Malam telah larut, namun Merry tidak dapat memejamkan matanya. Dia tidak bisa tidur karena memikirkan bagaimana nasib dia dan anak-anaknya ke depannya.Saat ini Teguh suaminya sedang dalam pengejaran polisi. Jujur saja sebagai seorang yang telah mengenal lama Teguh dari zaman masa sekolah hingga saat ini, rasanya sulit baginya untuk percaya bahwa Teguh akan tersangkut paut pada kasus sekotor ini.Merry berpikir kalau semua kaset-kaset berisikan adegan tak senonoh yang dia temukan di dalam lemari mereka yang selama ini tidak diijinkan oleh Teguh untuk dibuka, tak lebih dari sekedar koleksi biasa para lelaki nakal. Siapa yang sangka kalau suaminya itu ternyata punya bisnis terselubung yang dia tidak tahu selama ini.Sebuah bisnis kotor yang bergerak di bidang po**og aksi. Ketika Merry memutuskan untuk membuangnya beberapa waktu lalu di tempat pembuangan akhir sampah beberapa waktu lalu, Merry memang menyisihkan salah satu kaset yang dia pikir bisa dia gunakan sebagai alat untuk membalas
“Hah? Demi aku, Anggraini dan anak-anak?” gumam Merry mengulangi kata-kata Teguh. “Ga salah? Sejak kapan aku pernah menyuruh Mas melakukan semua itu? Nggak tahu dengan Anggraini, tapi tolong jangan mengatasnamakan aku, ataupun Shakila dan calon adeknya sebagai alasan Mas berbuat demikian. Kami nggak tahu apa-apa, tapi sekarang lihat?! Kami juga kena dampaknya!” Teguh melipat tangannya di depan dada. Ia sepertinya cukup kesal pada Merry daat ini. Wanita itu menanyakan apa alasannya tapi ketika dia memberitahunya malah dia yang tidak terima.“Oh ya? Kamu pikir dengan gajiku saja di Singapura cukup untuk membelikan kamu dan Anggraini rumah? Aku ini hanya pegawai, Mer. Bukan seorang bos apalagi CEO. Jika hanya karena gajiku saja yang tidak seberapa itu, kau pikir aku akan bisa bolak balik Singapore-Indo setiap weekend? Ya, itu demi kalian. Kau harus terima dan mengerti itu.”Merry tertawa frustasi mendengar alasan Teguh yang menurutnya konyol itu.“Aku harus mengerti, Mas? Lalu kamu send
“Kenapa kau melakukan itu?!” tanya Teguh dengan geram sambil tangannya meraih dan mencengkram leher baju Merry keras-keras.Merry melirik ke arah tempat tidur, di mana Shakila sedang tertidur. Anak kecil itu sebenarnya sudah punya kamar sendiri tepat di sebelah kamar ayah dan bundanya. Namun selama Teguh tidak pulang-pulang karena menjadi buronan polisi, Merry yang sedang hamil dan mengalami sedikit gangguan kecemasan mengajak Shakila untuk tidur di kamarnya.“Pelankan suaramu, Mas. Shakila akan terbangun nanti,” kata Merry sambil menurunkan volume suaranya juga.Teguh ikut melihat ke arah tempat tidur dan mengakui apa yang dikatakan oleh Merry itu ada benarnya. Gadis kecil itu terlihat bergerak-gerak gelisah.Teguh tak punya pilihan lain selain menyeret Merry ke tempat yang tidak menganggu tidur Shakila. Kamar mandi adalah tempat yang Teguh kira cukup untuk meredam suara pertengkaran mereka.“Mas, kamu mau apa?” tanya Merry panik ketika Teguh memaksanya masuk ke dalam kamar mandi dan
