"Pia, kamu dimana?"
Anggraini dengan ponsel di telinganya membuka pintu mobil. Ia sedang melakukan sambungan telepon dengan sahabatnya Sophia.[Aku sebentar lagi sampai Bandung, Nggre. Kamu gimana?]"Ini baru mau jalan. Mas Teguh baru berangkat ke Singapore nih. Oke, tungguin aku di sana ya!"[Ya, hati-hati di jalan, Nggre. Ingat, keselamatan tetap yang utama. Jangan ngebut. Laki-laki brengsek itu nggak ada apa-apanya dibanding hidupmu yang berharga, Sayang.]Anggraini terharu mendengar kata-kata penyemangat dari Sophia. Ya, masih ada sahabatnya itu yang setia di sampingnya di saat suaminya sendiri telah dengan teganya menghancurkan hatinya."Jangan khawati, Pi. Aku baik-baik aja. Nggak akan ngebut. Kamu tunggu aja aku di sana, ok?"Usai telepon singkat itu Anggraini segera masuk ke dalam mobil, mengemudikannya ke luar kota Jakarta.Bandung, itu adalah kota tujuannya saat ini. Ia tak sepenuhnya menepati janjinya pada Sophia untuk tidak ngebut-ngebutan. Namun Anggraini tetap berhati-hati dalam perjalanan. Tak sabar rasanya ia ingin tiba, menjalankan rencananya dan melihat kehancuran keduanya._________________________________"Itu rumah Mas Teguh dengan wanita itu!" tunjuk Sophia.Mereka saat ini sedang berada di sebuah komplek perumahan. Di dalam mobil Sophia, keduanya sudah seperti detektif yang sedang melakukan misi penyelidikan."Yang rumah warna kuning, Nggre. Matamu kemana?"Anggraini mengikuti arah kemana jari telunjuk Sophia mengarah. Sebuah rumah berwarna kuning pucat dengan ukuran sedang. Kalau Anggraini boleh menebak mungkin rumah itu memiliki dua atau setidaknya tiga kamar, tidak lebih.Komplek perumahan itu nampaknya memang untuk kalangan middle class. Bukan komplek perumahan subdisi, dan bukan juga untuk kalangan elit. Untuk seorang Teguh Prabowo, untuk membeli sebuah rumah di komplek ini pastinya bukanlah hal yang sulit. Bahkan Anggraini sendiri pun masih mampu membelinya dengan uang sendiri."Oh, kamu yakin itu rumahnya?" tanya Anggraini.Anggraini enggan menyebut 'mereka' untuk Teguh dan istri simpanannya.Sophia mengangguk mantap."Bahkan tak hanya yakin. Aku bahkan sudah mencari tahu langsung kepada ketua RW-nya. Itu memang rumah Mas Teguh dengan istrinya. Mereka bahkan memiliki kartu keluarga yang sah," bisik Sophia dengan hati-hati.Anggraini tidak terkejut dengan informasi yang diberikan oleh Sophia. Dengan uang yang dimilikinya, apa sih yang tidak bisa dibeli oleh seorang Teguh. Jika hanya legalisasi palsu atau dengan kata lain identitas 'nembak' yang hanya perlu sedikit uang untuk oknum tertentu, bukanlah hal aneh jika Anggraini mendengar mereka memiliki kartu keluarga yang sah."Kamu nggak ingin melaporkan saja mereka, Nggre. Ini tidak benar! Kamu bisa saja melaporkan keduanya untuk kasus perselingkuhan dan pemalsuan dokumen. Biar pada kapok orang-orang sialan itu!" geram Sophia.Anggraini menggeleng."Nggak akan mempan, Pia. Wanita itu sepertinya mantan Mas Teguh dari zaman sebelum ketemu aku. Itu berarti mungkin saja itu ketika ia masih sekolah. Jika mereka masih tetap saling mencintai dan saling menunggu dalam kurun waktu selama itu, kamu pikir hukuman negara akan membuat mereka jera dan menyesalinya?"Anggraini menanyakan itu dengan mimik wajah serius."Berapa tahun sih hukum pidana bagi suami yang menikah lagi tanpa sepengetahuan istri pertamanya? Dengan perlakuan baik Mas Teguh yang masih menunaikan kewajibannya menafkahi aku dan tidak pernah melakukan kekerasan dalam rumah tangga selama ini, aku tidak yakin ia mendapat hukuman maksimal. Dan you know? Mas Teguh punya uang, Pia," kata Anggraini menjelaskan dari sudut pandangnya."Benar juga. Ah, sialan! Terus gimana ya?" gerutu Sophia.Sahabatnya Anggraini itu mengakui apa yang dikatakan Anggraini semuanya benar. Bahkan ia menyaksikam sendiri kalau ia punya tetangga yang istrinya melaporkan suaminya sendiri yang menikah