“Kenapa kau melakukan itu?!” tanya Teguh dengan geram sambil tangannya meraih dan mencengkram leher baju Merry keras-keras.Merry melirik ke arah tempat tidur, di mana Shakila sedang tertidur. Anak kecil itu sebenarnya sudah punya kamar sendiri tepat di sebelah kamar ayah dan bundanya. Namun selama Teguh tidak pulang-pulang karena menjadi buronan polisi, Merry yang sedang hamil dan mengalami sedikit gangguan kecemasan mengajak Shakila untuk tidur di kamarnya.“Pelankan suaramu, Mas. Shakila akan terbangun nanti,” kata Merry sambil menurunkan volume suaranya juga.Teguh ikut melihat ke arah tempat tidur dan mengakui apa yang dikatakan oleh Merry itu ada benarnya. Gadis kecil itu terlihat bergerak-gerak gelisah.Teguh tak punya pilihan lain selain menyeret Merry ke tempat yang tidak menganggu tidur Shakila. Kamar mandi adalah tempat yang Teguh kira cukup untuk meredam suara pertengkaran mereka.“Mas, kamu mau apa?” tanya Merry panik ketika Teguh memaksanya masuk ke dalam kamar mandi dan
“Kamu baik-baik saja?” tanya Asyif kepada Anggraini sesaat setelah mereka keluar dari kantor polisi tersebut.Anggraini mengangguk.Suasana di antara keduanya terlihat canggung. Jujur saja, Anggraini merasa tidak sepercaya diri ketika sebelum kasus ini ada. Dirinya merasa insecure karena merasa semua orang pasti telah melihat semua videonya.Tak terkecuali Asyif. Mungkin saja dia juga telah melihat semua yang di berada di tubuh Anggraini. Atau bahkan pengacara ini. Siapa yang tahu? Mereka semua adalah lelakiAhhh … Anggraini mengalami krisis percaya diri yang akut saat ini. Ia bahkan tidak berani menatap Asyif. Dirinya lebih banyak menunduk. Berkebalikan dengan yang Anggraini rasakan, Asyif juga merasa canggung karena merasa Anggraini pasti mengira dia telah ikut-ikutan mencari tahu dan ikut menonton video panasnya dengan Teguh.“Ini Pak Halomoan. Bapak ini pengacara kondang dari Medan. Ah, aku tidak tahu bagaimana caranya agar aku bisa menebus rasa bersalahku padamu, Anggre. Aku yan
Anggraini menerobos asap yang mengebul dari dapur dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Seluruh rumah itu sudah dikepung oleh api, sementara api terlihat sudah menyentuh langit-langit dapur.“Mbak, keluar aja! Biar kami yang periksa!” seru seorang bapak-bapak yang melihat Anggraini nekad masuk mendekati sumber api.“Sebentar, Pak. Saya lagi cari Shakila. Dia tadi sempat saya dengar suaranya dari sebelah rumah saya. Bapak panggil pemadam kebakaran saja!” sahut Anggraini sambil terbatuk-batuk.Dan benar saja, di tengah kondisinya yang mulai sesak dan mata perih berair, matanya melihat sesosok anak kecil yang tergeletak tak jauh dari pintu kamar.“Astaghfirullah!! Kilaaaa!!!” Anggraini lantas berlari dan menyongsong tubuh mungil itu. Tanpa banyak berpikir ditambah lagi asap ini mulai sangat menyiksanya, Anggraini pun menggendong Shakila dan segera melarikannya ke luar rumah.Kehadirannya dari dalam rumah lantas disambut oleh orang-orang yang entah sejak kapan menjadi ramai. Area rum
“Maaf, Dok. Tapi suaminya tidak bisa dihubungi. Kalau bisa, dokter lakukan saja yang terbaik. Saya ikut saja,” kata Anggraini terbata.“Baik, Bu. Tapi ibu kalau memang benar keluarganya, ibu harus mengisi beberapa formulir dan surat pernyataan bahwa ibu adalah orang yang memberikan ijin dan persetujuan untuk tindakan ini dan jika terjadi sesuatu pada pasien, maka pihak keluarga tidak akan menuntut pihak rumah sakit atas apa yang terjadi,” tutur dokter tersebut.Napas Anggraini naik turun mendengar hal tersebut sambil ia melihat pada Asyif seperti meminta pendapat pria itu. Asyif mengangguk untuk meyakinkan. Bagaimanapun menyelamatkan satu nyawa lebih baik daripada tidak sama sekali.“Aku takut …” gumam Anggraini.Siapapun yang ada di posisi ini pasti akan bimbang. Asyif paham itu. Apalagi Anggraini sering berinteraksi dengan Merry.“Nggak apa-apa, Anggre. Kalau terjadi sesuatu di kemudian hari aku akan ikut mendampingi kamu. Jangan khawatir,” kata Asyif lagi-lagi memberi penguatan.A
