Menjadi ibu rumah tangga selama tujuh tahun, lalu merawat Damian dan Aslan sudah menjadi kebiasaan bagi Naya selama ini. Dia sudah merasakan pahit manisnya menghadapi Damian dan juga mengasuh Aslan hingga berumur enam tahun sekarang.
Bukan tidak ingin bekerja, hanya saja, salah satu peraturan Damian adalah tidak menyuruh Naya bekerja. Padahal, saat kuliah dia mengambil jurusan bisnis dan manajemen mengingat perusahaan ayahnya yang menciptakan produk-produk berkualitas di sana.
Namun, dia harus menelan kepahitan karena hidupnya kini telah diatur oleh Damian. Tidak ada baju kerja, mau pun komputer di depan matanya yang sering dia impikan.
Lamunan Naya buyar tatkala ponselnya berbunyi, ada panggilan yang berasal dari ibunya. Sigap, Naya langsung menekan tombol hijau untuk menerima panggilan di layar.
"Halo, Ma."
"Nay, ini Aslan sama mama yah. Axel masih lama pulangnya, kayaknya malam. Jadi ... Aslan bisa kan, nginap di sini sama mama?"
"Oh iya ma, nggak apa-apa. Nanti aku bawain dia baju ganti yah ke sana."
"Jangan lupa piyamanya, Aslan. Mama udah ngasih tahu ke suami kamu tadi."
"Iya ma, lagian papanya Aslan belum datang juga nih," ucap Naya.
"Oh, kalau gitu sudah dulu yah. Mama mau main sama Aslan."
Naya tertawa senang melihat suara gembira dari mamanya, mungkin itu karena efek baru punya cucu. Belum lagi, orang tua dari Damian. Anak itu, pasti direbutkan oleh Mama dan Papa mertuanya.
Gelar Damian di keluarganya, adalah anak kesayangan. Selain itu, mereka ada empat bersaudara, duanya perempuan dan lainnya laki-laki. Salah satunya, Damian sebagai anak pertama.
Pagar rumah dibuka satpam, mobil Damian masuk menjemput Naya. Setelah itu, Naya langsung masuk menyusun pakaian milik Aslan.
Setelah selesai, Naya memasuki ke mobil Damian dengan lega. Suaminya masih ada di sana, tetap memasang wajah datar, datang dan hanya diam tanpa mengatakan apa-apa.
Untung saja, mamanya tadi menelepon. Jika tidak, keduanya mungkin akan seperti patung menunggu siapa yang akan bicara dahulu.
Mobil berjalan dengan kecepatan maksimal di siang yang terik, untungnya tidak terjadi macet hari ini.
"Pulangnya cepat?" tanya Naya basa-basi.
"Iya."
"Terus jam berapa kita pergi ke acara tunangan koleganya?"
"Calon tunangannya kabur."
Naya sedikit kaget mendengar ucapan Damian, lalu mengingat acara tunangan keduanya. Waktu itu, dia pun ada niatan untuk kabur. Sayangnya, dia terlalu mencintai orang tuanya, hingga harus berakhir dipasangkan cincin oleh Damian sebagai tanda.
"Malam ini kita nginap di rumah mama, ada hal yang ingin saya bahas dengan Axel."
Raut wajah Naya berubah sedikit kesal, andaikan saja dia diberitahu saat di rumah tadi. Pasalnya, dia tidak membawa baju ganti mereka.
Satu lagi, jika Damian bertemu dengan Axel apalagi papanya, mereka bertiga seperti lupa waktu saat bergabung. Meski Naya tahu tiga orang ini gila bekerja, tetap saja harus punya waktu untuk istirahat agar bisa punya stamina.
Papanya sih enak, sakit dirawat oleh mamanya. Damian juga seperti itu, ada dirinya. Lah? Axel kakaknya itu, masih merengek pada mamanya saat sakit karena belum memiliki istri.
Naya juga agak kepo, hal apa yang ingin dibicarakan Damian pada Axel. Naya rasa, jika Axel perempuan, harusnya yang menjadi istri Damian itu Axel saja bukan dia karena kakaknya itu lebih akrab pada Damian daripada dirinya.