lagi tanpa sepengetahuannya. Suaminya hanya dihukum 1 tahun penjara, itu pun kurang dari satu tahun sudah keluar karena mendapatkan remisi dan masa potong tahanan karena berkelakuan baik selama di penjara.Anggraini tidak bereaksi apa pun mendengar gerutuan geram sahabatnya itu. Ia sudah memikirkan ini semalaman. Bukan hukuman seperti itu yang dia inginkan dari Mas Teguh."Kamu sudah cari tahu belum di sini ada rumah kosong yang bisa disewakan atau mau dijual sekalian?" tanya Anggraini.Sophia mengangguk."Aku nggak ngerti apa maksudmu sebenarnya, Nggre. Jangan bilang kamu ingin ngekos di sini untuk memata-matai Mas Teguh dan menangkap basahnya saat berada bersama wanita itu di dalam rumah?" tebak Sophia tanpa menjawab pertanyaan Anggraini."Kalau cuma ingin menangkap basahnya saja, aku sudah lakukan dari kemarin, Phi," jawab Anggraini.Meski tidak sedang bersama di dalam rumah, tapi kebersamaan mereka di acara jalan santai alun-alun kota Bandung kemarin sudah cukup jadi bukti bagi Anggrani menangkap basah suaminya itu. Namun lagi-lagi bukan itu tujuan Anggraini. Ini tidak sesimple itu."Terus yang mau kamu lakukan sekarang apa? Aku sudah mencari tahu seperti yang kamu minta apakah ada rumah kosong di sekitar sini. Kalau yang sekitaran rumah Mas Teguh ini kebetulan nggak ada yang kosong sih. Kalau yang beda blok banyak, agak masuk ke dalam," kata Sophia menjelaskan.Anggraini menggeleng."Aku butuh yang sekitaran blok sini. Aku butuh rumah yang bisa memantau langsung rumah itu!" tunjuk Anggraini lagi-lagi masih enggan menyebut kalau itu rumah milik suaminya.Kali ini Sophia yang menggelengkan kepalanya."Belum ada, Nggre. Tapi aku sudah meminta tolong sama Pak RW-nya sih kalau ada rumah kosong atau yang pindah kalau bisa tolong kabari aku. Dan dia bersedia ngasih info," kekeh Sophia.Anggraini mengernyitkan keningnya."Ketua RW-nya kok agak lain? Nggak apa-apa gitu dia memberi informasi tentang warganya pada orang asing?" tanya Anggraini heran.Sophia malah tertawa girang yang membuat Anggraini semakin terheran-heran."Pak RW-nya duda, Nggre. Mana ganteng lagi," tawa Sophia cekikikan."Oh, pantes."Anggraini tidak heran jika ini berhubungan dengan seorang pria. Sophia adalah jagonya merayu dan menggombal para kaum Adam meskipun Anggraini tidak tahu dengan kemampuannya yang seperti itu kenapa Sophia masih menjomblo hingga saat ini."Ada lagi, Yang Mulia?" canda Sophia pada Anggraini.Anggraini menghela napas panjang."Kamu bilang dia juga sering ke gym …""Ya, untuk senam kehamilan sepertinya. Padahal sepertinya usia kehamilannya masih terlalu muda ya, Nggre." Sophia meminta pendapat Anggraini."Kamu tahu sanggar senam tempat ia biasa senam?" tanya Anggraini mengabaikan pertanyaan Sophia sebelumnya.Sophia mengangguk."Tau, tempatnya nggak jauh dari sini.""Kita ke sana!""Untuk?""Aku mau jadi instruktur senam," jawab Anggraini tanpa merasa berdosa sama sekali."Eh?"Sophia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Entah balas dendam seperti apa yang diinginkan oleh Anggraini, tapi sepertinya ini lebih serius dari yang dia pikirkan sebelumnya."Serius, Nggre. Tapi bagaimana cara kamu bisa jadi instruktur? Memangnya kamu tahu darimana mereka sedang butuh instruktur senam?" tanya Sophia memberondong Anggraini dengan banyak pertanyaan.Anggraini mengangkat bahu. Sebenarnya jangankan informasi lowongan kerja, letak gym dan sanggar senamnya itu saja Anggraini tidak tahu. Namun ia bertekad, bagaimanapun caranya dia harus bisa masuk ke tempat itu."Udah. Nggak usah banyak tanya. Antar aku dulu ke sana!"