Masakan Naya memang sudah menjadi candu bagi Damian dari semenjak menikah hingga sekarang, dia sudah menerapkan hidup sehat sedari kecil karena lebih memilih masakan rumahan yang dibuat langsung oleh ibunya.
Setelah selesai mengisi perut, semangat Damian kini kembali lagi. Naya menyusun piring kotor di meja diikuti oleh Damian yang membantunya.
"Eh ... nggak usah," ucap Naya takut.
"Biasanya juga saya bantuin," balas Damian.
Naya menghembuskan napasnya pasrah, kalau dilanjutkan, pastinya dia kalah berdebat dengan orang yang ada di hadapannya ini.
Jadilah, keduanya mencuci piring bersama-sama.
"Papa, emang Aslan mau punya adik?" pertanyaan itu seketika membuat kedua orang tuanya sontak kaget.
Damian melirik pada Naya sekilas, wajah wanita yang ada di sampingnya itu sudah memerah seperti udang.
"Siapa yang ngasih tahu, Aslan?" tanya Damian.
"Oma," balas Aslan.
Damian tidak menjawab lagi, hingga membuat rasa penasaran Aslan semakin bertambah. "Papa benaran mau kasih Aslan adik?" tanyanya sekali lagi.
"Aslan belum boleh tahu," balas Damian lagi.
"Loh, kok belum? Aslan mau tahu."
"Itu hanya rahasia Tuhan, Papa dan Mama. Nanti ada saatnya Aslan tahu."
Naya bersyukur Damian bisa menjawab pertanyaan random Aslan, lagian anak itu otaknya sudah mirip papanya sendiri. Harus mendapatkan jawaban yang pasti baru mau berhenti bertanya. Jika tidak, dia akan terus bertanya tanpa kenal lelah.
"Oh, rahasia. Berarti, mama sama papa harus tutup mulut dong. Nggak boleh kasih tahu Aslan," ujar anak itu setelah mengerti.
Usai mencuci piring, Naya memilih tinggal di kamarnya yang dulu. Apalagi, orang tuanya tidak pernah merekap kamarnya setelah menikah. Lagian, dia masih sering berkunjung ke sini.
Dibukanya lemari bernuansa pink yang dikira kosong, ternyata ada pakaian santainya bersama dengan Damian juga. Seketika, dia mengucap syukur karena tidak harus balik ke rumah untuk mengambilnya lagi.
"Sedang apa?" tanya Damian yang seketika masuk di kamarnya.
Naya menengok ke belakang Damian, tidak ada Aslan yang mengekori suaminya. "Mana Aslan?" tanya Naya balik tanpa menjawab pertanyaan Damian.
"Ke Oma dan Opanya," balas Damian yang kini telah berbaring santai di King size yang masih enak ditiduri itu.
Naya mengambil kaos hitam dan celana pendek menutupi lutut untuk Damian, lalu meletakkannya di samping sang empu.
"Ganti dulu kemejanya, terus jas kamu mana?"
"Di kursi." Damian langsung membuka kemejanya disusul kaos hitam yang segera menutup kulitnya.
Naya segera bergegas mengambil jas yang tidak jauh darinya, sepertinya saat mengantar Aslan tadi, Damian langsung masuk ke kamarnya untuk menaruh jas sementara.
Naya menaruhnya di hanger kayu lalu digantung pada lemari nuansa pink miliknya, baju-baju mereka ada di sini karena waktu sedang mengandung Aslan, Naya sering menginap di rumah orang tuanya.
"Axel benaran mau dijodohkan sama anaknya tante Mita?" tanya Damian mengingat percakapan mertuanya tadi di ruang tamu.
"Iya sih katanya tapi, kayaknya nggak mungkin. Soalnya, tuh cewek masih anak SMP," ucap Naya seperti ibu-ibu ngerumpi.
"Bisa tungguin, apa susahnya?" Damian melontarkan pertanyaan yang membuat Naya seolah merasa panas di kepalanya. Darahnya seakan ikut mendidih juga.
