“Maaf, Dok. Tapi suaminya tidak bisa dihubungi. Kalau bisa, dokter lakukan saja yang terbaik. Saya ikut saja,” kata Anggraini terbata.“Baik, Bu. Tapi ibu kalau memang benar keluarganya, ibu harus mengisi beberapa formulir dan surat pernyataan bahwa ibu adalah orang yang memberikan ijin dan persetujuan untuk tindakan ini dan jika terjadi sesuatu pada pasien, maka pihak keluarga tidak akan menuntut pihak rumah sakit atas apa yang terjadi,” tutur dokter tersebut.Napas Anggraini naik turun mendengar hal tersebut sambil ia melihat pada Asyif seperti meminta pendapat pria itu. Asyif mengangguk untuk meyakinkan. Bagaimanapun menyelamatkan satu nyawa lebih baik daripada tidak sama sekali.“Aku takut …” gumam Anggraini.Siapapun yang ada di posisi ini pasti akan bimbang. Asyif paham itu. Apalagi Anggraini sering berinteraksi dengan Merry.“Nggak apa-apa, Anggre. Kalau terjadi sesuatu di kemudian hari aku akan ikut mendampingi kamu. Jangan khawatir,” kata Asyif lagi-lagi memberi penguatan.A
Anggraini terhenyak. Mimpi apa dia semalam? Bukan seperti ini pembalasan dendam yang dia maksud. Kenapa di saat dia tersakiti dan menginginkan orang yang menyakitinya mendapat pelajaran berharga malah sebaliknya seperti dia yang mendapat hukuman seberat ini?Masih tidak mempercayai apa yang terjadi, Anggraini mendekati brankar itu dan menyingkap kain yang menutupi jenazah tersebut. Ia berharap ada kesalahan di sini. Tapi nyatanya memang apa yang disampaikan oleh dokter itulah yang sebenarnya terjadi. Jenazah itu adalah jenazah Merry yang terlihat sangat pucat pasi lebih dari sebelum perempuan itu masuk ke dalam ruang operasi. Entah suhu dingin ruang operasi yang membuatnya begitu, Anggraini pun tidak tahu.“Maaf sebelumnya, Pak, Bu. Selain mengabarkan hal ini, kami kemungkinan juga mungkin akan melaporkan kasus ini ke kepolisian. Karena meninggalnya Ibu Merry besar dugaan karena tindakan kekerasan, karena ketika dibawa ke sini pun kondisinya sudah kritis, maka agar tidak ada kesalahp
“Di rumahmu?” gumam Anggraini sambil berpandangan dengan Sophia.Sophia terlihat girang dan mengangguk berharap Anggraini akan menyetujui usul dari Asyif itu.“Ah, jangan sih. Aku mau cari rumah kontrakan aja,” tolak Anggraini.“Kenapa? Di rumahku setidaknya ada Syanum, nanti aku akan carikan juga babysitter untuk membantumu mengurus anak-anak ini. Dan kalau kamu merasa tidak enak hati karena keberadaanku, kamu jangan khawatir. Aku kemungkinan juga akan lebih sering berada di Malaysia dan akan jarang ke sini. Jadi kamu nggak perlu ada perasaan atau pikiran-pikiran negatif yang memang tak seharusnya ada,” ujar Asyif untuk menyanggah penolakan Anggraini itu.“Iya, benar banget tuh. Andai kamu nggak ada kasus dengan Mas Teguh waktu itu mungkin aku akan ajak kamu ke apartemenku lagi, tapi kan … maaf … kamu tahu sendiri kalau kamu jadi daftar blacklist di apartemenku, Nggre. Apa kamu mau ke Jakarta aja ke rumahku? Entar ada Mama juga yang bantu urusin untuk sementara,” kata Sophia.Anggrae
“Ayo! Sudah siap berangkat atau belum?” tanya Asyif pada Anggraini yang masih sibuk mendandani Shakila. Gadis kecil itu kini terlihat jauh lebih cantik.“Sebentar lagi. Aku lihat dulu apa barang-barang Dinda sudah selesai dikemas semuanya,” jawab Anggraini.Dia terlihat sangat sibuk saat ini.“Sudah, Kak. Aku sudah siapkan semuanya,” kata Syanum dengan raut wajah sedih.Anggraini tahu perasaan gadis itu. Ia pun menepuk pundak Syanum dan mengelusnya.“Sudah ya. Jangan nangis. Aku juga sedih. Entar aku ikutan nangis gimana?” kata Anggraini.Syanum tetap saja mewek dan melihat Dinda, bayi mungil itu sedang mengisap jempolnya. Sungguh sangat lucu.“Kak, nggak usah bawa Dinda dan Kila kemana-mana ya. Biarkan dia di sini aja sama kita. Mereka juga sudah terbiasa bersama kita selama dua bulan ini. Masa Kak Anggre tega bawa mereka ke tempat yang mereka nggak kenal?” rengek Syanum.Anggraini tersenyum kecut. Sudah dua bulan dia membawa kedua anaknya Merry tinggal bersamanya di rumah Asyif. Di