“Kamu baik-baik saja?” tanya Asyif kepada Anggraini sesaat setelah mereka keluar dari kantor polisi tersebut.Anggraini mengangguk.Suasana di antara keduanya terlihat canggung. Jujur saja, Anggraini merasa tidak sepercaya diri ketika sebelum kasus ini ada. Dirinya merasa insecure karena merasa semua orang pasti telah melihat semua videonya.Tak terkecuali Asyif. Mungkin saja dia juga telah melihat semua yang di berada di tubuh Anggraini. Atau bahkan pengacara ini. Siapa yang tahu? Mereka semua adalah lelakiAhhh … Anggraini mengalami krisis percaya diri yang akut saat ini. Ia bahkan tidak berani menatap Asyif. Dirinya lebih banyak menunduk. Berkebalikan dengan yang Anggraini rasakan, Asyif juga merasa canggung karena merasa Anggraini pasti mengira dia telah ikut-ikutan mencari tahu dan ikut menonton video panasnya dengan Teguh.“Ini Pak Halomoan. Bapak ini pengacara kondang dari Medan. Ah, aku tidak tahu bagaimana caranya agar aku bisa menebus rasa bersalahku padamu, Anggre. Aku yan
Anggraini menerobos asap yang mengebul dari dapur dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Seluruh rumah itu sudah dikepung oleh api, sementara api terlihat sudah menyentuh langit-langit dapur.“Mbak, keluar aja! Biar kami yang periksa!” seru seorang bapak-bapak yang melihat Anggraini nekad masuk mendekati sumber api.“Sebentar, Pak. Saya lagi cari Shakila. Dia tadi sempat saya dengar suaranya dari sebelah rumah saya. Bapak panggil pemadam kebakaran saja!” sahut Anggraini sambil terbatuk-batuk.Dan benar saja, di tengah kondisinya yang mulai sesak dan mata perih berair, matanya melihat sesosok anak kecil yang tergeletak tak jauh dari pintu kamar.“Astaghfirullah!! Kilaaaa!!!” Anggraini lantas berlari dan menyongsong tubuh mungil itu. Tanpa banyak berpikir ditambah lagi asap ini mulai sangat menyiksanya, Anggraini pun menggendong Shakila dan segera melarikannya ke luar rumah.Kehadirannya dari dalam rumah lantas disambut oleh orang-orang yang entah sejak kapan menjadi ramai. Area rum
“Maaf, Dok. Tapi suaminya tidak bisa dihubungi. Kalau bisa, dokter lakukan saja yang terbaik. Saya ikut saja,” kata Anggraini terbata.“Baik, Bu. Tapi ibu kalau memang benar keluarganya, ibu harus mengisi beberapa formulir dan surat pernyataan bahwa ibu adalah orang yang memberikan ijin dan persetujuan untuk tindakan ini dan jika terjadi sesuatu pada pasien, maka pihak keluarga tidak akan menuntut pihak rumah sakit atas apa yang terjadi,” tutur dokter tersebut.Napas Anggraini naik turun mendengar hal tersebut sambil ia melihat pada Asyif seperti meminta pendapat pria itu. Asyif mengangguk untuk meyakinkan. Bagaimanapun menyelamatkan satu nyawa lebih baik daripada tidak sama sekali.“Aku takut …” gumam Anggraini.Siapapun yang ada di posisi ini pasti akan bimbang. Asyif paham itu. Apalagi Anggraini sering berinteraksi dengan Merry.“Nggak apa-apa, Anggre. Kalau terjadi sesuatu di kemudian hari aku akan ikut mendampingi kamu. Jangan khawatir,” kata Asyif lagi-lagi memberi penguatan.A
Anggraini terhenyak. Mimpi apa dia semalam? Bukan seperti ini pembalasan dendam yang dia maksud. Kenapa di saat dia tersakiti dan menginginkan orang yang menyakitinya mendapat pelajaran berharga malah sebaliknya seperti dia yang mendapat hukuman seberat ini?Masih tidak mempercayai apa yang terjadi, Anggraini mendekati brankar itu dan menyingkap kain yang menutupi jenazah tersebut. Ia berharap ada kesalahan di sini. Tapi nyatanya memang apa yang disampaikan oleh dokter itulah yang sebenarnya terjadi. Jenazah itu adalah jenazah Merry yang terlihat sangat pucat pasi lebih dari sebelum perempuan itu masuk ke dalam ruang operasi. Entah suhu dingin ruang operasi yang membuatnya begitu, Anggraini pun tidak tahu.“Maaf sebelumnya, Pak, Bu. Selain mengabarkan hal ini, kami kemungkinan juga mungkin akan melaporkan kasus ini ke kepolisian. Karena meninggalnya Ibu Merry besar dugaan karena tindakan kekerasan, karena ketika dibawa ke sini pun kondisinya sudah kritis, maka agar tidak ada kesalahp