"Takutnya nih yah, Axel udah tua di saat anak itu sudah di usia matang buat nikah," balas Naya menahan diri untuk meledakkan kata-katanya.
"Nikah muda saja," balas Damian tanpa beban.
Naya tidak habis pikir, isi otak yang ada di kepala suaminya itu. Setidaknya jangan mengambil keuntungan untuk Axel saja, bagaimana dengan gadis kecil itu? Meskipun dia adalah adiknya Axel tetapi, sebagai sesama perempuan dia tetap mendukung anak tersebut.
"Nikah itu, seperti kayak lagi bekerjasama. Saling menguntungkan satu sama lain. Jika mereka berdua dijodohkan, yang untung banyak itu Axel. Sedangkan si wanita? mengorbankan semua mimpi dan masa mudanya hanya demi perjodohan yang konyol ini."
Damian sedikit menarik sudut bibirnya membentuk senyum tipis saat mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh Naya.
Seketika, tangan Damian bergerak memanggil Naya untuk mendekat seperti isyarat tangan kepada seseorang.
Naya yang mengerti dengan sikap Damian langsung mendekat, duduk di samping pria itu meski sedikit bingung apa yang ingin dikatakan Damian padanya.
Puk.
Puk.
Dua tepukan kecil mendarat pada Naya, sang pelaku Damian menatap Naya dengan tatapan serius.
"Sebenarnya, yang ngelamar Axel, adalah tuan Abimanyu sendiri," ujar Damian yang membuat mata Naya membelalak kaget.
"Hah? Benaran?" tanya Naya benar-benar tidak percaya.
"Saya serius," balas Damian. Dia pun tahu hal ini, dari Axel sendiri.
"Kok bisa?"
"Tanya pada kakakmu."
Naya menatap Damian dengan senyum lebar, menahan rasa kesalnya yang sudah membumbung tinggi. Untungnya, dia selalu disadarkan dengan sikap Damian yang lebih sadis darinya sendiri.
"Itu ... aneh. Mana ada orang tua yang menjodohkan putri kecilnya dengan seseorang Om-om seperti Axel," ujar Naya berpikir keras sosok Abimanyu itu.
"Memangnya kenapa?" tanya Damian.
Naya memutar bola matanya malas, dia tidak ingin meladeni pertanyaan yang membuatnya sakit kepala. Jadi, dia hanya bisa menggelengkan kepalanya saja.
"Saya juga ingin bertanya soal itu pada Axel, agar kita bisa menjalin kerja sama dengan perusahaan Abimanyu."
"Jadi, kamu setuju?" tanya Naya seolah tidak percaya.
Damian mengangguk menjawab pertanyaan Naya tanpa suara.
"Kamu ... nggak pernah pikir masa depan anak itu? Umur mereka beda," ujar Naya sedikit menasihati agar tidak membuat Damian kesal padanya.
"Umur kita juga beda," balas Damian.
"Iya, aku tahu. Namun, waktu itu aku udah siap. aku juga udah lulus sarjana, aku bahkan udah bisa kerja. Aku nggak bakal biarin, Axel ngelakuin hal itu."
Damian menatap Naya tajam, menarik tangan istrinya dengan kasar. "Kamu pikir pernikahan ini akan segera dilangsungkan? Kita akan tunggu dia selesai lulus sekolah menengah atas."
"Dia nggak kuliah? Nggak menggapai cita-citanya?" Naya tidak ingin, ada gadis yang seperti dirinya lagi. Cukup hanya dia yang mengalami, bagaimana pahitnya tidak bisa menggapai impian.
"Katakan, kamu menyesal menikah dengan saya?" tanya Damian dengan tatapan yang tidak lepas dari Naya.
Naya seketika terdiam, matanya tiba-tiba berkaca-kaca takut menjawab. Namun, dia merasa usahanya sia-sia. Lantaran, raut wajah Damian sudah bisa membuktikan bahwa dia sendiri tahu jawabannya.
"Bicara!" bentak Damian mengguncang tubuh Naya hingga bersandar pada dinding. Dia ingin mendengarkan sendiri, jawaban dari Naya.
