Dinda menangis keras saat Puspa meraihnya. Entah karena anak berusia satu tahun itu baru bangun atau memang karena dia takut pada sosok Puspa yang tidak familiar, Dinda terkejut saat dirinya langsung ditangkap oleh seorang nenek-nenek yang tidak dia kenal sebelumnya.“Cup! Cup! Jangan menangis, nenek akan membawamu dari sini, Ok? Tenang, tenang jangan menangis!” Puspa berusaha membujuk Dinda yang kini telah berada dalam gendongannya.Melihat putrinya sangat ketakutan, Anggraini merebut paksa Dinda dari Puspa. “Tolong pergi dari sini. Kau membuatnya takut,” desis Anggraini mencoba menahan sabar.“Kau jangan keterlaluan dan bersikap seolah-olah kau adalah ibu kandungnya. Kau tidak punya hak! Aku adalah nenek kandungnya. Dan aku ingin membawanya, aku ingin menjemput cucuku sekarang!”“Anda yang jangan keterlaluan! Ngomong-ngomong soal hak, anda yang tidak punya hak apa-apa terhadap mereka. Aku mengantongi ijin dari pemerintah untuk merawat mereka,” kata Anggraini.“Hah! Izin dari pemeri
"Ayah, ayah! Atu mau es kim yang laca clobeli saja, ayah!"Anggraini terpaku melihat pemandangan di hadapannya itu. Hatinya bagai teriris sembilu melihat bocah berusia kisaran dua tahun itu sedang memeluk leher seorang pria yang dia kenal adalah suaminya sendiri. Balita itu menatap pria itu dengan mesra, seakan takut orang yang dipanggilnya ayah itu berpaling darinya. "Eh, sepeltinya lebih enak coklat deh. Coklat aja deh," celoteh cadel gadis kecil dengan kuncir dua di kepalanya itu. "Shakila, cepat pilih! Masih banyak yang mau beli loh," tegur perempuan di sebelahnya sembari menunjuk ke arah antrian di belakang mereka. Sudah jelas dia adalah ibu anak itu.Fokus Anggraini kini berpaling ke wanita itu. Seorang wanita yang usianya terlihat sedikit lebih tua darinya. Wanita itu berhijab dengan baju sedikit longgar, namun bagian perutnya turut menarik perhatian Anggraini. Perempuan itu terlihat sedang hamil. Trisemester awal sepertinya. Atau mungkin usia kandungan empat atau 5 bulan.Gig
"Mas sudah pulang?" tanya Anggraini dengan senyum yang entah mengapa kali ini Teguh merasa seperti berbeda.Teguh tak langsung menjawab. "Apa ada yang salah? Apa mas melakukan suatu kesalahan?" tanya Teguh sembari menatap Anggraini dengan mata penuh selidik.Anggraini tersenyum mencibir sambil geleng-geleng kepala."Apa sih, Mas? Kesalahan apa maksudnya?" tanya Anggraini sembari melingkarkan tangannya di leher Teguh."Senyummu sedikit berbeda," jawab Teguh apa adanya.Anggraini semakin mengembangkan senyumnya. Lelaki yang hebat, sadar juga ternyata dia pada perubahan sikap Anggraini. Kebalikan dari Anggraini yang bahkan tak menyadari pengkhianatan Teguh selama ini."Berubah apanya?" tanya Anggraini semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh Teguh dengan cara menggoda."Ehmm, ehmm. Apa istriku ini sedang ada maunya?" tebak Teguh sembari berdehem.Anggraini tersenyum."Kok tahu sih kamu, Mas?" tanyanya dengan nada merajuk."Ya, taulah. Masa nggak? Kenal kamu sudah berapa lama?" Anggraini mel
"Eh, Mama? Kenapa nggak bilang-bilang kalau Mama dan Riani mau datang?" Anggraini terkejut dengan kedatangan mertua dan iparnya."Justru sebaliknya Mama yang nanya dong? Kok Teguh pulang Mama nggak dikasih tahu?" Anggraini memutar bola matanya. Bagaimana ia akan memberi tahu sedangkan Teguh sendiri kembali ke Indonesia tidak menemui dirinya terlebih dahulu melainkan menemui keluarga yang ia simpan selama ini.Teguh memang bekerja di sebuah perusahaan elektronik di Singapura. Mereka berdua sama-sama menempuh pendidikan tinggi di Universitas Tokyo dengan program studi yang berbeda. Saat Teguh selesai dengan pendidikannya, Anggraini masih sibuk dengan kuliahnya, hingga Teguh di terima bekerja di Singapura, selama beberapa tahun mereka menempuh hubungan jarak jauh. Berasal dari keluarga ekonomi yang berkecukupan dan berpenghasilan besar dari pekerjaannya, bertemu dua kali dalam sebulan dengan biaya yang tidak kecil, bagi Teguh bukanlah masalah besar. Lalu Anggraini lulus dan mereka meni
