Anggraini segera menguasai dirinya lagi. Jangan sampai Teguh tahu apa yang sedang berada di pikirannya saat ini tentang ibu mertuanya.Anggraini menggeleng. Ia sadar dia harus segera menjawab pertanyaan-pertanyaan Teguh itu sebelum semua semakin rumit."Hah? Ngapain kesana? Emang Mas mau ikut zumba? Mas mau ikut BL? Mas mau gabung sama member zumba aku yang cewek-cewek dan ibu-ibu?" pancing Anggraini sambil memicingkan matanya."Loh katanya gymnasium, fitness center, masa penghuninya cuma ada ibu-ibu doang sih? Kaum adamnya kemana?" Anggraini berusaha memutar otak kembali untuk menjawab segala pertanyaan suaminya itu. Teguh memang kritis sejak dulu. Sebenarnya hampir sama saja sih dengan dirinya. Itu sebab Anggraini harus berpikir keras mencari jawaban agar ia tidak terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan Teguh itu."Kan aku sudah bilang, Mas. Gymnasiumnya masih baru. Masih banyak alat yang belum datang. Terus pesertanya juga masih sedikit. Tadi aja yang datang cuma lima orang. Belum r
"Morning, Honey. Gimana tidurnya? Nyenyak?" Anggraini menggeliat di atas tempat tidur. Matanya memicing karena silau oleh cahaya mentarii yang masuk lewat gorden jendela kamar."Hoooam …" Anggraini menguap dan mencari-cari jam untuk mengetahui informasi waktu saat itu."Jam berapa sekarang, Mas?" "Baru jam 10," jawab Teguh."Hah?!" Anggraini kaget tak menyangka kalau ia akan bangun sesiang itu. Selama ini meski tiap pagi tak ada hal penting yang perlu diurus seperti menyiapkan sarapan suami sebelum pergi bekerja, atau menyiapkan bekal anak sebelum berangkat sekolah, namun Anggraini tidak pernah membiasakan diri untuk bangun kesiangan. Ia selalu bangun pagi, tapi lihat ini tak hanya kesiangan. Ini benar-benar sudah siang!"Kok aku nggak dibangunkan sih? Oh, astaga …" Anggraini segera melompat dari tempat tidurnya. Ia segera mendekati Teguh yang duduk di sofa kecil dekat pintu balkon. Suaminya itu terlihat sedang sibuk dengan laptopnya. Teguh terlihat mempesona meski dia hanya men
Teguh terkejut mendapat respon emosional dari Anggraini yang sangat di luar dugaannya. Matanya sempat melihat beberapa kosmetik milik Anggraini yang jatuh di lantai."Loh, kok ngamuk? Memangnya Mas salah ngomong begitu? Kan benar kamu kerja sebegitunya seperti orang-orang yang kekurangan uang. Sampai pulang malam segala-lah. Dibilangin bukannya introspeksi malah ngamuk. Gimana sih?" Anggraini menghembuskan napas sekencang-kencangnya sehingga anak-anak rambut di keningnya beterbangan dan kemudian jatuh lagi menghiasi dahinya sebagai poni."Bukan kekurangan uang sih, tapi aku di sini kekurangan teman. Aku kesepian sehingga terkadang aku sering mempertanyakan benar atau tidak keputusanku untuk childfree. Mas tidak disini, pulang hanya dua hari dalam seminggu, itu pun akhir-akhir ini jarang pulang. Terus aku harus berada di rumah ini sendirian? Itu sangat menyebalkan! Andai Mas tahu rasanya!" balas Anggraini meluapkan semua uneg-unegnya.Ia kemudian menghempaskan bokoongnya di kursi rias
Ceklek!Teguh yang sedang menelepon tiba-tiba seperti mendengar bunyi pintu yang ditutup pelan. Seketika ia yang sedang berada di balkon kamarnya berhenti berbicara dengan Shakila di telepon.Spontan ia menutup speaker ponselnya dan berbalik melihat ke arah pintu. Apa Anggraini mendengarnya menelepon?Rasa was-was tiba-tiba menyelimutinya. Bukan ia yang menelepon tadi melainkan Merry dan Shakila, putri kecilnya. Sebenarnya ia tidak ingin mengangkat panggilan telepon itu, namun karena mereka terus meneleponnya tanpa jeda, mau tidak mau Teguh berpikir harus mengangkatnya. Lagi pula Anggraini sedang merajuk padanya, tidak mungkin secepat itu ia kembali lagi ke kamar. Wanita itu biasanya akan berlama-lama di tempat lain menunggu Teguh membujuknya terlebih dahulu. Tak ingin merasa cemas tak beralasan, Teguh segera meninggalkan balkon untuk mengecek apakah Anggraini telah kembali ke dalam kamar.Pintu kamar masih dalam kondisi tertutup rapat seperti tadi Anggraini meninggalkannya dan memb