"Iya! Aku menyesal nikah sama kamu, aku benci kamu Damian. Kamu mau nikahin aku hanya karena bisnis aja, dengan itu kamu udah hancurin semua impian aku!" balas Naya teriak, seiring dengan air matanya yang jatuh.
"Impian kamu?"
"Yah, impian yang udah sirna. Mimpi sebagai wanita berkarier kini hilang hanya karena keegoisan kamu, aku bukan hanya menjadi pajangan saat kamu bawa ke jamuan orang-orang berada tapi, juga seperti mayat hidup yang selalu diatur."
"Diam, Naya!" suara Damian menggelegar dengan keras, tangannya sedikit lagi melayang menghantam pipi Naya. Namun, untungnya hanya menggantung di udara.
Naya menggigil ketakutan dengan mata yang sembab masih mengeluarkan tangisan, wanita itu baru sadar bahwa dia telah lancang berkata seperti tadi. Ini pertama kalinya, dia mengungkapkan isi hatinya.
Damian menarik napasnya dalam-dalam berusaha mengontrol emosinya, sedikit lagi tangannya hampir saja sudah mendarat pada pipi Naya. Bahkan, jika dia benar-benar memukul Naya, Damian yakin dia tidak bisa berhenti.Sebaiknya, dia memilih untuk mengalah. Kakinya perlahan meninggalkan kamar dengan sekali hentakan pintu kamar yang keras.Yah, Damian pergi dari hadapan Naya yang ketakutan. Membawa mobilnya pergi dari sana, seolah ingin hilang dari kehidupan Naya jauh-jauh. Namun, ucapan Naya selalu terngiang-ngiang pada kepalanya yang membuat dia terganggu.Endingnya, dia hanya singgah pada bar milik temannya yang tidak jauh dengan kantornya. Membawa air mineral, pada botol kecil yang usai dia teguk.Bartender yan
Naya dan Aslan telah dipindahkan pada Mansion Damian yang terletak jauh dari perkotaan. Namun, saat tadi ingin membawa mertuanya, mereka memilih berada di rumah Gio yang dekat dengan rumah sakit juga sengaja memancing para pelaku juga antek-anteknya keluar dari sarang mereka. Hal itu, guna membantu menemukan pelaku dengan cepat.Aslan pun hanya bisa belajar di rumah dan Naya mengikuti peraturan baru yang dibuat oleh Damian. Alasannya sudah jelas, melindungi mereka dari sasaran pembunuh. Jika Axel ingin dimusnahkan, bagaimana dengan Naya yang satu darah dengannya. Entahlah, Damian yakin yang melakukan hal ini adalah, saingan bisnis Alex."Kamu udah ngasih tahu gurunya, Aslan?" tanya Naya pada Damian yang dari tadi sibuk menerima telepone.Damian mengangguk singkat, lalu menjawa
Anji dan Erik menatap bocah kecil yang ada di hadapan mereka dengan serius, menyimpulkan sendiri opini mereka sembari bersnostalgia tentang apa yang terjadi pada keluarga pelaku."Ngelihatnya jangan begitu." Gio sedari tadi benar-benar tidak nyaman saat kedua temannya itu terus menurus menatap Livla, anak lelaki berusia enam tahun yang ditemukan oleh Damian.Livla saja, sedari tadi gemetar ketakutan. Jika keduanya terus menatap anak itu dengan intens, Livla mungkin tidak berani buka mulut untuk menjelaskan apa yang terjadi kepada keluarganya."Lo ngintrogasi bocah jangan gitu juga woi, dia ketakutan," tambah Gio lagi.Erik menatap kesal pada Gio, lalu menyuruh pemuda itu yang
Naya telah usai menjenguk Axel, di depan ICU ada Mamanya yang sedang duduk bersama Aslan, sedangkan papanya dan Damian entah kemana karena sosok keduanya tidak terlihat sedikit pun di sini."Papanya Aslan, kemana?" tanya Naya pada Tiara."Sama Papa kamu, di luar.""Sedang apa?""Katanya mau ngomong penting ma," imbuh Aslan yang tadi sedikit mendengar ucapan Opanya.Di taman depan rumah sakit, Mario mengajak Damian untuk berbicara sebentar disebuah kursi putih panjang yang ada di sana, entah apa yang ingin dibicarakan Mario, Damian sendiri pun masih merasa bingung."Damian, kamu bahagia menikah dengan Naya?" tanya Mario membuka pembicaraan."Yah ... saya bahagia Pa."Mario t
Nayaka dikejutkan akan sebuah hal yang diberitahu oleh Mario kepadanya, yaitu menggantikan Axel mengurus perusahaan atas persetujuan dari Damian. Bukannya tidak senang tapi, bukankah hal ini yang selalu dilarang keras oleh lelaki itu?Apa jangan-jangan, sikap Damian kemarin karena hal ini? Jika benar, kenapa Damian mengizinkannya?Naya memegang dokumen penting yang diberikan oleh Mario tadi, lalu keluar menghampiri Damian yang masih berbicara dengan Gio di ruang tamu.Bukan hanya keduanya yang ada di sana, sosok anak kecil juga seorang gadis berkumpul bersama keduanya. Naya tahu, hal yang mereka bicarakan adalah hal yang sangat penting."Aku pengen bicara sama kamu."