“Di rumahmu?” gumam Anggraini sambil berpandangan dengan Sophia.Sophia terlihat girang dan mengangguk berharap Anggraini akan menyetujui usul dari Asyif itu.“Ah, jangan sih. Aku mau cari rumah kontrakan aja,” tolak Anggraini.“Kenapa? Di rumahku setidaknya ada Syanum, nanti aku akan carikan juga babysitter untuk membantumu mengurus anak-anak ini. Dan kalau kamu merasa tidak enak hati karena keberadaanku, kamu jangan khawatir. Aku kemungkinan juga akan lebih sering berada di Malaysia dan akan jarang ke sini. Jadi kamu nggak perlu ada perasaan atau pikiran-pikiran negatif yang memang tak seharusnya ada,” ujar Asyif untuk menyanggah penolakan Anggraini itu.“Iya, benar banget tuh. Andai kamu nggak ada kasus dengan Mas Teguh waktu itu mungkin aku akan ajak kamu ke apartemenku lagi, tapi kan … maaf … kamu tahu sendiri kalau kamu jadi daftar blacklist di apartemenku, Nggre. Apa kamu mau ke Jakarta aja ke rumahku? Entar ada Mama juga yang bantu urusin untuk sementara,” kata Sophia.Anggrae
Dinda menangis keras saat Puspa meraihnya. Entah karena anak berusia satu tahun itu baru bangun atau memang karena dia takut pada sosok Puspa yang tidak familiar, Dinda terkejut saat dirinya langsung ditangkap oleh seorang nenek-nenek yang tidak dia kenal sebelumnya.“Cup! Cup! Jangan menangis, nenek akan membawamu dari sini, Ok? Tenang, tenang jangan menangis!” Puspa berusaha membujuk Dinda yang kini telah berada dalam gendongannya.Melihat putrinya sangat ketakutan, Anggraini merebut paksa Dinda dari Puspa. “Tolong pergi dari sini. Kau membuatnya takut,” desis Anggraini mencoba menahan sabar.“Kau jangan keterlaluan dan bersikap seolah-olah kau adalah ibu kandungnya. Kau tidak punya hak! Aku adalah nenek kandungnya. Dan aku ingin membawanya, aku ingin menjemput cucuku sekarang!”“Anda yang jangan keterlaluan! Ngomong-ngomong soal hak, anda yang tidak punya hak apa-apa terhadap mereka. Aku mengantongi ijin dari pemerintah untuk merawat mereka,” kata Anggraini.“Hah! Izin dari pemeri
Perempuan tua itu menerobos masuk tanpa menghiraukan Anggraini yang berdiri di pagar.“Mama! Tunggu dulu!”Anggraini berusaha mencegah mantan mertuanya itu untuk masuk ke rumahnya. Sebenarnya dia sendiripun sudah enggan menyebut perempuan itu dengan panggilan Mama, namun untuk saat ini ia tidak punya waktu untuk memanggilnya dengan sebutan lain“Jangan halangi aku! Aku akan membawa dia dari sini!”Rupanya keributan di luar membuat Shakila yang sudah masuk ke dalam rumah kembali keluar untuk melihat apa yang terjadi. Demikian pula baby sitternya Dinda menyusul Shakila untuk melihat apa yang terjadi.“Di mana dia? Di mana cucuku!” teriaknya.Anggraini berjalan cepat dan menghalangi Puspa untuk masuk ke dalam rumahnya. Ia membentangkan tangannya lebar-lebar.“Stop! Cukup sampai di situ ya. Tolong bersopan santunlah saat hendak masuk ke rumah orang lain. Aku sangat menghormati tamu, tapi kalau sikap Mama seperti ini aku tidak akan segan-segan mengusir Mama dari rumah ini!” ancam Anggrain