"Kenapa sih musti manyun gitu? Gitu aja marah. Iya deh, Mas minta maaf kalau kamu tersinggung soal kata-kata Mas. Mas cuma nggak pengen kamu kecapekan, Anggre. Bayangin aja, kita nggak bisa ketemu tiap hari, eh giliran Mas pulang, kamu bukannya temanin Mas having fun, eh kamunya malah tepar karena kecapekan. Duh, apa kata orang nanti? Dikira Mas nggak bisa ngasih istrinya nafkah sampai-sampai istrinya kerja banting tulang. Gitu loh maksudnya Mas," kata Teguh dengan nada membujuk.Anggraini menghela napas tak peduli dengan bujukan itu."Peduli amat kata orang! Ini bukan soal duit, Mas. Tapi soal passion aku. Mas tau dari dulu aku minat di senam, olahraga. Apa salahnya aku tekuni sih? Nanti juga kalau aku nggak kuat, berhenti sendiri," jawab ketus Anggraini lagi.Teguh lagi-lagi mencoba untuk mengalah dan tetap bersabar menghadapi Anggraini."Iya deh, iya. Tapi ketimbang di senam kamu nggak pengen gitu kerja yang sesuai dengan bidang ilmu yang kamu pelajari selagi masa kuliah? Sayang l
"Anggre! Tunggu!" panggil Teguh sambil mengejar Anggraini.Dari lantai atas hingga menuruni eskalator, mereka menjadi tontonan orang lain di mall itu. Bagaimana tidak? Mereka terlihat seperti tokoh yang bertengkar dalam sinetron rumah tangga."Anggre, kenapa marah sih? Mas kan cuma pengen kamu menjadi wanita shalihah yang terjaga auratnya!" Teguh berusaha membujuk Anggraini yang dari tadi sibuk menepis tangannya.Anggraini tak menjawab. Bulshit semua itu! Jika benar semua hanya demi alasan yang dimaksudkannya itu, lalu kenapa baru sekarang? Lalu, kenapa seakan Teguh telah berubah jadi pria paham agama? Hanya Anggraini yang tahu bahwa sholat yang fardhu saja suaminya itu masih suka bolong-bolong. Syukur-syukur kalau di Singapura sana ingat sholat Jum'at. Sudahlah, hanya Anggraini yang tahu kaj mereka bukan pemeluk agama yang taat."Anggre!! Dengarin Mas dulu!"Kini mereka telah sampai diparkiran!Anggraini langsung membuka pintu mobil. Kunci sedari tadi dia yang pegang. Ia berada di
Anggraini menangis sejadi-jadinya saat taxi biru itu hilang dari pandangan matanya. Ini tidak adil!Ia dengan kemarahannya mengacak-acak seluruh kamar, menghamburkan semua benda yang berada di atas meja rias, menarik selimut dan seprai dari atas tempat tidur.Sial! Sial! Sial!!!Kapan bajingan itu mendapat balasannya?!Seketika ia bermaksud membatalkan semua rencana yang telah disusunnya matang-matang. Kemarahannya menggebu-gebu. Anggraini menyeka air matanya. Ya, dia akan ke Bandung sekarang juga! Dia akan tangkap basah saja suaminya itu di rumah istri simpanannya dan akan dia labrak langsung wanita itu. Akan dia cek-kik, dan tikkam perut wanita itu bersama anak dalam kandungannya. Ya begitu saja!Anggraini yang terpuruk di samping tempat tidur tiba-tiba bangun, mencari sesuatu di laci. Gunting, ah tidak! Mungkin sebaiknya pisau saja!Ia lantas keluar kamar menuruni tangga menuju dapur, mencari pisau yang dia pikir akan dia gunakan untuk menu suk-nusuk perut wanita itu. Tunggu saja
"Saya agak sedikit bertanya-tanya kenapa ibu memilih untuk bertemu kami di tempat ini. Padahal tadi maksud saya kita bertemu di rumahnya saja sekalian biar enak. Jadi saya bisa jelaskan tentang kekurangan dan kelebihan rumah itu biar ibu juga enak nawarnya," kata si pemilik rumah.Anggraini tersenyum."Itu tidak perlu, Pak. Saya kebetulan sudah tahu rumah itu. Rencananya juga saya mau renovasi nantinya. Jadi kekurangan rumah itu bukan masalah besar asal kita sepakat di harga yang sama," kata Anggraini."Syukurlah kalau begitu. Rumah itu sebenarnya cukup kokoh karena merupakan bangunan lama. Hanya perlu dicat juga sudah bagus kembali," kata si pemilik rumah lega.Usai berbasa-basi ini itu, Anggraini dan si pemilik rumah pun bernegosiasi masalah harga. Seperti yang dijelaskan oleh Sophia, rumah itu memang diberi harga cukup mahal karena lokasi perumahannya berada di area strategis, pusat kota Bandung.Meski sudah siap bangkrut dengan harga yang dipasang oleh si pemilik rumah, Anggraini