu. Tapi melihatmu sekarang... aku bahkan lupa bahwa kau bukan wanita sesungguhnya.”Reina tersen
MARKAS SEMENTARA PASUKAN PERDAMAIAN PBB Perbatasan Malaca – Ghana Langit mulai meremang keemasan saat Kapten Arian kembali dari pertemuannya dengan Mayor Satya. Debu perbatasan melekat di sepatu botnya, tapi wajahnya tetap tenang, meski pikirannya penuh dengan percakapan tegang yang baru saja terjadi. Di sisi markas, tiga prajurit Indonesia berdiri sambil duduk santai di peti-peti suplai. Mereka langsung berdiri dan memberi hormat saat melihat Arian mendekat. “Siap, Kapten!” sapa salah satu dari mereka, Letda Faiz. Arian mengangguk sambil membuka helmnya. “Tenang saja. Di sini bukan barak utama. Duduk.” Mereka kembali duduk, dan Arian ikut duduk di peti di samping mereka. Ada kopi instan di termos baja yang dibagikan. Aroma yang familiar menyambut mereka di tengah wilayah netral, namun penuh ketegangan. “Kalian sempat pantau wilayah timur?” tanya Arian, membuka obrolan. “Sempat, Kapten,” jawab Sersan Bayu. “Ada patroli Malaca yang agak agresif. Tapi Ghana tetap pasif, k
Hujan baru saja reda. Tanah merah masih basah, menempel di sepatu bot dan roda kendaraan tempur. Udara dipenuhi aroma mesiu, lumpur, dan ketegangan yang sudah terlalu lama menggantung. Satya berdiri di bawah tenda taktis, peta digital terbentang di meja komando. Beberapa perwira mengelilinginya, wajah mereka lelah tapi tetap menunggu instruksi. “Pos Delta dilaporkan diserang pukul 03.17,” kata Mayor Irwan sambil menunjuk sektor B7. “Dugaan kita, kelompok pemberontak menyelinap lewat jalur selatan yang belum ditambal ulang.” Satya mengangguk. Matanya menyipit menilai rute. “Berapa lama pasukan cadangan sampai ke Delta?” “Minimal dua jam. Medan berlumpur, jalan terputus. Tapi kita bisa kirim drone pengintai dulu.” “Lakukan.” Suara Satya tetap tenang, padat, dan tanpa keraguan. Ia lalu melangkah keluar tenda, menatap langit kelabu yang menggantung rendah. Di kejauhan, suara tembakan samar masih terdengar, jauh tapi terasa dekat di dadanya. Sebagai pemimpin, dia terbiasa dengan keka