Mungkin karena mereka berteman sejak kecil, jadinya terlihat sangat dekat. Dulu, dirinya mana mau berteman pada Damian. Keburu kabur saat Damian mampir ke rumah mereka, waktu itu.
Naya ingat, tatapan mata Damian padanya jelas berbeda dari yang lain. Tajam, bagai pisau yang siap memotongnya kapan pun. Sekarang pun sama, meski mereka sudah menikah.
"Saya lapar."
Naya menoleh pada sosok yang masih menyetir itu dengan tenang, dia sampai lupa membawa bekal untuk Damian tadi di kantor.
"Nanti sampai ke rumah mama, aku masak," ucap Naya merasa bersalah.
Sampainya di sana, Naya benar-benar memasak untuk Damian hingga membuat Tiara, mamanya geleng-geleng dengan sikap anaknya itu.
"Kamu kenapa? Masak udah kayak mirip orang kesurupan," ucap Tiara setelah usai mengganti seragam Aslan dengan pakaian biasa.
"Papanya Aslan belum makan dari pagi Ma," ucap Naya sembari sibuk mencari bumbu penyedap rasa.
"Hah? Belum? Kenapa, Naya? Bisa-bisanya yah kamu bikin menantu mama kelaparan, jangan bilang kamu lupa, alasan itu mama udah bosan."
Naya tersenyum kecut mendengar dukungan dari mamanya pada Damian, entah kenapa saat kedatangan Damian, dia seperti menjadi anak tiri di sini. Sedangkan saat di keluarga Damian, dia yang paling dimanja saat di sana.
"Aku bangun telat ma, jadi nggak punya waktu buat masak. Salahin aja dia," ucap Naya kesal.
"Hah? Kenapa mama harus salahin Damian?" tanya Tiara bingung.
"Gara-gara semalam ki-" Naya baru menyadari jika dia sudah hampir keceplosan, karena ekspresinya itu, Tiara sudah bisa menduga apa yang terjadi di antara keduanya.
"Oh, mau buat adik untuk Aslan yah," ungkap Tiara dengan senyum mengembang. Jika bisa tambah cucu, rumah ini pun akan semakin ramai. Jika menunggu Axel saja, giginya rubuh semua baru anak itu akan menikah.
"Adik? Aslan, punya adik yah?" tanya Aslan yang tiba-tiba muncul di dapur.
"Nanti juga bakal punya, sayang. Kamu, mintanya di papa aja nanti," balas Tiara langsung membawa Aslan kabur dari sana sebelum Naya benar-benar ngambek dibuatnya.
Di ruang tamu, Damian asik bermain catur dengan ayah mertuanya. Tiara yang melihat keduanya, ikut gabung bersama Aslan yang berteriak memanggil papanya dengan senang.
"Papa! Aslan datang!"
Damian buru-buru menggendong putranya yang sudah berhamburan ke arahnya dengan sigap, anak itu tertawa dengan aneh saat melihatnya.
"Pa, Om Axel masih di kantor. Aslan nggak bisa diajak main dong, sama tante-tante."
Mario, ayah dari Naya menggelengkan kepalanya dengan sikap Axel yang memacari banyak perempuan, sampai Aslan pun diajaknya menjadi obat nyamuk saat berkencan dengan wanita-wanita di luar sana.
"Berapa pacar, om Axel?" tanya Damian penasaran.
"Nggak bisa ngitung, Aslan. Banyak banget loh," ungkap Aslan dengan jujur.
"Pa, mama bingung sama anakmu yang satu itu. Banyak pacar tapi, nggak niat gitu nikahin salah satu yang terbaik menurut dia."
"Mungkin dia masih betah sendirian ma," ucap Mario.
"Awas aja kalau dia nggak buru-buru nikah. Mama jodohin aja sama anaknya Mita," ujar Tiara menggebu-gebu.
"Sembarang, anak perempuan yang masih SMP itu kamu mau jodohin sama Axel?"