“Kita sudah sampai!!!” seru Asyif yang baru saja mematikan mesin mobil.Shakila segera membukakan pintu mobil dengan lihai, pertanda dia telah biasa melakukannya. Terlihat gadis kecil itu begitu senang telah dibawa jalan-jalan oleh ayah bundanya.“Dih, main tinggal aja. Memang ayah nggak disayang dulu apa?” cibir Asyif pura-pura kecewa saat Shakila hendak langsung keluar.“Oh iya, lupa!” Shakila menepuk jidatnya dan langsung berbalik badan.Cup!! Ia segera mencium pipi Asyif.“Terima kasih jalan-jalannya, Ayah!” ucapnya.“Dan mainannya juga!” celutuk Anggraini mengingatkan Shakila agar tidak lupa mengucapkan terimakasih juga atas belanjaan mainan Anggraini yang seabrek.“Oh, iya! Lupa lagi. Terimakasih mainannya juga, Ayah!” ucapnya.Asyif mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengelus kepala anak itu.“Ya, nanti ajak adek main juga ya!” kata Asyif.“Hu’ uh!” jawab Shakila mengiyakan.Anak perempuan itu segera turun dari mobil setelah membawa beberapa mainan yang bisa dia bawa terlebi
“Kila, pulang yuk!” ajak Anggraini dengan nada sebal.Bagaimana dia tidak sebal, sedari tadi dia hanya mengikuti kedua orang itu keliling-keliling di Mall sekaligus menjadi tukang angkut barang-barang belanjaan Shakila yang sengaja dibelikan Asyif untuknya. Sementara kedua orang, bapak dan anak itu berjalan di depannya sambil tertawa cekikikan. Bukankah itu harusnya terbalik? Harusnya dia yang menuntun Shakila dan Asyif yang membawakan barang-barang belanjaan mereka. Dasar, sungguh tidak gentleman! gerutu Anggraini“Pulang? Yang benar aje, rugi dong!” sahut Asyif membuat Anggraini semakin lebih sebal lagi.“Nanti, Bun. Kita kan belum makan. Belum makan ice cream juga. Benar kan, Yah?” kata Shakila pada Asyif meminta dukungan dari Asyif.“Benar tuh. Bundamu tuh nggak tau. Lagian buat apa sih cepat-cepat pulang? Sudahlah, nikmati aja dulu. Lagian nggak tiap hari kan kita jalan-jalan begini?”Anggraini mendengus.“Bukannya apa-apa, ih. Dinda di rumah takutnya rewel gimana?” “Ada si Mba
“Kila, ada Bunda yang jemput tuh!”Shakila yang tengah bermain perosotan di halaman sekolah langsung menoleh ke arah gurunya, lalu melihat lagi ke arah yang ditunjuk ibu guru tersebut.Tak jauh dari sana ada Anggraini yang melambaikan tangan sambil berjalan ke arah mereka.“Bundaaaaa!!!” panggil bocah itu sambil buru-buru berlari ke arah Anggraini.Begitu sampai di dekat Anggraini, Shakila pun lantas menghambur ke pelukan Anggraini dan yang segera dibalas peluk pula oleh Anggraini.“Lama nunggu Bunda nggak?” tanya Anggraini.“Nggak kok. Kila baru aja pulang, kata Bu Guru, Kila main aja dulu sambil tungguin Bunda,” jawab gadis kecil itu.Anggraini tersenyum. Satu tahun lebih dia telah mengasuh anak itu beserta adiknya. Sudah banyak perubahan yang terjadi termasuk pada tumbuh kembang mereka. Shakila sudah tidak lagi bicara cadel seperti dulu. Gadis kecil itu juga sudah tumbuh menjadi anak yang lebih ceria meninggalkan tampilan imutnya di tahun-tahun sebelumnya.Anggraini membungkukkan s
Anggraini bengong sesaat dengan secarik kertas berwarna putih di tangannya. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Asyif.Pria ini entah bagaimana menyediakan diri untuk membantu Anggraini dan menemaninya dalam kepengurusan masalah Dinda yang sudah berlangsung selama beberapa hari itu. Kebetulan juga Sophia tidak bisa menemaninya hari ini.Anggraini menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya dia mengangguk. Hari ini dia pergi ke kantor catatan sipil untuk mencetak ulang kartu keluarganya sebagai syarat agar dia bisa membawa pulang kembali Dinda. Sebelum staf itu memberikan padanya Kartu Keluarga itu, setitik keinginan di hati Anggraini berharap bahwa Kartu Keluarga yang dia inginkan itu tidak mencetak nama Merry di sana. Walaupun sebelumnya dia sendiri sudah pernah ke sini untuk menanyakannya langsung. Dan ternyata benar, bahwa di Kartu Keluarga itu terpampang dengan nyata nama Merry dan putrinya. Dan sekarang Anggraini benar-benar memegang Kartu Keluarga itu dalam bentuk fisik.“Kartu keluarg