Usai membereskan pakaiannya, Naya melihat Damian yang hanya terdiam pada ranjang. Aslan, kini tidur di samping Damian karena asik menonton dua orang tuanya mengatur pakaian kerja itu. Lantas, Naya mendekat pada keduanya lalu mengusap kepala Aslan dengan lembut."Besok, Aslan sama aku ikut ke kantor aja yah," ucap Naya."Aslan tetap sama saya, berbahaya jika kamu bersama dia," balas Damian.Naya menggeleng tidak setuju lalu berkata, "Kamu sibuk, gimana mau jaga Damian. Lagian nanti aku mau dibantu kok sama orang-orang di kantor sana nanti.""Kenapa kamu semakin banyak membantah ucapan saya, Nayaka?"Naya terdiam seketika, menunduk takut berbicara lagi. Wanita itu lalu menggendong Aslan yang mulai menggeliat dalam tidurnya, dan pergi meninggalkan Damian tanpa kata.
Mobil Damian sampai di depan kantor, Rudi juga para pekerja lainya langsung menyambut kedatangan mereka. Aslan yang melihat Rudi dari dalam mobil begitu kesenangan saat lelaki itu membuka mobil Papanya."Om Rudi!"Aslan berteriak heboh, yang membuat sekertaris Damian itu tersenyum masam saat melihat anak jelmaan bosnya itu ikut datang.Rudi membukakan pintu mobil untuk Aslan, dan dengan cepat Aslan turun memeluk kakinya dengan erat. Rudi bahkan tidak bisa berkata apa-apa lagi, habislah sudah riwayatnya hari ini."Eh ... anaknya bos datang.""Gantengnya, makin gede makin cakep yah.""Mirip Bapak Damian banget kan?""Iya, duh ... semoga gua nanti punya anak seganteng itu."Damian mendengar kasak kusuk karyawan yang membicarakan Putranya. Jelaslah, bibitnya yang satu ini m
Mobil yang dipakai Naya telah sampai dengan aman di depan kantor Damian, pria tua atau supir pribadi Axel langsung pamit pergi lantaran harus menjemput anaknya di kampus. Naya masuk ke sana sendirian sembari melihat ke sekeliling kantor itu. Semuanya banyak telah berubah, beberapa karyawan yang dia kenal kini telah dipindahkan pada anak perusahaan lainnya, semenjak dia mengandung Aslan, kakinya sudah tidak menapak di perusahaan Damian, dan ini untuk pertama kalinya dia datang dan itu terasa sangat asing baginya. Dulu, dia akan dibawa oleh Damian sekedar formalitas atau memberitahukan kepada semua orang bahwa dia telah menikah dan memiliki istri. Sekarang juga, dia datang sebagai istri Damian tetapi, tidak ada pria itu di sampingnya untuk sekedar memperkenalkan atau memeluk pinggangya.