***Bersambung"Jadi anda ingin melamar kerja di sini sebagai instruktur?" Anggraini mengangguk yakin. "Ya, ini berkas saya," katanya sembari mendorong sebuah map berisi surat lamaran kerja, CV serta berkas pendukung lainnya."Tapi di sini sedang tidak membuka lowongan pekerjaan, Sis. Gymnasium ini sedang tidak membutuhkan instruktur senam tambahan," kata pengelola gymnasium itu.Terlihat sekali pria berumur empat puluh tahunan itu tidak tertarik menerima surat lamaran kerja Anggraini. Jangankan membuka map itu, alih-alih dia malah mendorong kembali map itu pada Anggraini.Anggraini tersenyum percaya diri."Maaf, Pak. Saya memang lancang mengantar surat lamaran kerja tanpa adanya pembukaan lowongan pekerjaan di tempat ini, namun meski begitu tolong terima saya. Ini adalah impian dan cita-cita saya sedari dulu," kata Anggraini berusaha meyakinkan."Ya, saya mengerti tetapi gymnasium di kota Bandung ini ada banyak, tak hanya di sini saja. Mungkin anda bisa mencobanya di gymnasium lain?" Pria bernam
Keluar dari ruangan Handoko, Anggraini langsung disambut oleh Sophia."Nggre, gimana?" tanya Sophia harap-harap cemas.Anggraini tidak langsung menjawab melainkan mengajak Sophia pergi dari sana. Ia merasa tidak enak jika menceritakan pembicaraannya dengan Handoko sementara banyak orang berpapasan dan berlalu-lalang di sekitar mereka.Setelah mereka tiba di dalam mobil Sophia kembali, barulah ia menceritakan pada sahabatnya itu tentang bagaimana ia merayu seorang Handoko untuk menerimanya bekerja di gymnasium itu."Wah, gila! Kamu belum apa-apa sudah berani menyuap orang itu? Ckckck … Anggre, ini sisi gelapmu yang selama ini aku tidak tahu. Ngomong-ngomong darimana dan sejak kapan kamu punya sikap buruk seperti ini?" Sophia berdecak tak percaya kalau Anggraini ternyata bisa melakukan hal sejauh ini.Sepertinya Anggraini sudah memikirkan matang-matang segalanya hanya dalam kurun waktu yang sangat singkat.Anggraini mengangkat pundak."Serius, Anggre. Kamu akan melakukan apa jika kamu s
"Bu, HP ibu bunyi. Kayaknya itu telepon dari bapak deh," kata Bik Asih pada majikannya yang sedang sibuk olahraga di atas matras.Bik Asih adalah asisten rumah tangga pulang pergi yang membantu Anggraini melakkukan pekerjaan rumah tangga di rumah ini. "Bibik angkat saja teleponnya, Bik dan tolong taruh saja HP saya di tripod," kata Anggraini yang masih sibuk dengan olahraga senamnya.Beberapa hari ini ia memang banyak berolahraga. Bukan dengan tujuan utama agar bugar, melainkan ingin melatih kembali otot-otot tubuhnya dan melenturkannya agar tidak terlaku kaku jika ia diterima kerja di gymnasium itu nantinya.Dulu ketika masih berada di Tokyo, Anggraini rajin ikut senam. Bukan hanya menjadi member, tapi ia bahkan sering ikut perlombaan di tingkat internasional hingga mendapat banyak sertifikat penghargaan dari kegiatan positifnya itu.Namun setelah berada di Indonesia, Anggraini tidak lagi serutin dulu dalam kegiatan olah tubuhnya itu. Ia sesekali memang masih pergi fitness dan nge-g
Usai mengakhiri panggilan video itu, Anggraini pun segera menerima panggilan suara yang belum berhenti berdering sedari tadi."Ya, Pak? Selamat Siang!" sapa Anggraini pada si penelepon yang berada beda kota dengannya itu."Ini dengan Mbak Lestari Anggraini ya?" tanya si penelepon itu."Ya, Pak. Saya sendiri, Pak," sahut Anggraini dengan antusias.Bagaimana bisa Anggraini tidak antusias mendapat telepon dari Handoko? Memang telepon dari HRD D'Goal Gym dan Fitness Center itulah yang telah dia tunggu selama beberapa hari ini. Meski Anggraini merasa sedikit harap-harap cemas akan maksud Handoko meneleponnya, namun Anggraini optimis hingga 100% kalau pria itu menghubunginya pastilah karena ingin memberitahukan kabar baik padanya. Anggraini tahu, kebanyakan HRD tidak akan mau berepot-repot menelepon calon pekerja yang mengajukan lamaran kerja di perusahaan mereka jika mereka tidak berniat untuk menerimanya."Mbak Tari? Ini saya Handoko dari D'goal Gym and Fitness Center," kata pria di uju