"Loh? Kenapa? Axel nggak terlalu tua amat, lagian Mita yang nyaranin hal ini."
Mario tidak habis pikir dengan istrinya itu, lagian Tiara juga pasti merasa kesal karena tidak ada satu pun perempuan yang dikenalkan Axel untuk mereka.
"Pa, kayaknya mama udah selesai masak deh. Ayok makan," bisik Aslan tepat ditelinga Damian yang sibuk mendengarkan obrolan memanas tentang Axel.
Damian mengangguk dan berpamitan untuk mengisi perutnya yang kosong sejak pagi tadi. "Ma, Pa, ayok makan, kayaknya Naya udah selesai masak," ajak Damian.
"Udah nak, kamu makan dulu gih sana," balas Tiara.
Damian pun langsung pergi dari sana diikuti oleh Aslan, dan benar saja apa kata putranya itu. Naya kini, sedang menyiapkan makanan di atas meja dengan telaten.
Masakan Naya memang sudah menjadi candu bagi Damian dari semenjak menikah hingga sekarang, dia sudah menerapkan hidup sehat sedari kecil karena lebih memilih masakan rumahan yang dibuat langsung oleh ibunya.Setelah selesai mengisi perut, semangat Damian kini kembali lagi. Naya menyusun piring kotor di meja diikuti oleh Damian yang membantunya."Eh ... nggak usah," ucap Naya takut."Biasanya juga saya bantuin," balas Damian.Naya menghembuskan napasnya pasrah, kalau dilanjutkan, pastinya dia kalah berdebat dengan orang yang ada di hadapannya ini.Jadilah, keduanya mencuci piring bersama-sama."Papa, emang Aslan mau punya adik?" pert
Damian menarik napasnya dalam-dalam berusaha mengontrol emosinya, sedikit lagi tangannya hampir saja sudah mendarat pada pipi Naya. Bahkan, jika dia benar-benar memukul Naya, Damian yakin dia tidak bisa berhenti.Sebaiknya, dia memilih untuk mengalah. Kakinya perlahan meninggalkan kamar dengan sekali hentakan pintu kamar yang keras.Yah, Damian pergi dari hadapan Naya yang ketakutan. Membawa mobilnya pergi dari sana, seolah ingin hilang dari kehidupan Naya jauh-jauh. Namun, ucapan Naya selalu terngiang-ngiang pada kepalanya yang membuat dia terganggu.Endingnya, dia hanya singgah pada bar milik temannya yang tidak jauh dengan kantornya. Membawa air mineral, pada botol kecil yang usai dia teguk.Bartender yan
Naya dan Aslan telah dipindahkan pada Mansion Damian yang terletak jauh dari perkotaan. Namun, saat tadi ingin membawa mertuanya, mereka memilih berada di rumah Gio yang dekat dengan rumah sakit juga sengaja memancing para pelaku juga antek-anteknya keluar dari sarang mereka. Hal itu, guna membantu menemukan pelaku dengan cepat.Aslan pun hanya bisa belajar di rumah dan Naya mengikuti peraturan baru yang dibuat oleh Damian. Alasannya sudah jelas, melindungi mereka dari sasaran pembunuh. Jika Axel ingin dimusnahkan, bagaimana dengan Naya yang satu darah dengannya. Entahlah, Damian yakin yang melakukan hal ini adalah, saingan bisnis Alex."Kamu udah ngasih tahu gurunya, Aslan?" tanya Naya pada Damian yang dari tadi sibuk menerima telepone.Damian mengangguk singkat, lalu menjawa