Teguh masih diam membatu. Sulit baginya untuk menjelaskan situasi ini. Sementara bagi Puspa biar bagaimana pun tetap saja kabar ini menggembirakan meskipun dia mengerti posisi putranya pasti sulit saat ini."Mama rasanya masih tidak percaya ini. Mama paham ini pasti tidak mudah untukmu, tapi Teguh, kamu perlu tahu. Mama mendukung kamu sepenuhnya. Ya, Mama mengerti dari sudut pandang perempuan mungkin Mama sedikit keterlaluan tidak memikirkan perasaan Anggre, tapi sebagai manusia normal Mama juga ingin seperti orang lain. Mama ingin juga menimang cucu seperti teman-teman mama yang lain, Guh. Alhamdulillah sekarang kamu akhirnya sadar kalau pilihan kamu selama ini tidak memiliki anak adalah pilihan yang salah," kata Puspa mencoba membesarkan hati putranya.Teguh menggelengkan kepalanya. Apa yang dikatakan oleh ibunya benar, tapi bagi Anggre tentu saja itu tidak benar. Entahlah, Teguh juga merasa terjebak di situasi ini. Terjebak dalam pernikahannya dengan Anggraini, dan di sisi lain te
"Lima tahun lamanya, Mas. Aku dengan bodohku mengikuti prinsip childfree-mu itu. Menutup telinga atas cemoohan orang lain atas keputusan itu. Aku memang childphobia, tetapi bukan berarti tidak bisa hidup dengan anak."_________________________________"Loh, Mama dan Riani mau kemana?" tanya Anggraini dengan wajah bingung.Saat ia kembali, mertua dan iparnya itu telah ada di depan pintu rumah mereka siap untuk pulang."Kamu tuh yang kemana aja. Beli kopi aja hampir setengah jam. Beli dimana sih? Beli di Vietnam?" balas Puspa."Oh, tadi Anggre ke warung sebelah warungnya belum buka, Ma. Terus lanjut ke warung yang ada di blok sebelah juga eh ternyata tutup juga. Padahal biasa dari habis subuh sudah buka tuh warung. Heran juga kenapa pada tutup semua warungnya. Jadi terpaksa deh Anggre ke luar komplek perumahan dibuat beli kopi dan ini …" Anggraini menunjukkan bungkusan kresek putih di tangannya berisi beberapa bungkus nasi."Katanya kan Mas Teguh pengen sarapan yang tradisional-tradisio
"Pia, kamu dimana?" Anggraini dengan ponsel di telinganya membuka pintu mobil. Ia sedang melakukan sambungan telepon dengan sahabatnya Sophia.[Aku sebentar lagi sampai Bandung, Nggre. Kamu gimana?]"Ini baru mau jalan. Mas Teguh baru berangkat ke Singapore nih. Oke, tungguin aku di sana ya!"[Ya, hati-hati di jalan, Nggre. Ingat, keselamatan tetap yang utama. Jangan ngebut. Laki-laki brengsek itu nggak ada apa-apanya dibanding hidupmu yang berharga, Sayang.] Anggraini terharu mendengar kata-kata penyemangat dari Sophia. Ya, masih ada sahabatnya itu yang setia di sampingnya di saat suaminya sendiri telah dengan teganya menghancurkan hatinya."Jangan khawati, Pi. Aku baik-baik aja. Nggak akan ngebut. Kamu tunggu aja aku di sana, ok?" Usai telepon singkat itu Anggraini segera masuk ke dalam mobil, mengemudikannya ke luar kota Jakarta. Bandung, itu adalah kota tujuannya saat ini. Ia tak sepenuhnya menepati janjinya pada Sophia untuk tidak ngebut-ngebutan. Namun Anggraini tetap berhati
"Jadi anda ingin melamar kerja di sini sebagai instruktur?" Anggraini mengangguk yakin. "Ya, ini berkas saya," katanya sembari mendorong sebuah map berisi surat lamaran kerja, CV serta berkas pendukung lainnya."Tapi di sini sedang tidak membuka lowongan pekerjaan, Sis. Gymnasium ini sedang tidak membutuhkan instruktur senam tambahan," kata pengelola gymnasium itu.Terlihat sekali pria berumur empat puluh tahunan itu tidak tertarik menerima surat lamaran kerja Anggraini. Jangankan membuka map itu, alih-alih dia malah mendorong kembali map itu pada Anggraini.Anggraini tersenyum percaya diri."Maaf, Pak. Saya memang lancang mengantar surat lamaran kerja tanpa adanya pembukaan lowongan pekerjaan di tempat ini, namun meski begitu tolong terima saya. Ini adalah impian dan cita-cita saya sedari dulu," kata Anggraini berusaha meyakinkan."Ya, saya mengerti tetapi gymnasium di kota Bandung ini ada banyak, tak hanya di sini saja. Mungkin anda bisa mencobanya di gymnasium lain?" Pria bernam