Sophia yang baru saja memesan makanan siap saji, saat membalikkan badannya heran karena tidak melihat Anggraini di meja yang tadi mereka telah pilih. Namun kemudian kebingungannya berubah menjadi keterkejutan saat melihat Anggraini ada di depan outlet sedang bertengkar dengan seseorang yang dia tidak kenal.“Itu anak saya, berikan dia pada saya!!” teriak perempuan itu dengan kencang sehingga pertengkaran mereka menarik perhatian banyak mata.Anggraini mengelak saat perempuan itu ingin mengambil kembali bayi yang berada dalam gendongannya.“Ini Dinda. Katakan, sebenarnya kamu ini siapa? Kamu siapanya dia? Mana Ibu Septi?” tanya Anggraini menyebutkan nama ibunya Merry.“Ape hal kau kata ni? Aku tak paham apa cakap kau tu. Kalau tak bagi anak aku sekarang juga, aku akan report kau ke polis!” ancamnya.Anggraini geleng-geleng kepala.“Sana laporkan saja! Aku juga akan melakukan hal yang sama. Aku sudah mendengar apa yang kamu katakan di telepon. Kamu mau bawa dia ke negaramu, tapi kamu ti
“Jadi kamu yakin nggak mau balik lagi ke Jakarta?” tanya Sophia saat mereka sedang makan siang di kediaman orang tua Sophia di Jakarta.Anggraini mengangguk.“Ya, aku mau menetap di Bandung aja deh kayaknya. Soalnya kerjaanku juga di sana kan? Di sini juga aku kayak yang bingung mau ngapain,” kata Anggraini.Anggraini mengangguk.“Iya sih. Kalau di Jakarta membuat kamu nggak nyaman, sebaiknya ditinggalin aja. Tapi kalau aku boleh kasih saran meski kamu tinggal di Bandung, kamu nggak usah tinggal di rumah itu lagi. Jual aja tuh rumah. Pasti kamu juga nggak pengen teringat terus tentang mereka kan? Sudahlah, buka lembaran baru saja. Kalau kamu setuju, entar aku bantu jualkan rumah itu,” kata Sophia menjelaskan.Anggraini mengangguk.“Iya makanya itu aku lebih pilih ngontrak dulu sebelum aku dapat rumah baru. Entar kalau rumahnya laku dijual aku cari rumah lain aja,” jawab Anggraini terhadap saran sahabatnya itu.“Nah gitu donk! Jadi habis makan kita jadi ke pengadilan agama nih?” “Beso
Kedatangan mereka disambut dengan baik oleh keluarga Merry. Bahkan begitu mereka keluar dari dalam mobil, nenek Shakila yang juga merupakan ibu dari Merry itu langsung menyambut cucu-cucunya. “Kila, kamu sudah besar, Nak? Peluk nenek!” pinta wanita itu. Shakila mundur beberapa langkah dan kini bersembunyi di belakang tubuh Anggraini. Wanita itu menatap Anggraini. Tersungging seulas senyum di bibirnya. Entahlah, sekilas Anggraini merasa kalau senyum itu berbeda, menimbulkan kesan sinis. “Maaf, kamu istri pertamanya Teguh?” tanya wanita itu. Anggraini membenarkan meski dalam hati ia cukup terkejut mengetahui bahwa perempuan itu mengetahui bahwa dia adalah istri tua dari Teguh. “Iya, benar. Kenapa ibu tahu?” tanya Anggraini dengan nada sedikit tidak suka. Bagaimana tidak? Anggraini heran dengan kenyataan bahwa ibu ini seperti perempuan tidak tahu malu yang telah menikahkan putrinya pada suami orang lain. Bahkan Anggraini bisa melihat foto figura besar di ruang tamu rumah it