Kedatangan mereka disambut dengan baik oleh keluarga Merry. Bahkan begitu mereka keluar dari dalam mobil, nenek Shakila yang juga merupakan ibu dari Merry itu langsung menyambut cucu-cucunya. “Kila, kamu sudah besar, Nak? Peluk nenek!” pinta wanita itu. Shakila mundur beberapa langkah dan kini bersembunyi di belakang tubuh Anggraini. Wanita itu menatap Anggraini. Tersungging seulas senyum di bibirnya. Entahlah, sekilas Anggraini merasa kalau senyum itu berbeda, menimbulkan kesan sinis. “Maaf, kamu istri pertamanya Teguh?” tanya wanita itu. Anggraini membenarkan meski dalam hati ia cukup terkejut mengetahui bahwa perempuan itu mengetahui bahwa dia adalah istri tua dari Teguh. “Iya, benar. Kenapa ibu tahu?” tanya Anggraini dengan nada sedikit tidak suka. Bagaimana tidak? Anggraini heran dengan kenyataan bahwa ibu ini seperti perempuan tidak tahu malu yang telah menikahkan putrinya pada suami orang lain. Bahkan Anggraini bisa melihat foto figura besar di ruang tamu rumah it
“Jadi kamu yakin nggak mau balik lagi ke Jakarta?” tanya Sophia saat mereka sedang makan siang di kediaman orang tua Sophia di Jakarta.Anggraini mengangguk.“Ya, aku mau menetap di Bandung aja deh kayaknya. Soalnya kerjaanku juga di sana kan? Di sini juga aku kayak yang bingung mau ngapain,” kata Anggraini.Anggraini mengangguk.“Iya sih. Kalau di Jakarta membuat kamu nggak nyaman, sebaiknya ditinggalin aja. Tapi kalau aku boleh kasih saran meski kamu tinggal di Bandung, kamu nggak usah tinggal di rumah itu lagi. Jual aja tuh rumah. Pasti kamu juga nggak pengen teringat terus tentang mereka kan? Sudahlah, buka lembaran baru saja. Kalau kamu setuju, entar aku bantu jualkan rumah itu,” kata Sophia menjelaskan.Anggraini mengangguk.“Iya makanya itu aku lebih pilih ngontrak dulu sebelum aku dapat rumah baru. Entar kalau rumahnya laku dijual aku cari rumah lain aja,” jawab Anggraini terhadap saran sahabatnya itu.“Nah gitu donk! Jadi habis makan kita jadi ke pengadilan agama nih?” “Beso
Sophia yang baru saja memesan makanan siap saji, saat membalikkan badannya heran karena tidak melihat Anggraini di meja yang tadi mereka telah pilih. Namun kemudian kebingungannya berubah menjadi keterkejutan saat melihat Anggraini ada di depan outlet sedang bertengkar dengan seseorang yang dia tidak kenal.“Itu anak saya, berikan dia pada saya!!” teriak perempuan itu dengan kencang sehingga pertengkaran mereka menarik perhatian banyak mata.Anggraini mengelak saat perempuan itu ingin mengambil kembali bayi yang berada dalam gendongannya.“Ini Dinda. Katakan, sebenarnya kamu ini siapa? Kamu siapanya dia? Mana Ibu Septi?” tanya Anggraini menyebutkan nama ibunya Merry.“Ape hal kau kata ni? Aku tak paham apa cakap kau tu. Kalau tak bagi anak aku sekarang juga, aku akan report kau ke polis!” ancamnya.Anggraini geleng-geleng kepala.“Sana laporkan saja! Aku juga akan melakukan hal yang sama. Aku sudah mendengar apa yang kamu katakan di telepon. Kamu mau bawa dia ke negaramu, tapi kamu ti
Anggraini bengong sesaat dengan secarik kertas berwarna putih di tangannya. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Asyif.Pria ini entah bagaimana menyediakan diri untuk membantu Anggraini dan menemaninya dalam kepengurusan masalah Dinda yang sudah berlangsung selama beberapa hari itu. Kebetulan juga Sophia tidak bisa menemaninya hari ini.Anggraini menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya dia mengangguk. Hari ini dia pergi ke kantor catatan sipil untuk mencetak ulang kartu keluarganya sebagai syarat agar dia bisa membawa pulang kembali Dinda. Sebelum staf itu memberikan padanya Kartu Keluarga itu, setitik keinginan di hati Anggraini berharap bahwa Kartu Keluarga yang dia inginkan itu tidak mencetak nama Merry di sana. Walaupun sebelumnya dia sendiri sudah pernah ke sini untuk menanyakannya langsung. Dan ternyata benar, bahwa di Kartu Keluarga itu terpampang dengan nyata nama Merry dan putrinya. Dan sekarang Anggraini benar-benar memegang Kartu Keluarga itu dalam bentuk fisik.“Kartu keluarg