Sebuah pesan masuk dalam ponsel Damian, rupanya itu dari Rudi yang memberitahukannya tentang kedatangan Nayaka. Pria itu lalu menunjukkan chat dari Rudi kepadanya untuk wanita yang ada di hadapannya."Anda lihat? Istri saya lagi menunggu di ruangan sekertaris saya? Jadi silahkan keluar.""Damian! Aku rela jauh-jauh ke sini cuman buat kamu! Kenapa sampai sekarang kamu nggak pernah ngehargain, aku sih?""Saya pikir ada sesuatu yang penting perlu anda bicarakan, rupanya hanya mengemis cinta. Lalu apa yang anda sebut, aku-kamu? Are you crazy?"Mata Aneth berkaca-kaca, dia tidak ingin pergi di sini sebelum Damian mau menerimanya sebagai wanita yang jatuh cinta kepada lelaki. "Damian, kamu nggak cinta sama dia!""Keluar! Atau saya yang akan menyeret anda."Tubuh Aneth
Mobil yang dipakai Naya telah sampai dengan aman di depan kantor Damian, pria tua atau supir pribadi Axel langsung pamit pergi lantaran harus menjemput anaknya di kampus. Naya masuk ke sana sendirian sembari melihat ke sekeliling kantor itu. Semuanya banyak telah berubah, beberapa karyawan yang dia kenal kini telah dipindahkan pada anak perusahaan lainnya, semenjak dia mengandung Aslan, kakinya sudah tidak menapak di perusahaan Damian, dan ini untuk pertama kalinya dia datang dan itu terasa sangat asing baginya. Dulu, dia akan dibawa oleh Damian sekedar formalitas atau memberitahukan kepada semua orang bahwa dia telah menikah dan memiliki istri. Sekarang juga, dia datang sebagai istri Damian tetapi, tidak ada pria itu di sampingnya untuk sekedar memperkenalkan atau memeluk pinggangya.
Mobil Damian sampai di depan kantor, Rudi juga para pekerja lainya langsung menyambut kedatangan mereka. Aslan yang melihat Rudi dari dalam mobil begitu kesenangan saat lelaki itu membuka mobil Papanya."Om Rudi!"Aslan berteriak heboh, yang membuat sekertaris Damian itu tersenyum masam saat melihat anak jelmaan bosnya itu ikut datang.Rudi membukakan pintu mobil untuk Aslan, dan dengan cepat Aslan turun memeluk kakinya dengan erat. Rudi bahkan tidak bisa berkata apa-apa lagi, habislah sudah riwayatnya hari ini."Eh ... anaknya bos datang.""Gantengnya, makin gede makin cakep yah.""Mirip Bapak Damian banget kan?""Iya, duh ... semoga gua nanti punya anak seganteng itu."Damian mendengar kasak kusuk karyawan yang membicarakan Putranya. Jelaslah, bibitnya yang satu ini m
Usai membereskan pakaiannya, Naya melihat Damian yang hanya terdiam pada ranjang. Aslan, kini tidur di samping Damian karena asik menonton dua orang tuanya mengatur pakaian kerja itu. Lantas, Naya mendekat pada keduanya lalu mengusap kepala Aslan dengan lembut."Besok, Aslan sama aku ikut ke kantor aja yah," ucap Naya."Aslan tetap sama saya, berbahaya jika kamu bersama dia," balas Damian.Naya menggeleng tidak setuju lalu berkata, "Kamu sibuk, gimana mau jaga Damian. Lagian nanti aku mau dibantu kok sama orang-orang di kantor sana nanti.""Kenapa kamu semakin banyak membantah ucapan saya, Nayaka?"Naya terdiam seketika, menunduk takut berbicara lagi. Wanita itu lalu menggendong Aslan yang mulai menggeliat dalam tidurnya, dan pergi meninggalkan Damian tanpa kata.