Anji dan Erik menatap bocah kecil yang ada di hadapan mereka dengan serius, menyimpulkan sendiri opini mereka sembari bersnostalgia tentang apa yang terjadi pada keluarga pelaku."Ngelihatnya jangan begitu." Gio sedari tadi benar-benar tidak nyaman saat kedua temannya itu terus menurus menatap Livla, anak lelaki berusia enam tahun yang ditemukan oleh Damian.Livla saja, sedari tadi gemetar ketakutan. Jika keduanya terus menatap anak itu dengan intens, Livla mungkin tidak berani buka mulut untuk menjelaskan apa yang terjadi kepada keluarganya."Lo ngintrogasi bocah jangan gitu juga woi, dia ketakutan," tambah Gio lagi.Erik menatap kesal pada Gio, lalu menyuruh pemuda itu yang
Naya telah usai menjenguk Axel, di depan ICU ada Mamanya yang sedang duduk bersama Aslan, sedangkan papanya dan Damian entah kemana karena sosok keduanya tidak terlihat sedikit pun di sini."Papanya Aslan, kemana?" tanya Naya pada Tiara."Sama Papa kamu, di luar.""Sedang apa?""Katanya mau ngomong penting ma," imbuh Aslan yang tadi sedikit mendengar ucapan Opanya.Di taman depan rumah sakit, Mario mengajak Damian untuk berbicara sebentar disebuah kursi putih panjang yang ada di sana, entah apa yang ingin dibicarakan Mario, Damian sendiri pun masih merasa bingung."Damian, kamu bahagia menikah dengan Naya?" tanya Mario membuka pembicaraan."Yah ... saya bahagia Pa."Mario t
Nayaka dikejutkan akan sebuah hal yang diberitahu oleh Mario kepadanya, yaitu menggantikan Axel mengurus perusahaan atas persetujuan dari Damian. Bukannya tidak senang tapi, bukankah hal ini yang selalu dilarang keras oleh lelaki itu?Apa jangan-jangan, sikap Damian kemarin karena hal ini? Jika benar, kenapa Damian mengizinkannya?Naya memegang dokumen penting yang diberikan oleh Mario tadi, lalu keluar menghampiri Damian yang masih berbicara dengan Gio di ruang tamu.Bukan hanya keduanya yang ada di sana, sosok anak kecil juga seorang gadis berkumpul bersama keduanya. Naya tahu, hal yang mereka bicarakan adalah hal yang sangat penting."Aku pengen bicara sama kamu."
Usai membereskan pakaiannya, Naya melihat Damian yang hanya terdiam pada ranjang. Aslan, kini tidur di samping Damian karena asik menonton dua orang tuanya mengatur pakaian kerja itu. Lantas, Naya mendekat pada keduanya lalu mengusap kepala Aslan dengan lembut."Besok, Aslan sama aku ikut ke kantor aja yah," ucap Naya."Aslan tetap sama saya, berbahaya jika kamu bersama dia," balas Damian.Naya menggeleng tidak setuju lalu berkata, "Kamu sibuk, gimana mau jaga Damian. Lagian nanti aku mau dibantu kok sama orang-orang di kantor sana nanti.""Kenapa kamu semakin banyak membantah ucapan saya, Nayaka?"Naya terdiam seketika, menunduk takut berbicara lagi. Wanita itu lalu menggendong Aslan yang mulai menggeliat dalam tidurnya, dan pergi meninggalkan Damian tanpa kata.