"Kamu dimana, Bun?"Suara hangat pria itu langsung masuk ke gendang telinga Merry. Seperti biasa, suami yang telah menikahinya tiga tahun lalu itu selalu perhatian dan hangat terhadapnya meskipun mereka menjalani hubungan jarak jauh selama ini."Ini baru mau masuk kelas. Eh ayah sudah telepon aja. Padahal sudah dibilangin juga tadi kalau aku mau ikut kelas senam hari ini," jawab Merry."Kok kedengarannya kayak ngomel? Padahal ayah bela-belain telepon loh padahal lagi sibuk?" Merry tersenyum sendiri. Sebenarnya dia juga senang diperhatikan sedemikian rupa seperti itu sih. Ia sedikit mengomel hanya untuk jual mahal dengan begitu suaminya itu akan lebih memperhatikannya."Nggak ngomel. Perasaan Ayah aja itu. Udah deh, kita lanjut teleponnya entar malam aja ya Yah. Entar lagi kelasnya dimulai nih.""Ck!" Terdengar decakan di ujung sambungan telepon. "Ya sudah, entar malam ayah telepon lagi."Merry baru saja akan mematikan sambungan telepon, namun terdengar lagi suara si penelepon itu mem
Beberapa waktu setelah Merry pergi, instruktur yang dipandangi Merry sedari tadi yang ternyata adalah Anggraini itu pun kembali masuk ke kelas zumba untuk mengakhiri sesi Zumba sore itu setelah mereka melakukan pendinginan."Sekian dulu sesi zumba kita sore ini, ya Bestie. Lanjut senin ya!" "Kenapa nggak ada sesi di weekend sih sama Sist Tari? Padahal kita-kita weekend lebih banyak waktu loh. Pengennya sih kalau bisa Sabtu dan Minggu biar lebih maksimal hasilnya," keluh salah seorang peserta zumba.Anggraini tertawa renyah."Yang masih jomblo mana paham?" tawa Anggraini menjawab keluhan peserta zumba yang sebagian adalah anak kuliahan itu."Ho oh, ya Sis. Pasti Sis Tari mau weekend'an sama pacarnya ya, Sis?" sahut peserta zumba lain yang bertubuh agak berisi.Anggraini tersenyum. Baru satu minggu dia resmi menjadi instruktur senam di gymnasium ini, tetapi mereka-mereka yang mengikuti kelasnya sudah merasa begitu nyaman dan dekat dengannya. Padahal Anggraini tidak merasa kalau ia se-h
"Dari mana saja kamu?" Deg, deg, deg!Jantung Anggraini berdetak kencang tak karuan mendengar suara itu. Ia tak menyangka kalau Teguh ada di rumah malam ini. Ck, sialan!Bukankah beberapa minggu belakangan ini Mas Teguh tak pernah lagi pulang Jum'at malam? Biasa juga dia pulang Sabtu malam atau yang paling parah malah Minggu malam. Apalagi alasannya kalau bukan karena istri barunya itu. Tapi ini tumben-tumbennya pulang Jum'at malam? Sungguh ini di luar dugaan Anggraini.Anggraini sampai di rumah saat jarum jam hampir menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Perjalanan pulang dari Bandung kali ini memang agak lama dan sedikit melelahkan karena di tengah perjalanan macet parah karena adanya perbaikan jalan. Sehingga yang tadinya Anggraini biasa sampai di rumah jam sembilan malam, namun kali ini ia tiba hampir tengah malam."Kok ditanya diam? Jam segini baru pulang dari mana saja?" tanya Teguh tak suka.Anggraini segera menguasai dirinya. Dengan secepat kilat ia berusaha mencari jaw
Anggraini segera menguasai dirinya lagi. Jangan sampai Teguh tahu apa yang sedang berada di pikirannya saat ini tentang ibu mertuanya.Anggraini menggeleng. Ia sadar dia harus segera menjawab pertanyaan-pertanyaan Teguh itu sebelum semua semakin rumit."Hah? Ngapain kesana? Emang Mas mau ikut zumba? Mas mau ikut BL? Mas mau gabung sama member zumba aku yang cewek-cewek dan ibu-ibu?" pancing Anggraini sambil memicingkan matanya."Loh katanya gymnasium, fitness center, masa penghuninya cuma ada ibu-ibu doang sih? Kaum adamnya kemana?" Anggraini berusaha memutar otak kembali untuk menjawab segala pertanyaan suaminya itu. Teguh memang kritis sejak dulu. Sebenarnya hampir sama saja sih dengan dirinya. Itu sebab Anggraini harus berpikir keras mencari jawaban agar ia tidak terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan Teguh itu."Kan aku sudah bilang, Mas. Gymnasiumnya masih baru. Masih banyak alat yang belum datang. Terus pesertanya juga masih sedikit. Tadi aja yang datang cuma lima orang. Belum r