Nayaka dikejutkan akan sebuah hal yang diberitahu oleh Mario kepadanya, yaitu menggantikan Axel mengurus perusahaan atas persetujuan dari Damian. Bukannya tidak senang tapi, bukankah hal ini yang selalu dilarang keras oleh lelaki itu?Apa jangan-jangan, sikap Damian kemarin karena hal ini? Jika benar, kenapa Damian mengizinkannya?Naya memegang dokumen penting yang diberikan oleh Mario tadi, lalu keluar menghampiri Damian yang masih berbicara dengan Gio di ruang tamu.Bukan hanya keduanya yang ada di sana, sosok anak kecil juga seorang gadis berkumpul bersama keduanya. Naya tahu, hal yang mereka bicarakan adalah hal yang sangat penting."Aku pengen bicara sama kamu."
Naya telah usai menjenguk Axel, di depan ICU ada Mamanya yang sedang duduk bersama Aslan, sedangkan papanya dan Damian entah kemana karena sosok keduanya tidak terlihat sedikit pun di sini."Papanya Aslan, kemana?" tanya Naya pada Tiara."Sama Papa kamu, di luar.""Sedang apa?""Katanya mau ngomong penting ma," imbuh Aslan yang tadi sedikit mendengar ucapan Opanya.Di taman depan rumah sakit, Mario mengajak Damian untuk berbicara sebentar disebuah kursi putih panjang yang ada di sana, entah apa yang ingin dibicarakan Mario, Damian sendiri pun masih merasa bingung."Damian, kamu bahagia menikah dengan Naya?" tanya Mario membuka pembicaraan."Yah ... saya bahagia Pa."Mario t
Anji dan Erik menatap bocah kecil yang ada di hadapan mereka dengan serius, menyimpulkan sendiri opini mereka sembari bersnostalgia tentang apa yang terjadi pada keluarga pelaku."Ngelihatnya jangan begitu." Gio sedari tadi benar-benar tidak nyaman saat kedua temannya itu terus menurus menatap Livla, anak lelaki berusia enam tahun yang ditemukan oleh Damian.Livla saja, sedari tadi gemetar ketakutan. Jika keduanya terus menatap anak itu dengan intens, Livla mungkin tidak berani buka mulut untuk menjelaskan apa yang terjadi kepada keluarganya."Lo ngintrogasi bocah jangan gitu juga woi, dia ketakutan," tambah Gio lagi.Erik menatap kesal pada Gio, lalu menyuruh pemuda itu yang
Naya dan Aslan telah dipindahkan pada Mansion Damian yang terletak jauh dari perkotaan. Namun, saat tadi ingin membawa mertuanya, mereka memilih berada di rumah Gio yang dekat dengan rumah sakit juga sengaja memancing para pelaku juga antek-anteknya keluar dari sarang mereka. Hal itu, guna membantu menemukan pelaku dengan cepat.Aslan pun hanya bisa belajar di rumah dan Naya mengikuti peraturan baru yang dibuat oleh Damian. Alasannya sudah jelas, melindungi mereka dari sasaran pembunuh. Jika Axel ingin dimusnahkan, bagaimana dengan Naya yang satu darah dengannya. Entahlah, Damian yakin yang melakukan hal ini adalah, saingan bisnis Alex."Kamu udah ngasih tahu gurunya, Aslan?" tanya Naya pada Damian yang dari tadi sibuk menerima telepone.Damian mengangguk singkat, lalu menjawa
Damian menarik napasnya dalam-dalam berusaha mengontrol emosinya, sedikit lagi tangannya hampir saja sudah mendarat pada pipi Naya. Bahkan, jika dia benar-benar memukul Naya, Damian yakin dia tidak bisa berhenti.Sebaiknya, dia memilih untuk mengalah. Kakinya perlahan meninggalkan kamar dengan sekali hentakan pintu kamar yang keras.Yah, Damian pergi dari hadapan Naya yang ketakutan. Membawa mobilnya pergi dari sana, seolah ingin hilang dari kehidupan Naya jauh-jauh. Namun, ucapan Naya selalu terngiang-ngiang pada kepalanya yang membuat dia terganggu.Endingnya, dia hanya singgah pada bar milik temannya yang tidak jauh dengan kantornya. Membawa air mineral, pada botol kecil yang usai dia teguk.Bartender yan