Mobil Damian sampai di depan kantor, Rudi juga para pekerja lainya langsung menyambut kedatangan mereka. Aslan yang melihat Rudi dari dalam mobil begitu kesenangan saat lelaki itu membuka mobil Papanya."Om Rudi!"Aslan berteriak heboh, yang membuat sekertaris Damian itu tersenyum masam saat melihat anak jelmaan bosnya itu ikut datang.Rudi membukakan pintu mobil untuk Aslan, dan dengan cepat Aslan turun memeluk kakinya dengan erat. Rudi bahkan tidak bisa berkata apa-apa lagi, habislah sudah riwayatnya hari ini."Eh ... anaknya bos datang.""Gantengnya, makin gede makin cakep yah.""Mirip Bapak Damian banget kan?""Iya, duh ... semoga gua nanti punya anak seganteng itu."Damian mendengar kasak kusuk karyawan yang membicarakan Putranya. Jelaslah, bibitnya yang satu ini m
Sebuah pesan masuk dalam ponsel Damian, rupanya itu dari Rudi yang memberitahukannya tentang kedatangan Nayaka. Pria itu lalu menunjukkan chat dari Rudi kepadanya untuk wanita yang ada di hadapannya."Anda lihat? Istri saya lagi menunggu di ruangan sekertaris saya? Jadi silahkan keluar.""Damian! Aku rela jauh-jauh ke sini cuman buat kamu! Kenapa sampai sekarang kamu nggak pernah ngehargain, aku sih?""Saya pikir ada sesuatu yang penting perlu anda bicarakan, rupanya hanya mengemis cinta. Lalu apa yang anda sebut, aku-kamu? Are you crazy?"Mata Aneth berkaca-kaca, dia tidak ingin pergi di sini sebelum Damian mau menerimanya sebagai wanita yang jatuh cinta kepada lelaki. "Damian, kamu nggak cinta sama dia!""Keluar! Atau saya yang akan menyeret anda."Tubuh Aneth
Mobil yang dipakai Naya telah sampai dengan aman di depan kantor Damian, pria tua atau supir pribadi Axel langsung pamit pergi lantaran harus menjemput anaknya di kampus. Naya masuk ke sana sendirian sembari melihat ke sekeliling kantor itu. Semuanya banyak telah berubah, beberapa karyawan yang dia kenal kini telah dipindahkan pada anak perusahaan lainnya, semenjak dia mengandung Aslan, kakinya sudah tidak menapak di perusahaan Damian, dan ini untuk pertama kalinya dia datang dan itu terasa sangat asing baginya. Dulu, dia akan dibawa oleh Damian sekedar formalitas atau memberitahukan kepada semua orang bahwa dia telah menikah dan memiliki istri. Sekarang juga, dia datang sebagai istri Damian tetapi, tidak ada pria itu di sampingnya untuk sekedar memperkenalkan atau memeluk pinggangya.
Mobil Damian sampai di depan kantor, Rudi juga para pekerja lainya langsung menyambut kedatangan mereka. Aslan yang melihat Rudi dari dalam mobil begitu kesenangan saat lelaki itu membuka mobil Papanya."Om Rudi!"Aslan berteriak heboh, yang membuat sekertaris Damian itu tersenyum masam saat melihat anak jelmaan bosnya itu ikut datang.Rudi membukakan pintu mobil untuk Aslan, dan dengan cepat Aslan turun memeluk kakinya dengan erat. Rudi bahkan tidak bisa berkata apa-apa lagi, habislah sudah riwayatnya hari ini."Eh ... anaknya bos datang.""Gantengnya, makin gede makin cakep yah.""Mirip Bapak Damian banget kan?""Iya, duh ... semoga gua nanti punya anak seganteng itu."Damian mendengar kasak kusuk karyawan yang membicarakan Putranya. Jelaslah, bibitnya yang satu ini m
Usai membereskan pakaiannya, Naya melihat Damian yang hanya terdiam pada ranjang. Aslan, kini tidur di samping Damian karena asik menonton dua orang tuanya mengatur pakaian kerja itu. Lantas, Naya mendekat pada keduanya lalu mengusap kepala Aslan dengan lembut."Besok, Aslan sama aku ikut ke kantor aja yah," ucap Naya."Aslan tetap sama saya, berbahaya jika kamu bersama dia," balas Damian.Naya menggeleng tidak setuju lalu berkata, "Kamu sibuk, gimana mau jaga Damian. Lagian nanti aku mau dibantu kok sama orang-orang di kantor sana nanti.""Kenapa kamu semakin banyak membantah ucapan saya, Nayaka?"Naya terdiam seketika, menunduk takut berbicara lagi. Wanita itu lalu menggendong Aslan yang mulai menggeliat dalam tidurnya, dan pergi meninggalkan Damian tanpa kata.