Anggraini terhenyak. Mimpi apa dia semalam? Bukan seperti ini pembalasan dendam yang dia maksud. Kenapa di saat dia tersakiti dan menginginkan orang yang menyakitinya mendapat pelajaran berharga malah sebaliknya seperti dia yang mendapat hukuman seberat ini?Masih tidak mempercayai apa yang terjadi, Anggraini mendekati brankar itu dan menyingkap kain yang menutupi jenazah tersebut. Ia berharap ada kesalahan di sini. Tapi nyatanya memang apa yang disampaikan oleh dokter itulah yang sebenarnya terjadi. Jenazah itu adalah jenazah Merry yang terlihat sangat pucat pasi lebih dari sebelum perempuan itu masuk ke dalam ruang operasi. Entah suhu dingin ruang operasi yang membuatnya begitu, Anggraini pun tidak tahu.“Maaf sebelumnya, Pak, Bu. Selain mengabarkan hal ini, kami kemungkinan juga mungkin akan melaporkan kasus ini ke kepolisian. Karena meninggalnya Ibu Merry besar dugaan karena tindakan kekerasan, karena ketika dibawa ke sini pun kondisinya sudah kritis, maka agar tidak ada kesalahp
“Di rumahmu?” gumam Anggraini sambil berpandangan dengan Sophia.Sophia terlihat girang dan mengangguk berharap Anggraini akan menyetujui usul dari Asyif itu.“Ah, jangan sih. Aku mau cari rumah kontrakan aja,” tolak Anggraini.“Kenapa? Di rumahku setidaknya ada Syanum, nanti aku akan carikan juga babysitter untuk membantumu mengurus anak-anak ini. Dan kalau kamu merasa tidak enak hati karena keberadaanku, kamu jangan khawatir. Aku kemungkinan juga akan lebih sering berada di Malaysia dan akan jarang ke sini. Jadi kamu nggak perlu ada perasaan atau pikiran-pikiran negatif yang memang tak seharusnya ada,” ujar Asyif untuk menyanggah penolakan Anggraini itu.“Iya, benar banget tuh. Andai kamu nggak ada kasus dengan Mas Teguh waktu itu mungkin aku akan ajak kamu ke apartemenku lagi, tapi kan … maaf … kamu tahu sendiri kalau kamu jadi daftar blacklist di apartemenku, Nggre. Apa kamu mau ke Jakarta aja ke rumahku? Entar ada Mama juga yang bantu urusin untuk sementara,” kata Sophia.Anggrae
“Ayo! Sudah siap berangkat atau belum?” tanya Asyif pada Anggraini yang masih sibuk mendandani Shakila. Gadis kecil itu kini terlihat jauh lebih cantik.“Sebentar lagi. Aku lihat dulu apa barang-barang Dinda sudah selesai dikemas semuanya,” jawab Anggraini.Dia terlihat sangat sibuk saat ini.“Sudah, Kak. Aku sudah siapkan semuanya,” kata Syanum dengan raut wajah sedih.Anggraini tahu perasaan gadis itu. Ia pun menepuk pundak Syanum dan mengelusnya.“Sudah ya. Jangan nangis. Aku juga sedih. Entar aku ikutan nangis gimana?” kata Anggraini.Syanum tetap saja mewek dan melihat Dinda, bayi mungil itu sedang mengisap jempolnya. Sungguh sangat lucu.“Kak, nggak usah bawa Dinda dan Kila kemana-mana ya. Biarkan dia di sini aja sama kita. Mereka juga sudah terbiasa bersama kita selama dua bulan ini. Masa Kak Anggre tega bawa mereka ke tempat yang mereka nggak kenal?” rengek Syanum.Anggraini tersenyum kecut. Sudah dua bulan dia membawa kedua anaknya Merry tinggal bersamanya di rumah Asyif. Di
Kedatangan mereka disambut dengan baik oleh keluarga Merry. Bahkan begitu mereka keluar dari dalam mobil, nenek Shakila yang juga merupakan ibu dari Merry itu langsung menyambut cucu-cucunya. “Kila, kamu sudah besar, Nak? Peluk nenek!” pinta wanita itu. Shakila mundur beberapa langkah dan kini bersembunyi di belakang tubuh Anggraini. Wanita itu menatap Anggraini. Tersungging seulas senyum di bibirnya. Entahlah, sekilas Anggraini merasa kalau senyum itu berbeda, menimbulkan kesan sinis. “Maaf, kamu istri pertamanya Teguh?” tanya wanita itu. Anggraini membenarkan meski dalam hati ia cukup terkejut mengetahui bahwa perempuan itu mengetahui bahwa dia adalah istri tua dari Teguh. “Iya, benar. Kenapa ibu tahu?” tanya Anggraini dengan nada sedikit tidak suka. Bagaimana tidak? Anggraini heran dengan kenyataan bahwa ibu ini seperti perempuan tidak tahu malu yang telah menikahkan putrinya pada suami orang lain. Bahkan Anggraini bisa melihat foto figura besar di ruang tamu rumah it