Nayaka dikejutkan akan sebuah hal yang diberitahu oleh Mario kepadanya, yaitu menggantikan Axel mengurus perusahaan atas persetujuan dari Damian. Bukannya tidak senang tapi, bukankah hal ini yang selalu dilarang keras oleh lelaki itu?Apa jangan-jangan, sikap Damian kemarin karena hal ini? Jika benar, kenapa Damian mengizinkannya?Naya memegang dokumen penting yang diberikan oleh Mario tadi, lalu keluar menghampiri Damian yang masih berbicara dengan Gio di ruang tamu.Bukan hanya keduanya yang ada di sana, sosok anak kecil juga seorang gadis berkumpul bersama keduanya. Naya tahu, hal yang mereka bicarakan adalah hal yang sangat penting."Aku pengen bicara sama kamu."
Naya telah usai menjenguk Axel, di depan ICU ada Mamanya yang sedang duduk bersama Aslan, sedangkan papanya dan Damian entah kemana karena sosok keduanya tidak terlihat sedikit pun di sini."Papanya Aslan, kemana?" tanya Naya pada Tiara."Sama Papa kamu, di luar.""Sedang apa?""Katanya mau ngomong penting ma," imbuh Aslan yang tadi sedikit mendengar ucapan Opanya.Di taman depan rumah sakit, Mario mengajak Damian untuk berbicara sebentar disebuah kursi putih panjang yang ada di sana, entah apa yang ingin dibicarakan Mario, Damian sendiri pun masih merasa bingung."Damian, kamu bahagia menikah dengan Naya?" tanya Mario membuka pembicaraan."Yah ... saya bahagia Pa."Mario t
Anji dan Erik menatap bocah kecil yang ada di hadapan mereka dengan serius, menyimpulkan sendiri opini mereka sembari bersnostalgia tentang apa yang terjadi pada keluarga pelaku."Ngelihatnya jangan begitu." Gio sedari tadi benar-benar tidak nyaman saat kedua temannya itu terus menurus menatap Livla, anak lelaki berusia enam tahun yang ditemukan oleh Damian.Livla saja, sedari tadi gemetar ketakutan. Jika keduanya terus menatap anak itu dengan intens, Livla mungkin tidak berani buka mulut untuk menjelaskan apa yang terjadi kepada keluarganya."Lo ngintrogasi bocah jangan gitu juga woi, dia ketakutan," tambah Gio lagi.Erik menatap kesal pada Gio, lalu menyuruh pemuda itu yang
Naya dan Aslan telah dipindahkan pada Mansion Damian yang terletak jauh dari perkotaan. Namun, saat tadi ingin membawa mertuanya, mereka memilih berada di rumah Gio yang dekat dengan rumah sakit juga sengaja memancing para pelaku juga antek-anteknya keluar dari sarang mereka. Hal itu, guna membantu menemukan pelaku dengan cepat.Aslan pun hanya bisa belajar di rumah dan Naya mengikuti peraturan baru yang dibuat oleh Damian. Alasannya sudah jelas, melindungi mereka dari sasaran pembunuh. Jika Axel ingin dimusnahkan, bagaimana dengan Naya yang satu darah dengannya. Entahlah, Damian yakin yang melakukan hal ini adalah, saingan bisnis Alex."Kamu udah ngasih tahu gurunya, Aslan?" tanya Naya pada Damian yang dari tadi sibuk menerima telepone.Damian mengangguk singkat, lalu menjawa
Damian menarik napasnya dalam-dalam berusaha mengontrol emosinya, sedikit lagi tangannya hampir saja sudah mendarat pada pipi Naya. Bahkan, jika dia benar-benar memukul Naya, Damian yakin dia tidak bisa berhenti.Sebaiknya, dia memilih untuk mengalah. Kakinya perlahan meninggalkan kamar dengan sekali hentakan pintu kamar yang keras.Yah, Damian pergi dari hadapan Naya yang ketakutan. Membawa mobilnya pergi dari sana, seolah ingin hilang dari kehidupan Naya jauh-jauh. Namun, ucapan Naya selalu terngiang-ngiang pada kepalanya yang membuat dia terganggu.Endingnya, dia hanya singgah pada bar milik temannya yang tidak jauh dengan kantornya. Membawa air mineral, pada botol kecil yang usai dia teguk.Bartender yan